Kontan tepuk tangan menggema dari ribuan
hadirin yang terdiri atas anggota senat, wisudawan/wisudawati, serta
tamu undangan di Gedung Prof. Sudarto Tembalang Universitas Diponegoro
Semarang pada Selasa siang, 29 April 2014.Tepuk tangan tersebut
membahana ketika nama Supadiyanto berhasil meraih gelar Magister Ilmu
Komunikasi sebagai lulusan dengan predikat cumlaude (dengan
pujian) dan tercepat dengan waktu studi 1 tahun lebih 5 bulan dan
terbaik dengan IPK 4,00 disebutkan oleh panitia wisuda.Dalam wisuda yang
dipimpin oleh Rektor UNDIP Profesor Sudharto P. Hadi itu, tercatat dari
2.200 lulusan hanya ada tujuhlulusan yang meraih IPK 4,00.
Apa saja rahasia kesuksesan Supadiyanto
yang berhasil meraih gelar Magister Ilmu Komunikasi dari Program
Pascasarjana Magister Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro Semarang
dengan predikat cumlaude? Berikut ini hasil investigasi jurnalistik yang berhasil dilakukan oleh dewan redaksi Harian Online Kabar Indonesia.
Menurut Alumni Fakultas Dakwah dan
Komunikasi UIN Suka ini, kesuksesannya dalam merampungkan studi
pascasarjananya pada Konsentrasi Kebijakan Media Program Studi Magister
Ilmu Komunikasi UNDIP adalah dengan menerapkan ilmu 5 T, yaitu tekun
(rajin), takon (bertanya), teken (tongkat), tekan (sampai tujuan), theken
(tanda tangan). Konsep 5 T di atas diadopsi dari nasihat para rektor
maupun guru besar yang memberikan nasihat pada para mahasiswanya.
“Setiap orang yang ingin sukses, maka ia
harus mengimplementasikan ilmu 5 T. Tekun, takon, teken, tekan, dan
theken. Kombinasi dari lima langkah di atas dijamin mengantarkan
kesuksesan bagi siapapun saja,” ujar dosen Akademi Komunikasi Radya
Binatama (AKRB) serta pernah menjadi dosen luar biasa di Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta ini di Semarang belum lama ini.
Dapat dikatakan, lanjutnya, saya bukanlah
mahasiswa yang tekun dalam menghadiri seluruh kegiatan perkuliahan di
kelas. Sebab untuk sejumlah mata kuliah tertentu, saya tergolong
mahasiswa yang bandel soal presensi (tingkat kehadiran). Bahkan untuk
mata kuliah Regulasi dan Kebijakan Media misalnya, tercatat tingkat
presensinya kurang dari 50 persen. Bahkan untuk mata kuliah lainnya,
bisa lebih rendah lagi. Hal tersebut diakibatkan banyaknya aktivitas
luar kampus yang harus dipenuhi. Misalnya dirinya mengaku lebih
mendahulukan memenuhi undangan menjadi pembicara sebuah seminar nasional
daripada harus mengikuti perkuliahan regular di kelas.
Jika melacak perjuangan hidup dari penulis
buku berjudul: Berburu Honor Dengan Artikel, Tip dan Strategi Menangguk
Rupiah dari Surat Kabar yang diterbitkan oleh Elex Media Komputindo
(Kelompok Kompas Gramedia) ini juga sungguh luar biasa. Sebab latar
belakang dua orang tuanya hanyalah sebagai mantan buruh tani, yang kini
usianya sudah cukup tua. Dapat dikatakan Supadiyanto merupakan
satu-satunya mahasiswa Universitas Diponegoro Semarang yang menjadi kaum
penglaju. Sebab hampir tiap hari dirinya menempuh perjalanan sejauh 250
kilometer dari Jogja-Semarang-Jogja dengan mengendarai sepeda motor
merek Honda Legenda.
“Ya, saya naik sepeda motor dari
Jogja-Semarang. Jarak Jogja-Semarang itu sekitar 125 kilometer. Waktu
tempuh normal sekitar 3 jam lebih 20 menit. Ada dua alasan mengapa saya
naik sepeda motor. Karena saya tidak punya uang dan karena saya harus
melakukan dua pekerjaan sekaligus. Pagi hingga siang harus kuliah di
Undip. Sore harinya mesti mengajar di dua kampus berbeda di Yogyakarta.
Mirip ilmu setrika,” tutur kolumnis di berbagai surat kabar lokal dan
nasional ini.
Berkat kebiasaannya naik motor dari
Jogja-Semarang-Jogja itu, lanjutnya, dirinya melahirkan sebuah
penelitian fenomenal yang terinspirasi dari slogan-slogan eksentrik yang
terpampang pada berbagai bak truk pengangkut pasir yang berseliweran di
Magelang-Temanggung-Semarang. Bahkan dirinya sampai hafal titik-titik
potensial yang menjadi langganan sumber kemacetan, serta lokasi
“favorit” para polisi lalu lintas menggelar razia kendaraan bermotor.
“Kalau dihitung selama masa studi 1 tahun
lebih 5 bulan itu, saya telah mengganti ban luar dan dalam sebanyak 2
kali (depan belakang), serta sekali mengganti rantai yang putus beserta
girnya yang gundul. Paling parah sewaktu ban motor saya terkena paku
payung di depan Mapolda Jateng pada akhir tahun 2014 kemarin,” kenangnya
sambil mengingat-ingat suka dukanya selama dalam perjalanan
dahulu.Uniknya, diri sama sekali belum pernah terkena razia sepeda
motor. Sebab, ketika di depan jalannya ada polisi yang menggelar razia
sepeda motor, selalu saja para polisi itu mempersilakan dirinya untuk
melanjutkan perjalanan; tanpa menghentikan laju sepeda motornya.
Ketika disinggung sumber biaya
perkuliahannya, suami dari Imroatun Fatimah ini membeberkan bahwa segala
biaya kuliah S2-nya bersumber dari kegiatan menulis.
“Aktivitas menulis di berbagai media
massa, telah menjadi ekonomi politik dalam membiaya seluruh perkuliahan
saya. Walaupun saya berangkat dari keluarga miskin, tetapi saya tidak
mau membebani negara agar mereka memberikan beasiswa kepada saya.
Biarkan orang lain yang lebih membutuhkan mendapatkannya. Saya kira
lebih terhormat membiayai kuliah sendiri, daripada mendapatkan “santunan
beasiswa” dari negara.,” pungkas dosen sejumlah perguruan tinggi di
Yogyakarta yang bercita-cita menjadi guru besar ini.
Dalam tesis berjudul “Implementasi (Teknologi) Internet dalam Kebijakan Redaksional Harian Jogja (Bisnis Indonesia Group of Media/BIG Media)
pada Orde Reformasi yang tebalnya lebih dari 500 halaman diungkapkan
bahwa Internet mampu melipatgandakan produktivitas sekaligus efisiensi
dalam pengelolaan industri media cetak; namun pada satu sisi menyebabkan
adanya eksploitasi absolut maupun eksploitasi relatif terhadap
eksistensi wartawan/wartawati. (PI-Humas)