Selasa, 08 Juli 2025

Catatan Buku "Duel" Karya Heinrich von Kleist

Bernd Heinrich Wilhelm von Kleist adalah penulis yang berasal dari Jerman, dia hidup di periode 1777-1811. Hidup yang singkat tapi dengan karya yang berumur panjang. Dia juga menulis naskah teater, syair, dan hidup di luar sirkel penulis sezamannya. Dia satu zaman dengan Johann Wolfgang von Goethe, Thomas Mann, dan Friedrich Schiller. Atau Anda juga sezaman dengan Rainer Maria Rilke yang lahir di Ceko, tentu Anda mengenalnya, karena Anda kerap sekali berpergian ke Prancis, Italia, dan Swiss. Anda juga pernah aktif di militer dan menjadi pegawai negeri. Baiklah, saya akan mencoba berbincang dengan beliau...

Hello Koh Heinrich, wajah Anda di Google terasa innocent, hidup Anda berakhir dengan bunuh diri. Saya tidak ingin menyebut ini dramatis, tapi sepertinya memang demikian. Setelah Anda menembak orang yang Anda cintai (Adolphine Sophie Henriette Vogel), Anda kemudian menembak diri Anda sendiri. Kejadian itu terjadi di tepi danau Kleiner Wannsee, Vogel di sisi lain juga adalah kawan intelektual Anda. Sebab kematian yang dianggap aib itu, jenazah Anda dan kekasih Anda tidak diberi kehormatan terakhir oleh gereja. Gereja menolak pemakaman kalian.

Namun, saya tidak sedang ingin membicarakan hal ini, karena terlalu personal untuk saya. Di sesi ini, saya ingin berbicara tentang karya Anda yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berjudul "Duel" (Der Zweikampf), yang terbit setahun sebelum kematian Anda. Cerita yang bagi saya kental akan feodalisme (sistem kekuatan berlapis berdasarkan tanah dan loyalitas) juga dunia aristokrasi, kelas ningrat yang punya kuasa karena keturunan. Berhubung juga saya belajar jika tambahan nama "von" di Jerman kala itu melambangkan keturunan bangsawan dari daerah tertentu, seperti gelar Raden di Jawa.

Saya mencoba untuk memahami urutan feodalisme di Eropa saat itu, dan berikut pola yang bisa saya tangkap secara hirarkis: Kaiser (Kaisar) - Raja - Uskup Agung (Agamawan) - Duke (gubernur) - Count (bupati) - Baron (kades) - petani, Parthian, Persia. Anda bercerita tentang kisah Duke Wilhelm von Breysach yang menikah dengan Katharina von Heersbruck (yang kemudian menjadi Dutchess) dan punya anak jadah Count Philip von Huningen. Suatu hari, Duke Wilhelm von Breysach ini dipanah secara misterius hingga meninggal. Salah satu yang diduga membunuh adalah kerabatnya sendiri, Count Jakob Rotbart. Kejadian terjadi di Kerajaan St. Regimius.

Atas tragedi kematian itu, Dutchess dibantu Kanselir (tangan kanan/hakim) Sir Godwin von Herrthal untuk melakukan investigasi. Si hakim kemudian melakukan penyelidikan ke seluruh kota siapa pembuat panah tersebut. Ditemukanlah si pembuatnya, dan yang memesan itu adalah Count Jakob Rotbart. Situasi menjadi pelik karena di sini Count menolak dengan tegas tuduhan itu, karena dua alasan, di malam itu dirinya tak ada di St. Regimius, kedua, dia sedang pergi ke orang yang dia suka, janda kaya raya dan cantik, Lady Littegarde von Breda.

Lalu diadakanlah sidang, Kaiser meminta dilakukan penyelesaian sesuai hukum, juga dengan bantuan agamawan seperti Uskup Agung Starsbourg. Lady Littegarde yang digeret-geret namanya terasa berdesir darahnya dan malu. Tuduhan itu membuat kondisi ayahnya yang sudah sakit semakin memburuk hingga meninggal. Dua adik Lady Littegarde yang peduli pada warisan juga akhirnya mengusir kakaknya atas tuduhan kejam tersebut. Littegarde dibuang dengan hati hancur, dia akhirnya menemui sahabatnya yang juga seorang pengacara terpandang yang menjadi saingan Rotbart, dia adalah Sir Friedrich von Trota yang punya adik perempuan dua (Bertha dan Kunigende), serta punya ibu bernama Helena.

Littegarde mencari suaka di istana Sir Friedrich, sahabatnya itu juga yang menawarkan diri untuk membela si Lady mati-matian, hingga hukuman yang ditetapkan adalah "duel". Dia yang mati di duel yang disaksikan oleh Kaiser dan pejabat di sebuah ruang publik di Jerman itulah yang bersalah. Waktu duel pun terjadi, Sir Friedrich melawan Rortbart. Hasil itu membuktikan jika Sir Friedrich rubuh, dan akhirnya dia dipenjara sebelum akhirnya dihukum gantung, juga hukuman ini terjadi di ruang publik. Di sisi lain, Rotbart di pertempuran yang sebentar itu mendadak sakit berat, seperti terkena virus mematikan yang sulit disembuhkan, umurnya pun tinggal seminggu. Sementara, Sir Friedrich sembuh dengan cepat.

Di sini seolah Tuhan dan alam ikut berkonspirasi siapa pelaku sesungguhnya. Dan benar, Rotbart-lah yang salah. Dialah yang membunuh Duke Wilhelm von Breysach, dia juga memfitnah Lady Littegade. Sebelum perempuan itu nyaris gila ketika mendapati Sir Friedrich kalah, dia juga dimaki-maki oleh Helena atas pengakuan palsu Rotbart yang telah mendurinya di malam terkutuk itu. Padahal, kisah sebenarnya adalah pembantu Littegarde sendiri bernama Rosalie menjalin affairs dengan Rotbart. Dia datang di suatu malam berpura-pura menjadi Littegarde. 

Hukuman gantung pun akhirnya tidak dilakukan. Rotbart pun yang kaki dan tangannya diamputasi karena penyakit, dipermalukan terakhir kali, sebelum Sir Friedrich dan Littegarde hendak melakukan hukuman gantung diri, yang saat itu hukuman ini memang umum dilakukan di zaman itu. Saya membaca hukuman serupa ketika membaca buku Alexandre Dumas di bukunya, "Monte Cristo". Bagi saya ini kondisi yang pelik, meski hukuman tersebut sudah dihapuskan, tapi kengeriannya masih tersisa.

Di buku terbitan Basabasi ini juga ditambahi suplemen tulisan lain terkait posisi Anda di kesastraan Jerman, darma kewiraan (untuk para ksatria yang akan berduel), cara membela kehormatan, peradilan di medan laga dan asal muasalnya, keadilan Wangsa Longobard, pengadilan-pengadilan termasyhur, hingga kisah tentang Lancelot dan Guenvere. Di tulisan suplemen ini sebenarnya tidak banyak yang saya tangkap Koh Heinrich, tapi yang pasti, cerpen "Duel" Anda ini terinspirasi dari kejadian-kejadian lain yang serupa itu. Semisal bagaimana budak berduel agar dia dan keluarganya bisa dibebaskan. Atau tentang seorang permasuiri yang dituduh selingkuh, lalu pengikut setianya menjaga kehormatan nama si perempuan, dia melakukan duel juga dengan pejabat zaman feodal yang menuduhnya.  

Secara umum, karya ini seperti suatu cerita khas di abad pertengahan terkait kritik Anda akan keadilan, kebenaran, kehormatan, dan bagaimana manusia mempertahankannya. Cara yang lazim digunakan saat itu adalah trial by combat yang menunjukkan pertaruangan hidup mati, serta bagaimana cara Tuhan menunjukkan kebenaran. Di sini ada beberapa poin penting yang saya garisbawahi.

Pertama, kebenaran tak selalu bisa dilogika atau dibuktikan secara rasional. Duel memang bukan pola hukuman sempurna, meski cara ini dianggap kuno dan irasional dalam mencari kebenaran, tapi Anda juga setuju jika duel bisa membawa keadilan. Dia menyelinap dalam keyakinan, keberanian, dan barangkali apa yang disebut takdir.

Kedua, ada isu besar terkait jebakan kehormatan sosial dan moralitas pribadi yang seperti Anda tekankan di tokoh-tokoh Anda. Seperti, Littegarde yang saya pikir jadi tokoh utamanya alih-alih Rotbart, dia difitnah, diusir, dan nyaris digantung, tapi dia setia akan keyakinan batinnya jika dia tak bersalah. Di zaman apa pun, saya kira manusia tak perlu takut apa pun jika dia benar. Meskipun di konteks tertentu yang terasa berat, masyarakat lebih mengorbankan kebenaran karena kehormatan, status, dan ketakutan sosial sebagaimana dialami Rotbart.

Ketiga, Anda coba menceritakan tentang dunia yang absurd dan tak pasti. Di cerpen ini, rasio dan hukum bisa gagal, atau yang lebih enigmatik, Tuhan tidak selalu memberi kita tanda. Namun, di situasi bagaimana pun, manusia harus tetap membuat pilihan moral. Seolah dalam situasi terjepit kita ditantang untuk menjawab: Apa kompas moralmu? 

Keempat, saya juga menangkap bagaimana keyakinan dan keberanian bisa jadi merupakan bentuk yang tinggi dari logika manusia. Orang yang benar pasti berani, begitu juga sebaliknya, orang yang salah pasti takut (barangkali sekuat apa pun kekuatannya). Namun, ketika yang diajak duel di sini berupa "perwakilan", kadang kebalikan situasi juga menentukan hasil siapa yang lebih benar, meskipun tokoh utama di panggung telah roboh dan nyaris mati. Bahwa kebenarnan tidak selalu hadir dalam bentuknya yang jelas. 

Kelima, keberanian dalam membela yang lemah dan tertindas adalah bentuk kemanusiaan yang sangat mulia. Di sini saya belajar dari Sir Friedrich betapa ksatrianya dia. Dia bahkan mengambil risiko nyawanya sendiri untuk membela dia yang tak berdaya. Dia benar-benar menjaga integritas orang lain di kadar tertinggi akan pertaruhannya itu. Sebab, saya juga yakin, dia punya kompas moral pribadi. 

Namun di sini, kelemahan yang saya temukan juga adalah, Anda semacam membenarkan kekerasan sebagai jalan mencari kebenaran. Tentu ini sangat bahaya jika diterapkan di zaman modern seperti sekarang. Perempuan juga seolah bertindak sebagai aktor pasif yang perlu dibela. 

Koh Heinrich barangkali akan berkata seperti ini, "Die Zweikampf bukan tentang kemenangan si kuat, melainkan keyakinan dan keberanian bertindak, bahkan ketika kebenaran itu tak bisa dibuktikan. Ini integritas yang perlu kau jaga sebagai manusia. Aku juga menulis bukan untuk menjelaskan dunia, tapi membuka retaknya. Kau tak perlu takut pada apa yang tak pasti, dari sana bisa jadi pijakan untuk menemukan kepastian," ujarnya agak sedih. 

KUTIPAN: 

"Pengungkapan pernyataan bersalah tidak boleh langsung dikira benar, kecuali atas kehendak Tuhan." (p. 52) 

"Manusia harus membentengi dirinya dengan kepastian tujuan dan kekukuhan kehendak." (p. 56) 

"Sangat sedikit orang yang bisa menyukai dan mengamalkan kebaikan tanpa pamrih." (p. 57) 

Judul: Duel | Penulis: Heinrich von Kleist | Penerbit: Basabasi Yogyakarta | Penerjemah Bahasa Jerman: Annies Janusch | Penerjemah Bahasa Indonesia: David Setiawan | Editor: Muafiqul Khalid | Cetakan: Pertama, Desember 2020 | Jumlah halaman: 108 | Copyright: Heinrich von Kleist, Der Zweikampf, dalam Kumcer Erzhalungen tahun 1810.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar