Kekosongan selalu menampakkan wajahnya yang muram lebih cepat dibanding kedipan mata. Berkah entah penyakit yang menembus pori-pori kulit, menuju mata dan mengaburkannya. Berlaku padaku, kekosongan seperti cita-cita hari kemarin yang tak pernah terwujud, dan tak mau kuperjuangkan lagi. Tambah menyebalkan jika orang-orang mengahayatinya dengan lagu picisan sambil rebahan, seolah lagu itu bisa mewakili. Pikiran payah terpecah menjadi asap-asap yang tak diinginkan, yang keluar melalui kepala dan baunya membuat celaka.
Untuk apa aku mengutuki kekosongan, dia sudah begitu penuh menampung semua yang tak terkatakan dari setiap pikiran orang. Kasihan dia jika aku menambah bebannya lebih berat lagi. Untuk menghalaunya, aku akan mencoba menghayati kekosongan dengan mencoba berpura-pura berhubungan dengan orang lain. Membalas pesan WhatsApp, berbicara terkait omong kosong dunia di status yang fana, kemudian lenyap kembali di sudut ruangan sambil merasa kecil dan terpencil.
Aku lebih suka dengan keberanian seseorang yang mengajakku melakukan pertemuan. Aku menemui seseorang dari luar kota yang baru kukenal, dan itu kau. Siang itu saat aku tengah membaur pada ruang kamar yang tak pernah meneduhkan. Ada yang sakit, juga yang sia-sia. Beberapa wajah yang pernah kukenal seperti menjadi satu ketika kulihat wajahmu. Aku berharap kedatanganmu tak membebaniku dengan kenangan yang menyengsarakan. Namun tak akan mungkin, gerakku sore itu bersamamu tak mudah terhapus, biar bagaimanapun aku selalu kalah dengan kenyataan. Bahkan dalam kekosongan, pertemuan selalu bisa mengisi rasa kering yang asing.
Cahaya dari kota banyak matahari mengenai tanganku. Sekilas aku melihat tubuhmu dari belakang mengenakan jaket warna hitam seperti malam yang tersesat di sore hari. Absurd memang pertemuan kita, kau berhasil membuatku lupa begitu saja rasa sentimentil tentang hidup dan orang-orang. Aku lebih senang membayangkan, orang masa lalu yang kucintai mendatangiku dengan tawa riang dan candaannya membisikiku seperti suara bahagia yang tulus saat masih kanak-kanak. Dunia mungkin membesar, tapi segala hal yang mengabadi dalam tubuh tetap tersimpan dan tak akan pernah tercuri oleh hacker paling tengik sekalipun.
Kau berdiri tepat di depanku. Kacamatamu yang kaku seperti batu andesit yang tak pernah tidur. Mata kita saling bertemu dan membuatku tersihir, seolah mata itu mengelabui tepat di pusat kedamaianku. Kita berjalan pada suatu taman yang meninggalkan khayalan-khayalan yang terangkai. Membayangkan tangan-tangan kita menggenggam dengan mesra saat senja. "Kau harus bahagia dan hidup dengan sadar," katamu menyemai benih harapan yang tiba-tiba tumbuh di kepalaku. Aku memang berharap kau akan mengukir jejak-jejak kecil untuk bisa kuingat selamanya. Seperti upaya-upaya saling melengkapi: tanganmu merangkul, kata cintamu yang tergesa-gesa, mata yang menatap dengan kedalaman yang cukup, doa yang sayapnya mengepak sanubariku, Sayang. Namun imajinasi akan selalu kalah pada fakta-fakta yang terlewati begitu adanya. Lalu aku ingin rubuh di pelukanmu, kesepian begitu congkaknya kugenggam dengan segenap penolakan yang sia-sia.
Kau mengajakku menyusuri kota yang sekarat. Udara sore mengantarku pada mimpi-mimpi lain, berkeliling kota menggunakan motor, lalu tangan kita saling menunjuk gedung-gedung bersejarah yang bisu. Di jalanan kau lalu bercerita tentang Pasar Maling, ibumu yang tak mau tinggal dengan semua anaknya kecuali denganmu, hingga kau keceplosan dengan patah hati di masa lalu yang menyayat dan mencabik-cabik pikiran, dengan jalan yang kurang ajar. Pulau lain adalah pelarian, tapi kekecewaan selalu lebih pintar menyergap kemanapun kau sembunyi. Dan kita akan sama-sama mendapati kekosongan tanpa dasar, yang nyanyiannya meruntuhkan ayat-ayat suci yang dilantunkan para alim.
Dan sore itu berlalu di bawah pertemuan kita yang sebentar. Biar sore iri karena meski berakhir sebagaimana basa-basi, kekosongan dapat kita berdua kalahkan dengan sebuah pedang pembelah waktu.