Kamis, 03 Juli 2025

Catatan Buku "Tentang Tirani" Karya Timothy Snyder

Buku ini ditulis oleh sejarawan di Universitas Yale Amerika bernama Timothy David Snyder, yang juga mengkhususkan tema-tema bukunya pada sejarah Eropa Tengah, Eropa Timur, dan Holocaust. Aku membaca buku ini di perpustakaan kantor dalam waktu dua jam non-stop sambil mencatat ide-ide yang menurutku penting. Buku ini tidak susah dibaca asalkan kau memahami definisi-definisi berikut:

ti.ra.ni (nomina) 
1. kekuasaan yang digunakan sewenang-wenang.
2. negara yang diperintah oleh seorang raja atau penguasa yang bertindak sekehendak hatinya. 

Totalitarianisme adalah bentuk pemerintahan di mana negara menguasai seluruh aspek kehidupan masyarakat, baik itu politik, ekonomi, sosial, maupun budaya. Dalam sistem ini, tidak ada ruang untuk perbedaan pendapat atau oposisi, dan negara memiliki kendali penuh atas kehidupan individu. 

Doublethink George Orwell: memegang dua keyakinan secara bersamaan, seperti perang adalah damai, kebebasan adalah perbudakan, ketidaktahuan adalah kekuatan. Berpotensi mengaburkan realitas dan memperkuat kontrol.

Isinya mudah saja, malah menurutku seperti kumpulan tips berjumlah 20 buah untuk membuatmu lebih sadar akan bagaimana "tirani" bekerja di kehidupan sehari-hari kita. Tips-tips itu yang aku ingat terdiri dari: patuhi etika profesional, menonjollah, hidupi lembaga, jadilah penyelidik yang baik, basa-basi itu tak apa-apa agar orang tak takut, jangan banyak nonton layar internet, hindari koma intelektual, dlsb. Kukatakan isinya sangat praktik, namun memang ditulis dengan baik dan on the point

Aku juga menangkap kesan si penulis buku sangat baik menguasai sejarah kaitannya dengan Jerman, Nazi, Holocaust, hingga perang di Soviet. Jujur, ini menambah horizon kepekaanku akan sejarah. Yang sangat terasa adalah juga bahasan terkait bagaimana kita harus menghidupi organisasi, sesederhana apa pun peran kita, kedatangan kita sangat berharga bagi organisasi. Aku juga seolah diingatkan untuk lebih dalam lagi melakukan "penyelidikan" tak sekadar menerima begitu saja apa yang nampak, terutama di internet. Penyelidikan adalah alat berharga untuk mencari kebenaran. Tiran taktu dengan penyelidikan, dan jangan takut untuk membaca buku-buku yang tebal atau tulisan yang panjang.

Dari buku ini kita bisa belajar jika memang sejarah bisa mengajari kita banyak hal, terutama di tiga fase penting: akhir Perang Dunia I (1918), Perang Dunia II (1945), dan jatuhnya demokrasi Eropa di masa 1950-80an. Kita akan menemukan bagaimana pemimpin mengaku-aku mewakili banyak orang tapi malah mengaburkan kebenaran itu sendiri untuk memperkuat negeri tiraninya. Di buku ini, Timothy melalui sejarah di Eropa telah menunjukkan bagaimana individu dan masyarakat bisa terpecah belah, sesederhana slogan seperti "Seluruh Pekerja Bersatu" di depan toko kita itu bisa memebrikan simbol. Sehingga, tujuan utama buku ini kukira adalah agar kita tidak menyerah di depan totalitarianisme yang penuh dengan jebakan berpikir dualitas yang dikritik Orwell. 

Ya, meskipun kritikku di buku ini ditulis dengan sangat permukaan di setiap tipsnya. Mekanisme kedidaktoran tak terelaborasi dengan baik, bahkan lebih mirip seperti leaflet. 

KUTIPAN YANG KUSUKA: 

Pembuka: "Dalam politik, tertipu bukanlah alasan." Leszek Kolakowski

"Para demagog memanfaatkan kebebasan berbicara untuk mengangkat diri sebagai tiran." (p. x) 

"Pilihlah satu lembaga yang Anda pedulikan: pengadilan, koran, hukum, serikat buruh, dan belalah." (p. 6) 

"Kehidupan itu politis, bukan karena dunia peduli mengenai apa yang Anda rasa, melainkan karena dunia bereaksi terhadap apa yang Anda lakukan... Dalam politik sehari-hari, kata-kata dan sikap kita, maupun ketiadaanya sangat berpengaruh." (p. 15) 

"Menerima penampilan sebagai realitas, menerima aturan permainan yang ada, sehingga memungkinkan permainan berlangsung, dan belanjut. Dan, tanya Havel, apa yang akan terjadi jika tak seorangpun mengikuti permaian itu?" (p. 18) 

"Bila orang-orang profesional berpikir sebagai kelompok dengan kepentingan bersama, dengan norma dan aturan yang wajib dipatuhi sepanjang waktu, maka mereka bisa mendapatkan kepercayaan diri dan semacam kuasa. Etika profesional justru membimbing kita ketika situasinya tak biasa." (p. 21) 

"Harus ada yang melakukannya. Ikut-ikutan itu mudah. Ingat kata Rosa Parks, begitu Anda memberi contoh, mantra status quo lenyap, dan yang lain akan mengikuti." (p. 30) 

"Masa ketika hidup atau mati sama baiknya." (p. 33) 

"Novel-novel klasik tentang totalitarianisme memperingatkan mengenai dominasi layar, pemberantasan buku, penyempitan kosa-kata, dan kesukaran berpikir yang terkait. Di Fahrenheit 451 karya Ray Bradbury, terbitan 1953, pemadam kebakaran mengumpulkan dan membakar buku sementara sebagian besar warga menonton televisi interaktif." (p. 39) 

"Meninggalkan fakta berarti meninggalkan kemerdekaan." (p. 42) 

"Cari tahulah sendiri. Habiskan lebih banyak waktu dengan artikel-artikel panjang. Bantu jurnalisme investigasi dengan berlangganan media cetak. Sadari bahwa sebagian yang ada di internet akan merugikan Anda. Bertanggungjawablah atas apa yang Anda sampaikan ke orang lain." (p. 49) 

"Sinisme generik membuat kita tergelincir bersama-sama sesama warga ke dalam jurang ketidakpedulian. Kemampuan Anda menyelidiki faktalah yang membuat Anda jadi individu, dan kepercayaan kolektif kita terhadap pengetahuan umum membuat kita jadi masyarakat. Individu yang menyelidiki juga merupakan warga yang membangun. Pemimpin yang tak menyukai penyelidik berpotensi menjadi tiran." (p. 50) 

"Namun kalau kita mempelajarinya dari layar, kita cenderung tertarik oleh logika tontonan... Yang mainstream dan mudah adalah cela mencela, sedangkan jurnalisme sungguhan itu berat dan sulit... Dengan sesuai protokol, Anda lebih kecil kemungkinannya merendahkan kemampuan otak." (p. 52-53) 

"Senyuman, jabat tangan, atau sapaan--tindakan-tindakan sederhana dalam situasi normal--menjadi amat penting. Ketika teman, kolega, dan kenalan berpaling atau menjauh untuk menghindari kontak, rasa takut tumbuh." (p. 58) 

"Cara menghancurkan segala aturan, katanya, adalah memusatkan perhatian ke gagasan kekecualian." (p. 54) 

Hannah Arendt menulis, "Saya tak lagi berpendapat bahwa kita bisa jadi sekadar penonton." (p. 82) 

"Buat contoh yang bagus mengenai makna Indonesia bagi generasi mendatang. Mereka butuh itu." (p. 83) 

"Politik keniscayaan adalah semacam koma intelektual yang ditimbulkan sendiri." (p. 91) Konsep ini merujuk pada politik keabadian, politik keabadian yang menyamarkan sejarah, meski dengan cara berbeda. 

"Politikus keabadian membawakan masa lalu kepada kita sebagai taman luas berkabut penuh monumen pengorbanan demi negara yang tidak jelas, semuanya jauh dari masa kini, semuanya rawan dimanipulasi." (p. 93) 

"Kebiasaan merasa jadi korban menumpulkan kemampuan mengoreksi diri." (p. 95) 

"Sejarah memperkenankan kita melihat pola dan membuat keputusan. Sejarah menunjukkan struktur-struktur yang bisa kita gunakan untuk mencari kebebasan. Sejarah memungkinkan kita bertanggungjawab atas sesuatu." (p. 96)  

Judul: On Tyranny (Tentang Tirani) | Penulis: Timothy Snyder | Penerbit: Gramedia Pustaka Utama | Tahun Terbit: 2020 | Jumlah Halaman: 112 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar