Model
pendanaan seni menjadi bahasan yang cukup rumit di kalangan seniman. Salah
satu model pendanaan seni yang marak di
Amerika Serikat adalah model pendanaan crowdfunding
(penggalangan dana). Plaftorm seperti Kickstarter, Indiegogo, RocketHub,
merupakan salah tiga dari penyedia layanan penggalangan dana. Di Indonesia platform yang dikenal seperti Kitabisa dan Kolase. Cara
ini marak dilakukan di jagat maya dan iklim budaya industri.
Model ini dianggap
menjadi jalan para seniman untuk mendapatkan sumber dana secara cepat melalui
jejaring mereka. Penggalangan dana “memanfaatkan nilai lebih” dari beberapa
patron utama untuk memberikan keuntungan pada yang lain. Namun penggalangan
dana ini memiliki tantangan dan masalahnya sendiri, seperti penggalangan dana
membutuhkan konektifitas yang intens antara penerima dana dan para donaturnya;
mereka kadang juga harus mengikhlaskan emosi dan psikologi yang lebih.
Survei yang
dilakukan oleh Davidson dan Poor terhadap 73 responden di Amerika yang penggalangan
dananya dibagi menjadi empat kelompok: film dan video, penerbitan, musik, dan
gim. Secara simbollik empat kategori ini mewakili budaya industri dan
berpotensi menimbulkan distribusi massa. Penelitian menunjukkan penggalangan
dana tergantung jaringan sosial terdekat seperti keluarga, teman dekat, dan
kenalan profesional yang memberikan sinyal positif. Kebanyakan penyokong dana
adalah kawan-kawan dekat. Meski ada yang di luar itu. Tergantung jaringan.
Model
pendanaan lainnya, semisal melansir penelitian dari A. Whitaker berjudul Artist as Owner Not Guarantor: The Art
Market from the Artist’s Point of View mengimajinasikan apa yang akan
terjadi jika seniman menguasai 10% atas karya mereka di dalam pasar bebas?
Sistem ini mensyaratkan berdirinya pasar yang baik sebelum sebuah karya seni
terjual, penyediaan perlindungan kepada seniman, dan lebih menganekaragamkan
struktur dana seni. Ide-ide tentang seniman sebagai pemilik fraksional dapat
diperluas untuk menggambarkan semua pekerja kreatif sebagai pemilik hasil
mereka sendiri. Ide besar demokratisasi pendanaan ini yang dikenal sebagai
Blockchain.
Blockchain
memungkinkan menegaskan hak properti atas kreasi seniman sendiri. Menyediakan
akuntansi yang murah dan sumber otomatis. Pendistribusian pendaftaran dengan
struktur mata uang digital yang dinamakan Bitcoin. Blockchain sendiri
sederhananya sebuah struktur partikular yang mendistribusikan buku besar yang
dibagikan sepanjang jarigan komputer, setiap komputer memiliki salinan yang
serupa. Distribusi sistem menghapus kebutuhan kepercayaan pada otoritas
sentral, contohnya seperti bank dan lembaga keuangan. Sejumlah perusahaan
blockchain dalam seni telah dibangun, termasuk Ascribe dan Monegraph. Kedunya
membantu seniman untuk mendaftar dan menjual edisi seni digital.
Platform crowdfunding dan Blockchain yang telah
berkembang di Amerika Serikat tersebut bisa menjadi contoh menarik bagi model
pendanaan seni di Indonesia. Sebab model tersebut sangat membantu bagi seniman.
Masalah yang kerap terjadi model pendanaan seni di Indonesia masih individu.
Kebanyakan didanai sendiri. Tapi pas dipamerkan ke publik, buat senimannya
sendiri secara ekonomi juga tidak memberi sumbangsih besar kadang. Kecuali
seniman pelukis yang mempunyai nama besar, kemudian dibeli oleh koletor dengan
harga mahal. Atau di bidang seni lainnya. Dalam praktiknya seniman dapat
memilih untuk mengekar strategi diversifikasi seperti memperdagangkan saham
dalam seni satu sama lain atau lindung nilai dari paparan terhadap karya mereka
sendiri.
Bitcoin
merupakana mata uang yang sangat alternatif dan membahayakan penguasa di masa
depan. Itu kenapa kehadirannya dilokalisasikan pada image transaksi “pasar
gelap”. Ini kenapa perkembangannya sangat lambat di Indonesia karena
membahayakan para pihak ketiga, middle
man, tengkulak, dan sejenisnya. Termasuk perusahaan start up seperti Gojek dan Grab yang memiliki akses konsumen
terpusat. Di Blockchain tidak. Pencatatannya pun transparan, rapi, kekal, dan
aman. Model ini sangat cocok bagi para seniman jika ingin berinvesatasi dengan
panjang. Seniman juga dapat
mengembangkan imajinasinya sendiri terhadap segala kreasi yang diperjualbelikan
dalam model dana seni gaya baru ini.
Mohon Maaf Karya Sedang Dikonservasi |
Referensi:
Davidson, R., & Poor, N.
(2014). The barriers facing artists’ use of crowdfunding platforms:
Personality, emotional labor, and going to the well one too many times. New Media & Society, 17(2), 289–307.
Whitaker, A. (2018). Artist as
Owner Not Guarantor: The Art Market from the Artist’s Point of View. Visual Resources, 34(1-2), 48–64.