Meskipun terjadi erosi yang serius terhadap hak dan
kebebasan selama satu dekade terakhir, transisi Indonesia dari otoritarianisme
sangatlah luar biasa, tidak hanya dalam konteks Asia Tenggara, namun juga dalam
dunia Islam. Setelah jatuhnya Soeharto pada tahun 1998, reformasi konstitusi
secara menyeluruh menjamin sejumlah hak politik dan HAM berdasarkan Deklarasi
Hak Asasi Manusia PBB.
Artikel ini menanyakan, mengapa studi ideologi di Indonesia
berfokus pada konservatisme, nasionalisme, komunisme, Islamisme, dan populisme,
dan sangat jarang terkait liberalisme?
Secara historis jelas, karakter lemah dan tergantung dari
kelas menengah Indonesia telah membatasi konstituensi bagi gagasan-gagasan
liberal, tetapi juga ada faktor ideologi yang membedakan Indonesia dari
beberapa kasus lain. Kata “liberalisme” memiliki konotasi negatif di Indonesia.
Tak ada partai politik yang mendaku dirinya liberal dan individu yang
jelas-jelas merepresentasikan dirinya sebagai pendukung liberalisme, setidaknya
dalam konteks politik. Di ruang publik pun, liberalisme sering diejek sebagai
budaya individualis yang secara historis melawan budaya nasional.
Namun, ketika kita melihat sejarah modern Indonesia secara
keseluruhan, penyuaraan tradisi liberal memungkinkan. Berbagai figur
berpengaruh di Indonesia, seperti Hatta, Natsir, Sjahrir, Sultan Hamengku
Buwono, Wilopo, Sjafruddin Prawiranegara, dan Colonel Simatupang, sebagaimana
yang dikatakan Herbert Feith, “mempelajari secara mendalam tradisi liberalisme
dan sosialisme Eropa atau mengambil nilai-nilai serupa dari Islam modernis....
Mereka percaya pada kebebasan publik dan supremasi hukum sangatlah penting, dan
banyak dari mereka memandang institusi parlemen sebagai perlindungan yang
diperlukan terhadap kemungkinan berkembangnya otoritarianisme, fasisme, atau
pemerintahan yang demagogis.
Di antara periode proklamasi kemerdekaan 1945-1957, saat
politik formal dibuat dari dalam, dengan kerangka politik demokrasi liberal,
tokoh-tokoh tersebut memainkan peran. Pembongkaran sistem demokrasi liberal
pada tahun 1957, yang menyokong otoritarianisme populis Soekarno, kemudian
pembangunan represifnya Soeharto selama 4 dekade, tidak berarti bahwa
nilai-nilai liberal hilang.
Melihat Indonesia dari lensa liberal memungkinkan untuk
membedakan aliran individu dan gerakan, termasuk pendukung Soeharto yang
menyuarakan dukungan terhadap nilai-nilai liberal.
Salah satu ukuran kegigihan dan kesabaran aliran ini adalah
upaya yang dilakukan oleh rezim otoriter berturut-turut untuk melawannya. Upaya
propaganda di bawah Soekarno dan Soeharto secara konsisten mengidentifikasi
liberalisme sebagai ancaman. Kedua presiden ini menginvestasikan sumber daya
yang besar dalam membangun identitas nasional untuk menentangnya.
Indikator lain dari resiliensi gagasan liberal adalah
konsensus perlawanan yang ada di kalangan gerakan reformasi tentang perlunya
reformasi konstitusi secara menyeluruh untuk membatasi kekuasaan negara setelah
kepemimpinan Soeharto.
David dan Windu menyelidiki bahwa meskipun norma-norma
liberal telah lama menjadi bagian dari struktur hukum dan politik di Indonesia,
dan telah berkembang pesat di media, kelompok penekan, dan banyak Organisasi
Masyarakat Sipil lainnya, pendukung gagasan liberal tidak pernah melampaui
wilayah perkotaan yang relatif kecil, kelompok elite terpelajar yang tidak
memiliki basis di luar kota-kota terbesar di Indonesia.
Liberal itu sendiri telah dibatasi pilihan politik ketika
mereka harus mempertahankan kepentingannya. Kemampuan buruk mereka dalam
mengorganisasi, kegagalan mereka untuk menghistoriskan diri mereka sendiri
untuk menumbuhkan legitimasi, dan seringnya mereka bergantung pada kelompok
yang lebih kuat (termasuk negara otoriter dan aktor-aktor tidak liberal
lainnya) seringkali menyulitkan untuk membedakan posisi mereka dengan pendukung
mereka yang lebih terorganisir dan berkuasa.
Dalam survei David dan Windu terhadap liberalisme di
Indonesia, artikel ini merupakan jawaban terhadap tantangan Michael Freeden
(1978) untuk menemukan pemikiran politik “pada tingkat tindakan politik apa
pun, pada tingkat kecanggihan yang berbeda”. Pendekatan ini berhubungan dengan
liberalisme bukan sebagai produk latihan skolastik yang terisolasi, tapi
sebagai kumpulan wacana yang muncul dari perdebatan di kalangan intelektual,
reformis, negarawan, dan kelompok penekan. Beberapa laporan kontemporer juga telah
melakukan pekerjaan kritis dalam menyaring tema dan konsep yang berulang dari
beragam manifestasi liberalisme. Identifikasi Freeden terhadap liberalisme
merupakan ideologi yang secara luas didefinisikan oleh tujuh konsep politik
yang saling terkait: kebebasan, rasionalitas, individualitas, kemajuan,
kemampuan bersosialisasi, kepentingan umum, dan kekuasaan yang terbatas dan
dapat dipertanggungjawabkan. Ini bermanfaat karena memungkinkan kita untuk
melanjutkan upaya-upaya sebelumnya untuk membahas liberalisme dalam konteks
lokal.
Dalam konteks Indonesia, liberalisme menurut Daniel Lev
(1978), mengacu pada kecenderungan ideologis kaum liberal yang mengutamakan hak
dan kepentingan pribadi; dan tuntutan mereka terhadap batasan dan kendali
kelembagaan atas otoritas pemerintah. Meski liberalisme Indonesia mencakup
keprihatinan liberal tradisional terhadap hak dan kebebasan serta perlindungan
kelompok minoritas, liberalisme Indonesia mempunyai aksen yang kuat pada
konstitusionalisme, atau apa yang disebut sebagai perjuangan untuk mewujudkan
Rechsstaat (negara yang diatur berdasarkan hukum) Indonesia.
Kaum liberal Indonesia peduli dengan kebebasan negatif,
liberalisme Indoensia tidak bersifat sekuler, di mana visi liberalisme
politiknya memperbolehkan doktrin komprehensif termasuk agama selagi dia masuk
akal dan tidak menggunakan politik untuk memaksakan pandangan mereka pada orang
lain. Selain itu, hanya sedikit dari kaum liberal yang mempunyai padangan
terhadap masyarakat pada dasarnya bersifat bermusuhan. Hingga saat ini, hanya
sedikit dukungan publik terhadap mereka, dan kaum liberal di Indonesia cenderung
tidak mengidentifikasi diri mereka sebagai kelompok liberal.
Artikel ini menguraikan sejarah liberalisme di Indonesia
dari sebelum kemerdekaan hingga saat ini. Termasuk gerakan-gerakan mereka,
konteks politik di mana mereka beroperasi, argumen mereka, dan membantu
menjelaskan kurangnya kesadaran diri terhadap tradisi liberal di Indonesia.
Kaum liberal di Indonesia juga telah menunjukkan kemampuan luar biasa untuk
mengabaikan penderitaan musuh-musuh komunis mereka yang dibantai atau
diasingkan tanpa pengadilan tahun 1965-1967. Intoleransi terhadap Marxisme,
dalam hal ini ateisme, masih berlanjut hingga saat ini. Perlakukan komprehensif
terhadap liberalisme di Indonesia akan mencakup liberalisme politik dan
ekonomi, namun yang menjadi fokus di sini adalah aspek politik. Namun, artikel
ini juga menyinggung tiga upaya baru-baru ini untuk mempromosikan liberalisme
dalam konteks agama (Jaringan Islam Liberal), ekonomi (Freedom Institute), dan
politik (Partai Solidaritas Indonesia).
Ada pentingnya menjawab pertanyaan: Mengapa “liberal”
menjadi kata kotor di Indonesia? David dan Windu menjawab itu dalam artikel
ini, dan jawabannya terletak pada sejarah nasionalisme Indonesia. Ketika
kesadaran nasional sedang muncul di Hindia-Belanda pada tahun 1920-an dan
1930-an, gagasan sayap kiri jauh lebih menarik bagi kaum nasionalis muda
dibandingkan gagasan-gagasan liberal. Ini berlaku di seluruh spektrum politik,
termasuk kaum nasionalis Islam. “Liberal” dalam wacana nasionalis sangat diasosiasikan
dengan liberalisme laissez-faire abad
19, yang memberi kebebasan maksimal dalam berbisnis tanpa memperhatikan
kesejahteraan masyarakat.
Dalam sejarahnya, laporan mengenai kekejaman dan praktik
kerja eksploitatif dalam bisnis Belanda, yang terjadi di bawah rubrik “sistem
liberal”, meningkatkan tekanan politik dalam negeri terhadap pemerintah di Den
Haag untuk mengakui “hutang kehormatan” mereka kepada penduduk asli Indonesia.
Maka diterapkanlah kebijakan etis dengan memberikan pendidikan Belanda pada
putra-putri elite pemerintahan Indonesia. Mereka memperoleh pendidikan
berkualitas tinggi yang memungkinkan mereka membaca dalam berbagai bahasa
Eropa, terpapar dengan arus intelektual Eropa, dan di kalangan masyarakat
Indonesia inilah nasionalisme pertama kali berakar.
Kebanyakan kaum nasionalis berargumentasi bahwa yang
dibutuhkan adalah 'kohesi, integrasi, dan solidaritas – bukan “individualisme”
tapi “kolektivisme”, bukan “liberalisme” tapi “sosialisme”' (Feith, 1962).
Bahkan di antara elemen-elemen gerakan nasionalis Indonesia yang paling
'kebarat-baratan', liberalisme diasosiasikan, setidaknya secara retoris, dengan
kapitalisme anjing-makan-anjing dan tetap demikian dalam leksikon politik
Indonesia setidaknya selama setengah abad berikutnya.
Belanda diperintah oleh pemerintahan liberal pada paruh
kedua abad ke-19 tetapi tidak begitu tertarik untuk menerapkan reformasi
liberal yang berkembang di negara-negara jajahannya. Namun, terdapat beberapa
individu yang jarang ditemui, seperti jurnalis dan aktivis politik IndoEropa
Douwes Dekker, yang menulis novel Max Havelaar pada tahun 1860 yang tidak hanya
membantu menyadarkan hati nurani masyarakat Belanda terhadap ketidakadilan yang
dilakukan atas nama mereka namun juga dimasukkan ke dalam kritik nasionalis.
sistem kolonial dan kaki tangan lokalnya. Salah satu pembacanya adalah Raden
Ajeng Kartini, putri bangsawan Jawa berpendidikan Belanda yang menjadi
pendukung awal nilai-nilai liberal di Indonesia. Sosiolog Barbara Celarent
berpendapat bahwa Kartini adalah seorang 'liberal sejati' bukan hanya karena
kontribusinya dalam pertempuran yang lebih besar namun karena kepekaan dan rasa
otonomi pribadinya (2015).
Nilai-nilai liberal mempengaruhi beberapa organisasi
nasionalis dan nasionalis awal yang menganjurkan representasi, pendidikan, dan
kesetaraan bagi penduduk asli, namun di bidang politik, tujuan pembebasan
nasional lebih diprioritaskan daripada memperjuangkan perlindungan hak dan
kebebasan individu.
Di bidang kebudayaan, sekelompok penulis asal Sumatra pada
tahun 1930an menonjol sebagai suara yang kuat atas apa yang mereka anggap
sebagai nilai-nilai universal rasionalitas dan kebebasan individu. Dipimpin
oleh pengacara Sutan Takdir Alisjahbana, kelompok ini membentuk majalah sastra
bernama Pudjangga Baru yang mengecam kecenderungan sebagian besar kaum
nasionalis pada saat itu untuk meromantisasi budaya Indonesia dan melihat
kejayaan masa lalu sebagai inspirasi. Alisjahbana malah berupaya membangun budaya
nasional di Indonesia berdasarkan hal-hal terbaik yang ditawarkan dunia modern,
termasuk konsep 'sosial humanisme, hak dan martabat individu dan negara,
Marxisme, teori politik demokratis, dan gagasan kemajuan.’
Namun Sutan Sjahrir, kontributor Pudjangga Baru, lah yang
kemudian membuktikan dirinya sebagai pembela nilai-nilai liberal yang paling
fasih dan signifikan antara masa perang dan kematiannya di pengasingan pada
tahun 1966.
Salah satu tokoh paling liberal dalam sejarah politik
Indonesia, kredibilitas demokrasi Sjahrir diperkuat, baik di luar negeri maupun
di dalam negeri, dengan diterbitkannya pamflet Perjuangan Kita pada tahun 1945,
yang mana Sjahrir memaparkan visinya tentang nasionalisme humanistik yang
menyeimbangkan tuntutan pembebasan nasional. sehubungan dengan hak-hak individu
dan minoritas.
Anderson (1968) mengamati bahwa kritik keras Sjahrir
terhadap otoritarianisme, tuntutannya terhadap konstitusi liberal dan hak asasi
manusia, sekaligus ditujukan untuk menenangkan dunia Barat dan pada saat yang
sama ditujukan untuk 'meliberalisasikan masyarakat Indonesia dari . . .
perbudakan kolonialisme dan “tradisi”’.
Inti dari tulisan-tulisan Sjahrir pada tahun 1950-an adalah
gagasan revisionis bahwa kapitalisme dapat direformasi dari dalam, mengikuti
contoh-contoh yang terjadi di Eropa pasca perang (Sjahrir, 1982). Singkatnya,
'sosialisme' diterima secara luas selama hal tersebut tidak mengganggu hak-hak
istimewa yang baru diperoleh para elit nasionalis borjuis kecil.
Ketika Indonesia mencapai kemerdekaan penuh pada tahun 1949,
negara ini mengadopsi konstitusi liberal. Hal yang mencolok dari perdebatan
konstitusi pada pertengahan tahun 1950an adalah dukungan luas di antara
perwakilan partai terpilih terhadap norma-norma demokrasi liberal. Hampir
seluruh sisa-sisa liberalisme tersapu: kebebasan berpendapat, pemilihan umum,
parlemen yang dipilih, independensi peradilan, dan batasan kekuasaan negara.
Para intelektual yang berpikiran liberal terus menempati
posisi di universitas dan seni. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia,
misalnya, banyak memiliki staf lulusan yang didanai oleh Ford Foundation yang
menganjurkan ekonomi pasar bebas, sementara penulis dan jurnalis liberal yang
blak-blakan, Mochtar Lubis, menjadi terkenal secara internasional karena
mengkritik Sukarno. Tumbuhnya pengaruh
komunis juga mendorong sekelompok penulis liberal termasuk Goenawan Mohamad dan
Wiratmo Soekito mengeluarkan 'Manifesto Kebudayaan' di 1963 membela kebebasan
seniman untuk 'berjuang memperbaiki kondisi manusia', namun mereka justru
terpinggirkan (Jones, 2007).
Dengan terintegrasinya Indonesia ke dalam blok Barat, teori
liberalisme dan modernisasi Perang Dingin memainkan peran besar dalam membentuk
pandangan kaum liberal pada tahun 1960an.
Salah satu aspek yang paling menarik dari kisah ini adalah
antusiasme para pelajar dan para pendukung mereka yang berasal dari kalangan
kelas menengah terpelajar, yang keyakinannya akan kebebasan berpendapat dan
supremasi hukum akan mengidentifikasi mereka sebagai kaum liberal, terhadap
pembantaian besar-besaran yang dilakukan militer terhadap orang-orang yang
diduga komunis. Sekitar setengah juta orang komunis ditangkap dan dibunuh, dan
puluhan ribu lainnya dipenjara tanpa pengadilan selama lebih dari satu dekade.
Hal ini bukan satu-satunya kasus di mana kelompok liberal kelas menengah
bertindak sebagai 'demokrat kontingen', berpihak pada kelompok otoriter ketika
kepentingan mereka terancam (Bellin, 2000). Unsur-unsur liberal juga
berperilaku serupa pada saat krisis, tidak hanya di Asia dan Afrika, namun juga
di Eropa. Seperti yang ditunjukkan oleh Mazower (1999), hanya sedikit kaum
liberal Eropa yang membela demokrasi ketika pemerintahan populis sayap kanan
atau fasis menyebar ke seluruh benua pada tahun-tahun antar perang. 1963
membela kebebasan seniman untuk 'berjuang memperbaiki kondisi manusia', namun
mereka justru terpinggirkan (Jones, 2007).
Teori modernisasi pernah membayangkan transformasi dunia
menuju demokrasi liberal ala AS. Memulihkan supremasi hukum dan sistem checks
and balances adalah bagian penting dari visi ini, dan banyak kaum liberal yang
merasa tenang karena retorika konstitusionalis rezim Soeharto pada tahap awal.
Kaum liberal masih mempunyai pengaruh yang kuat di beberapa
universitas dan penerbitan seperti Sinar Harapan, Tempo, dan Gramedia, dan
menemukan jalan keluar dalam kegiatan LSM yang berfokus pada isu-isu termasuk
penderitaan masyarakat miskin perkotaan dan pedesaan, lingkungan hidup,
perempuan, dan hak asasi manusia. Banyak di antaranya yang didanai oleh
lembaga-lembaga seperti Ford Foundation, Asia Foundation, National Endowment
for Democracy, dan Friedrich Naumann Stiftung, yang menggarisbawahi pentingnya
jaringan global dalam membantu mempertahankan lembaga-lembaga liberal yang
beroperasi di lingkungan yang tidak liberal.
Salah satu LSM dan tempat aktivisme liberal yang paling
penting adalah Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (LBH), yang didirikan
oleh Nasution, seorang pengacara berlatar belakang PSI dan pendukung awal Orde
Baru. Selain memberikan keterwakilan yang bebas kepada masyarakat miskin dalam
kasus-kasus penting, LBH memanfaatkan statusnya untuk mengkampanyekan onstitusionalisme dan hak asasi manusia
secara terbuka. Dengan tidak adanya politik massa, LBH memainkan peran penting
dalam menciptakan budaya pembangkangan di mana perjuangan untuk Rechtsstaat
menjadi fokus utama. Dengan kata lain, hal ini mempopulerkan gagasan bahwa
negara harus dibatasi oleh hukum dan bahwa hak asasi manusia adalah kepentingan
semua orang, apa pun ideologinya. Hal ini mendukung pengamatan bahwa
'organisasi metropolitan dengan agenda politik liberal sebenarnya dapat
memberikan suatu bentuk “perlindungan” politik bagi posisi ideologis lain yang
tidak mungkin maju secara mandiri.
Kenaikan BJ Habibie menjadi presiden setelah Soeharto
mengundurkan diri secara paksa pada bulan Mei 1998 menyebabkan periode
liberalisasi yang pesat. Penjelasan mengapa pemerintahan Habibie, dan
pemerintahan Abdurrahman Wahid setelahnya, menganut liberalisasi besar-besaran
perlu mempertimbangkan, pertama, bahwa dengan tidak adanya partai massa,
perbedaan pendapat terhadap rezim Soeharto dipimpin oleh aktivis mahasiswa,
LSM, dan aktivis mahasiswa. dan intelektual; kedua, karena terbatasnya ruang
politik yang mereka miliki, para aktivis ini telah lama mengadopsi bahasa
demokrasi, hak asasi manusia, dan konstitusionalisme; ketiga, adanya keinginan
dari kalangan elit kosmopolitan untuk merehabilitasi reputasi Indonesia di mata
internasional setelah bertahun-tahun mendapat kritik dari badan-badan hak asasi
manusia, PBB, dan pemerintah, termasuk Amerika Serikat; dan keempat, rezim
Soeharto sangat personalistis, dan logika internal rezim tersebut runtuh
seiring dengan pengunduran dirinya.
Di sisi lain, Dengan ketertarikan yang mendalam terhadap
tradisi liberal Amerika, Gus Dur memiliki komitmen yang panjang dan beralasan
terhadap keyakinan liberal, baik dalam bidang agama maupun politik. Sebagai
presiden, ia tidak kompeten, dengan mengasingkan hampir semua sekutu politiknya
dan juga pimpinan militer, sehingga menyebabkan ia dimakzulkan pada tahun 2001.
Namun, Gus Dur mendapat pujian karena berhasil memulihkan hak minoritas
Tionghoa di Indonesia untuk merayakan budaya dan budaya mereka. mengambil
bagian aktif dalam politik. Ia juga bertanggung jawab mendorong kelompok agama
liberal untuk lebih tegas dalam melawan pengaruh kelompok Islam konservatif
yang semakin besar baik dalam politik maupun masyarakat.
Salah satu upaya paling berani untuk membuka ruang bagi
liberalisme di Indonesia pasca runtuhnya Orde Baru adalah pembentukan Jaringan
Islam Liberal (JIL) pada tahun 2001 oleh sekelompok cendekiawan muda Islam yang
dipimpin oleh Ulil Abshar. Akar intelektual kelompok ini bermula dari para
pemikir pluralis Muslim pada tahun 1970-an seperti Achmad Wahib, Dawam
Rahardjo, Mukti Ali, dan Nurcholish Madjid. Madjid, yang meraih gelar PhD di
Universitas Chicago di bawah bimbingan filsuf reformis Fazlur Rahman, mengembangkan
apa yang dalam konteks Indonesia dikenal sebagai neo-modernisme, sebuah
interpretasi Islam yang menganut toleransi, demokrasi, dan pluralisme.
Sebagian didorong oleh buku Liberal Islam: A Sourcebook
karya Charles Kurtzman tahun 1998, yang mengumpulkan tulisan-tulisan Muslim
liberal dari seluruh dunia, Ulil dan cendekiawan lain termasuk Luthfi
Assyaukanie dan Budi Munawar Rahman, serta tokoh budaya liberal yang terkait
dengan daerah kantong Utan Kayu. di Jakarta, memutuskan untuk meluncurkan JIL
untuk berbagi ide, menerbitkan buku, dan menyebarkan gagasan bahwa Islam
sejalan dengan pluralisme, negara sekuler, dan ekonomi pasar. Dalam bacaan mereka,
Al-Quran dapat ditafsirkan dengan cara yang mendukung norma-norma liberal,
termasuk larangan poligami, diakhirinya diskriminasi terhadap perempuan, dan
pernikahan antaragama.
Ide-ide ini membuat marah para sarjana konservatif yang
menganggap JIL sesat. Salah satu fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama
Indonesia (MUI) yang ultra konservatif menyatakan darah Ulil halal (sah
ditumpahkan) (Ichwan, 2013, 81). Fatwa penting MUI pada tahun 2005 yang
mengutuk 'liberalisme, sekularisme, dan pluralisme' karena 'bertentangan dengan
ajaran Islam' sebagian ditujukan kepada JIL, dan segera setelah itu memicu
serangan terhadap kantor pusat organisasi tersebut oleh kelompok garis keras Front
Pembela Islam (Front Pembela Islam).
Meskipun JIL menarik banyak perhatian media dan akademisi
selama beberapa tahun, JIL gagal menarik banyak pengikut, dan pada tahun 2015
semuanya menghilang. Namun, hal ini berfungsi untuk menyoroti keberadaan
tradisi liberal otentik dalam Islam Indonesia sejak tahun 1970an. Memang benar,
salah satu klaim organisasi Muslim moderat termasuk Nahdlatul Ulama adalah
bahwa Islam di Indonesia sejak awal bersifat sinkretis dan toleran. Hal inilah
yang mendasari gagasan Islam Nusantara yang dipromosikan oleh pemerintahan Joko
Widodo untuk mengekang pengaruh Islam di dalam negeri dan memisahkan Indonesia
dari stereotip yang berkembang seputar Islam di Timur Tengah.
Freedom Institute, yang tumbuh di lingkungan Jakarta yang
sama dengan JIL, dan melibatkan beberapa tokoh yang sama, adalah sebuah wadah
pemikir yang didirikan untuk mempromosikan demokrasi liberal dan kebijakan
pasar bebas. Meskipun JIL dipandang mewakili kekuatan liberal yang sadar diri
dalam Islam di Indonesia, Freedom Institute menganjurkan doktrin ekonomi
neoklasik yang dianggap tabu bahkan oleh kelompok liberal arus utama Indonesia
sebagai aspek utama liberalisme.
Didirikan pada tahun 2002 oleh pakar politik Rizal
Mallarangeng, Freedom Institute secara teratur menyelenggarakan diskusi publik
dan seminar yang sering dikunjungi oleh para intelektual dan profesional kelas
menengah perkotaan, dan menerbitkan beberapa karya penting dari kaum liberal
klasik dan libertarian pasar bebas seperti Friedrich A. Hayek, Leopold von
Mises, dan Frederic Bastiat. Dalam misinya membangun komunitas epistemik
liberal baru, Freedom Institute bekerja sama dengan Institute of Economic Affairs
dan Atlas Network, LSM Inggris dan Amerika yang mempromosikan kebijakan pasar
bebas.
Dalam esainya yang provokatif pada tahun 1996 berjudul
Liberalisme Milik Kiri, Sosialisme ke Kanan, Mallarangeng berargumentasi bahwa
para teknokrat awal Orde Baru seperti Widjojo Nitisastro lebih progresif
daripada kelompok yang memproklamirkan diri sebagai kelompok kiri seperti
Partai Rakyat Demokratik (PRD) karena alasan mereka, kesediaan untuk menantang
ortodoksi statistik di balik pemikiran ekonomi Indonesia (Mallarangeng, 2008).
Pada saat yang sama, para intelektual Freedom Institute, seperti rekan-rekan mereka
di Filipina dan Malaysia, telah bersusah payah berargumentasi tentang
kesesuaian liberalisme dengan konsep-konsep nasionalis, termasuk gotong royong,
kemajemukan (keberagaman) Sukarno, dan prinsip-prinsip demokrasi. kemanusiaan,
demokrasi, persatuan, dan toleransi yang diwujudkan dalam Pancasila. Ironisnya,
sponsor terbesar Freedom Institute adalah oligarki Aburizal Bakrie, yang sulit
dianggap liberal baik dari segi politik maupun ekonomi.
Karena ingin melindungi hak-hak minoritas, kelompok liberal
yang dipimpin oleh Abdurrahman Wahid dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta
mengajukan kasus di Mahkamah Konstitusi yang menantang keabsahan undangundang
yang melarang penodaan agama. Penggugat berpendapat bahwa undang-undang
tersebut melanggar kebebasan beragama yang dijamin oleh UUD 1945 dan
menyebabkan penganiayaan terhadap kelompok agama minoritas (Abdi, 2014, 62–64).
Dalam sebuah keputusan bersejarah, Mahkamah Konstitusi menolak gugatan tersebut,
dengan alasan untuk pertama kalinya bahwa karena Pancasila menetapkan
'Ketuhanan Yang Maha Esa', maka Indonesia adalah negara teistik yang wajib
menjunjung tinggi ketuhanan dan mengatur praktik keagamaan. Keputusan tersebut
juga mewajibkan negara untuk memaksakan kepatuhan terhadap agama, sehingga
membuka jalan bagi penganiayaan hukum terhadap ateis (Amnesty International,
2014).
Kaum liberal perkotaan menonjol dalam kampanye yang membawa
presiden saat ini, Joko Widodo (Jokowi) berkuasa pada tahun 2014. Jokowi
dipandang mewakili generasi baru masyarakat Indonesia yang berpendidikan,
terhubung secara global, dan memiliki ideologi pluralis. Kaum liberal sekali
lagi bersikap defensif pada tahun 2006, kali ini sebagai tanggapan terhadap
rancangan undang-undang pemerintah yang seolah-olah ditujukan untuk memerangi
pornografi dan 'aktivitas pornografi'. Diusulkan oleh Partai Keadilan Sejahtera
(PKS) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang konservatif, rancangan awal
menetapkan hukuman berat untuk berbagai perilaku termasuk 'menampilkan bagian
tubuh sensual' dan 'melakukan aktivitas yang mengarah pada hubungan seksual
dengan sesama jenis. ' (Pausacker, 2008). Dalam kasus ini, pengunjuk rasa
liberal bergabung dengan perwakilan masyarakat adat dari Indonesia Timur dan
anggota parlemen nasionalis yang berpendapat bahwa undang-undang tersebut akan
mengkriminalisasi tarian dan kostum tradisional.
Kelompok advokasi LGBT di Indonesia termasuk Gaya Nusantara
dan Arus Pelangi yang dipelopori oleh Dede Oetomo juga aktif dalam protes ini.
Mereka berhasil melemahkan RUU tersebut, namun versi yang disahkan pada tahun
2008 tetap memperkenalkan pembatasan baru yang signifikan terhadap kebebasan
individu dan telah mendorong kelompok-kelompok termasuk FPI untuk melakukan
penggerebekan terhadap tempat-tempat yang dianggap mensponsori
kegiatan-kegiatan tidak bermoral (Pausacker, 2008), melalui pernyataan mereka atau
sekadar sekedar eksis, seperti yang terjadi pada minoritas Ahmadiyah.
Kaum liberal perkotaan menonjol dalam kampanye yang membawa
presiden saat ini, Joko Widodo (Jokowi) berkuasa pada tahun 2014. Jokowi
dipandang mewakili generasi baru masyarakat Indonesia yang berpendidikan,
terhubung secara global, dan memiliki ideologi pluralis. Ia terkenal karena
keberhasilannya dalam menjabat sebagai Gubernur Jakarta bersama dengan politisi
Kristen. Tiongkok Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Selama kampanye tersebut Ahok
dituduh mengkritik Al-Quran, yang menyebabkan demonstrasi terbesar dalam
sejarah Indonesia, dengan koalisi kelompok
Terkejut dengan meningkatnya intoleransi beragama di
masyarakat Indonesia, beberapa aktivis muda yang didukung oleh pengusaha kaya
Jeffrie Geovanie membentuk Partai Solidaritas Indonesia atau PSI. Pertama kali
terdaftar pada tahun 2016, PSI mencanangkan dirinya sebagai partai gaya baru.
Alih-alih menekankan kredibilitas nasionalis atau agamanya, PSI menampilkan
dirinya sebagai pembela pluralisme, hak-hak perempuan, dan hak-hak generasi
muda. Untuk menggarisbawahi karakter inklusifnya, partai tersebut memilih Grace
Natalie, seorang wanita Kristen milenial
Tionghoa Indonesia yang dikenal sebagai presenter televisi
sebagai pemimpinnya. Meskipun partai tersebut menghindari menggambarkan dirinya
sebagai liberal, platformnya dalam membela minoritas, sekularisme, hak-hak
individu, dan pluralisme menjadikan Indonesia paling dekat dengan partai
liberal, setidaknya sejak runtuhnya PSI lama.
PSI, dalam konteks yang tidak biasa di Indonesia,
mengandalkan jajak pendapat yang canggih, yang dalam hal ini dilakukan oleh
perusahaan milik salah satu pendiri partai, ilmuwan politik Saiful Mujani. Para
penyusun strateginya menyadari terbatasnya daya tarik platform partai di luar
demografi kota-kota besar, dan oleh karena itu mereka memusatkan periklanannya,
sebagian besar melalui televisi dan media sosial, pada 'konstituensi yang
muncul, terdiri dari pemilih muda, terpelajar, dan kelas menengah' (Savirani
dkk., 2021). Meskipun mudah untuk menggambarkan PSI sebagai mainan oligarki
yang telah dipaksa mengkompromikan cita-citanya untuk berpartisipasi dalam
realitas transaksional politik Indonesia, PSI mewakili babak baru dalam politik
liberal dan telah membantu menciptakan ruang ideologis baru. dalam wacana
publik.
Artikel ini berusaha menunjukkan bahwa meskipun ideologi
kolektivis mendominasi sebagian besar periode sejarah, liberalisme selalu hadir
– terkadang terlihat jelas, terkadang tidak begitu nyata. Jika kita fokus pada
posisi-posisi yang diambil dalam perdebatan politik di Indonesia pasca
kemerdekaan, maka akan muncul pola-pola yang jelas.
Pertama, liberalisme di Indonesia hampir selalu bersifat
kontra-narasi, bereaksi dan terkadang dibentuk oleh ideologi kolektivis,
populis, agama, atau berbasis kelas. Kaum liberal memang mempunyai pengaruh
politik yang nyata dalam jangka waktu singkat setelah jatuhnya Soeharto, namun,
sebagaimana telah dijelaskan dalam artikel ini, kebangkitan otoritarianisme dan
konservatisme Islam telah memberikan karakter pemberontak pada inisiatif
liberal seperti JIL, Freedom Institute, dan PSI.
Pola penting kedua adalah perluasan konstituen dalam negeri
yang mendukung ide-ide liberal. Sjahrir menyampaikan pidatonya terutama kepada
segelintir elit terpelajar di Indonesia dan komunitas internasional yang
didominasi Amerika. Selain contoh-contoh yang dibahas di atas, semakin banyak
penulis fiksi dan intelektual yang mewujudkan dan mempertahankan tradisi
liberal vernakular di Indonesia. Sebagaimana telah disebutkan, kaum liberal
semakin cenderung membingkai gagasan mereka dengan mengacu pada tradisi Indonesia,
mulai dari Pancasila hingga Islam Nusantara.
Liberalisme di Indonesia bersifat kontingen. Hanya sedikit
orang liberal yang secara konsisten liberal. Dalam hal ini, mereka tidak jauh
berbeda dengan kaum liberal di negara-negara Asia Tenggara lainnya yang
berpihak pada statisme otoriter ketika kepentingan mereka terancam. Hal ini
menunjukkan banyak hal mengenai basis kekuatan kaum liberal yang sebenarnya.
Meskipun mereka mungkin mempunyai pengaruh dalam bidang-bidang tertentu dalam
kebijakan negara, kaum liberal di Indonesia tidak mempunyai dukungan organisasi
berbasis massa atau kapasitas untuk menerjemahkan visi mereka menjadi kekuatan
politik. Meskipun dua presiden pasca-Orde Baru (Habibie dan Abdurrahman Wahid)
menerapkan serangkaian reformasi demokrasi berdasarkan garis liberal, kurangnya
kepercayaan diri dari konstituen liberal telah membuat kemajuan-kemajuan ini
terkikis seiring dengan bangkitnya kembali statisme otoritarian dan intoleransi
beragama.
ABSTRAK:
Sulit terkejut bahwa liberalisme telah dilalaikan dalam
studi pemikiran politik Indonesia. Para scholar berfokus pada nasionalisme,
komunisme, konservatisme, populisme, dan Islamisme. Istilah liberal juga
menjadi ejekan bagi semacam individualisme telanjang dan kapitalisme kejam,
yang kontras dengan nasionalisme arus utama Indonesia. Artikel ini berargumen
bahwa liberalisme, liberalisme tetap ada sebagai kontra-narasi sepanjang
sejarah modern Indonesia dan harus dianggap sebagai tradisi politik yang berbeda.
Gagasan liberal mempengaruhi struktur ekonomi, politik, dan hukum Indonesia,
dan menjadi bagian yang subur di dalam kerorganisasian media, profesi,
akademis, dan masyarakat sipil. Liberal mencapai puncaknya di dalam situasi
yang unik pada periode pasca-Soeharto. Namun, upaya berulang untuk membangun
sarana politik yang liberal secara terbuka, tidak banyak mendapat dukungan di
lingkungan politik yang didominasi oleh partai-partai nasionalis dan Islam.
Artikel ini berpendapat, meskipun pertumbuhan ekonomi tumbuh dengan cepat,
kelas menengah Indonesia masih relatif lemah dan tergantung, dan telah berulang
kali menunjukkan kesediaan untuk bersekutu dengan negara otoriter ketika
kepentingan mereka terancam oleh gerakan populis dari kiri atau kanan.
Bourchier,
David, and Windu Jusuf. "Liberalism in Indonesia: between authoritarian
statism and islamism." Asian Studies Review 47.1 (2023): 69-87.
Link: https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/10357823.2022.2125932
#60daysofindonesianisscholars #windujusuf #davidbourchier
#liberalisme #islamisme #indonesia
PROFIL:
Windu W. Jusuf, lulusan SI FISIP dan S2 CRCS di Universitas
Gadjah Mada (UGM). Saat ini tengah melanjutkan studi S3, Ph.D candidate di Institute for Area Studies Universitas Leiden
Belanda, di bawah supervisi Professor of Contemporary Indonesia Studies, David
Henley. Windu banyak menulis kritik dan kajian film, serta editor di Cinema
Poetica. Pernah mengajar di jurusan film Binus Internasional University. Tulisan-tulisannya
bisa dijumpai di Indoprogress, Tirto.id, dan Cinema Poetica.
David Bourchier merupakan ilmuwan politik dan Associate
Professor di Universitas Western Australia. Dia menyelesaikan pendidikan di
Flinders University, Murdoch University, serta Ph.D di Monash University. Minat
utama akademiknya yaitu politik Indonesia dan Asia Tenggara. Selain itu, dia
juga menulis terkait kondisi sosial dan politik Indonesia berkaitan dengan
hukum, perburuhan, ideologi, hubungan internasional, HAM, dan militer.
Publikasinya termasuk, "Dynamics of Dissent in Indonesia" (1984) dan
"Illiberal Democracy in Indonesia" (2014).