Senin, 29 September 2025

Catatan Nonton Konser Rony Parulian di Pakansari Archery 2025

Rony Parulian di konser Pakansari Archery

Full of joy tahun ini salah satunya adalah Rony Parulian. Dia jadi keberkahan tersendiri dalam hidupku, yang tentu akan selalu aku dahulukan di antara banyak remah-remah duniawi lainnya. Seperti saat ini aku ada deadline tulisan, tapi aku lebih suka menulis pengalaman nonton konsernya Rony. Mungkin semacam eskapisme, mungkin juga semacam perlawanan kecil-kecilanku pada sistem, atau mungkin juga sesederhana: sudah hakikat manusia mendahulukan terlebih dahulu apa yang dia cintai dan menjadi prioritasnya. 

Jadi fansnya Rony (WeR1) juga jadi antinomi untukku sendiri, barangkali sirkel musik-musik indieku tak suka, atau sirkel musik-musik progresifku juga mencibir selera mainstreamku, karena kami mengenal ada istilah "musik publik" dan "musik kamar" yang bagiku ruwet. Istilah ini aku kenal ketika bergelut di pers mahasiswa dulu, musik publik itu yang terdengar progresif (membela kerakyatan dan isu-isu sosial secara umum), sementara "musik kamar" atau bisa dikatakan juga musik privat biasanya menyoal cinta-cintaan, diri yang tidak selesai, lagu-lagu pop viral, atau sesederhana musik daerah yang gak bisa klop kalau bahasanya didengarkan oleh orang-orang yang beda budaya. Misal nih, ada temanku yang suka sama musik dangdut Pantura, ini jadi aneh kalau didengarkan dengan kolam anak pers mahasiswaku kala itu yang kulturnya beda-beda. Jenis musik kamar ini biasanya akan didengarkan secara sembunyi-sembunyi.

Nah, dengan latar belakangku yang seperti itu, balik ke Rony, aku jujur ada ketakutan tersendiri mendengarkan musik-musik populer. Sebab, lingkungan aktivisme itu begitu strict menurutku, dan hal-hal menyek-menyek jarang mendapatkan validasi. Kek, lu ngapain sih bicara lagu-lagu cinta? Atau di suatu hari, ada teman yang bicara terkait lirik-lirik lagu populer Indonesia yang liriknya punya kecenderungan playing victim. Secara enggak langsung kan aku jadi mikir, sebenarnya, ketika aku dengerin lagu-lagu pop dengan level problematiknya tersendiri itu boleh gak sih? Boleh gak-nya di sini lebih kupatokkan pada standar sirkelku yang rata-rata mendengarkan "musik-musik protes" lah bahasa kasarnya, atau paling enggak musik-musik indie macam The Adams, Pure Saturday, Silampukau, Tigapagi, atau paling enggak minimal Perunggu atau Efek Rumah Kaca-lah (yang kalau kupikir-pikir rata-rata audiensnya kelas menengah, meksipun "beberapa" tema-tema yang diangkat masih grassroot).

Jujur, aku punya kegelisahan yang mendalam soal fenomena musik publik vs musik privat ini kalau dibenturkan dengan pengalamanku sendiri. Musik yang dianggap mengikuti pasar dianggap berselera rendah dan gak edgy. Enggak cuma masalah sirkel saja, tapi juga ideologi dan keberpihakan. Apalagi setelah aku ketemu Rony Parulian, dan mendengarkan Rony Parulian. Ada kegamangan terkait ini. 

Namun, setelah kupikir-pikir mendalam, aku jadi dapat POV yang berbeda setelah membaca artikelnya Mas Ferdhi F. Putra di Serunai yang berjudul "Mengapa Kritik Musik Begitu-Begitu Saja". Inti yang kutangkap dari tulisan itu yang relate sama keadaanku, kritik musik itu kebanyakan cuma masalah selera (baik vs buruk, bagus vs jelek, luhur vs sampah, adiluhung vs norak). Sebab gak fair kamu menyandingkan musik yang dibuat emang karena murni estetika dengan musik yang dibuat untuk pasar. Keduanya tidak ada yang salah, daripada ribut debat soal selera (gak jelas patokannya), kenapa kita gak belajar buat mendalami motif karya itu lahir, bagaimana distribusinya, dan bagaimana karya itu coba merebut ruang dan memberi dampak. Kritik musik yang baik itu yang mengkontekstualisasi dan merefleksikan dunia kita, alih-alih menghakimi dengan perkataan menyudutkan seperti jelek dan sampah!

Rony Parulian di Pakansari

 

Ya, itulah Ron, inti uneg-unegku. Aku cuma mau bilang, kalau aku memperhatikan ulang hidupku, aku memang banyak hidup di kondisi antinomi. Dua hal yang saling bertolak belakang, tetapi punya argumennya masing-masing dan itu sama-sama valid/kuat. Banyak hal dalam hidupku kurasakan seperti ini. Dalam musik kayak, aku dengerin musik publik, tapi aku juga mendengarkan musik privat. Atau, aku ini suka warna putih, tapi juga suka warna hitam. Aku pernah belajar pada komunitas anarkis (sebagai ideologi ya, bukan kultur kekerasan yang maknanya melenceng banget), tapi aku juga kerja di bawah label negara. Ya, macam-macam itulah kondisinya, semoga mudeng maksudku. Aku juga sebenarnya pusing sendiri memikirkan kontradiksi seperti itu (termasuk dalam hal mendengarkan musik).

Balik ke tujuan awal, ini tulisan kan mau bahas konser Rony yak, napa kemana-mana jadinya, wkwk.

Ron, aku mau curhat banyak soal nonton konsermu di Pakansari Archery. Aku beli tiketmu di Pakansari udah lama sejak 11 Agustus 2025 lalu hingga aku datang ke konsernya di hari Minggu, 28 September 2025. Tiketnya harga reguler, kalau dengan pajak sekitar 140 ribu apa ya. Nah, hari Sabtu sebelumnya tuh aku juga nonton konsernya band Jogja bernama Rabu, serta musikus/penyair Bin Idris di Kios Ojo Keos Jakarta Selatan. Aku datang kesana untuk datang ke acara "Norient City Sound: Jakarta Whispers", semacam launching pameran virtual yang merespons keberisikan Jakarta. Salah satu hajatan anak-anak skena gitu. Dari acara itu, aku pulang kemalaman, dan alhamdulillah transportasi mudah karena aku pakai motor sendiri. Namun, keesokan harinya, pas ngecek hape, anjay! Aku ada tugas jam 1 siang liputan di Kementerian Kesehatan. Padahal, Minggu ini pengen fokus datang ke konser Rony dan penampil-penampil lain di Pakansari, Cibinong. Jamnya samaan dengan acara konser. Mo nangis, tapi jelas atas nama profesionalisme, aku harus menjalaninya. 

Stasiun Cibinong dengan simulakra iklannya
Aku datang ke Kemenkes, nunggu para menteri-menteri itu rapat sampai dua jam. Plonga-plongo kagak jelas di ruang yang AC-nya dinginnya minta ampun. Belum lagi kok seperti ketemu teman yang mirip sama teman sebangku pas SMA, tapi dia berubah jadi kurus dan berbeda dari yang kulihat terakhir kali. Aku tak sempat menyapanya karena tidak yakin itu dia, meskipun secara wajah mirip. Random gak sih? Kemudian, ada acara konperensi pers yang wartawannya banyak sekali yang datang dari bermacam-macam media. Sebagaimana biasa, aku mengerjakan kerja-kerja kejurnalistikan, buat berita. Nah, yang masalah itukan aku mau ngejar konser. Habis konpers, aku langsung ke Stasiun Manggarai, terus transit ke arah Stasiun Citayam, yang harapannya bisa turun di Stasiun Cibinong.

Ron! Di jalan dan kereta ternyata aku gak bisa fokus nulis berita. Aku sedih lagi. Rekamannya juga gak jelas karena speaker di ruang Kemenkes jauh dari sumber suara. Lalu aku putuskan untuk turun sebentar di Stasiun Pasar Minggu Baru. Di sana aku cari tempat duduk yang menjorok ke sebuah rumah yang berhalaman luas banget, tampak hijau, dan banyak tanaman--bahkan di depan pagar rumah ada tanaman-tanaman seperti kemangi dan pandan. Di sana ada tulisan, orang diperbolehkan mengambil tanaman itu secukupnya yang dibutuhkan. Juga terlihat ada mbak-mbak sedang menyiram tanaman. Tapi Ron, lagi dan lagi, suara stasiun terlalu bising untuk nulis. Setiap beberapa menit jingle stasiun berkumandang. Aku berdoa, Ya Allah mudahkanlah, ya, akhirnya dengan jalan ninja alon-alon waton kelakon, tulisan itu selesai juga dalam waktu sekitar satu jam, dan kukirim ke editor. Yah, meskipun tulisan itu gak naik ke media karena pimpinan merasa isunya masih sensitif. Huft. Ya dahlah.

Usai menyelesaikan tulisan itu, aku naik kereta lagi. Aku pasang headphone dengerin lagu-lagumu Ron. Entah kenapa semangatku rasanya kayak dipompa lagi. Aku jadi bayangin scene-scene kereta di video klip "Tak Ada Ujungnya" yang dibuat di Jepang. Kek wajah Rony tiba-tiba hadir di kaca jendela kereta, kek bayangin Rony berdiri di sampingku sambil bilang, "Semangat Kak Isma." Terus aku senyum lebar lagi, hatiku berbunga-bunga, dan rasanya ringan, tenang. Di antara bayang-bayang kereta yang lewat, aku juga berdoa, "Ron, semoga suatu hari aku bisa ke Jepang ya untuk belajar, sambil dengerin lagu 'Tak Ada Ujungnya' di sana." Tentu, selain lagu-lagu L'Arc-en-ciel (Laruku), juga lagu-lagu Rony, wkwk. Inti salah satu mimpiku sih dari dulu. 

Aku turun di Stasiun Citayam untuk transit di Stasiun Cibinong. Namun, petugas berkata harus nunggu kurang lebih sejam. Alamak! Akhirnya aku memutuskan untuk naik Gojek dengan jarak sekitar 12 kilometer sambil melihat semesta negeri Citayam. Halangan datang lagi, di tengah-tengah jalan, motor Gojek yang aku naiki mogok, karena sejak awal naik aku juga ngerasa ini mesinnya ada yang salah karena suaranya berbeda dari suara motor yang normal. Aku memaklumi, ya udahlah, memang nasibnya. Si abang gojek akhirnya memintaku pesan gojek lainnya dengan mengembalikan e-money, sekitar 30 persennya ke gopay-ku. Aku dapat gojek baru, turun di gerbang Stadion Pakansari.

Nah, ini menariknya Ron. Suatu waktu, aku pernah berkunjung ke makam keramat di sekitar Stadion Pakansari. Nama makam keramat itu mirip sama Raden Saleh pelukis legendaris itu, tapi ternyata Raden Saleh yang berbeda. Aku masih ingat vibes makamnya di antara makam warga yang mitis, energinya kuat sekali, berdiri di makam yang tanahnya masih dicicil para warga. Aku sempat ngobrol sama Ketua RT di sana Ron. Aku juga sempat solat toh, nah, ada adegan mistis juga karena masjid itu kayak sepi, kondisi mendung, dan di sampingnya ada keranda mayat. Aku merinding Ron.

Motor mogok
Balik lagi ke konser Rony, setelah sampai stadion, aku salah tempat lagi, salah belok yang harusnya ke kanan, aku malah ke kiri. Haish, ternyata jarak panggung utama aku turun pertama kali dari gerbang stadion mayan jauh Ya Allah. Di map sekitar 1,3 kilometer dan malam itu rasanya tenagaku sudah habis. Aku juga perlu ganti pakaian batik (pakaian kerja) ke kaos Tome Ame yang kubeli di Shopee. Pakaian yang pernah dipakai Rony saat ke Jazz Prambanan. Pas nyasar itu aku nemu toilet, ganti baju, dan cuci muka. Di antara konser itu, aku mendengar lagu For Revenge berjudul "Serana" dinyanyikan. Saat itu sekitar pukul 19.20 WIB. Aku balik lagi ke pos petugas untuk nanya di mana sebetulnya panggungnya, terus diarahkan, dan akhirnya nemu juga Ron. Di pintu masuk, banyak para penjual kaki lima yang jualan merchandise, selain juga makanan-makanan dan minuman-minuman.

Makan ditemani Rony wkwk

Aku memperhatikan panggung Pakansari Archery 2025 ini unik, karena penontonnya duduk. Sebutan penonton "Yang Mulia". Jadi kayak lihat lautan orang duduk. Ini jujur konsep dan pengalaman baru untukku yang berposisi sebagai audiens. Ada dua panggung, "Rain Forest Stage" dan "Tropicak Forest Stage". Dengan pembagian dua panggung ini, transisi antara penampil satu ke penampil lain jadi jelas dan enak. Iklan juga hanya berlangsung cuma 5 menit dari sponsor di layar besar. Di Pakansari kali ini penampil yang tampil ada: Batas Senja, Om Lorenza, Raim Laode, Halfmath, Rizky Febian, Maliq & D'Essential, Tiara Andini, For Revenge, Oom Leo Berkaraoke Feat Ari Lesmana, Rony Parulian, NDX AKA, JKT 48, dan Whisnu Santika MC Drwe. Sumpah, ini konsernya tepat waktu banget, dan tertib juga, meskipun aku ngrasa akses jaringan seluler dibatasi, karena kesusahan pas cek internet. 

Jadwal Nonton
Ya, aku masih kebagian nonton Ari Lesmana, lalu yang aku tunggu-tunggu: RONY PARULIAN!!! Aku senyum cerah banget pas Rony dan Ron The Room datang. Oh baby, the only request is you. Ada tujuh lagu yang dinyanyikan Rony:

  1. "Sepenuh Hati" (yang dinyanyikan dengan aransemen berbeda, kalau aku baca di IG, versi yang rockmantisnya)
  2. "Butuh Waktu"
  3. "Mengapa"
  4. "Satu Alasan" (One Reason bahasa Inggrisnya kalau kata Rony, wkwk)
  5. "Tak Ada Ujungnya"
  6. "Tak Ada yang Sepertimu" 
  7. "Pesona Sederhana"

Arghh! Kurang! Biasanya standar Rony manggung nyanyi 9-10 lagu, belum nyanyiin lagu terbaru "Salahi Aku" juga yang digarap barengan Mas Andi Rianto dan Mas Yovie Widianto. Malam itu Rony pakai kaos tanpa lengan warna hitam, celana jins belel, dan sneaker. Jarakku berdiri ke Rony jauh banget, aku di bagian paling belakang, tapi seperti biasa, Rony selalu adil sama penonton. Meskipun dia manggung di "Tropical Forest Stage", Rony nyebrang di sisi "Rain Forest Stage". Dia juga menyapa seluruh panggung di sisi kanan, kiri, samping, belakang. Dia juga mengucapkan terima kasih pada yang datang, dan "TERIMA KASIH WE ARE ONE!" teriaknya. "Makasi juga Rony, sehat terus ya!" jawabku.

Hal menarik lain pas Rony manggung di Pakansari, dia sempat teriak puas banget sampai hampir kehilangan suara, terus dia bilang, "kerasa-kerasa," wkwk. Dia juga sempat turun panggung sebentar nyalamin penonton, duh, aku keingat mimpi salaman sama Rony Parulian. Suatu hari kapan-kapan aku berharap bisa salaman sama kamu langsung Ron, aamiin. Terus yang lucu lagi, Rony beberapa kali ngomong anjay, terus dia berkata sendiri, kira-kira yang kuingat, "anjay, ini kebanyakan gw ngomong anjay." Ya ampun Rony, wkwk. Sedih sih pas di lagu terakhir, sebenarnya konser dengan penonton duduk itu ada plus minusnya, Rony juga sempat nanya, "Ini serius duduk aja?" Ya, jadi emosinya kurang keluar, aku malah random ingat sama meditasi duduk, wkwk. It's new Ron. Konser Rony selesai, dan satu-satunya hal yang ingin kuucapkan, "Terima kasih Rony, I love you!" Bagiku, menonton konser Rony seperti ritual terapi untukku, aku bisa teriak-teriak sebebas-bebasnya nyanyi sampai suaraku rasanya habis. Aku senang.

Usai itu, aku tak langsung pulang, aku masih nonton penampil lain seperti NDX AKA yang basis fansnya ternyata lebih banyak di konser ini. Terlebih di bagian belakang, ternyata perantau Cibinong ini banyak orang Jawanya. Mereka happy sekali bergoyang-goyang dengan istri, anak, pacar, teman-teman mereka. Lalu, aku juga nonton JKT 48 (ternyata udah di generasi 12 dan 13), beberapa lagu yang familier untukku dinyanyikan seperti "Aitakata", "Pesawat Kertas 365 Hari", "Fortune Cookies yang Mencinta", dan "Heavy Rotation". Aku juga dengerin lagu mereka "Seventeen", lucu juga. Semangat muda aku rasakan kembali. Di penampil terakhir, aku memutuskan pulang.

JKT 48
JKT 48 Gen 12-13
Hambatan terjadi lagi pas pulang. Aku harus mengumpulkan tugas rekap link ke pimpinan setiap malam tanpa henti, sementara jaringan gak stabil. Habis itu, pas aku ngejar kereta pulang ke Stasiun Cibinong, ternyata stasiun sudah tutup. Belum lagi driver-nya seperti ngepunk gitu, gak bawa helm pengendara, dan kelupaan jalan sampai muter-muter sama dia. Pas sampai Stasiun Cibinong udah tutup Ya Allah. Stasiun sangat sepi dan seperti berhantu, apalagi itu bangunan tua. Aku ditinggal sendirian, terus aku pesan driver lain ke Stasiun Bojonggede untuk ngejar kereta ke Juanda lainnya. Alamak, di tengah segala kelelahan malam itu, pas nanya sama petugas jaga parkir, ada salah satu Bapak yang sengaknya bilang, "Kagak tahu waktu pulang." Dengan nada merendahkan dan memojokkan gitu, seolah aku ini orang yang gak tahu waktu mainnya sampai lupa pulang. Anjirlah. Aku langsung illfeel, dan ambil langkah seribu dari Stasiun Bojonggede. Aku hafal benar itu wajah si Bapak. Perkataan dia bisa jadi benar, tapi dia mengatakan dengan nada deaf tone saat konteks yang gak tepat di rasa lelah-lelahnya.

Because Music
is universal
Aku lalu ke Alfamidi ambil uang cash, terus beli nasi goreng Pak Suwito di depan Alfamidi dengan harga Rp13 ribu. Malam itu, bateraiku juga mau habis, sambil makan nasi goreng, aku izin charge hape. Waktu itu udah jam 12-an malam. Aku bingung mau tidur di mana, akhirnya aku install Traveloka, tapi kan harus pesan sehari sebelumnya, terus jarak hotel satu ke yang lain juga lumayan jauh. Aku harus ambil keputusan cepat. Akhirnya, aku putuskan naik Gocar dari Stasiun Cibinong ke kos di Petojo Selatan dengan jarak 43 kilometer (ongkos pulang mbengkak, wkwk). Namun, Alhamdulillah, driver-nya baik dan kooperatif. Aku tiba di kos jam 2 pagi. Di mobil, aku bisa istirahat meskipun sebentar di mobil itu, hingga akhirnya aku bisa berangkat kerja pagi tidak telat.

Terima kasih Ya Allah, terima kasih semesta, terima kasih Rony, terima kasih WeR1, terima kasih semua yang berjuang malam itu dan hadir di konser Pakansari Archery.

Jakarta, 29 September 2025

Minggu, 28 September 2025

28 September 2025

Kemarin aku ngobrol sama seorang musisi yang bicarain Pak Fahruddin Faiz. Dia bilang gini intinya, "Bahkan kita niru tempo bicaranya Pak Faiz itu susah. Dia kalau bicara tenang. Bukan tergesa-gesa, itu cara bicara yang hati-hati dan terukur." Kalau kupikir-pikir, iya juga ya, salah satu kebijaksanaan seseorang itu bisa dilihat juga dari cara, nada, dan tempo bicara.

Rabu, 24 September 2025

Satsang dan Meditasi di Green House 14-15 Juni 2025

HARI I

(Foto: Tim IVS)

(Foto: Tim IVS)
(Foto: Tim IVS)

Sabtu, 15 Juni 2025, saya datang mengikuti satsang dan meditasi di rumah Bu Nani dan Pak Indra di daerah Jakarta Selatan. Shraddha Ma memberi nama rumah ini "Green House", banyak tanaman hijau, pepohonan, bunga-bunga, hingga kicauan burung dengan suasana yang adem dan teduh. Ketika saya datang, sudah dilaksanakan meditasi dan saya langsung mengikutinya. Setelah meditasi, kemudian dilanjutkan dengan musikalisasi puisi (lagu Panji Sakti) dari Ust. Khasan. Kemudian dilanjutkan dengan materi terkait "Who am I?" (fokus pada sang penyaksi dalam perspektif Vedanta dan Islam). 

(Foto: Tim IVS)
Ust. Khasan menjelaskan tentang asal usul manusia yang berasal dari Tuhan dan dikembalikan pada Tuhan. Pernyataan ini sering diulang-ulang, tetapi yang menjadi dasar, "apakah kita sudah mengenal Tuhan? Apakah kita sudah bertemu dengan Tuhan? Apakah kita sudah menyadari diri sejati kita yang setiap saat itu sebenarnya sudah hadir bersama kita?" Di dalam bahasa Al-Quran, dikatakan, "Dia yang tidak pernah mengantuk dan tidak tidur." 

Warming up, Ust. Khasan bertanya pada Ayas, apakah dirinya sudah mengenal Tuhan? Ayas menjawab, ini menjadi pertanyaannya sejak sekolah, mencari-cari Tuhan siapa. Seiring berjalannya waktu, dia menyadari jika dirinya adalah bagian dari percikan Tuhan. Semakin dia mengenali diri, semakin dia tahu hakikat sejati Tuhan. Wujud Tuhan ada di dalam dirinya. "Saya adalah co-creator Tuhan," katanya. Sementara itu, Pak Khairil berpendapat bahwa manusia sebenarnya sudah pernah bertemu dengan Tuhan saat masih berada di dalam rahim ibu. Namun, ketika lahir manusia menjadi lupa akan pertemuan itu. Karena itulah manusia diminta untuk membaca (iqra). Saat dewasa, ingatan itu semakin memudar, dan yang tersisa hanyalah kesadaran bahwa ada percikan diri sejati dalam dirinya. 

Dalam Vedanta, Tuhan bukan hanya doktrin. Uniknya di Vedanta, yaitu, langsung menunjukkan bagaimana "mengalami ke-Tuhan-an" itu sendiri. Sebab, apa pun yang manusia pahami belum tentu dia alami. Vedanta mengajarkan manusia untuk langsung merasakan, untuk mengalami Tuhan. Vedanta juga mengajarkan manusia pada tema-tema dasar. Fungsinya jelas: jika manusia tidak memahami hal-hal dasar seperti ketuhanan—padahal setiap saat hidupnya bersama Tuhan—maka ia sebenarnya bisa disebut gagal. Sebab, hidupnya hanya berjalan dalam ilusi.

Di dalam tradisi Jawa ada istilah, "Adoh tanpo wangenan, cedhak tanpo senggolan, tan keno kinoyo ngopo." Kalimat ini berarti, Tuhan dideskripsikan sebagai sesuatu yang jauh tetapi tanpa jarak, dekat tapi tanpa bersentuhan, tidak bisa dibayangkan seperti apa. Kalimat ini sangat sufistik, Vedanta membuat manusia mengalami ini. Vedanta disebut sebagai pengetahuan tertinggi karena langsung menyentuh jantung dan esensi. Ajaran ini juga termanifestasi di berbagai ajaran-ajaran agama lain. Semisal dalam Islam ada ungkapan, "Allah lebih dekat dari urat nadi leher." Jika tidak memahami ini, berarti belum benar-benar mengalami Tuhan. Vedanta ingin mengajak manusia berkontemplasi sekaligus membuktikan jika Tuhan itu sudah hadir sangat dekat. Ketika manusia mendapat masalah, manusia bisa berlindung di dalam Ketuhanan, sehingga masalah itu hanya kecil saja bagi Tuhan.

Pembicaraan tentang ketuhanan dijelaskan dalam konsep “Dig Drysha Viveka”. Manusia perlu membedakan:

  1. Pengamat berbeda dengan yang diamati. 
  2. Pengamat satu, yang diamati banyak. 
  3. Pengamat tetap, yang diamati berubah.

Tiga hal ini perlu dipahami dengan baik, dan semua itu bisa dimulai dari hal-hal sederhana.

Pengamat yang paling mudah adalah indra, seperti mata manusia sebagai penamat. Sementara yang diamati disebut sebagai dunia eksternal yang terdiri dari warna, bentuk, dan materi. 

Masuk ke lapisan yang lebih dalam, indra tak bisa menjadi pengamat dari dirinya sendiri, tapi bisa diamati oleh pikiran. Produk dari pemikiran bisa bermacam-macam, dari kenangan, memori, pemahaman. Namun, manusia sering tidak bisa memisahkan mana yang pikiran dan objek-objek pikiran. Pikiran satu, objek banyak. Untuk masuk ke dalam pikiran, membutuhkan pikiran yang kuat (strong mind). Jika pikiran berubah-ubah, maka akan kesulitan. Apalagi di zaman medsos, perubahan dan scrolling bisa terjadi hanya dalam hitungan detik. Tanpa sadar, hal ini akan mempengaruhi pikiran, biasanya akan menjadi orang yang overthinking karena selalu berubah dan tidak ada ketetapan. Berbeda dengan pertumbuhan bunga mawar yang tumbuh secara gradual, perubahan di medsos per detik. Ini memberikan dampak pada kesehatan mental. 

(Foto: Tim IVS)
Kemudian, ada bagian dari pikiran yang disebut intelek (akal), yang bisa menjadi pengamat dari objek-objek pikiran tetapi dengan cara yang rasional dan berpengetahuan. Di konteks ini diberikan contoh, ketika pikiran yang belum terdidik ini terjebak pada masa lalu, semisal teringat dengan mantan kekasih, seseorang ini akan menjadi baper. Pikiran akan terombang-ambing. Tetapi, jika pikiran sudah dinaikkan satu tingkat, menjadi sebuah intelek atau akal, maka pikiran tadi bisa diberhentikan dengan menyadari bahwa apa yang dipikirkan hanyalah masa lalu. Namun, jika dari intelek ini ditingkatkan lagi menjadi pengamat yang tak pernah berubah, maka manusia tidak akan bisa diombang-ambingkan.

"Ada satu pengamat yang tidak pernah berubah, pengamat ketiga. Apa itu? Inilah yang disebut sebagai kesadaran. Kesadaran itu satu, ada yang mengamati pikiran, perasaan, akal, perubahan kita. Mau apa pun kondisinya tetap mengamati diri kita. Sang pengamat ini melingkupi semua pengamat-pengamat di bawahnya. Jika seseorang sudah standing as awareness, maka tidak ada satu hal pun yang bisa mengombang-ambingkan. Hal ini yang ingin dicapai dalam meditasi, kesadaran yang tetap, tak pernah goyah, tidak mengantuk dan tidak pernah tidur," jelas Ust. Khasan

Ketika seseorang belum mencapai pengamat yang sejati, maka ia tidak bisa adil dalam melihat seseorang. Selalu ada diskriminasi yang berlawanan, antara yang kaya vs miskin, tampan vs jelek, sempit vs lapang, dlsb. Namun, jika sudah mencapai pengamat sejati, maka hidup manusia bisa menjadi benar-benar hening, bliss, bahagia, tidak bergantung pada aspek di luarnya. Vedanta mengungkapkan ini dengan istilah oneness (Advaita Vedanta). 

(Foto: Tim IVS)
Sesi Tanya Jawab

Pak Indra bertanya terkait menjadi orang sabar. Ust. Khasan menjawab, dalam konteks Islam, makna sabar bisa bermacam-macam: (1) menahan sesuatu walaupun sakit; (2) sabar juga bisa berarti sadar. Sayangnya, kebanyakan manusia hanya sadar di level sensorik atau pikiran, yang ketika ditahan justru akan jadi penyakit (depresi). Kesabaran harus naik level dari sabar menjadi sadar. Maka, fenomena apa pun yang menjadi tantangan, tidak jadi masalah, justru bisa memetik pelajaran darinya. Tuhan akan mengajari lebih tinggi, luas, dan melimpah. 

Ayas bertanya tentang upaya mengendalikan pikiran. Ust. Khasan menjawab, pikiran atau akal budi juga memiliki pengamat yang benar-benar mengalami, tidak hanya sekadar berpikir. Hadir secara penuh dan utuh akan menjadi sulit ketika tidak dilatih. Latihannya adalah dengan meditasi. Jika seseorang bisa fokus pada satu titik utuh,  paling tidak dalam lima menit benar-benar fokus, maka akan masuk dalam kesadaran. 

(Foto: Tim IVS)
Shraddha Ma berbagi pengalaman, saat kecil ketika berenang, ia suka duduk di bagian bawah dan berdiam hingga beberapa lama, merasakan hening, ternyata hal itu menjadi dasar dari meditasi. Terasa plong dan damai, dari sana timbul kebiasaan menghening. 

Ada pula peserta yang bertanya, "Meditasi apakah perlu ada pembimbingnya?" Ust. Khasan menjawab, dari pengalaman harus ada pembimbingnya, agar tidak terjebak di tingkat pikiran dan indra, karena kecenderungan pikiran yang sering membayangkan objek yang lalu-lalang hadir tidak ada henti. Terlebih ketika seseorang dalam kondisi yang tidak baik, akan kesusahan melawan objek. Intinya, selama meditasi masih berfokus pada objek, maka akan semakin menjauh dari hakikat iman.

Shraddha Ma menambahkan, banyak cara bermeditasi, dan begitu banyak metode yang diperkenalkan--yang juga bisa ditemui dalam tradisi-tradisi agama lain seperti rasio (Katolik). Dalam ajaran Vedanta yang sederhana, saat seseorang mampu berkonsentrasi, itu berarti ia juga sedang bermeditasi. Shraddha Ma menyarankan agar tidak perlu mamakai banyak cara, yang penting bisa merasa nyaman, menghadirkan Tuhan, berfokus pada hati, dan duduk tenang. Berdoa terus, sehingga pikiran tidak melayang kemana-mana. Meditasi membantu kita menghadirkan present moment, sekarang ini. Tidak terlalu menyesali hidup atau berencana ke depan yang berlebihan. Difokuskan ke dalam, melihat pikiran sendiri lewat rohani (memanggil nama Tuhan), maka hasilnya akan jauh lebih kelihatan. "Menenangkan diri adalah kunci dari meditasi." Mendengarkan lagu-lagu bernuansa ketuhanan juga bisa membuat ruangan terasa lebih damai.

(Foto: Tim IVS)

Inti dari meditasi, apa pun tekniknya, adalah membersihkan hal-hal yang tidak sejati. Selama pikiran masih sibuk dan aktif, kita tidak akan bisa mencapai ketenangan sejati (pure bliss). Cara untuk mencapainya bisa bermacam-macam, tapi yang penting jangan larut atau terjebak dalam aliran pikiran. Shraddha Ma menambahkan, nama Tuhan diibaratkan seperti matahari. Saat menanam bunga atau buah, matahari punya peran penting. Namun, saat tanaman tak terkena sinar matahari, kita bisa memindahkannya agar tetap tumbuh baik. Sama halnya dengan manusia: tugas kita hanyalah menyebut nama Tuhan melalui tindakan, pikiran, dan ucapan; hasilnya diserahkan sepenuhnya kepada Tuhan. Guru sejati ada dalam diri kita sendiri, karena Tuhan juga hadir di dalam diri.

"Jangan ikut pengajarnya (yang ada kemungkinan berubah), ikuti kebenaran yang sejati. Tuhan itu satu," kata Shraddha Ma.

Kalau seseorang tidak mengenali diri sendiri, maka seseorang tidak akan menemukan Tuhan. 

Pertanyaan selanjutnya, "Saya pernah geram, nangis, pusing, lesu, tiba-tiba ada suara seperti kakek seperti bilang, 'kenapa harus balas dendam, berbuat baik saja, biar Allah yang beresin.' Apakah itu bagian yang disebut kesadaran atau apa?"

Ust. Khasan menjawab, saat batin tenang, yang lalu lalang tenang, maka seolah-olah ada yang memberi tahu, inilah yang disebut sebagai kesadaran. Tapi manusia punya kecenderungan kesadaran aslinya terkubur. Meditasi, ibadah, solat, dlsb, bertujuan untuk bertemu Tuhan--bisa dalam bentuk menyadari suara ketuhanan atau menyadari suara qalbu. Suara kakek seperti suara qalbu ini. Seperti solat, mengapa diwajibkan lima waktu? Karena manusia sering lupa dan terdistraksi. Jika sudah bertemu Tuhan, tidak ada rasa takut dan khawatir, yang ada hanya kebahagiaan. Takut dan khawatir hanya produksi pikiran. 

Ust. Khasan menjawab bahwa hal itu tidak bisa dibayangkan, melainkan hanya bisa disadari secara langsung. Untuk memulai praktiknya, sebelum belajar gerakan solat semisal, sebaiknya seseorang belajar duduk dengan tenang dan hening. Dalam hening itu, kita bisa mulai mengamati siapa sebenarnya yang mengamati—diri sendiri. Proses ini adalah praktik yang harus dilakukan secara pribadi, oleh diri sendiri, agar pemahaman yang lebih dalam bisa muncul.

(Foto: Tim IVS)

Acara di hari pertama diakhiri dengan meditasi nidra dan doa penutup. 

HARI II

(Foto: Tim IVS)
Hari kedua cuacanya mendung dan sejuk. Awalnya gerimis, kemudian turun hujan deras. Saya datang lebih awal, sekitar pukul 10 pagi, untuk mengikuti meditasi bersama Shraddha Ma selama kurang lebih dua jam, sebelum menuju puncak acara pada pukul 2 siang.

Acara di hari kedua dibuka pada siang hari oleh Mbak Novi yang bertindak sebagai moderator. Dia menyampaikan, dalam proses perjalanan kehidupan, kita selalu mengalami perubahan, baik dari sisi fisik, psikologis, hingga emosi. Di dalam Vedanta, di antara perubahan-perubahan tersebut selalu ditekankan, “Siapa diri kita yang sebenarnya? Yang selalu tetap, abadi, dan tidak berubah?” Pertemuan pada hari ini membedah bagaimana pikiran bekerja. Dari tiga macam penyaksi (baik mata, pikiran, hingga kesadaran), ternyata kehidupan kita selalu didominasi bukan sebagai penyaksi. 

(Foto: Tim IVS)
Sebelum memasuki materi utama dari Ust. Khasan, ada penampilan dari Shraddha Ma dan Pak Khairil yang menyanyikan lagu “Suci Dalam Debu” karya band Malaysia, Iklim. Berikut beberapa penggalan liriknya: “Suatu hari nanti / Pastikan bercahaya / Pintu akan terbuka / Kita langkah bersama / Di situ kita lihat / Bersinarlah hakikat / Debu jadi permata / Hina jadi mulia / Bukan khayalan yang aku berikan / Tapi keyakinan yang nyata / Karena cinta lautan berapi / Pasti akan kurenang jua...

Pada hari kedua ini dilakukan review terkait penjelasan di hari pertama.

Review pertama dari Ayas yang mengatakan, dia teringat ketika mengikuti retret pertama di Bandung. Ada pertanyaan, “Apa tujuan hidupmu?” Waktu itu dirinya menjawab sesuai dengan pengalaman yang dilaluinya. Saat itu dijelaskan, ternyata tujuan hidup kita adalah “merealisasikan Tuhan”. Namun, saat itu dirinya merasa masih belum ngeh, maksudnya bagaimana? Apakah berubah wujud menjadi Tuhan atau bagaimana? Setelah penjelasan di hari 1 retret kali ini, jadi lebih paham detailnya. Ternyata definisi merealisasikan itu adalah kita bisa mengalami Tuhan itu sendiri. Ketika bisa merealisasikan Tuhan adalah saat kita berada di kondisi yang tenang, hening, dan terang. Pengalaman ini sangat personal dan susah untuk dijelaskan, tapi menjadi candu.

Review berikutnya dari Pak Indra. Dari sepenangkapannya, dalam pengamatan kita perlu fokus pada kesadaran, sebab ini menjadi modal utama untuk menjalani hidup yang diinginkan. Dengan hidup penuh kesadaran dan memahami alasan di balik setiap hal, kita bisa lebih toleran dan tidak cepat terbawa emosi negatif, seperti marah atau kecewa. Berikutnya, dari Bu Nani. Dia mengatakan bahwa ia bersyukur mendapat kesempatan untuk menata hati. Terima kasih kepada Shraddha Ma telah membantunya untuk mengingat kembali, “Bahwa ini semua nothing gitu. Nothing, ngapain kamu repot-repot. Udah, diam saja. Biarkan semua jalan apa adanya, tenang-tenang saja.”

Dilanjutkan review dari Bu Titut yang mengatakan hal yang paling dia ingat, yaitu “jauh tanpa jarak, dekat tanpa bersinggungan, dan tidak bisa dibayangkan seperti apa”. Ini menurutnya sangat menyentuh. Ternyata kita ada di bagian itu.

Materi Ust. Khasan

Ust. Khasan mengingatkan bahwa apa yang kita lakukan kemarin adalah pembelajaran tentang syahadat, atau persaksian. Saat ini, syahadat kita hanya sebatas diucapkan di mulut. Misalnya, ketika kita mengatakan, “Aku bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah,” itu hanyalah persaksian secara lisan. Kita belum benar-benar menyaksikan-Nya dalam hati atau pengalaman kita. Dengan kata lain, kita belum sepenuhnya memahami siapa yang melihat dan menyadari segala sesuatu itu. Dalam ajaran Vedanta, persaksian seperti ini harus dialami secara langsung, bukan hanya diucapkan atau dijadikan dogma. Persaksian yang sejati berarti benar-benar bersyahadat dengan pengalaman batin, bukan hanya kata-kata.

 

Dalam Vedanta, ada ajaran yang disebut “Dig Drysha Viveka”. Intinya mengajarkan hubungan antara pengamat dan yang diamati, dengan tiga hukum utama:

  1. Yang mengamati pasti berbeda dari yang diamati.

  2. Yang diamati banyak, sedangkan yang mengamati satu.

  3. Yang diamati selalu berubah, tapi yang mengamati tetap.

Ketika membahas pengamat dan yang diamati, minimal tiga hukum ini harus diperhatikan. Kita perlu benar-benar membedakan mana yang bertindak sebagai pengamat dan mana yang diamati.

Contohnya dimulai dari pengamat paling luar, yaitu mata kita. Setiap kali bangun tidur, kita langsung mengamati dunia. Segala yang kita lihat bisa dikategorikan sebagai warna, suara, bentuk, atau materi. Singkatnya, dunia yang kita amati pertama-tama muncul melalui mata.

“Kita ke dalam lagi, kalau kita bisa mengamati seluruh kehidupan di luar (external world), ternyata kita bisa mengamati sesuatu yang lebih dalam lagi. Karena ternyata pengamat yang di luar, indra kita, ternyata tidak bisa mengamati dirinya sendiri. Mata, tidak bisa melihat mata sendiri,” ungkapnya.

Kita hanya bisa melihat mata sendiri melalui cermin; mata tidak bisa mengamati dirinya sendiri. Namun, keadaan mata dapat disadari oleh kesadaran yang lebih dalam—seperti pikiran, yang berfungsi sebagai “mata kedua.” Seperti halnya mata, pikiran juga mengikuti tiga hukum sebelumnya. Masalah sering muncul karena penilaian pikiran kerap dipengaruhi suka dan tidak suka, sesuai selera atau preferensi pribadi. Pikiran bisa terjebak pada pandangan egoistik, yaitu melihat sesuatu dari kepentingan diri sendiri. Ketika pikiran matang, ia berkembang menjadi intelek atau akal budi. Agama bermula dari akal budi. Dalam Islam dikatakan, “Agama adalah penggunaan akal nalar kita. Tidak ada agama yang tanpa akal.” Artinya, jika masih disusupi ego, itu bukanlah agama sejati.

Ego dalam Vedanta disebut dengan ahamkara yang berarti keakuan. Sementara pikiran disebut “mano” dan intelek disebut “budi”. Konten pikiran di antaranya terdiri dari pemikiran-pemikiran, imajinasi, memori, emosi, hingga keinginan-keinginan (desire). Namun di balik konten-konten pikiran, ada yang menjadi saksi.

Kita dianjurkan menggunakan akal untuk menghadapi kehidupan, sebagaimana diajarkan Buddha. Beliau menekankan kebaikan, tenggang rasa, dan sikap tolong-menolong. Dalam Al-Qur’an pun ditegaskan lewat ungkapan “afala ta'qilun”—tidakkah kamu menggunakan akalmu? Ustadz Khasan menambahkan, “Jangan lihat dengan mata ego, jangan lihat dengan mata intelek, tapi lihatlah dengan mata Tuhan.”

Kebanyakan manusia terjebak di tingkat mata sensorik dan intelek. Sebenarnya, mata kesadaran sangat dekat, seperti dalam ungkapan Jawa, "Adoh tanpo wangenan, cedhak tanpo senggolan, tan keno kinoyo ngopo." Agama mengajarkan bahwa neraka bukan hanya tempat luas penuh api, tetapi juga bisa dirasakan dalam indra dan pikiran kita. Neraka muncul ketika kita dikuasai oleh pikiran, emosi, keinginan, atau kenangan masa lalu—kondisi yang disebut samsara, yaitu penderitaan yang terus berulang.

(Foto: Tim IVS)

Ust. Khasan memberi contoh, ada seseorang yang suka menonton horor. Orang ini di pikirannya selalu dihantui oleh makhluk-makhluk halus dan mengalami delusi. Ketika di kamar seperti ada hantu yang hendak membunuhnya. Padahal, ketakutan itu produk dari pikiran sendiri. Hantu tersebut ternyata tidak ada. Contoh lain, fenomena Nyi Roro Kidul berasal dari kepercayaan yang sudah diimajinasikan sedemikian rupa sehingga mewujudlah hal itu secara kolektif. Ketika imajinasi ini dipercaya, akan menghadirkan ketakutan.

“Pikiran ini harus hati-hati. Pikiran ini jangan sampai kemudian mengendalikan kita, karena Vedanta mengajarkan I am not the mind. Apa pun ketakutan yang kita produksi setiap hari, aku bukan itu kok,” ucapnya.

Dalam tradisi Islam, ada dzikir “Allahu Akbar”, Allah Maha Besar. Allah yang terbesar dibandingkan indra atau pikiran yang kecil. Kecil yang kemudian kita besar-besarkan sendiri. Konsep ini juga berlaku pada harta benda, memori, dan pengetahuan yang dimiliki. Dalam Surat Al-Fatihah, Allah disebut sebagai Rob, yang artinya seperti induk atau orang tua bagi seluruh alam. Segala sesuatu yang kita miliki sesungguhnya hanyalah titipan. Dalam Surat Yasin juga dijelaskan: “Lillāhi mā fis-samāwāti wa mā fil-arḍ” — segala yang ada di langit dan di bumi adalah milik Allah. Allah memiliki ciri-ciri seperti pengetahuan murni (pure knowledge), cinta murni (pure love), dan keberadaan murni (pure being).

Vedanta mengajarkan pentingnya meditasi, karena berfungsi untuk mengheningkan indra dan pikiran untuk menuju Kesadaran Sejati—yang dalam konsep Jawa disebut sebagai Kasunyatan. Ada kesadaran di balik diri yang mengamati langit-langit dan kebumian kita. Ketika belum bisa menyadari Kesadaran Sejati, maka akan terjadi penderitaan. 

(Foto: Tim IVS)

 Vedanta membagi kategori kesadaran manusia, dari yang biasa hingga yang tertinggi:

  1. Waken State: Kita sadar sepenuhnya terhadap dunia luar. Semua yang terjadi selalu berubah.
  2. Dream State (Kondisi Bermimpi): Berlangsung di pikiran. Tubuh mungkin berada di satu tempat, tapi pikiran bisa melayang ke mana-mana. Misalnya saat insomnia, tubuh ingin tidur, tapi pikiran tetap berlari. 
  3. Deep Sleep: Tidur tanpa mimpi atau objek apapun. Dunia eksternal lenyap. Orang yang sedang sakit parah pun bisa merasa bahagia saat mencapai tahap ini. Kenikmatan dimulai dari sini, tapi kita tidak sadar—ada “penyaksi” yang lebih tinggi yang hadir.
  4. Samadhi: Kondisi persatuan antara diri dan Tuhan. Selalu hadir, penuh semangat, dan kuat.

Ketika menggunakan kekuatan Tuhan, hidup seseorang akan powerful dan percaya diri. Percaya diri sebenarnya percaya pada Tuhan, karena diri dan Tuhan itu satu. Berebda dengan motivator yang menyuntikkan rasa percaya diri pada tahap sensorik dan pikiran, percaya diri ini ada di kesadaran utama. Para motivator cenderung memacu seseorang untuk bertepuk tangan sehingga semangat muncul, tetapi setelah keluar kelas menjadi loyo kembali. 

Shraddha Ma menambahkan, pengalaman samadhi tidak dianjurkan untuk dibagikan, karena bagi yang belum mengalaminya akan menimbulkan kebingungan. Setiap realisasi berbeda-beda, tergantung kedalaman dari tahap pencapaian orang tersebut. Seberapa tahap kemurnian dia, tahap pembakaran ketidaktahuan jiwa, tahap seberapa dia membersihkan kotoran batin, tahap seberapa melebur dengan ke-Ilahian-nya sendiri. Bagi yang sudah mencapai tahap tersebut, rata-rata berubah. Bahkan ketika belum mencapai posisi samadhi tetapi sudah ada kesadaran realisasi Tuhan, seperti kata Bhagavan, seperti telur direbus setengah matang. Bhagavan selalu bercerita menggunakan kata-kata yang sangat sederhana, tapi lama untuk direnungkan.

(Foto: Tim IVS)
“Di depanmu ada dua butir telur. Coba tebak, mana yang sudah direbus dan mana yang belum? Kalian tahu nggak? Mustahil bisa tahu tanpa memegangnya, merasakan, atau mengupasnya. Samadhi seutuhnya terjadi setelah mengalami beberapa realisasi kecil-kecil. Ketika pencari Tuhan sejati itu serius, tulus, jujur, dan sepenuh hati, dia akan seperti telur setengah matang. Artinya apa? Bhagavan bilang, kalau ini sudah mengalami realisasi, bhav samadhi, ini akan membantu jiwa ini untuk tidak tertarik dengan dunia lagi. Fokus untuk menjalani pembinaan diri akan lebih mudah. Pikiran dia akan terpusat pada pencarian lebih dalam lagi, ke jati dirinya. Samadhi dikatakan di kitab tertua, dijelaskan dengan detail, sangat jelas, dan semua itu nyata. Di sini dibutuhkan guru yang sudah tercerahkan. Seorang yang sudah mencapai tahap nirvikalpa samadhi (tahap realisasi tertinggi), Bhagavan sudah mencapainya. Ibaratnya, ini seperti obor—matahari itu sendiri. Saat kita mendekat terlalu dekat, kita bisa terbakar hangus. Apa yang sebenarnya terbakar? Jati diri palsu, ego, dan kebodohan kita. Semua itu dilalap oleh api suci, hingga kita dibersihkan. Kesucian sejatinya sudah ada di dalam diri; yang perlu kita lakukan hanyalah mengasahnya, dan itu berawal dari hati. Never give up, samadhi itu nyata,” ujar Shraddha Ma.

Ust. Khasan melanjutkan, di dalam Islam juga ada tahap pembakaran dosa untuk mencapai penyucian diri. Dalam peristiwa Isra Mi’raj, dada Nabi Muhammad dibelah untuk membersihkan hati. Pembelahan ini dilakukan oleh Malaikat Jibril membersihkan hati dari gumpalan darah belu, yang merupakan bagian dari setan dari dirinya. Kemudian naik menggunakan Buroq (yang jadi perlambang intelek), hingga akhirnya sampai ke Sidratul Muntaha—pohon atau batas tertinggi di langit ketujuh yang menandai akhir pengetahuan makhluk fana, tempat Nabi Muhammad SAW mencapai puncak spiritual. Di dalam Al-Quran, yang dimaksud dengan “langit-langit” adalah lapisan dari pikiran, pikiran, pikiran hingga sampai langit tertinggi. 

Meditasi menjadi penting sekali, karena dengan meditasi, seseorang bisa mendapatkan cinta yang murni, kebahagiaan sejati, pengetahuan sejati. Seseorang yang sudah mencapai kondisi ini, dia akan menjadi cahaya bagi yang lain. Seperti Nabi Muhammad, kehadiran Beliau menjadi sebuah peradaban baru yang disebut sebagai Madinah, peradaban yang lahir dari kebijaksanaan-kebijaksanaan. Al-Quran menjadi jejak bagaimana orang-orang suci membangun peradaban. Ini tetap akan menjadi hal yang terus relevan karena menjadi jati diri manusia.  

(Foto: Tim IVS)
Materi dilanjutkan dengan lima kondisi pikiran (state of mind):

  1. Ksipta: Kondisi pikiran yang sangat aktif hingga dia tak bisa berdiam diri. Kalaupun diam, badannya juga akan bergerak-gerak dan resah. Kondisi yang benar-benar kacau, yang benar-benar tidak stabil, pikiran yang travelling, dan tak bisa didiamkan. Dia seperti melompat kesana-kesini dan sangat random. Jika pikiran terlalu aktif, solusi tidak akan ditemukan. Anak-anak Gen-Z menyebut ini sebagai kondisi FOMO.
  2. Mudha: Pikiran yang lemas dan lamban. Kondisi pikiran yang sangat pasif, sampai diri sendiri juga tidak mengetahui akan melakukan apa. Tidak memiliki inisiatif sama sekali. Kondisi sekarang seperti diperlihatkan seseorang yang aktif dengan gadget yang sedikit-sedikit scroll. Ciri hidup dengan energi seperti ini akan menjadi orang yang malas, tidak ada semangat, tidak ada gairah.
  3. Viksipta: Kondisi pikiran yang sudah ada sedikit fokus, tapi tidak berdaya karena ada distraksi dari luar, dan gampang terganggu. Seperti seseorang yang sedang bangun tidur, dan dirinya tahu hari itu akan melakukan apa; tapi seseorang ini juga gampang terdistraksi, semisal oleh notifikasi media sosial dan handphone. Distraksi lainnya juga dalam bentuk anggota keluarga, seperti pasangan, anak, saudara.
  4. Ekarga: Kondisi pikiran yang sudah mulai fokus, tenang, dan tidak ada distraksi. Sarat dari meditasi yaitu fokus. Jika diibaratkan seperti kupu-kupu yang mendapatkan satu bunga dan dia berdiam lama di sana. Dia akan melakukan sesuatu dengan bijaksana, dia tidak semborono, dan tidak brutal. Ia muncul tanpa objek, melampaui suka dan tidak suka.
  5. Turiya: Kondisi yang mencapai sang pengamat sejati atau yang dikenal sebagai samadhi. Aku hadir dan lebur pada sang pengamat dan kekuatan sejati.

Dalam meditasi, pikiran adalah musuh kita. Pikiran tak mengizinkan kita masuk dalam level meditasi, tapi semakin dilatih dan dilatih, akan mulai terkendali. “Hai pikiranku, jangan ganggu ya. Aku mau meditasi, lima menit saja.” Ketika pikiran dilatih, dari awalnya musuh, bisa menjadi teman. Bahkan pikiran juga yang akan mengingatkan ketika lupa meditasi.

Dalam Al-Quran, dalam doa solat, ada bacaan iftitah,“Inni wajjahtu wajhiya lilladzii fataras samawaati wal ardha haniifam muslimaw wamaa anaa minal musyrikiin. inna shalaatii wa nusukii wa mahyaaya wa mamaatii lillaahi rabbil aalamiin. laa syariikalahu wa bidzaalika umirtu wa anaa minal muslimiin.”

Artinya: “Kuhadapkan wajahku kepada zat yang telah menciptakan langit dan bumi dengan penuh ketulusan dan kepasrahan, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik. Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku, dan matiku semuanya untuk Allah, penguasa alam semesta. Tidak ada sekutu bagi-Nya dan dengan demikianlah aku diperintahkan dan aku termasuk orang-orang yang Muslim.”

Jika seseorang sudah sampai di tahap Ekarga, dia akan melakukan pekerjaan apa pun dengan sepenuh hati, sepenuh perhatian, dan sepenuh fokus. Kondisi ini membuat seseorang lebih produktif. Saat ini juga sudah ada perusahaan-perusahaan yang melibatkan meditasi untuk produktivitas. Ketika dalam kondisi fokus, maka pekerjaan menjadi efektif dan efisien. Dan, ketika sudah sampai di tahap Turiya, kita akan hidup dalam kondisi yang welas asih, semangat, antusias; karena kebahagiaan, kesadaran, dan kekuatan sudah ada. 

(Foto: Tim IVS)
Shraddha Ma menambahkan, setelah mencapai keadaan samadhi, bukan lagi soal berlomba-lomba. Setelah tiba di tahap kelima, tahap pertama hingga ketiga sudah tidak lagi mengganggu. Dia akan selalu tenang. Hal ini tidak bisa dibeli dengan uang, dan ini tidak bisa terganggu dari luar. Hidupnya pun tanpa pamrih, tidak bermotif, tanpa bisnis, tanpa minta kembali. Dia tak akan membunuh, berbohong, dan merugikan orang lain. Sebab, orang lain itu juga adalah dirinya sendiri.

Acara dilanjutkan dengan refleksi peserta mengenai lima kondisi yang dijelaskan oleh Ust. Khasan. Peserta diminta menilai, dari lima kondisi itu, mereka saat ini berada di level mana dan mengapa. Beberapa kesimpulan yang muncul antara lain:

  1. Rata-rata manusia berada di tahap ketiga, pikiran sering tidak fokus atau mudah kemana-mana (monkey mind).
  2. Penting memiliki percaya diri untuk melawan pikiran yang mengganggu dan mampu berkata “tidak.” Keyakinannya seperti, “Saya orang yang fokus, dan saya akan terus berusaha.”
  3. Ada peserta menulis, “Bersedia berubah sesuai kehendak Tuhan.” Hal ini sejalan dengan ajaran kitab: manusia berusaha, Tuhan yang menentukan, dan Tuhan juga yang memilih.
  4. Kesadaran sudah ada—peserta mulai mengamati diri sendiri—tapi masih bisa digali lebih dalam. Komitmen, kesabaran, dan disiplin perlu terus ditingkatkan.
  5. Pikiran harus stabil; dalam kondisi apa pun, manusia perlu tetap tenang. 

Shraddha Ma mengatakan, “Mengubah diri sendiri itu tindakan yang sangat sulit dan enggan dilakukan. Padahal mengubah diri sendiri itu jauh lebih berguna daripada mengubah orang lain, karena kita hampir tidak bisa mengubah orang lain. Kalau itu dilakukan, yang menderita kita dan orang lain juga.”

Shraddha Ma juga bercerita, saat mengikuti meditasi diminta membayangkan moment saat itu menjadi meditasi terakhir. Peserta diminta melakukan meditasi sedalam-dalam mungkin. Motif ini bisa dipakai, tapi semakin berlatih, motif harus lebih murni lagi.

Acara berikutnya, dilanjutkan dengan menyanyikan lagu “Dunia Panggung Sandiwara” (yang dipopulerkan oleh Achmad Albar, 1977).

SHARING KNOWLEDGE DAN PENGALAMAN 

(Foto: Tim IVS)
Pak Indra: “Sebenarnya saya mengikuti istri. Pertama kali cerita pas di Rumah Putih, menghadiri acara Abu Marlo, sangat exited untuk melakukan hal ini di rumah. Sesuatu yang baik harus didukung, ternyata sangat menyenangkan.”

Mbak Wulan: “Setiap kali mengikuti retret, selalu ada yang baru dan membahagiakan, terutama saat meditasi. Beda ketika sendiri dengan ada Shraddha Ma, seperti ada kekuatan yang lebih maksimal. Kalau meditasi di rumah sendirian, 30 menit itu terasa sulit, tapi jika bersama lebih enak.”

Pak Aang: “Saya ikut Vedanta pertama di Bogor, sejak itu di rumah berlatih meditasi setelah solat. Dalam meditasi, fokus bukan di luar tapi di dalam, di pikiran, perasaan, dll. Saya menemukan pola ternyata masalah itu bukan di luar, tapi di dalam diri kita sendiri. Di luar itu realita, dan itu netral, tergantung penilaian kita. Realita seperti cermin untuk mengoreksi diri apa yang masih kurang dan bermasalah. Fokus ke diri lebih banyak manfaatnya, daripada fokus ke luar. Ketika sadar diri, kita bisa mengecek diri sendiri.”

Pak Khairil: “Dengan Vedanta, perjalanan yang paling jauh adalah perjalanan ke dalam diri sendiri.”

(Foto: Tim IVS)
Bu Titut: “Dua hari di sini jadi semakin mantap untuk terus melatih dan mengasah kemampuan bermeditasi. Rasanya semakin tenang, bisa memilah-milah mana yang harus diutamakan. Kedua, yang menilai bukan diri saya sendiri, tapi keluarga terdekat seperti suami dan anak, mereka bilang saya lebih berbeda, kalem, nggak cemasan. Sekarang lebih tenang.” 

Bu Tres: “Saya bersyukur karena kita terus belajar. Rasanya saat masih bernafas, harus terus belajar, masih banyak yang perlu dikoreksi. Kalau meditasi bersama ini energinya lebih besar, kalau energi positif bareng, rasanya lebih besar. Semua tidak ada yang kebetulan, bertemu di sini memang sudah direncanakan.”

Bu Tina: “Awalnya banyak kegiatan yang perlu dijalani, tapi hidup ini pilihan. Saya pikir untuk mengikuti meditasi ini, kelemahan saya ada di monkey mind, sampai sekarang kesulitan karena kepala banyak pikiran. Saya coba dengan mengikuti meditasi, monkey yang lewat saya tontoni. Meskipun ada berita yang mentrigger dan berusaha untuk lebih tenang.”

Isma: “Dari penjelasan Ust. Khasan saya ingat kuliah-kuliah umumnya Swami Sarvapriyananda di YouTube. Saya ingat antara pengamat dan objek itu beda, pengamat itu satu dan yang diamati banyak, dan pengamat itu tetap dan yang diamati itu berubah-ubah. Saya suka datang ke meditasi bersama IVS karena saya lebih suka perubahan yang lambat, seperti bunga bertumbuh. Ketika saya datang kesini, saya menanam benih satu, satu, satu; perubahan yang terjadi di saya tidak langsung besar, tapi pelan-pelan. Termasuk bacaan buku terakhir saya “The Great Divorce” karya CS Lewis, penulis yang juga menulis series buku Narnia—ini bukan dongeng tapi semesta spiritualitas yang ingin diciptakan Lewis, Aslan sebagai tokoh utama ini merupakan simbolisasi Tuhan. Saya ingat salah satu kalimat di buku Lewis, ‘Kalau Tuhan cinta dengan seseorang, si hamba ini akan bilang, jadilah kehendak-Mu (Tuhan). Namun, ketika Tuhan membiarkan hambanya, maka yang dibilang, jadilah kehendakmu (kehendak hamba).” 

(Foto: Tim IVS)

Ayas: “Saya berteima kasih karena setiap hari dan detiknya dibanjiri dengan anugrah yang luar biasa. Ini sudah setahun lebih saya mengenal Shraddha Ma dan kawan-kawan IVS. Saya pikir ini anugrah terbesar bagi saya, karena selama di Vedanta, jarang sekali ada perkumpulan yang saya datang itu berulang kali, entah ada magnet apa, tapi saya merasakan ada transformasi di dalam diri saya. Di dalam menjalani kehidupan dunia, terutama bisnis, saya banyak merasa khawatir dan takut karena ketidakpastian di depan mata. Namun, setelah rutin pembinaan dan berkabar pada Shraddha Ma, pertanyaan Shraddha Ma satu, bagaimana meditasinya? Masih jalankah? Meditasi ini jadi kebutuhan untuk sekarang, dari sana saya bisa melihat sisi kehidupan. Saya menjalani bisnis lebih legowo, melihat angka oke, melihat kedinamisan apa pun di dunia ini, saya bisa merespons dengan lebih tenang. Saya bisa menjalani hidup lebih enjoy, powerful, dan percaya diri.”

Teh Nani: “Saya merasa lebih tenang, dulu saya merasa ketakutan, terutama malam. Saya pikir, bagaimana keluar dari hal itu, biar tak sedikit-sedikit takut. Lalu saya berpikir, kenapa saya harus takut? Ada Allah. Pelan-pelan, saya jalani, lama-lama terbiasa. Saya belajar untuk tidak egois juga. Saya belajar untuk menahan diri. Senang bertemu dengan kawan-kawan IVS, semoga ke depan lebih baik.”

(Foto: Tim IVS)
Bu Lanny: “Dua hari mengikuti retret dan materi kali ini, sejalan dengan kajian yang saya ikuti. Kelemahan saya dalam meditasi harus belajar lagi.”

Bu Qona: “Setiap ada retret itu seperti reminder terus untuk bisa lebih tenang, karena dulu saya gelisah, cemas, dan cepat bereaksi. Kebiasaan ‘senggol bacok’ pengen saya hilangkan. Saya mau lebih tenang, menjalani hidup lebih baik, awalnya cemas, tapi setelah meditasi, hidup ini indah banget. Keberlimpahan ini sudah komplit. Sekarang hanya prepare untuk pulang, kapan pun, I am ready, hanya untuk perjalanan pulang.”

(Foto: Tim IVS)
Sambutan penutup dari Tuan Rumah:

Bu Nani: “Terima kasih sudah berpartisipasi, menemani kami belajar bersama dengan Shraddha Ma dan Tim IVS. Semoga tempat ini bisa terus memberikan energi untuk semua, kita bisa tetap bertemu kembali dan sama-sama belajar.” 

Hari itu juga dilaksanakan doa bersama untuk Pak Pur dan keluarga, di mana anak Pak Pur (Kak Indi) sedang menjalani operasi di Singapura. Melakukan video call kepada Pak Pur untuk memberi semangat, dukungan, dan doa. “We love you Pak Pur.”

Minggu, 21 September 2025

Mimpi Salaman sama Rony Parulian di Sebuah Konser

Halo Rony Parulian, aku baru aja mimpiin kamu. Padahal konsermu yang ingin kutonton akan berlangsung tepat seminggu lagi (di Pakansari Cibinong), dan semalam (20/9/2025) kamu habis ngeluarin single bareng Andi Rianto dan Yovie Widianto. Isi mimpi itu Ron, aku terjebak dalam suatu konser, seperti konser anak-anak SMA. Band-nya anak-anak SMA, tapi band yang kutonton itu tidak jelas. Aku gak ada energi atau rasa sama sekali, tapi mungkin aku paksain datang. Di sana, aku seperti ketemu sama orang-orang yang tak begitu suka denganku. Aku tak tahu alasannya. Suasananya abu-abu, mendung, seperti akan hujan. Usai konser itu emang hujan. 

Aku kemudian duduk di belakang panggung, di pinggiran gitu. Lalu, di sampingku ada panggung lain, kamu nyanyi jelas banget Ron, nyanyiin lagu "Pesona Sederhana". Ada jalan tikus yang pagarnya kebuka di sekitar situ, aku dan beberapa panitia lain masuk. Aku meninggalkan beberapa barang, seperti hape dan tas untuk ngejar konsermu. Kami (aku dan beberapa orang panitia) masuk lewat jalan tikus yang tak membayar. Konser itu ramai sekali Ron. Aku histeris, aku nyanyi "Pesona Sederhana" kayak orang kesetanan. Teriak-teriak senang sekali. Aku naik di sisi panggung sambil jingkrak-jingkrak. 

Di sisi samping sebelah kanan, sisi panggung yang sepertinya mustahil kamu lihat dan perhatikan Ron, kamu notice juga. Aku ingat dengan sebuah comment di medsos, kamu itu all in, penonton di sebelah mana pun selalu kamu kasi perhatian, termasuk di tempatku nonton yang tersembunyi. Aku effort banget di antara tinggi badanku yang tak seberapa mencoba menggapai tanganmu untuk salaman. Dan, Ya Allah, kena Ron. Aku bisa salaman sama kamu meski sebentar, rasanya seneng banget, mau nangis, kek, ih gila sih. Saat itu kamu pakai pakaian warna hitam seperti di konser Pestapora 2025 itu.

Sementara, fansmu, WeR1 yang nonton di bawah kayak kagum dan gak percaya juga aku bisa salaman sama kamu. Usai lagu "Pesona Sederhana", aku perlu ngambil barangku yang ketinggalan, takut hilang. Akhirnya aku dan beberapa panitia ngambil barang itu, tapi pas balik lagi ke konser, udah bukan kamu lagi, tapi ada suara-suara yang nyanyi itu Kak Donie Sibarani (idolaku juga, eks-Ada Band dulu, kalian sama-sama anak Tuhan yang baik), ada juga Iwan Fals (idola bapak di rumah). 

Terus anehnya, aku ada di sebuah gang yang fotografis banget buat difoto, di sana ada beberapa ibu berpakaian cadar warna hitam di sebuah warung. Penjaga warung gang ini anak punk yang ingin ibu-ibu itu pergi, lalu ada orang bertato dan seperti ada tentara juga. Dengan rasa gak enak, akhirnya salah satu ibu itu membayar dan memutuskan pergi. Ibu-ibu itu seperti ada masalah, tapi gak tahu aku jelasnya. Sementara aku sebagai pembeli jajan cuma bisa memperhatikan. Suasananya mendung di mimpi itu. Di sekitarnya hujan, remang-remang.

Terus, aku bangun dan langsung menulis pengalaman ini.

Interpretasi Mimpi 

Rony Parulian dan antropologi
Aku coba analisis dan interpretasikan mimpiku itu ya, Ron. Mencoba untuk membuka lapisan makna yang ingin kuurai.

Jadi, aku merasa ada di konser anak SMA yang tidak jelas, dengan suasana abu-abu, bahkan di sana mendung dan hujan; itu kayak menggambarkan perasaanku yang lelah, hampa, dan tanpa gairah. Aku berada dalam situasi yang tak benar-benar terhubung. Fisikku mungkin ada, tapi jiwaku tidak di sana. Lalu, aku tiba-tiba melihat ada jalan tikus yang mengarah ke konsermu. Itu kayak peluang alternatif yang mencoba untuk mengeluarkanku dari rasa tak terhubung.

Lewat jalan tikus itu, aku juga mengambil risiko, di mana aku masuk tanpa harus membayar, apalagi aku juga meninggalkan barang berharga untuk hal-hal yang benar-benar aku cintai, Rony dan lagu "Pesona Sederhana" (anjay, eh, serius). Jadi kayak, aku punya semacam kerinduan besar dalam hal mengekspresikan diri, sekalipun mungkin aku harus keluar dari jalur "resmi" atau "mainstream". Ada harga yang harus kubayar, termasuk meninggalkan hape dan tas, aku juga harus hujan-hujanan buat sampai di konser itu. 

Namun, aku ngerasa tidak kecewa karena pilihan itu. Di konser itu kamu "all out", aku juga gak kalah "all out". Dari rasanya kek hampa, mati, jadi punya energi lebih dengan hadirnya musikmu. Kamu juga memperhatikan sisi yang bukan cuma di depan, tapi juga di samping bahkan di belakang. Di sana aku seperti merasa dilihat, dihargai, dan di-notice sama kamu. Aku senang banget sumpah, aku gak punya kata-kata yang tepat untuk menggambarkan ini.

Mimpi lalu berganti dengan penampilan dari Donnie Sibarani dan Iwan Fals. Aku pikir, perubahan ini bisa jadi semacam pergeseran dari figur-figur yang berpengaruh dalam hidupku. Kak Donnie itu mewakili selera pribadiku, dulu aku ngefans banget sama beliau, sampai sekarang juga masih sih. Terus, Iwan Fals yang disukai sama Bapak itu kayak mewakili nilai keluarga, tradisi, atau orangtua gak sih? Jadi kek, setelah euforia nonton konser Rony tuh aku kayak ditarik ke nilai-nilai lama, nostalgia, hingga hubunganku dengan Bapak.

Bagian paling absurd barangkali yang terakhir. Itu seperti kontras dengan euforia konser, tapi masih berhubungan dengan mimpi besarku menjadi seorang antropolog yang baik. Jadi, setting gang itu suram dan penuh ketegangan sosial. Di sana ada pertemuan kelompok-kelompok yang memiliki perbedaan kelas, ideologi, hingga moral. Semisal, ibu bercadar itu simbol kesalehan dan religiusitas, anak punk itu pemberontakan, orang bertato/tentara itu otoritas dan kekerasan, tapi di situ posisinya aku hanya jadi pengamat. Di sana ada konflik yang aku juga belum begitu jelas.

Mimpi ini tuh kayak memberiku semacam tanda untuk mencari cahaya yang tulus dan sederhana.  

Di mimpi ini aku punya beberapa kegelisahan:

  1. Rasa hampa karena datang ke konser yang kupaksakan sendiri, dengan energi yang redup dan orang-orang yang tak suka. Bisa jadi di situasi tertentu, aku berada di lingkungan yang kurang memberiku makna. Ada semacam keraguan dan ketidaknyamanan dari posisi itu.
  2. Tapi dari kasus itu, dengan aku memasuki jalur tikus, juga semacam ada keinginan jika aku perlu keluar dari jalur yang resmi, meskipun dengan risiko di mana rasa aman, identitas, hingga komunikasi aku kesampingkan terlebih dulu.
  3. Ketika salaman dengan Rony sebentar, itu juga aku merasa ada kerinduan dalam diriku yang butuh divalidasi, atau paling enggak untuk diperhatikan, meskipun itu hanya sebentar, rapuh, dan hilang dengan cepat.
  4. Soal Kak Donnie dan Iwan Fals, seperti ada benturan antara tradisi lama dan yang benar-benar kuinginkan saat ini.
  5. Sementara di adegan warung, aku merasakan ada rasa tidak enak, gamang, hingga kesulitan memaknai realitas yang keras. Di situ, aku punya kekhawatiran hanya menjadi seseorang yang apsif dan tak bisa berbuat apa-apa untuk membantu.  Semacam ada persimpangan nilai hidup di sana. 

Kerinduan pada Ruang yang Otentik

Pesona Sederhana Klip
Dari mimpi itu aku juga berefleksi bahwa diriku merindukan ruang yang otentik di mana aku bisa merasa "all out" seperti halnya Rony "all out" di musik. Dari sana, aku tak ingin membiarkan diriku berlama-lama di ruang atau konser yang salah, yang bukan aku, yang aku tak bisa merasakan keterhubungan. Aku akan memilih ruang yang membuatku semangat, bukan di tempat yang menjadikanku merasakan kekosongan. Meskipun, dalam artian tertentu, aku harus berani dan keluar dari jalur yang dianggap aman (dengan menghitung semua risiko dan mitigasinya). Di jalur itu, aku ingin mencari momen "Pesona Sederhana" dari kehidupan nyata yang aku jalani sehari-hari. Paling penting, aku perlu dengan berwibawa untuk menghadapi segala mendung yang terjadi dalam hidup. Aku tak perlu menunggu langit menjadi cerah dahulu untuk bisa bergerak. Aku akan terus berusaha meskipun situasi tak mendukung.

Aku juga tertarik pada hubunganku dengan Rony di sini. Dari mimpi ini, di alam bawah sadarku, aku menganggap Rony memang sebagai sosok yang hidup. Dia menjadi salah satu sumber vitalitas dan gairah hidupku yang penuh energi, dan di suatu moment ingin meledak (karena aku tipe orang yang memendam). Di konser-konser Rony, aku selalu bisa teriak-teriak bebas, gak ada beban, dan nonton konser Rony selalu jadi ritual melepaskan ketegangan dalam hidupku yang banyak gagalnya ini. Untuk menuju Rony, aku juga melakukan effort yang keras (waktu, perasaan, tenaga, uang, dll), dengan memberikan berbagai energi yang kupunya dari raga dan jiwa untuk menonton. 

Aku merasa Rony di suatu dunia lain adalah cermin dari diriku sendiri. Rony adalah versi diri ideal yang kurindukan. Entah itu dalam hal karakter, kesungguhan, kerja keras, dan sikap baik yang dia miliki. Pertemuanku dengan Rony di setiap konser seperti ritual perjumpaan dengan figur yang memberiku makna. Lagu "Pesona Sederahana" juga semacam menjadi manifesto dan pesan batin yang dalam. Di mana aku merindukan sesuatu yang tidak ribet, tidak penuh konflik, tapi sesuatu yang tulus dan sederhana. Rony juga memberiku cahaya sederhana di tengah berbagai mendung hidup yang kulalui. Mimpi ini sebagai konfirmasi bawah sadar akan koneksiku ke Rony, tanpa Rony harus tahu.

Aku udah tiga kali nonton konser Rony. Rasanya seneng, Minggu depan banget nonton keempat kalinya. Aku seorang WeR1, dan bagiku ini identitas kolektif. Di sana ada rasa yang sama, kebersamaan, relasi di tengah kerumunan yang menyatukan. Di konser Rony, aku merasa bukan hanya hadir sebagai penonton, tapi juga diriku yang terdalam. 

Semalam Rony mengeluarkan single “Salahi Aku (Ku Jatuh Cinta Lagi)” hasil kolaborasi dengan Andi Rianto dan Yovie Widianto. Aku ikut bangga. Sukses terus Rony, aku akan selalu mengingatkan pada diriku sendiri, kalau aku ingin jadi kakak perempuan yang baik untuk Rony. Entah di universe yang mana. Selamat ya Ron, sekali lagi. Aku bangga sama kamu.

Jakarta, 21 September 2025