Joseph Murphy - The Secret of I Am That I Am (2021)
Buku ini benar-benar mengingatkanku dengan konsep Advaita Vedanta terkait
"Man is God". Tuhan adalah manusia. Setelah membaca ulang biografi penulisnya, bisa dimaklumi, Dr. Murphy dulunya memang pernah belajar ilmu-ilmu agama di India, sebelum dia kembali ke agama aslinya, Kristen. Setelah mendapat ilmu puncak terkait ketuhanan itu, dia menjadi seorang umat Tuhan yang baik. Buku ini dari awal sampai akhir sangat bunyi, kata-kata dan kalimatnya bernas, hampir tak ada yang mubazir. Aku bisa merasakan cahaya Ilahi dalam buku ini, seolah dia menulisnya dengan kesadaran yang tulus, kerja yang tulus terhadap Tuhan, dan menempatkan Tuhan di awal dan akhir, sementara hal-hal lain ditaruhnya setelah Tuhan.
Sekali lagi ingin bilang, semangat serupa ini aku temukan juga pada buku-buku Swami Vivekananda. Yang dimaksud Murphy terkait "I Am" adalah "I Am God", semua kekuatan ada di dalam diri. " I Am in my true place. I Am doing what I live to do. I Am divinely happy. I Am divinely prospored." Yang menarik pula dijelaskan jika Tuhan merealisasikan dirinya di dalam manusia, membagi Diri menjadi perempuan dan laki-laki. Lalu, pikiran sadar diibaratkan sebagai laki-laki, sementara pikiran bawah sadar diibaratkan sebagai perempuan. Apapun yang kita katakan terhadap keduanya, benar adanya.
Murphy menyebut pula, segala kesedihan, penyakit, hal jelek dan jahat yang ada di diri karena kita menempatkan Tuhan setelah kekuatan-kekuatan lain di luar Tuhan. Tindakan ini disebut sebagai "idolatry", yang dalam pengibararan yang lain disebut sebagai persekongkolan dengan iblis. Kalimat yang bagiku mengena lainnya adalah "You don't go to God with a problem." Karena kamu Tuhan itu sendiri. Jangan ada kata sibuk untuk Tuhan, tulus Murphy juga, "Do you put something before God? Do you say, 'I'm too busy?' Are you saying you're too busy for God?".
Harry Gaze - My Personal Recollections of Thomas Troward: The Teacher and The Man (1958)
Aku membaca buku ini setelah dapat referensi nama dari buku Joseph Murphy sebelumnya, dan nama itu adalah Thomas Troward (penulis Inggris yang mempengaruhi New Thought Movement/Gerakan Pemikiran Baru dan Kekristenan mistik). Gerakan Pemikiran Baru ini muncul di AS awal abad ke-19, gerakan ini membantu orang-orang mendapatkan pemahaman yang lebih baik berkaitan dengan misteri-misteri Ilahi dengan kekuatan pikiran. Terkait ini, karya paling berpengaruh dari Troward adalah "Edinburgh Lectures".
Sementara itu, ditulis oleh Harry Gaze, buku yang saya baca ini menceritakan tentang pengalaman Harry ketika bertemu dengan Thomas, atau semacam bibliografi. Pengalaman terkait pertemuan, buku-buku, gagasan-gagasan, hingga yang menurut ku agak kebaikan adalah menyamakan Troward sebagai nabi. Inti acara Troward sebenarnya sama dengan ilmu keesaan di agama-agama lain, tak hanya di Kristen, tapi juga agama samawi dan Hindu.
Thomas Troward berasal dari India, beberapa buzzwords idenya yaitu tentang: Mind, The Arena, Boston Ideas, Positive Thoughts, Unity, Universal Truth, Nautilus, and the Exodus. Yang juga mempengaruhi bebeberapa nama seperti: Henry Wood, Charles Brodie Patterson, Elizabeth Towne, Raplh Waldo Trine, Emilie Cady. Gerakan pemikiran baru ini cukup kukenal dari berbagai film atau bacaan yang khas Barat. Menurut Troward, cuma ada dua buku penting di dunia ini: Bible (kitab suci) dan buku terkait alam (I find just two books really worth study, the Book of God (Bible) and the book of Nature.)
Jika Troward memperkanlkan kata terkait "Mental Science" dan "Bible Mystery", aku kepikiran mengulik tentang "Islamic Science" dan "Al-Quran Mystery". Di buku ini juga jadi semakin paham terkait bagaimana pengaruh kata ("Some may think that Mother Nature takes but little notice of our words; but she listens in, and engraves them in flesh and blood."). Selain itu juga terkait makanan (Two solid bodies cannot occupy the same space at the same moement in Time, my dear. This is the table-philosophy.) Juga bagaimana pikiran dan tubuh itu satu kesatuan (relation between the action of the mind and the resulting conditions in the physical body. ... The builder of the body, it will build up a body in corresponcence with the personality thus impressed upon it.)
Beberapa pemikiran lainnya yang menarik pemikiranku lebih lanjut:
- She possessed a faculty for concentration.
- Plan, paid no attention, and did not even turn his head.
- Valued little signs of affection.
- Put your whole trust in Him and fear not.
- Constant conversation with God in our heart.
- Let me find Thee this day in myself.
- The Fully Risen Man. Mr Troward visualizes this transformed body as possessing amazing powers and qualities.
- Love being the only quality which cannot be mechanical, automatic, as is the cosmic consciousness
- "To control conditions, we must learn to control the relative by the Absolute."
- "The desirable thoughts of health and healing, or success and properity can be aided by tht trained power of imagination and visualization."
- You must work, but take no anxious thought. "We must not fly in the face of the Law by expecting it to do for us what it can be only do through us; and we must therefore use out intelligence with the knowledge that it is acting as the instrument of a greater intelligence... Anxiety and 'toilsome labor' will be replaced by states that are a permanent source of all that is good."
- Intuitive pwer, by which we perceive Truth, is the right path to travel in.
Jujur, saya membaca buku ini banyak menyekip hal-hal yang menurut saya telah saya pahami dan common sense, dan saya akan berhenti pelan-pelan lagi membaca ketika hal itu penting dan baru. Saya menyadari, cara ini lebih efektif untuk mengelola energi saya. Satu yang saya setuju berkaitan dengan pernyataan Ram Dass, "The spiritual journey is individual, highly personal. It can't be organized or regulated. It isn't true that everyone should follow one path. Listen to your own truth."
Joseph Murphy - The Power of Your Subsconscious Mind: Unlock Yout Master Key to Success (2010)
Ini buku Joseph Murphy ketiga yang kubaca. Isinya berkaitan dengan bagaimana alam bawah sadar atau pikiran bawah sadar kita bekerja. Murphy menggaransi, ketika kau membaca buku ini, hidupmu akan berubah, hidupmu akan mengalami suatu mode turning point. Well, buku ini cukup membantuku untuk mempelajari bagaimana alam bawah sadar bekerja. Semua yang kita lakukan, percayai, dan rasai banyak ditentukan oleh alam bawah sadar ini, sementara pikiran sadar hanya memvalidasinya saja. Pikiran sadar jadi gatekeeper terakhir yang menentukan apakah suatu ide, masukan, input, atau sebutan lain itu boleh masuk dan tidak boleh masuk.
Namun ingat, alam bawah sadar gak bisa milih, gak bisa nentuin, dia macam tanah yang apapun ditimpakan kepadanya akan memberikan efek. Ketika banyak diisi oleh hal-hal baik, maka yang keluar pun hal baik. Begitu juga sebaliknya, ketika yang ditanam banyak hal jahat, maka yang keluar seperti itu, atau tinggal ditunggu bom waktunya saja. Dari awal bab hingga akhir bab, banyak dijelaskan berbagai contoh dan praktik bagaimana alam bawah sadar bekerja (karena saking berulang-ulangnya cerita, ada di suatu titik buku ini membosankan. Kalau merasa begitu, mending baca poin-poin kesimpulan yang ada di akhir bab). Misal suatu afirmasi bagaimana menjadi kaya raya, memilih jodoh yang baik, memilih pekerjaan, berempati, sehat, memutus trauma, dll.
Murphy mengingatkan berkali-kali agar hati-hati memasukkan sesuatu ke alam bawah sadar, karena itulah nanti yang akan terjadi. Jangan penuhi diri atau alam bawah sadarmu dengan ketakutan, anxiety, sedih, gelap, tak bisa, atau pikiran negatif lainnya, jangan, itu nanti akan merusak dirimu sendiri. Namun isilah alam bawah sadar dengan cinta, damai, tenang, keteduhan, syukur, kebahagiaan, harmoni, kesehatan, inilah puncak hidup yang ingin dicapai tiap orang. Tak lupa, di setiap buku Murphy, dia selalu mengingatkan kita pada Tuhan, sebagai sumber utama semua kebaikan. "Infinite intelligence always finishes successfully whatever it begins."
A.A. Navis - Gerhana (2004)
Awal membaca buku ini, aku udah dapat feeling kalau buku ini jelek. Pembukaannya sudah menunjukkan adegan kecabulan yang sebenarnya malas untuk kulanjutkan, tapi harus aku selesaikan sebagai bahan kritik esai AA Navis. Jika kau berharap gaya tutur, pesan, ideologi, dan after taste experience yang seperti membaca "Robohnya Surau Kami", jangan berharap banyak. Novel ini tak lebih dari sekumpulan novel stensil metropop yang penuh dengan adegan dewasa. Bedanya, Navis memberikan latar Minangkabau, yang saya ragukan apakah benar kehidupan mahasiswa dan kampus di Minang pada masa itu telah sebebas-bebas itu? Jika cerita Ana Karina dan Kartini serta kawan-kawannya ini terjadi di Jakarta atau Jogja barangkali aku bisa sedikit maklum, tapi membayangkan ini terjadi di daerah Minangkabau, aku tak menyangka. Apalagi, novel ini ceritanya merupakan cerita bersambung untuk koran Kompas, haish, aku kecewa.
Secara alur, novel ini berkisah dua mahasiswa miskin dari kampung, kuliah di Padang. Namanya Ana dan Kartini, kerjaan mereka selain kuliah adalah menemani pria-pria kesepian yang telah beristri. Mereka bukan literally perempuan tuna susila, tapi pergaulan yang bebas membuat citra keduanya jadi buruk. Apalagi, Ana dan Kartini ini yang kutangkap tergolong biseks, mereka satu kos melakukan adegan-adegan sentuhan, juga menerima cinta dari laki-laki lain. Laki-laki yang sesungguhnya disukai Kartini adalah penyair kampus mokondo bernama Ben Virga; sementara lelaki yang disukai Ana adalah anak militer macam polisi gitu bernama Krisno. Kisah cinta keduanya berakhir tragis, Kartini menikah dengan lelaki kaya bernama Binsar yang attitude-nya tak beda jauh dengan ayah Kartini yang tak bermoral. Lalu, Ana lebih tragis lagi, dia diperkosa oleh laki-laki berjaket, stress, dan bunuh diri (dengan akhir kisah yang mengambang, apakah Ana bisa diselamatkan atau tidak).
Di antara hidup Ana dan Kartini, juga ada kisah-kisah bebas dan liberal lain, misal dari perwira tua bernama Darmo dengan istrinya yang masih muda mantan pramugari bernama Yanti. Darmo impoten sehingga membiarkan Yanti dengan bebas berinteraksi dengan lelaki brondong mana saja. Salah satunya, Yanti berinteraksi dengan Katar, asisten dosen yang tak kalah tercelanya. Katar telah tunangan dengan Ida, tapi juga tak bisa melepaskan Yanti, nyaris terjadi hubungan badan di tempat rekreasi tetapi tak jadi. Katar akhirnya menikah dengan Ida, yang terpaksa pernikahan itu dipercepat karena ketika Katar menginap di rumah ortu Ida, mereka melakukan hal yang dilarang agama juga. Kasus yang tak kalah heboh, bagaimana politik kampus dan kekuasaan berjalan. Bagaimana seorang dosen (Nur Rivai) mencoba menggagahi Ana di ruang kantor. Padal dosen itu ingin balas dendam pada perempuan yang dicintainya bernama Magdalena.
Juga kisah lain dari pemilih kos Pak Musa dengan istrinya Tante Lena. Pak Musa ini mantan pejuang negara, PNS yang mengandalkan hidup dari pensiun yang tak seberapa. Dia meninggal setelah mendiskusikan hal-hal serius terkait negara dan perang dan politik dan pemerintahan. Di mana cerita ini didiskusikan bersama Darmo dan Ben Virga. Yang mendapat serangan jantung juga si Darmo, apalagi di usia-usia yang mendekati pensiun, dengan istrinya Yanti yang tak jelas. Dia membayangkan bagaimana hidupnya lebih buruk dari Pak Musa. Sebelum ketemu Pak Musa, Darmo juga saking kesepiannya di hari Minggu, mondar-mandir cari teman, dan tak ketemu-ketemu.
Selain itu juga ada kasus lain terkait pengggunaan dana SPP yang diputar ke investasi yang tak benar dan cenderung merugikan. Akhirnya, pembantu rektor bernama Ismet Kadri melakukan cuci piring masalah-masalah tersebut. Apalagi, ketua dewan mahasiswa bernama Iskandar dan koleganya Mansur melakukan demo mogok ala Gandhi di sekitaran rektorat untuk mengusut skandal Ana dan dosen, juga kasus SPP yang belum tahu diarahkan kemana.
Para tokoh di novel Gerhana ini tak ada yang menurutku bermoral benar dan baik. Hampir semua tokoh dikarakterisasi hanya mengikuti hawa nafsunya saja. Meskipun dibahas tentang karakter orang-orang dan ada Minang yang tak mau diatur, atau bejatnya politik kampus, tetap saja novel ini tak memberi cahaya apa-apa melainkan hanya kegelapan. Hanya nuansa kerusakan dan kerusakan yang aku baca di cerita Gerhana ini. Jika diibaratkan orang lapar, Navis hanya memberi nasi satu sendok dan itu pun tidak enak. Ini karya Navis paling jelek menurutku pribadi.
Tempat Terbaik di Dunia - Roanne van Voorst (2018)
Termasuk telat membaca buku "Tempat Terbaik di Dunia" ini di awal penerbitan pertamanya. Model-model tulisan yang sebenarnya aku cari untuk memperdalam riset dan buku yang tengah diminta oleh teman. Aku seperti mendapat gambaran terkait bagaimana riset antropologi dan etnografi yang baik, bagaimana bekerja di lapangan, dan fitur-fitur bertahan hidup seperti apa yang harus aku lakoni. Tak hanya itu, Roanne juga bisa mendeskripsikan dengan baik kehidupannya di lingkungan barunya.
Roanne van Voorst cukup berani mendedikasikan diri tinggal selama hampir setahun hidup di Bantaran Kali di sebuah tempat di pinggiran Jakarta yang retan terkena banjir. Meninggalkan hidup mewah dan damai ala yoga, dan hidup berbeda 180 derajat dari dunia aslinya. Di tempat itulah slums ecosystem di masuki dengan semua "ketidakenakannya. Di sana dia bertemu dengan penduduk (anonim): Tikus, Enin, Neneng, Yantri, Toni, Yusuf, Pinter, dlsb.
Para nama tersebut adalah tetangga Roanne. Dia tinggal di bantaran sungai yang ala kadarnya, dengan sanitasi yang buruk, tanah yang tak berkeramik, air yang menyedihkan, nyamuk yang banyak, dan berbagai potensi kriminal ala masyarakat kelas bawah. Awal cerita dimulai dari perjalannya menemukan tempat penelitian di Jakarta, dia ditemani Tikus yang mengantarkannya pada "tempat terbaik di dunia".
Di kampung itulah, Roanne kemudian beradaptasi. Dia menyewa tempat di sana, dia menceritakan bagaimana pentingnya portofon. Portofon ini hampir mirip dengan raket bagi pemain badminton, dia serupa melambangkan status sosial. Dari portofonlah informasi banjir bisa diterima dengan cepat, hingga waktu serta ketinggiannya.
Roanne juga menceritakan tentang kehidupan keuangan, kesehatan, pekerjaan, hingga rahasia kehidupan seks para PSK di Bantaran Kali. Tak lupa, Indonesian Values yang dimiliki orang Indonesia tak lupa juga dia kuliti, seperti budaya korupsi yang dijadikan sebagai perekat sosial bahkan, apapun yang ingin sukses harus ada uang pelicin. Ini nampak dari lamanya pembuatan surat izin penelitian, jasa tukang pos yang mengirim surat ke Roanne di Bantaran Kali, dlsb.
Salah satu kondisi yang menyedihkan adalah bagaimana rumah sakit dan dokter tak adil dengan orang-orang di Bantaran Kali. Sahabat Tikus yang OD tak terselamatkan setelah keracunan sabu-sabu oplosan, seorang bapak yang habis kecelakaan meninggal 8 jam setelahnya setelah dokter tak juga mengurusinya, nyawa begitu murah sepertinya. Sedih banget baca part ini, sampai-sampai, ketika Roanne sakit, agar dokter tidak mencampakkannya, dia diminta pakai pakaian bagus, sandal bertumit, hingga mengaku kalau rumahnya di daerah Menteng, sambil mencari nama jalan dan nomornya di Menteng bersama Edi, tukang ojek langganannya.
Tak kalah menyedihkan adalah tentang rumah. Salah seorang warga di sana mencoba mengelabui pemerintah dengan mengganti lantainya ke marmer dan tiangnya dengan pilar. Sesuatu yang tak masuk akal! Wkwk, banyak sekali paradoks, tapi warga Bantaran Kali yakin, dengan menggantinya ke marmer dan pilar, maka ganti-rugi yang didapat menjadi lebih besar, meski marmer dan pilar disiasati dengan harga murah, dan meski mereka harus utang-utang dulu untuk membelinya.
Di Bantaran Kali itu juga ada Pinter, bankir atau rentenir yang bekerja dengan cara unik. Pinter membuka bank dadakan, ketika orang ingin menitipkan uang kepadanya kemudian uang itu diputar. Sistemnya juga menarik, ada tulisan khusus yang akan mengingatkan tujuan dari orang itu menabung, misal ingin membeli televisi rusak yang dilakukan oleh Tikus, ingin membeli seragam sekolah, ingin membeli game, dll. Uang ini tak boleh diambil sebelum targetnya selesai, ketika tercapai, Pinter akan mengapresiasinya dengan memberi nasi tumpeng.
Tikus sendiri menurutku sosok yang unik, dia pengamen, tak jelas asal-usulnya karena Roanne tak menceritakannya dengan jelas juga. Dia membuka bisnis fitnes di tempat yang seperti itu, bayangkan! Setelah gagal dengan servis televisi rusak kemudian dijual kembali, karena dia tak punya keterampilan untuk hal itu. Semua barang-barang fitnes, dari marbel sampai alat-alat pembersar otot dan jacuzzi diusahakannya sendiri, haha, ini bagian terlucu menurutku. Selain kisah Neneng, seorang PSK yang ditinggal suaminya, bagaimana pengalamannya terkait ratus vagina, tonggak Madura, dan jamu-jamu atau ramuan tradisional serta buah yang baik untuk menambah gairah, seperti makan mangga yang banyak dan diberi cabai hingga pedas.
Berikutnya, begitu orang-orang Indonesia itu gak bisa kesepian dan melihat orang lain kesepian, budaya kelompok ini diceritakan Roanne dengan terbalik sebagaimana yang terjadi di Belanda, ketika orang lebih suka bersifat individual dan mind your own business. Bahkan hingga akhir tulisan, ketika Roanne pergi ke bioskop sendirian, seorang ibu yang membawa tiga anak meminta anaknya untuk duduk di dekat Roanne, padahal dia menginginkan apa yang disebut di lagu Tulus sebagai "ruang sendiri".
Akhir-akhir buku ini memang sedih, Bantaran Kali digusur! Tikus kehilangan ruang fitnes yang diusakannya menggunakan alat-alat ban dan berbagai alat bekas lainnya. Tempat terbaik di dunia itu telah hilang, tapi daya, semangat, dan denyut mereka akan masih ada. Secara pribadi buku ini patut untuk dibaca dan sangat bagus untuk penulisan antropologi dengan pendekatan obvervasi partisipatif. Kelebihan lainnya, buku ini bukan tipe buku antropologi yang bahasanya membosankan, karena si Roanne sendiri menulis novel, jadi kebahasaan dia sangat baik. Pembaca tak perlu mengerutkan dahi juga dengan paparan data yang sifatnya statistik, nyaris cuma nol koma sekian persen saja.
Beberapa kritikku mungkin Roanne tidak menjelaskan latar belakang Tikus, Neneng, Enin, dll, yang menurutku cukup penting untuk menerangkan motif mereka tinggal di Bantaran Kali. Roanne di buku tampaknya asik sendiri dengan masalah-masalah bersama yang dihadapi oleh warga Bantaran Kali dengan kemiskinan, banjir, masalah kesehatan, perumahan, dan sosial mereka. Kritik berikutnya, melihat edisi asli buku ini di bahasa Belanda, aku cukup terganggu dengan peletakkan foto Roanne sebagai sampul buku, entah, itu nampak narsistik sekali. Marjin Kiri pun juga menampakkan foto Roanne meski ditaruh di pinggir. Apa mungkin foto dia untuk menegaskan posisi dia sebagai antropolog? Kurasa tak seperlu itu.
Roanne menulis buku ini di usinya yang masih muda, sebagai bahan disertasi Antropologinya di UvA. Kelebihan buku ini selain materi adalah cara penyampaian Roanne yang tak membosankan, karena di beberapa buku-buku Antropologi tertentu, penjelasan bisa sangat membosankan. Buku ini juga gak banyak statistik bahkan dikit sekali yang buat mengerutkan dahi. Gaya bahasa ini didukung karena Roanne sendiri juga seorang penulis novel (novelis).