“Adakah hari lain? Semua tak kan berubah.”
Penggalan lirik lagu “Bangku Taman” karya Pure Saturday ini
begitu menggambarkan banyak hal dalam hidup saya setahun ini. Lagu tersebut
menjadi lagu paling banyak saya dengar sepanjang tahun 2021. Momen yang begitu
puitis ketika saya mendengar lagu ini di sebuah bus dari siang menuju sore ketika
menempuh perjalanan seorang diri dari Tulungagung ke Trenggalek untuk keperluan
riset lapangan. Di dalam bus, kuping saya mendengar dan mata saya melihat jalan
raya yang seperti berlari, sementara pohon-pohon di sisi kiri dan kanan serasa
membuat saya memasuki sebuah Nirwana yang lain. Untuk sekian kalinya saya
dibuat namaste karena sebuah lagu.
“Siang, saat panas, membakar muka yang penuh, peluh dan
luka... Luka...”
Lagu itu terus bersenandung. Januari dan Februari 2021 saya
lalui dengan bertandang ke beberapa kota Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,
dan Yogyakarta, menyelesaikan riset terkait cyber troop Lembaga
Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Dari banyak
kesan, tentu pengalaman. Saya bertemu dengan keluarga baru di Blitar (juga
berkunjung ke Makam Bung Karno), masuk ke POLDA Jawa Tengah, menemui kawan lama
di Semarang, wawancara Bung aktivis di Bandung, atau berkunjung ke beberapa
kenalan di Jakarta.
|
Album Time for a Change - Time to Move On
|
Capek? Iya. Badan saya sempat
drop usai dari Jawa
Timur. Saat itu kos saya masih di Godean. Salah satu kos dengan suasana yang
tak mau saya tempati lagi, karena udaranya yang begitu sangat lembab (sampai
baju saya banyak yang jamuran dan laptop saya hang), matahari tak bisa masuk,
setiap waktu lampu harus dinyalakan, bertetangga dengan orang yang tidak ramah,
hingga saya rasa ini kos bebas pertama selama saya ada di Yogyakarta dengan diperbolehkannya
lawan jenis masuk ke dalam kamar. Saya tidak tahan dan memutuskan untuk pindah.
Kepindahan saya didasari dua alasan, pertama lingkungan yang
cepat/lambat akan merusak saya, kedua kos baru ini lebih dekat dengan pekerjaan
baru saya sebagai editor lepas di Penerbit Pocer dan Tanda Baca milik Mas Eka
Wijaya atau kerap disapa Eka Pocer. Setelah berselancar di internet, akhirnya
saya mendapat kos yang suasananya 180 derajat dari yang di Godean. Kos itu
bernama Vidagarin di Jalan Pandega Rini, Kenthungan (utara UGM). Pemiliknya ada
duo eyang suami-istri yang sudah sepuh tapi sangat perhatian dan baik. Kos
eyang adalah kos paling ideal selama saya pernah ngekos, perabotan lengkap, ada
wifi, ada taman, ada dapur, jendela yang lebar, serta yang lebih penting saya
bisa melihat awan dan menghirup udara segar setiap hari.
Di Kos Vidagarin, ada sekitar 18 kamar kalau tidak salah,
termasuk kawan SMP-SMA saya bernama Ika ngekos di sini. Sebagian besar bekerja
dan sebagian kecil anak kuliahan UGM dan UNY. Di sini kami pernah masak bersama
ketika Idul Adha. Eyang membagikan beberapa kilo daging untuk dimasak, sambil
dibantu Mbak Sri penjaga/PRT kos. Eyang putri tiap pagi sering olahraga, dan
eyang kakung begitu rajin mengecek motor-motor penghuni kos setiap malam,
setiap hari. Eyang putri sesekali curhat ke saya, semisal ketika ngecek motor
ada yang kurang, eyang kakung akan sangat gelisah tak bisa tidur dan mengomel
pada diri sendiri. Dari sini saya belajar, betapa bertanggungjawabnya eyang
kakung, bahkan di usia setua itu. Di kos ini juga saya belajar memasak secara
intensif, ini membuat saya sangat jarang beli makan di luar. Pasar pun sangat
dekat, mudah dijangkau, dan murah.
Yang tak saya lupakan juga di kos ini adalah lingkungannya
yang tenang meski dekat dengan jalan raya Kaliurang. Di sekitar kompleks kos
ada Museum Pahlawan Pancasila yang sering hanya bisa saya lihat saja dari
depan. Dari kabar, museum bercorak rumah Joglo itu menjadi tempat dimakamkannya
pahlawan revolusi Brigjen Katamso dan Kolonel Sugiyono. Ada lubang bekas
peristiwa G30S di sana.
Selain itu, menggiati hobi lama saya untuk ziarah ke makam. Saya
juga sering berkunjung ke Makam Keluarga Besar Universitas Gadjah Mada di
Sawitsari yang sangat dekat dengan kos. Di sampingnya juga ada makam kecil
tokoh pendiri BRI. Di Makam Keluarga Besar UGM ada beberapa nama intelektual
yang saya kenal di sana, seperti Kuntowijoyo (sastrawan, budayawan), Prof.
Muslim (fisikawan yang sering disebut oleh pembimbing skripsi saya), Herman
Johannes (insinyur, rektor UGM), juga pakar ekonomi kerakyatan Prof. Mubyarto
yang makamnya sangat dekat dengan Kuntowijoyo, serta banyak nama lain yang saya
lupa nama-namanya. Setiap kali saya berkunjung ke makam itu, cita-cita saya
untuk menempuh pendidikan setinggi-tingginya selalu terlecut, karena di
nisan-nisan itu banyak yang bergelar Doktor dan Profesor.
|
Buku "Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia" oleh Kuntowijoyo
|
Dan kamu pasti bisa menebak, makam yang sering saya datangi
adalah makam Pak Kuntowijoyo, Tirto telah menulis biografinya dengan apik di
tulisan "
Bagaimana Kuntowijoyo Meramu Sejarah dan Sastra Sekaligus?"
Jadwal kunjungan saya ke makam biasanya setiap Senin sebelum berangkat ke
Pocer. Biasanya saya sempatkan untuk membaca Surat Yasin. Entahlah, saya
seperti ada keterikatan emosional dengan beliau. Salah satu buku terbaiknya
yang pernah saya baca berjudul “Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia”. Buku
itu jernih banget nguliti problem umat Islam khususnya di dunia intelektual.
Kadang saya juga pernah datang ke makam saat pagar ditutup karena saking
paginya setelah saya jalan-jalan habis subuh, biasanya saya akan nekat masuk
nyerempet-nyerempet pagar pukul enaman. Kadang ngerasa horor juga sih, tapi
seru, saya hanya yakin kalau pun horor hantunya pasti baik-baik—mungkin akan
ngajari saya kalkulus, hahaha.
Ingat ini, saya jadi keingat pas perjalanan pulang dari
Trenggalek ke Jogja. Saya sempat mampir ke tempat kelahiran Bapak saya di
Bojonegoro dan menyempatkan diri berkunjung ke makam Mbah Kung dan Mbah Yi di
Makam Rider Bojonegoro. Saya sampai saat itu malam sekitar pukul tujuh dan
makam pagarnya ditutup, saya nekat masuk ke dalam karena nisan Mbah Kung dan
Mbah Yi sangat dekat dengan pagar. Dan di makam itu saya bisa menangis
sepuas-puasnya, gak tahu, nangis saja di malam yang gelap sampai beberapa lama,
kemudian rasanya lega. Mungkin di alam sana Mbah Kung dan Mbah Yi heran,
ngapain ini cucunya datang kok malah sesembikan. Saat itu kondisi saya memang
labil secara emosi, banyak yang saya pikirkan, ditambah ada pergolakan lain
setiap saya ke Bojonegoro beserta keluarga besar Bapak.
|
Menelusuri dan Mencatat Jejak Tirto Adhi Soerjo di Kota Bojonegoro (Sumber: Jurnaba.co) |
Paginya saya kembali lagi ke makam Mbah Kung dan Mbah Yi
dengan berjalan kaki sekitar dua kilo dari penginapan melati—sebenarnya ada
rumah saudara-saudara Bapak, tapi saya tak enak mengganggu. Sebagaimana insting
saya untuk mencari tahu penunggu makam (istilah sananya “danyang”), akhirnya
saya menziarahi juga makam Bupati Bojonegoro ke-16, Kanjeng Raden Adipati (KRA)
Tirtonoto. Ketika saya mencari profilnya di Google, ternyata KRA Tirtonoto
adalah kakek dari tokoh pers Tirto Adi Suryo. KRA Tirtonoto ini gemar membaca
dan menulis, tulisan “
Kisah Dodot, Penjaga Makam Rider, Pemakaman para Bangsawan” ini mengatakan, tentang silsilah
para raja di Jawa—saya
juga sempat ketemu Pak Dodot di rumahnya btw. Saya kaget dengan analisis saya sendiri.
Bapak saya pernah bercerita, Makam Rider itu dari kata
leader (pemimpin), yang dimakamkan di makam tersebut kebanyakan para rider,
hanya keturunan rider yang bisa dimakamkan di sana termasuk kakek saya. Lah,
kalau kakek saya keturunan KRA Tirtonoto; berarti saya ada silsilah dengan
Tirto Adi Suryo dong? Dan saya langsung keingat, di tahun 2019 lalu saya pernah
menziarahi makam TAS di Bogor. Di sana saya sempat tersesat karena kompleks
makamnya sangat besar hingga harus mencari penjaga untuk menunjukkan makamnya.
Ya Allah, tidak sia-sia perjalanan ini sampai saya bisa mengenal peta silsilah
masa lalu nenek moyang secara lebih luas. Saya juga ingat kata Bapak saya, nama
Ningrum yang ada di nama lengkap saya sejarahnya terkait dengan darah bangsawan,
Jawanya mriyayeni. Bapak ingin nasib saya juga seperti itu.
Pekerjaan
Sepanjang tahun 2021, ada empat pekerjaan lepas yang
terkadang saya tandangi dalam satu waktu. Jadi editor, sekaligus jadi
proofreader, sekaligus nulis laporan riset, sekaligus review jurnal. Kadang
juga menerima job penulis konten dan transkrip. Semuanya pada bos yang
berbeda-beda. Stres? Jelas. Depresi? Pernah. Sebab semuanya kerja-kerja
otak—dan hanya itu yang saya bisa—saya tak bakat di dunia kerja-kerja fisik
mengingat tubuh saya yang kecil dan sering dikatakan ngantukan. SJW kalau saya
bilang kerja, kerja, kerja membuatmu sejahtera; apalagi di rezim upah murah
Jogja di kolam gig ecomomy.
Di pekerjaan sebagai editor bersama Mas Eka, Mbak Tami, Mbak
Fitri, dan Olen; setiap hari Senin dan Kamis saya berangkat ke kantor Pocer.
Gaya kerja di Pocer fleksibel, kekeluargaan, dan duo Mas Eka-Mbak Tami sering
membawai saya makanan-makanan yang membuat saya kenyang di kos. Saya di Pocer
seingat saya dari bulan Februari sampai Agustus, sekitar kurang lebih enam
bulan itu ada tiga buku yang berhasil saya edit: “Mimpi Tiga Pengelana” karya
Irfan Afifi, “Di Balik Kubus Putih: Perjalanan Ruang dan Rupa” karya Alia
Swastika, dan “Onak dan Tari di Bukit Duri” karya Magdalena Sitorus. Perjalanan
mengedit tiga ini telah mengajari saya banyak hal. Saya juga sadar, saya tipe orang
yang boleh dibilang lambat dalam mengedit, tapi saya selalu mengusahakan untuk
bekerja sebaik yang saya bisa dengan segenap kemampuan saya.
Yang tak saya lupakan ketika peluncuran buku Bu Magdalena
terkait penyintas 65. Saat itu dilakukan secara daring dan banyak sekali
penanggap dari akademisi, aktivis, dan sastrawan yang bicara. Namun yang
membuat saya terharu adalah wajah sumringah Bu Utati, anggota Paduan Suara
Dialita yang sebelas tahun mendekam di penjara meski tanpa kesalahan. Saat itu
anggota Dialita yang lain juga datang, saya senang sekali.
Lalu pekerjaan sebagai proofreader, saya banyak berhubungan
dengan Penerbit Circa yang dikelola oleh Mas Tia Setiadi (penulis/penyair).
Mungkin hampir setiap bulan saya datang ke sekretariat Circa di Sorosutan,
Umbulharjo, bertemu dengan para editor, ilustrator, dan teman-teman admin untuk
melakukan finishing buku. Ketika rapat, karena saya banyak diam dan
perempuan satu-satunya terkadang saya merasa aneh, apa memang dunia penerbitan
Jogja didominasi laki-laki ya? Entah. Penerbit Circa banyak menerbitkan
naskah-naskah terjemahan. Buku-buku yang pernah saya proofread di antaranya: Propaganda
- George Orwell; Masa Depan Literasi – Umberto Eco; Mitos Promotheus
- Albert Camus; Dilarang Masuk - Orhan Pamuk; Seni Meraih Kegembiraan
- Seneca; Dalam Bayang-Bayang Mayoritas yang Bungkam - Jean Baudrillard;
Aku Bukan Manusia, Aku Dinamit – Friedrich Nietzsche; Politik
Pengetahuan - Edward Said; hingga Tentang Interpretasi –
Aristoteles.
Selanjutnya, setelah hampir setahun tim cyber troop
melakukan riset lapangan, penelitian itu pun akhirnya dilaunching di publik.
LP3ES mengundang seluruh wartawan media mainstream terdepan yang ada di
Indonesia untuk mengabarkan temuan baru tersebut. Acara ini dilakukan secara
hybrid di Hotel Park 5 Simatupang, Cilandak, dengan dihadiri oleh para peneliti
utama. Ya, guru-guru saya, Mas Wijayanto, Dr. Yatun Sastramidjaja, Prof. Ward
Barenschot; para antropolog yang sangat berdedikasi akan bidangnya. Dihadiri
pula oleh para scholar dan aktivis peduli digital. Temuan itu bisa dibaca di
link-link media berikut:
Tempo,
Kompas,
Detik,
CNN,
Suara,
Merdeka,
hingga
Inside Indonesia.
|
Laporan Terbit di Kompas cetak
|
Di akhir bulan Agustus, saya mendapat tawaran dari kawan
baik saya di Arena bernama Muja yang tengah bekerja di Kementerian Dalam Negeri
(Kemendagri). Dia mengatakan Humas Kemendagri tengah mencari penulis rilis,
kalau berminat saya diminta mengirim portofolio tulisan dan CV. Sebenarnya saya
ragu ke Jakarta lagi, tapi atas usul salah seorang kawan saya yang lain,
akhirnya saya mantapkan diri nawaitu ke Jakarta demi perbaikan kesejahteraan.
Sebenarnya di dalam hati kecil saya, tak pernah sekali pun
saya bermimpi akan bekerja sebagai Humas. Mengingat bidang ini berisi
orang-orang yang secara skill komunikasi sangat bagus, sedangkan saya merasa
skill komunikasi saya di bawah passing grade. Ketika saya masuk, ternyata
banyak hal yang saya tak duga dan dari situ saya banyak belajar. Saya juga
semakin mengerti bagaimana budaya kerja di instansi pemerintahan setingkat
kementerian. Beberapa kali sudah saya bertemu dengan Pak Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian
ketika peliputan, menurut saya Pak Tito salah satu pemimpin yang cerdas,
punya wibawa, dan tas-tes. Di sini saya masih perlu sangat belajar,
terlebih ketika atasan mengkritik cara kerja dan komunikasi saya, yang saya
terima dengan lapang dada.
Kalau diingat lagi, saya juga merasa aneh bisa sampai ke
Kemendagri? Di sini PNS-nya banyak diisi oleh lulusan dari Institut
Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), sekolah yang Bapak saya ingin sekali saya
lolos ke sana. Saya daftar IPDN hingga tiga kali dari tahun 2011, 2012, dan
2013 hingga umur saya tak lolos lagi di syarat pendaftaran. Lulus SMA saya
cukup semangat, dan cukup berusaha berolahraga dan belajar; meski selalu belum
jalannya. Pengalaman mengikuti banyak tes IPDN dari Cepu, ke Blora, ke Semarang
sering membuat saya pilu dan sedih. Pengalaman kegagalan itu sedikit banyak
membekas.
|
Koran yang saya beli tahun 2020, mengapa Mas Wija dan Pak Tito ada di lembar yang sama?
|
Tuhan mungkin memberi jalan saya lain melalui tangan kawan,
meski masih jadi tenaga lepas (
outsourcing), pekerjaan ini tak lepas
dari karma Bapak dan usaha saya dulu. Dan di instansi inilah untuk pertama kali
saya terikat kontrak, punya jam kerja, dan memiliki gaji yang ketika sekali
gajian bersama dengan tunjangan dinas dan konten, bisa menghidupi saya hampir
setara dengan setengah tahun di Jogja ketika saya masih kuliah. Saya berjanji
akan sangat menghematnya, terlebih saya telah banyak mengalami pengalaman buruk
tak punya punya uang sama sekali dengan sangat sering.
Ya, saya masih belajar, saya masih belajar, saya masih
belajar. Terima kasih untuk teman-teman Humas: Muja, Pak Aang, Pak Dino, Pak
Aten, Bu Nerlin, Mbak Anggun, Mbak Cyce, Mbak Ica, Mbak Farah, Mbak Yayuk, Mas
Juna, Mbak May, Mbak Tika, Mas Hafi, Mas Imam, Mas Rizki, Mas Aldes, Mas Sus,
Mas Agus, Mas Acang, Mas Azhari, Mas Dwi, Briam, Mas Ryan, Farid, Fakhri,
Rangga, dan Mas Ale.
Jakarta, Jakarta, Oh Jakarta
Di Jakarta, saya ngekos di Kos Pak Mamat di Jalan Petojo
Enclek, Gambir, Jakarta Pusat. Dapat menempati kos ini menurut saya adalah
berkah. Pertama, karena sewanya yang murah; kedua, di kos ini saya semacam
memiliki keluarga besar, asyik-asyik, dan orangnya homey-homey. Boleh dibilang
memang kosnya sangat ramai, kami sering bersama main kartu Uno (saya baru
pertama kali belajar di sini), masak bareng, makan besar bersama, selamatan
bersama, nyanyi bersama, gitaran bersama, main keluar pakai motor bersama, dan
segenap kelakar menyenangkan lainnya. Di Kos Pak Mamat inilah, di antara semua
kos yang pernah saya tinggali, saya merasa punya keluarga beneran di perantauan.
Makasih untuk keluarga besar Kos Pak Mamat tercinta: Mas Adi, Mbak Sri, Mbak
Dilla, Mbak Vanda, Mas Bhre, Mbak Iim, Mas Taufiq, Mbak Ayu, Pak Bute, Mbak Lita,
Mas Adi Calluma, Mbak Mei, Mbak Sofi, Mas Boy, Alfath, dll.
|
Kos Pak Mamat |
Setelah pandemi Covid-19 berjalan selama dua tahun,
orang-orang mulai kembali pada aktivitas. Di Petojo pula saya lengkap menjalani
vaksin dosis 2 di Puskesmas. Sepanjang di Jakarta pula, banyak kegiatan-kegiatan
berkesan dan banyak perubahan hidup yang terjadi pada kawan-kawan selama
kuliah. Semisal kumpul bareng keluarga besar Arena Jakarta di Krintji dan
Upnormal.
|
Arena Liar di Krintji
|
Juga saya datang dari Jakarta ke Cilacap untuk hadir di pernikahan
Mas Broto dan istrinya. Pernikahan itu semacam jadi reuni anak-anak LPM Arena,
KMPD, FPPI, hingga ada anak Sanggar Nuun. Banyak obrolan-obrolan yang
mengembalikan semangat hidup lagi atau jadi charge paling ampuh untuk ngisi
energi. Pas di Cilacap, saya menginap di rumah orangtua Mbak Ulfa, redaktur
Arena dulu yang ngajari saya nulis.
|
Nikahan Mas Broto di Cilacap
|
Hal berkesan lain tentu perjalanan ke pondok Aminul Ummah di
Garut yang dikelola oleh Mas Sabiq dan keluarganya. Saya ingat malam itu hampir
ketinggalan kereta, meski alhamdulillah masih dapat dikejar. Kami berangkat bertujuh:
Haris, Niam, Muja, Farid, Arga, Uwi, dan saya. Sepanjang perjalanan kami
rombongan di kereta yang paling ramai dan paling membuat berisik. Entah kenapa
saat itu saya merasa sangat hidup bersama mereka.
|
Rapat Persiapan
|
Ketika sampai di Garut, Ajid menjemput kami di stasiun.
Sampai pondok, Mas Sabiq menyambut kami, antara nyata dan khayalan, benarkah
saya berada di tempat ini? Haha. Dini hari itu sekitar pukul dua pagi, Mas Sabiq
menyuguhi teh hangat dengan gula batu, dan panganan khas Sunda yang saya lupa
namanya. Paginya kami sharing pengalaman bersama anak-anak pondok di sana yang
setingkat SMP dan SMA. Di bawah kepemimpinan Mas Sabiq, barangkali pondok ini
berubah jadi lebih rock and roll. Kurikulum yang konservatif diganti jadi lebih
progresif, anak-anak pondok dibebaskan untuk lebih mengeksplorasi bakat seni
mereka melalui kegiatan ekskul musik, drama, sastra, dan lain sebagainya. Di
pondok ada saung kecil yang berisi buku-buku; di saung itu perkumpulan
dilaksanakan. Mereka antusias mendengar cerita-cerita kami.
|
Santri Aminul Ummah Garut
|
Malamnya, kami rombongan menuju Telaga Bodas naik mobil tua
pondok. Bodas dalam bahasa Sunda berarti putih, karena saat itu datangnya malam,
saya tak melihat apakah warnanya putih atau tidak, yang jelas di sana banyak
kolam pemandian belerang yang sangat nyaman untuk berendam. Kami pun semua
berendam di telaga itu sambil gosipin teman-teman kami yang lain. Awalnya saya
dan Uwi ragu, tapi sayang sudah sampai sini. Akhirnya kami ikut nyebur, dan
sejenak rasanya beban-beban hidup seberat apa pun terasa luntur sejenak terkena
air belerang yang hangat. Setelah berendam, kami pun makan nasi liwet Sunda
secara melingkar. Duh, nikmat mana lagi yang kau dustakan: good friends,
good food, good place, good vibe, good jokes. MEREKA SEMUA ADALAH HARTA
BERHARGA SAYAAA!!!!!
Hal berkesan lain, akhirnya setelah saya di Jakarta, saya bisa juga bertemu
dengan skuad tim redaksi Islam Bergerak. Pertemuan itu dilakukan di rumah pemimpin
redaksi kami Mbak Rizki di Bukit Pamulang Indah, Tangerang Selatan, Banten. Saya
datang kesana naik MRT di Bundaran HI menuju Lebak Bulus Grab. Naik MRT
benar-benar cepat, Jakarta memang lebih menjulang dengan infrastruktur kereta
bawah tanah dan rel layang seperti ini. Saya melanjutkan naik angkot, yang duh
biyung macetnya dari Jakarta ke Pamulang.
Saya agak terharu dengan sopirnya yang mencari celah-celah cepat,
sampai kejeglong miring di sebuah parit, penumpang komplain, sedangkan di sisi
lain penumpang mengucap tolol pada mobil kelas menengah yang seenaknya putar
balik di pertigaan. Jalanan memang keras. Sedangkan sopir angkot dari Lebak Bulus
ke Pamulang hanya dihargai Rp6.000-7.000. Angkot itu harus bertarung dengan
usianya yang tua, mesinnya yang mulai dol, kelirnya yang blawur, dan keangkuhan para
pasukan transjakarta. Mbak Rizki sebenarnya menyarankan saya untuk naik
Gojek/Grab, namun pengalaman naik angkot ini memberi saya nilai hidup yang
lain. Belum lagi di Spotify, saya ditemani lagu Endah N Rhesa berjudul “Pulang
Ke Pamulang” di playlist Cerita Kota yang saya buat.
|
The Comrades IB: Rebel for Life
|
Sesampai di Pamulang, sebenarnya rapat sudah selesai di sesi
hari itu. Kebahagiaan saya sebenarnya bisa bertemu dengan kamerad-kamerad IB
ini: Mbak Rizki, Mas Angga, Mas Azka, Mas Azhar, Mbak Ela, Khalid, Sutami, dan Thariq.
Diskusi kritis bersama mereka selalu memberi saya perspektif baru dan segar.
Kawan-kawan saya tak pernah ragu dan cenderung tegas, pedas, pada isu-isu yang
digelontorkan semisal para liberalis yang malas baca, feminis yang cuma berhenti
di perayaan tubuh, atau aktivis-aktivis SJW mencret lainnya—yang suara moralnya
lebih diagungkan dibanding realita sebenarnya.
|
Di rumah Mbak Rizki di Pamulang
|
Timur
“Namun tiap kudengar namamu, makin terbayang masa depanku
Semakin jelas tujuan, dan yang harus kulakukan...”
|
Lagu-lagu yang bisa ngertiin saya
|
Lagu “Timur” – The Adams menjadi lagu kedua berikutnya yang paling
sering saya dengar sepanjang tahun 2021. Lagu yang diciptakan oleh seorang ayah
pada anaknya bernama Timur ini sering memperbaiki mood saya kalau misal lagi
sedih, terlebih sedih karena diminta Bapak/Ibu untuk segera menikah. Di
belakang layar pencarian jodoh ini saya melakukan usaha-usaha dengan jatuh perasaan
berkali-kali. Itu mengajari saya untuk tidak menggantungkan diri/hidup/perasaan
saya pada laki-laki. Harus saya akui, Tinderlah yang mengajari saya semua itu.
Setelah match dengan mungkin bisa ribuan orang selama dua tahun, chat hingga
ratusan, dan hingga sekarang bertemu langsung dengan 15 orang. Setelah saya
pikir-pikir, berani sekali ya saya?
Duh, kalau kau beranggapan Tinder negatif, plis, jangan
hakimi saya. Tinder sebagaimana dunia nyata,
peluang kebaikan dan keburukan selalu ada. Tinggal bagaimana kita
mengelolanya. Dan masalah mengelola adalah masalah menghitung, kalau tidak
mampu menghitung, kita tak akan mampu mengelola. Tapi begini sekilas kesimpulan
saya selama bermain Tinder sejauh ini, kemungkinan kamu untuk mendapatkan
pasangan yang benar-benar kamu inginkan hanya nol koma nol-nol sekian; tapi di
sini saya bisa menjamin 75 persen kau akan belajar terkait relationship
dan kehidupan dari para stranger yang bisa kau ajak berbicara secara deep
talk. Awal memang penuh basa-basi, tapi Tinder bisa jadi wadah untuk putus
berkali-kali dan kau bisa mengambil banyak pelajaran dari sana.
Tahun lalu saya pernah membahas satu orang teman Tinder yang
bekesan, karena tahun lalu sedikit orang yang saya temui. Kali ini, saya akan
bahas beberapa, karena sampai sekarang saya masih berteman baik dengan mereka. Mungkin
kau bertanya, mengapa tak mencari di dunia nyata saja? Saya akan jawab sudah, bermain
aplikasi ini merupakan alternatif lain karena saya hidup di dunia yang telah
memasuki revolusi industri 4.0, revolusi digital dengan semua teknologinya. Di
mana banyak sekali hal-hal artifisial dan menipu di sana. Bersama-sama diajak
menuju ruang simulakrum dengan semua simulakra-nya, yang maya seolah nyata.
Jika saya hidup di zaman 80-an atau zaman homo erectus metode cari jodohnya akan
berbeda lagi. Jadi kenapa saya main Tinder? Sebab saya telah dikondisikan
sistem untuk menjadi sekrup kecil dari teknologi mesin besar perjodohan fana.
|
Tinder jadi tempat saya berburu meme/shitpost juga, haha
|
Kawan Tinder berkesan pertama berasal dari sebuah kota yang
dingin di Jawa Tengah, di Banjarnegara. Kami sebenarnya sudah lama berkenalan
dan saling tukar kontak WA sejak saya masih tinggal di Semarang. Kemudian
setelah di Jogja, kami berkomunikasi dengan lebih intens. Kami tidak pernah
bertemu sebelumnya, hanya saling mengenal melalui chatting dan telepon. Seingat
saya, pernah hampir sebulan setiap malam kami teleponan membahas apa saja, ya,
apa saja yang bisa diomongkan. Dari wacana publik ke wacana privat.
Sebentar saya jelaskan sedikit background-nya, bekerja sebagai
aparatur desa, punya passion di bidang bisnis dan punya usaha ternak ayam (sebelumnya
dia pernah mencoba berbagai usaha), tipe ENTP di MBTI (tipe Pendebat), dan
pekerja keras. Dari dia saya belajar banyak cara mengatur uang, cara mengelola
uang, cara investasi saham dan reksadana (dari A s.d Z), cara berhemat, dan
strategi finansial lainnya. Sejak mengenal dia, teknik pengelolaan keuangan
saya jauh membaik. Berkat dia juga saya memutuskan jadi investor teri di
aplikasi saham warna biru dan reksadana warna hijau; dia prefer untuk main
saham saja, jangan reksadana, karena kita bisa ngatur sendiri bukan diatur
manajer investasi.
Suatu hari saya pernah bertanya ke dia, kamu ingin jadi apa?
Seingat saya dia bilang ingin jadi pengusaha dan trader. Dia bertanya
balik, saya ingin jadi apa? Saya jawab, saya mau jadi ilmuwan dan intelektual. Kalau
saya ingat lagi, kawan saya ini banyak membawa dampak dalam hidup saya. Banyak
keputusan-keputusan penting yang saya ambil berdasarkan saran dan arahan dari
dia. Setelah saya ke Jakarta, kami jarang teleponan lagi sebagaimana di Jogja
dulu. Hanya beberapa kali saja, kebanyakan lewat pesan WA. Sampai sekarang kami
masih berkawan baik. Bagi saya dia adalah kawan diskusi yang asyik. Bersama
dia, saya tak pernah sepi obrolan dan tak bisa diam.
Kawan Tinder kedua, dia orang kelahiran Jogja, beragama
Katolik, guru SD Kanisius, dan pas mahasiswa pernah ikut pers mahasiswa (ini
kenapa kami cepat dekat mungkin). Orangnya halus, sabar, dan tak banyak bicara—jadi
kalau kita bareng, sering begitu diem-dieman aja. Kami pernah jalan bersama
sebanyak empat kali. Pertama, kami jalan-jalan di Museum Jogja Kembali, makan
soto bathok, dan menikmati senja (ceilah) bersama di Langensari. Pertemuan kedua,
kami janjian main ke pantai-pantai di Gunungkidul. Sempat tersesat waktu itu,
tapi akhirnya bisa lihat beberapa pantai, salah satunya kompleks pantai di
Pantai Ngobaran yang ada candi-candinya.
|
Depok Beach
|
Perjalanan ketiga, saya mengajaknya berjalan dari Pantai Depok
ke Pantai Parangtritis (pergi-pulang) kurang lebih limo kilo kali dua; pas hari
puasa kesekian untuk tugas riset saya di Sekolah Urbanis 2021, Rujak Center for
Urban Studies yang diampu seniman Irwan Ahmett dan Tita Salina. Awalnya dia
ragu nemeni, tapi akhirnya dia mau. Kami berangkat siang bolong sampai Magrib
baru kembali ke Pantai Depok lagi, wkwk. Kok ya waktu itu saya kuat gak batalin
puasa, dia juga ikut tenggang rasa, cuma sesekali minum dan makan somay kalau
saya sedang jalan dan ngamati apa yang saya cari. Perjalanan di pantai itu
memberi saya pengalaman yang tak terlupakan, bagaimana rasanya bisa menyatu
dengan alam, menjadi luas seperti laut. Perjalanan keempat, saya mengajaknya
lagi ke Pantai Depok untuk wawancara beberapa nelayan, habis itu kami makan di
tempat makan yang tak dinyana kebangetan mahalnya dan pulang.
Sama kawan saya ini, sampai sekarang kami masih berhubungan
baik. Meski komunikasi kami sudah sangat jarang. Terakhir kali mengirim pesan
ke dia saat hari natal kemarin, saya memberinya ucapan Selamat Natal.
Kawan Tinder ketiga yang berkesan, dia lama tinggal di
Bandung, keturunan Minang, dan transmigrasi ke Yogyakarta untuk memulai hidup
baru katanya. Kami pernah sekali bertemu, dan orangnya lucu, haha, iya, dia pinter
buat lelucon gitu. Dari cerita hidupnya, semasa kuliah di sebuah institut teknologi
terkenal di Bandung, dia telah mencoba banyak hal. Passion kawan saya ini juga
di dunia usaha, dia mengaku gak betah kerja kantoran. Yang mempersatukan kami
dari sekian banyak bidang dalam hidup adalah musik, selera musik indie kita
hampir sama, haha. Kami saling tukar-tukaran playlist dan rekomendasi lagu
ini-itu, karena dulu anak band, rekomendasi musiknya lebih banyak. Dia saya
perhatikan tengah mengalami quarter life crisis juga, merasa hampa di
umur 28-an, pergi ke kota-kota asing untuk mencari jawaban, dan segenap
kegalauan hidup lainnya. Dengan kawan ini, saya masih berhubungan baik juga via
WA, sesekali saling komenan status. Saya berdoa semoga dia memang menemukan apa
yang dia cari di Jogja.
Kawan Tinder lain yang saya temui, barangkali hanya sekadar
lewat, kami bertemu sekali dan tak ada kabar lagi. Saya bertemu mereka
kebanyakan di warung kopi yang ada di Jogjakarta, sepanjang yang saya ingat, saya
pernah bertemu dengan dua dosen, pekerja IT, pekerja pabrik, pekerja Kereta
Api, pekerja spare part otomotif, freelancer, peneliti lepas di sebuah kampus, dari
semuanya no emotional feeling. Kami bertemu dan saling bercerita
pekerjaan, pengalaman hidup, dan pulang. Kebanyakan juga saya hanya jadi
pendengar saja.
Penutup
Sepanjang tahun 2021, saya lebih banyak menonton film dari
tahun-tahun sebelumnya. Nonton film ini jadi semacam hobi baru saya, khususnya karya Wes Anderson, lebih banyak belajar
arsitektur rumah dari karya-karya Mande Austriono, dan ingin lebih banyak
berkeliling dalam kota.
|
Karya @mondododo
|
|
Karya @mondododo |
Kenyataan pahit yang saya temui, hidup berjalan atas dasar
suka dan tidak suka, tak peduli sebaik apa pun kualitasmu, jika kau tak
disukai, kau tak akan berhasil. Maka hadirlah di tempat di mana kau merasa bisa
disukai. Refleksi lainnya:
1. Not impress to be perfect, 2. Never refuse the
help and the kindness from other man, 3. Not hold something too tight. So keep
confidence in your self... Your time will come for sure....
Saya tak begitu yakin tulisan ini akan saya akhiri dari
mana. Membaca LPJ hidup saya dua tahun ke belakang (LPJ 2019 yang api dan LPJ2020 yang air), elemen tahun ini dalam kalender hidup saya adalah tanah. Prestasi
spiritual saya selama setahun ini bisa konsisten melakukan puasa Senin-Kamis.
Saya juga kagum dengan ajaran Buddha: Maitri (membahagiakan orang lain), Karuna
(meringankan derita orang lain), Mudita (ikut bahagia dengan orang lain), dan
Upeksa (tak ada diriku, yang ada orang lain).
Doa saya untuk tahun 2022 ini: Semoga saya menjadi orang
yang stabil di antara naik-turunnya kehidupan, semoga saya bisa stabil finansial juga sehingga lebih bisa banyak membantu orang, bertemu dengan Timur saya, lebih
disiplin, dan semoga saya bisa jadi orang yang lebih laut lagi. Terima kasih
2021.
Petojo Enclek, Jakarta, 31 Desember 2021-1 Januari 2022