Baik penduduk Buton maupun Seram memainkan peran konstitutif dalam penciptaan kerangka milenarian dengan mengakui keberadaan mitos nenek moyang orang Buton. Terlepas dari kenyataan bahwa sikap pengakuan masyarakat Buton sangat penting dalam memperkuat keyakinan mereka, masing-masing kelompok memiliki pemahaman yang berbeda-beda mengenai representasi Buton dalam kosmologi masyarakat adat.
Bagi suku Seram, dalam kasus yang dibahas di sini, masyarakatnya adalah suku Huaulu dan Wahai, dan mitos tentang Buton adalah cara mereka menggabungkan orang asing dan mempertahankan keutuhan kosmologi mereka.
Paper ini menjelaskan terkait watak milenariamisme masyarakat Buton yang tinggal di Seram Utara, Maluku Tengah. Millenarianisme diartikan sebagai keyakinan bahwa transformasi mendasar dalam masyarakat akan terjadi, yang akan membawa masa keemasan perdamaian dan kemakmuran. Di Maluku sendiri, masyarakat Buton telah lama dianggap sebagai golongan masyarakat kelas bawah. Mereka dianggap masyarakat luar, dikecualikan dari skema budaya lokal, dan rentan baik secara sosial maupun hukum. Geger meneliti, bagaimana masyarakat Buton menafsirkan diri mereka dalam kosmologi asli sejarah masa lalu yang bertalian dengan sejarah masyarakat Seram Utara?
Geger berpendapat, komunikasi yang tidak selaras (misunderstanding) dari kosmologis sejarah asal-usul ini penting, dan membentuk kerangka milenarian mereka. Masyarakat Buton memahami kehadiran representasi mitos mereka dalam kosmologi asli, dan mempercayai jika masyarakat Seram menyembunyikan kebenaran dan wahyu tersebut akan membalikkan tatanan yang menindas mereka saat ini. Sementara bagi masyarakat Seram, penyertaan representasi mitos Buton merupakan cara untuk mengasimilasi orang/kelompok asing yang kuat dan berbahaya, serta melestarikan keutuhan kosmologi mereka. Artikel ini menekankan, produktivitas kesalahpahaman, memperluas kerangka simbolik yang menjelaskan hubungan khusus yang melandasi milenarianisme Buton.
Paper ini menjelaskan watak milenarian masyarakat Buton di Seram Utara, Maluku Tengah, dengan memasukkan kehadiran komunitas tersebut ke dalam sejarah mitos Seram, serta upaya mereka dalam bergulat dengan subordinat masyarakat Seram. Masyarakat Seram yang dimaksud sebagian besar merupakan suku Wahai, atau disebut juga dengan istilah "orang asli" dan "orang negeri".
Paper ini menegaskan, pembentukan kerangka interpretasi milenarianisme Buton bukan sekadar karya para "inovator budaya" yang bertujuan menolak penggambaran dan perlakukan dominan yang merendahkan mereka. Melainkan, masyarakat Buton dan Seram memainkan peran konstitutif dalam penciptaan kerangka milenarian yang berhubungan dengan mitos nenek moyang Buton. Masing-masing kelompok punya pemahaman yang berbeda terkait representasi Buton dalam kosmologi adat.
Bagi suku Seram, mitos tentang Buton merupakan cara mereka menggabungkan orang/kelompok asing dan mempertahankan keutuhan kosmologi mereka. Tetapi bagi masyarakat Buton, mitos tersebut sebagai bukti bahwa mereka sudah sangat lama berada di Pulau Seram dan menjadi fondasi masyarakat Seram dengan mendirikan kerajaan besar sebelum munculnya kerajaan lain. Mitos-mitos ini kemudian memancing sikap milenarian Buton, di mana mereka mempertahankan keyakinan jika suatu hari kebenaran rahasia akan terungkap dan tatanan masyarakat Seram yang sebenarnya akan dipulihkan.
Suatu hari di Talaga, suatu kantong wilayah bagi masyarakat Buton di Seram Utara, Geger sedang duduk di sebuah gubuk kayu kecil di tepi pantai bersama seorang lelaki sesepuh desa yang dihormati, La Ibu. Pembicaraan bergulir, tiga generasi yang lalu, desa tersebut adalah perkebunan kopra yang didirikan oleh kakek La Ibu yang dulunya bekerja di perkebunan Belanda. Ketika dia mengetahui punya kemampuan membeli tanah di Seram Utara untuk bercocok tanam, tapi secara hukum hal itu tak bisa dia lakukan. Lalu, dia memutuskan untuk menetap di daerah terpencil, yang dikenal sebagai rumah para kepala pemburu. "Suatu hari, semuanya akan terungkap," kata La Ibu kepada Geger. Yang La Ibu maksudkan yaitu rahasia tersembunyi dari mereka yang mengaku sebagai masyarakat Seram yang sebenarnya.
Menurut keterangan La Ibu, orang Buton merupakan masyarakat asli tanah tersebut, tetapi telah terjadi peristiwa buruk di masa lalu yang membuat orang Buton diperlakukan sebagai masyarakat kelas bawah. Masyarakat Buton berada dalam posisi genting, juga terus-menerus diancam akan diusir. Seruan untuk mengusir pendatang dari Maluku masih terus disuarakan meski konflik perselisihan komunal telah mereda. La Ibu yang dituakan dikenal di kalangan muda Buton sebagai lelaki tua yang suka mendongeng dan berbicara. Anak-anak muda tertarik ketika La Ibu bercerita terkait kisah-kisah tentang kebenaran tersembunyi masyarakat Buton, janji akan terungkapnya kebenaran tersebut di kalangan seluruh masyarakat Seram. Orang Buton akan mendapatkan haknya kembali seperti semula. Narasi seperti inilah yang ditanamkan oleh banyak orang Buton di Seram Utara, terutama bagi pendatang dari luar yang hadir sebagai penonton. Orang lain akan meresponsnya dengan konfirmasi singkat atau isyarat persetujuan.
Masyarakat Buton yang tinggal di Maluku sendiri berisi kelompok etnis yang heterogen dan berasal dari pulau-pulau pinggiran Kepulauan Buton. Mereka bermigrasi untuk mencukup kebutuhan di luar pulau. Di antara mereka banyak yang tinggal di Ambon atau Seram untuk bekerja di perkebunan, atau mencari peruntungan dengan berdagang. Namun sayangnya, mereka tidak diterima dengan baik, diperlakukan sebagai masyarakat rendahan, dilarang punya lahan pertanian, dan tertekan karena kurangnya rasa aman dalam hidup mereka. Lalu memunculkan perasaan "milenarianisme, yang diartikan sebagai suatu harapan akan masyarakat baru yang berlimpah. Keyakinan ini memberi jalan keluar bagi mereka yang beriman untuk meredakan kecemasan dan rasa tidak berdaya, juga memberi kerangka untuk melakukan perubahan sosio-kultural.
Orang seperti La Ibu sendiri berhubungan dengan dukun dalam gerakan milenarian Amazon Barat. Wright dan Hill (1986) sendiri mempelajari, kemahiran dukun dalam mengimprovisasi mitos dan ritual adat untuk mengatasi kesulitan ekonomi dan politik para pengikutnya sangat penting bagi gerakan ini.
Hal ini memungkinkan masyarakat Buton membentuk basis budaya untuk bertindak sebagai komunitas untuk melawan kekuatan yang merusak tatanan sosial asli atau menimbulkan penderitaan/kecemasan yang berkelanjutan. Masyarakat Seram Utara yang terdiri dari suku Huaulu, Besi, Sawai, Wahai, dan Pasahari mempunyai mitologi mereka sendiri terkait sosok-sosok sakti yang konon berasal dari Kepulauan Buton. Sosok-sosok ini mewakili kekuatan eksternal yang luar biasa untuk menghasilkan kesatuan kosmogenik yang lebih luas.
Pendahulu Buton di Seram Utara, yang mulai muncul pada abad ke-17 bekerja sebagian besar di sektor perkebunan. Sebelumnya mereka tinggal di Ambon, alih-alih Kepulauan Buton. Setelah mereka punya pendapatan yang cukup, dengan seizin pemimpin setempat, membuka perkebunan sendiri dan pindah ke Seram Utara. Sebab kesuksesan itu, mereka mengajak sanak-saudara mereka yang lain untuk menetap. Namun, suku Buton kemudian terlibat sengketa pertanahan dengan masyarakat Maluku. Sengketa yang sering muncul, terkait pembagian keuntungan antara pemilik tanah dan petani Buton. Sengketa ini terjadi salah satunya karena lemahnya posisi masyarakat Buton secara sosial maupun hukum. Konflik etho-agama kemudian semakin meluas menyusul konflik kekerasan komunal di Maluku tahun 1999-2002. Antagonisme antara penduduk lokal dan pendatang semakin dalam ketika terjadi penyerangan antara umat Kristiani dan Islam.
Di Seram Utara, masyarakat Buton hanya diperbolehkan menyewa tanah, bukan memiliki. Terkadang, masyarakat Seram mengklaim jika masyarakat Buton tak mempunyai hak atas tanah di Seram Utara dan mencoba untuk merebut kembali kepemilikan tanah itu secara sah. Masyarakat Buton juga tidak diikutkan dalam program pemerintah, dan tak diberikan status desa administratif untuk mengelola desa dan anggarannya. Kondisi inilah yang menimbulkan semangat milenarianisme Buton.
Pemicu milenarianisme Buton juga didorong oleh latar belakang kosmologi Seram yang berkaitan dengan mitos sejarah. Diceritakan, Buton telah ada di Seram sejak zaman nenek moyang Seram sendiri. Pendahulu Buton merupakan tokoh sejarah penting, seperti pada Perjanjian Supamaraina yang menyebar di kalangan masyarakat Wahai. Dahulu, mereka menyepakat bagaimana klan harus menyebar dan menetap di sekitar pula Seram setelah banjir besar yang menghancurkan segala bentuk kehidupan. Nenek moyang Wahai mengadakan pertemuan dewan di puncak Gunung Maraina, pangeran setengah ular yang berasal dari Kepulauan Buton bernama La Ode Wuna diminta berpartisipasi dalam dewan tersebut.
Pada penelusuran Geger terkait penafsiran milenarianisme Buton di daerah kantong Buton Seram Utara pada tahun 2015, dan antara tahun 2018-2019, secara konsisten Geger menemukan penduduk desa ragu-ragu jika mereka mengetahui sejarah keseluruhan mereka pada masa lalu di Seram. Keraguan-raguan ini Geger percaya datang dari penerimaan mereka terhadap posisi yang lebih rendah sebagai pendatang baru di masyarakat Seram.
Salah satu cerita dari Bachtiar masyarakat Buton di Wahai, dia mendengar bagaimana La Ode Wuna sangat berperan dalam Perjanjian Supamaraina. Namun sayangnya, narasi yang berkembang, yaitu bagaimana masyarakat Buton dijauhkan dari kebenaran sejarah Seram, meski gagasan penduduk Buton dan Seram merupakan saudara kandung diupayakan, semisal pada pertemuan di Bula pada tahun 2016. Sayangnya, pertempuran yang mencoba mengungkap sejarah asli tersebut tidak pernah selesai. Masyarakat Buton sangat percaya pada nilai dan potensi transformatif dari kebenaran sejarah yang mereka harapkan dapat dipelajari masyarakat Seram. Pengakuan dari pihak lain berperan penting dalam mendorong sikap milenarian.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana representasi Buton dipahami dan disalahpahami? Sprenger (2017) berpendapat, kesalahpahaman tidak hanya sebagai hal yang tidak dapat dihindari, tetapi juga produktif karena dapat menciptakan dan memelihara hubungan.
Studi kasus dijelaskan Geger pada kasus Huaulu di Seram Utara, yang dipandang sebagai masyarakat yang sangat tradisional dan menjaga budaya asli Seram. Bagi masyarakat Huaulu, representasi Buton berperan sebagai pihak luar yang kuat dan berbahaya. Dalam mitos mereka, sosok yang mewakili Buton yaitu makhluk gaib mirip burung bernama Sahulau. Mereka juga menganggap orang Buton memiliki ilmu hitam berbahaya untuk menipu penduduk pegunungan. Meski di cerita lain, orang Buton direpresentasikan sebagai saudara perempuan Huaulu di masa lalu. Huaulu merupakan kakak laki-laki mereka (sosialitas batin).
Mitos ini menunjukkan bagaimana orang Buton dianggap sebagai golongan Lain, yang tidak menyenangkan, yang mengancam keselamatan masyarakat dataran tinggi. Nilai tertinggi Suku Huaulu merupakan dominasi dan ekspresi budaya mereka yang paling memuaskan dan terhormat adalah ekspresi yang melambangkan superioritas kelompok mereka dalam kaitannya dengan Yang Lain. Ada rasa takut berkepanjangan di kalangan masyarakat Maluku jika tanah dan mata pencarian mereka akan dirampas oleh masyarakat Buton.
Pada kisah La Ode Wuna semisal, yang digambarkan sebagai makhluk setengah manusia, setengah ular, dan seorang pagneran dari kerajaan seberang laut menjadi atribut-atribut meresahkan, yang tentu mengancam. Mitos lain terkait La Ode Wuna, dia datang ke Seram setelah diasingkan ayahnya dari Pulau Muna di Sulawesi Tenggara. Dia berlayar menggunakan dua batok kelapa untuk sampai di Seram. Menurut masyarakat Sahulau, La Pde Wuna kemudian mendirikan kerjaan di gunung tertinggi Seram. Orang lain di Tumalehu menceritakan pula, La Ode Wuna mengundang rakyatnya dari Buton untuk tinggal di pegunungan Seram setelah dia bersekutu dengan raja setempat. Sementara masyarakat Manusela menganggap, kedatangan La Ode Wuna untuk mewarisi kerajaan dataran tinggi raja setempat. Mitos seiring berjalannya waktu, kemungkinan diubah, dari mitos pengusiran pangeran ular menjadi mitos raja asing.
Menariknya, hampir tidak dapat disangka, masyarakat Buton hampir tidak mempunyai pengetahuan mengenai kosmologi masyarakat Seram. Kesalahpahaman ini menjadi kunci mendasar bagi watak milenarian Buton, yang benar-benar percaya pada sejarah kosmologis yang tersembunyi. Meski demikian, milenarianisme Buton dianggap sebagai penemuan bermotif politik untuk mengaburkan pentingnya hubungan dengan orang lain. Miskomunikasi telah menyebabkan masyarakat Buton tidak bisa saling menguntungkan dengan masyarakat Seram, dan pada akhirnya membentuk kerangka milenarian mereka. Sehingga dapat ditarik gagasan, milenarianisme sebagai kerangka simbolik yang diciptakan untuk mengartikulasikan kesulitan kolektif.
ABSTRAK:
Artikel ini menimbang watak milenariansime di antara masyarakat Buton di wilayah Kecamatan Seram Utara, Maluku. Berfokus khususnya pada bagaimana masyarakat Buton menerjemahkan kesertaan mereka ke dalam kosmologi adat setempat, mengingat keberdaan mereka saat ini yang berbahaya dan memalukan. Di Maluku, orang Buton telah lama dianggap sebagai masyarakat kelas bawah, orang luar yang tidak diikutsertakan dalam skema budaya lokal dan rentan secara sosial dan hukum. Daripada hanya melihat aspirasi mereka untuk tatanan sosial yang baru dan sempurna sebagai sesuatu yang muncul dari keinginan mereka untuk mengakhiri keadaan sulit mereka, dan daripada melihat keyakinan mereka sebagai sesuatu yang diciptakan untuk mencapai tujuan tersebut, saya menyarankan agar komunikasi yang tidak selaras kiasan kosmologis penting dalam pembentukan kerangka milenarian mereka. Masyarakat Buton memahami kehadiran representasi mitos mereka dalam kosmologi asli sebagai bukti tatanan asli, yang menginspirasi mereka untuk percaya bahwa masyarakat Seram menyembunyikan kebenaran dan wahyu tersebut akan membalikkan tatanan yang menindas saat ini. Namun, bagi masyarakat Seram yang sering disebut, penyertaan representasi mitos Buton adalah cara untuk mengasimilasi kekuatan, orang asing yang berbahaya dan mengabadikan keutuhan kosmologi mereka. Penekanan pada produktivitas kesalahpahaman dibandingkan tindakan kreatif dalam memperluas kerangka simbolik membantu menjelaskan relasionalitas khusus yang melandasi milenarianisme Buton.
Riyanto, Geger. "Revelation and misunderstanding: Buton millenarianism and the interchange of cosmological tropes in North Seram, Maluku, Indonesia." Indonesia and the Malay World 48.142 (2020): 323-337.
Link: https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/13639811.2020.1820777
#31daysofindonesianscholars #gegerriyanto #buton #seram #maluku #melenarianisme #communication #intergroup
PROFIL SCHOLAR:
Geger Riyanto merupakan Dosen Antropologi FISIP Universitas Indonesia (UI). Menyelesaikan S1 dan S2 di UI, serta S3 di Universitas Heidelberg Jerman. Minat penelitiannya pada bidang teori sosial, kekerasan, identitas, dan hubungan antarkelompok. Menulis buku di antaranya, "Asal-Usul Kebudayaan" (2018), "Paman Gober Jadi Pahlawan Nasional" (2018), dan "Peter L Berger: Perspektif Metateori Pemikiran" (2009). Disertasi Ph.D-nya berjudul "Being Strangers in Eastern Indonesia: Misunderstanding and Suspicion of Mythical Incorporation among the Butonese of North Seram" memperoleh penghargaan Frobenius Research Award, sebuah penghargaan disertasi antropologi terbaik di negara-negara berbahasa Jerman.
Minggu, 31 Maret 2024
Revelation and Misunderstanding - Geger Riyanto
Sabtu, 30 Maret 2024
Agents for Change: Local Women's Organizations and Domestic Violence in Indonesia - Dina Afrianty
Kamis pagi pada tanggal 11 Juni 2015, tersiar kabar bahwa seorang pria telah menikam istri dan adik iparnya di Pengadilan Agama Kota Batam. Rahmat, pria yang dimaksud, lalu menusuk dirinya sendiri. Adik iparnya Umi Khoirah tewas seketika, Rahmat meninggal dua hari kemudian di rumah sakit daerah, dan istrinya Sri Astuti bisa bertahan hidup. Berbagai kabar berita melaporkan bahwa pasangan itu berada di pengadilan untuk menghadiri sidang kedua proses perceraian mereka, yang mencakup mediasi.
Rahmat diduga kesal dengan keinginannya istrinya yang tak tergoyahkan untuk menceraikannya, padahal ia sudah meminta maaf atas kesalahannya di masa lalu. Ia sempat memohon kepada istrinya untuk mencabut permohonan cerainya, namun sia-sia. Dia bersikukuh bahwa perceraian di Pengadilan Agama adalah satu-satunya jalan keluar dari hubungan kekerasan mereka.
Pernikahan dan perceraian bagi pasangan Muslim di Indonesia diatur dalam UU Perkawinan No. 1/1974 dan Kompilasi Hukum Islam 1991, dan ditentukan di Pengadilan Agama. Baik laki-laki maupun perempuan mempunyai hak yang sama untuk mengajukan cerai ke pengadilan. Cerai bisa terjadi karena kekerasan, perzinahan, perjudian, penyalahgunaan obat, perbuatan menyakiti tubuh, adanya perselisihan berkepanjangan, pelanggaran janji nikah oleh suami (taklik talak), atau salah satu pihak meninggalkan keyakinan agama.
Kasus yang dialami Sri Astuti ini menjadi contoh bagaimana pengajuan cerai dari perempuan dapat memicu kekerasan dari suami. Juga menunjukkan betapa seriusnya kekerasan rumah tangga, serta persimpangan antara bidang peradilan perdata dan pidana. Memperlihatkan pula bagaimana kekerasan rumah tangga di Indonesia menjadi alasan perceraian di Peradilan Agama dibandingkan dijadikan alasan penuntutan terhadap suami yang melakukan pelanggaran.
Pemerintah yang mengenalkan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) Nomor 23/2004, merupakan respons peradilan pidana pemerintah Indonesia terhadap kekerasan dalam rumah tangga. Pasal-pasalnya berfokus pada kekerasan rumah tangga, kekerasan terhadap perempuan/istri. Setelah sepuluh tahun diperkenalkan, kekerasan rumah tangga terhadap perempuan sebagai tindak pidana kriminal masih kurang dilaporkan. Ini seperti disebutkan oleh data Komnas Perempuan.
Dari total kasus kekerasan dalam rumah tangga yang teridentifikasi dari sumber resmi, sekitar 96% dari 293.220 kasus pada tahun 2014 berasal dari proses perceraian di Pengadilan Agama, di mana sejumlah bentuk kekerasan disebut-sebut sebagai pemicu perceraian. Hanya sekitar 4% dari kasus yang dilaporkan didasarkan pada pengaduan yang disampaikan kepada 191 organisasi perempuan mitra Komnas Perempuan.
Artikel ini membahas kerja sebuah organisasi perempuan dalam memobilisasi sumber dayanya untuk melakukan intervensi atas nama, memfasilitasi perubahan, dan menanggapi kebutuhan perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga.
Fokus kerja organisasi perempuan ini muncul karena undang-undang menetapkan bahwa baik pemerintah maupun masyarakat, termasuk lembaga non-pemerintah, mempunyai kewajiban untuk mencegah dan menghapuskan kekerasan dalam rumah tangga, dan memberikan perlindungan kepada perempuan. Artikel ini menyajikan studi kasus mengenai kinerja salah satu organisasi perempuan lokal di provinsi Sulawesi Selatan, yaitu Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) di Makassar.
Studi kasus ini menantang beberapa perspektif mengenai kerja organisasi non-pemerintah, khususnya kekhawatiran bahwa agenda internasional dapat mendistorsi respons lokal terhadap modernisasi. Penelitian terhadap organisasi perempuan di provinsi Aceh menemukan bahwa LSM perempuan setempat mampu mengekspresikan dan memajukan kepentingan perempuan, jika tidak maka mereka tidak mampu bersuara di depan umum.
Pengamatan awal artikel ini antara lain berasal dari kajian putusan pengadilan di sejumlah Pengadilan Agama tingkat pertama. Pengamatan ini menunjukkan bahwa alasan perempuan melakukan perceraian antara lain karena ditelantarkan secara fisik, psikologis, dan ekonomi, yang semuanya termasuk dalam kategori ini, termasuk dalam kategori kekerasan dalam rumah tangga. Pekerjaan LBH APIK Makassar membentuk sebuah studi kasus, dengan bukti-bukti yang dikumpulkan melalui beberapa kunjungan dari tahun 2013 hingga 2015, di mana wawancara dilakukan dengan paralegalnya.
Cendekiawan Muslim perempuan Lily Zakiya Munir (2005:5) menganggap UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ini bersifat progresif, karena mencerminkan prinsip-prinsip dasar 'perlindungan dan penegakan hak asasi manusia, peningkatan kesetaraan gender, keadilan, dan hubungan sosial yang adil serta perlindungan hak-hak korban’.
Meskipun undang-undang tersebut memperlakukan kekerasan dalam rumah tangga sebagai tindak pidana, tampaknya banyak korban yang tidak mengikuti prosedur peradilan pidana. Hal ini menyulitkan perolehan data akurat untuk menentukan berapa banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dibawa ke pengadilan sebagai tindak pidana.
Penelitian yang dilakukan di Kabupaten Banyumas, menunjukkan bahwa laporan yang dibuat oleh perempuan mengenai pengalaman kekerasan yang mereka alami tidak dianggap sebagai laporan kejahatan oleh polisi, melainkan menyebabkan petugas menyarankan suatu bentuk mediasi, di mana perempuan dan pelaku kekerasan diminta untuk kembali. rumah dan mencoba untuk menyelaraskan hubungan mereka.
Salah satu pencapaian besar UU Anti-KDRT adalah mengakui kekerasan seksual dalam perkawinan dan perkosaan dalam perkawinan sebagai tindak pidana. Ini mengklasifikasikan kekerasan seksual sebagai bentuk tindak pidana dan mendefinisikan kekerasan seksual.
Dalam sebagian besar kasus, viktimisasi, marginalisasi, dan diskriminasi terhadap perempuan bersifat sistematis dan dilakukan tidak hanya oleh individu namun juga oleh kelompok, termasuk negara. Oleh karena itu, agensi sering kali muncul, bukan sebagai tindakan individu, namun dalam konteks kelompok, di mana ia menolak subordinasi dan penindasan, dan diwujudkan melalui tindakan kolektif yang diarahkan pada target budaya dan politik, serta individu.
Dalam konteks Indonesia, perempuan mengartikulasikan keprihatinan individu mengenai status mereka, pengalaman diskriminasi, dan penindasan dengan mengorganisir diri mereka ke dalam organisasi-organisasi perempuan dan dengan berbicara langsung kepada partai-partai, dan pemerintah, dengan cara yang lebih berkelanjutan dan terorganisir dibandingkan jika dilakukan secara individu.
LBH APIK adalah salah satu organisasi perempuan yang aktif berkampanye melawan kekerasan gender, mulai dari mendorong reformasi kebijakan hingga menyediakan tempat penampungan, konseling, dan bantuan hukum. LBH APIK berpendapat bahwa kekerasan gender disebabkan oleh sejumlah faktor, yang sebagian besar berasal dari ideologi gender negara. Salah satu pendiri LBH APIK, Nursyahbani Katjasungkana, berpendapat bahwa ajaran agama dan budaya patriarki merupakan hambatan terbesar dalam mengatasi kekerasan gender dan dalam penerapan UU Anti KDRT (Katjasungkana 2013:170).
Didirikan pada tahun 1995 oleh sekelompok tujuh pengacara wanita di Jakarta, kini menjadi organisasi perempuan terkemuka yang memberikan bantuan, konseling, dan bantuan hukum, dan bekerja dengan perempuan korban kekerasan, termasuk kekerasan negara, bersama dengan organisasi perempuan lainnya seperti Kalyanamitra, Rifka Annisa, dan Solidaritas Perempuan
Konsep yang disebut ‘bantuan hukum transformatif gender’, yang bertujuan untuk mentransformasi masyarakat dengan ‘mengoreksi hubungan gender yang tidak adil melalui pengalaman perempuan dalam berurusan dengan sistem hukum’. Pendekatan berbasis bukti ini melegitimasi kerja organisasi dalam advokasi kebijakan, kampanye kesadaran kesetaraan, dan reformasi peraturan pemerintah dan kebijakan sosial. Organisasi ini juga telah mengadopsi konsep ‘segitiga pemberdayaan’, yang mempromosikan peran masyarakat sipil, parlemen, dan pemerintah yang setara dan penting dalam merancang advokasi kebijakan dan mereformasi kebijakan pemerintah.
Beberapa paralegal sendiri merupakan mantan korban kekerasan dalam rumah tangga, yang pernah mendapatkan konseling dan pendampingan hukum dari LBH APIK. Saat menjalani konseling, sebagian korban bergabung dengan ‘kelompok swadaya’ yang difasilitasi oleh LBH APIK. Forum semacam ini memungkinkan para korban untuk saling mendukung berdasarkan pengalaman mereka. Beberapa dari mereka akhirnya tertarik menjadi paralegal, sehingga mengikuti pelatihan hukum seperti yang disebutkan sebelumnya.
LBH APIK dan paralegalnya memahami bahwa relasi gender di komunitasnya sangat dipengaruhi oleh budaya patriarki dan interpretasi ajaran Islam yang konservatif. Hal ini menunjukkan bahwa organisasi perempuan tetap menjadi representasi penting isu gender dalam praktik pembangunan, termasuk di Indonesia.
Pekerjaan paralegal di LBH APIK sangatlah penting karena pemerintah, yang mempunyai kewajiban utama dalam penegakan hukum dan pemberian layanan, belum melaksanakan tanggung jawabnya secara efektif. Paralegal di APIK tidak hanya berhasil membangun kesadaran di kalangan perempuan, namun juga dalam memobilisasi mereka dan secara kolektif mengatasi praktik budaya yang diskriminatif. Walaupun para pengkritik terhadap organisasi perempuan seringkali fokus pada kenyataan bahwa pekerjaan mereka bergantung pada dana yang diterima dari donor, kasus aktivis dan paralegal desa di Makassar menunjukkan kemampuan aktivis lokal untuk tetap waspada dan proaktif bahkan ketika dana tidak ada.
ABSTRAK:
Pada tahun 2004, pemerintah memperkenalkan Undang-Undang (UU) Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan dalam Rumah Tangga sebagai respons peradilan pidana terhadap kekerasan dalam rumah tangga. Setelah lebih dari satu dekade, hal ini menyisakan ketidakjelasan seberapa efektifkan UU berjalan. Lemahnya penegakan hukum, perbedaan persepsi masyarakat, hambatan struktural, dan kurangnya akses terhadap layanan dukungan dan intervensi yang efektif merupakan beberapa tantangan di balik rendahnya pelaporan kekerasan dalam rumah tangga.
Artikel ini membahas kerja organisasi-organisasi perempuan di tingkat lokal dalam menangani kekerasan dalam rumah tangga, karena UU itu sendiri mengatur peran pemerintah dan organisasi non-pemerintah. Studi kasus organisasi bantuan hukum perempuan di Sulawesi, LBH APIK Makassar, mengungkapkan bagaimana aktivitas lokal membantu perempuan menggunakan hak pilihan mereka dan mengambil tindakan untuk mencapai keadilan sosial dan hukum dengan bekerja bersama perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga.
Afrianty, Dina. "Agents for change: Local women’s organizations and domestic violence in Indonesia." Bijdragen tot de taal-, land-en volkenkunde/Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia 174.1 (2018): 24-46.
Link: https://brill.com/view/journals/bki/174/1/article-p24_2.xml
#31daysofindonesianscholars #dinaafrianty #women #agency #localactivism #divorce #domesticviolence
PROFIL SCHOLAR:
Dina Afrianty, merupakan akademikus Indonesia dengan spesialisasi hak perempuan, hak disabilitas, gender, dan Islam. Memperoleh gelar S1 dari Universitas Padjajaran, S2 dari Universitas Melbourne, dan S3 dari Melbourne Law School, Universitas Melbourne (2011). Dia juga merupakan peneliti di Institute for Religion, Politics, and Society (IRPS) Australian Catholic University. Pendiri Australia-Indonesia Disability Research and Advocacy Network (AIDRAN), forum penelitian terkait riset dan advokasi disabilitas. Menulis buku "Women and Sharia Law in Northern Indonesia: Local Women's NGOs and the Reform of Islamic Law in Aceh" (Routledge, 2014).
Jumat, 29 Maret 2024
The Sugar Industry - Mubyarto
Beberapa tahun sebelum Perang Dunia II, industri gula menjadi industri penting negara ini. Sabuk kehidupan yang menjadi landasan perekonomian Hindia Belanda. Pada tahun 1928, sektor ini menyumbang tiga perempat ekspor Pulau Jawa dan menyumbang lebih dari seperempat pendapatan pemerintah Belanda. Pada saat itu, ada 178 pabrik gula beroperasi di dalam perkebunan Jawa, memanen sekitar 200 ribu hektar tebu dan memproduksi hampir 3 juta ton gula, hampir dari setengah yang diekspor. Jawa kemudian menjadi eksportir terbesar kedua di dunia, setelah Kuba.
Hari ini, pabrik-pabrik gula di Jawa hanya menyediakan sekitar dua per tiga permintaan domestik berkaitan dengan gula. Jumlah produksi dan perolehannya per hektar jatuh kurang dari setengah pada akhir 30an. Sejak 1996, ekspor berhenti dan gula malah diimpor. Pada 1967, kerugian yang ditimbulkan lebih dari Rp 5 miliar dan pada 1968, gula masih dipertahankan, tetapi hanya mampu memerintahkan tenaga kerja wajib dari desa untuk pengoperasian pabrik.
Setelah Undang-Undang Agraria tahun 1870, pemerintah secara bertahap menarik diri dari industri untuk membantu model swasta Belanda. Penanaman paksa tanaman komersial dengan sewa wajib atas tanah petani oleh perusahaan. Perusahaan juga memperoleh hak untuk melakukan kerja wajib dari para petani.
Meskipun pada tahun 1870 hanya terdapat sedikit sekali 'lahan terlantar' yang bisa disewa dengan sewa jangka panjang dari pemerintah, dan undang-undang pemindahtanganan tanah yang ketat melarang penjualan tanah kepada orang non-Indonesia, perusahaan-perusahaan tersebut, dengan bantuan pemerintah, berhasil memperoleh cukup tanah untuk ditanami budidaya tebu dengan sistem sewa yang rumit.
Kepala desa merupakan orang yang bertanggungjawab memastikan penyediaan tanah bagi perusahaan. Juga meyakinkan tidak ada petani rumah tangga yang dirampas seluruh tanahnya sekaligus. Untuk melindungi peredaran makanan bagi masyarakat, pemerintah membatasi jumlah tanah yang bisa digunakan untuk penanaman tebu mencapai maksimum seperlima dari jumlah tanah setiap desa, tetapi ketika pasar dunia untuk gula tengah menguntungkan, peraturan ini seringkali dilanggar.
Petani kecil tidak lagi membutuhkan tanaman tebu itu sendiri untuk tanahnya dan menyerahkan hasil panennya kepada pemerintah.
Namun dia masih bisa menyerahkan bagian dari lahan padinya ke beberapa musim pada penyewa, yang ditentukan oleh perusahaan. Dia masih bisa bekerja dua kali seminggu pada siang hari untuk pemeliharaan pabrik dan kerja-kerja perkebunan, empat malam dalam seminggu dihabiskan di lokasi pabrik atau di lahan gula untuk tugas jaga malam.
Bahkan ketika kerja paksa dihapuskan, sewa wajib lahan sawah untuk penanaman tebu terus berlanjut.
Antara tahun 1830-1870 (periode Sistem Budaya), produksi gula berkembang secara tetap dari produksi tahunan 40.500 ton menjadi sekitar 405.000 ton. Pertumbuhan ini bermula karena area dan produktivitas meningkat. Penambahan juga terjadi begitu cepat pada tahun 1895 menjadi 1.458.000 ton, dengan bantuan mesin dan penanaman yang insentif. Meskipun kemudian membutuhkan investasi modal yang besar, hal ini difasilitasi oleh fakta bahwa merosotnya harga gula pada tahun 1880 memaksa perusahaan swasta kecil untuk menjual pada perusahaan yang lebih besar, seperti HVA, NHM, dan CMV (yang memiliki sumber daya yang lebih). Perusahaan-perusahaan ini bertanggungjawab pada terciptanya jaringan irigasi, kereta api, dan stasiun percobaan yang berkontribusi terhadap keberlanjutan industri gula yang efisien.
Pendapatan yang tinggi dari penghasilan gula per hektar, diperoleh karena penanaman yang intensif dan efisien berdasarkan sistem irigasi yang baik, karena penggunaan tanah terbaik di setiap daerah, dan karena penggunaan pemotongan yang berkualitas super, yang dikembangkan oleh pabrik gula.
Sayangnya, selama depresi besar awal 30an, industri ini hampir bangkrut. Produksinya menurun drastis dari 200 ribu (1931) menjadi 30 ribu (1935). Pada masa penjajahan Jepang, mereka juga tidak mendorong penanaman tebu. Sebagian besar diubah untuk menghasilkan produk beras. Masyarakat membutuhkan lebih banyak makanan terutama nasi.
Daerah dengan iklim mendukung bagi budidaya dan penggilingan tebu ada di Jawa Timur. Tebu biasanya ditanam setelah tanaman padi, pada akhir musim kemarau. Dibutuhkan setidaknya 12 bulan untuk membuat tebu menjadi dewasa, untuk mendapatkan sukrosa sekitar 10 persen. Atau biasanya juga ditanam selam 16 bulan untuk mendapatkan kadar sukrosa 14-15 persen. Namun jika petani telat mengelola tanahnya kepada pabrik, tebu akan dibabat sebelum dia dewasa, mengurangi kadar sukrosa yang dihasilkan. Industri gula ini juga membutuhkan banyak buruh kerja yang insentif, rata-rata 7.000 orang tiap pabrik. Para buruh tani dibayar 50 persen dari hasil panennya ke penggilingan dan menerima 50 persen lainnya kemudian, sistem ini lebih dipilih daripada di bawa sistem bagi hasil.
Meskipun kemudian, pemerintah mengenalkan sistem bagi hasil pada 1963, dengan menghubungkan pembayaran sewa terhadap hasilnya secara langsung. Di bawah sistem ini, petani menerima 25 persen dari hasil panen jika mereka menyewakan tanahnya ke pabrik, atau 60 persen dari hasil jika mereka menanam tanahnya sendiri di bawah kontrak dengan pabrik. Sayangnya, petani harus membayar kebutuhan tak terduga lainnya, sehingga presentase yang didapat petani menjadi semakin kecil. Pada tahun 1967, sistem bagi hasil ditinggalkan menjadi sistem sewa yang lebih sederhana. Kala itu di Jawa Timur, sewa tanah dihargai Rp25.000-40.000 per hektar. Sementara di Jawa keseluruhan rata-rata Rp50.000 pada tahun 1969.
Pabrik gula kemudian komplain dengan ketidakmampuan mereka membayar sewa yang tinggi, diikuti dengan berbagai pajak dan uang tarik lainnya. Bahkan ketika setelah kemerdekaan, gula masih menjadi komoditas dasar dari 9 komoditas dasar yang harganya dikontrol oleh pemerintah, dengan kebijakannya melindungi kebutuhan rakyat. Industri gula juga telah dikelola oleh Perusahaan Perkebunan Negara Gula (PN Gula) berdasarkan UU Nomor 19/1960 dan Peraturan Pemerintah Nomor 141/1961. Perkebunan ditempatkan di bawah manajemen Badan Pimpinan Umum (BPU). Pemasarannya dipusatkan di bawah pengelolaan BPU. Pabrik individu tidak diizinkan menjual gula mereka ke pasar. Meski kemudian desentralisasi diterapkan, desentralisasi nyatanya tidak membawa para otonomi terhadap pabrik perorangan ini. Pemasaran baru pun dibentuk melalui Badan Pemasaran Bersama. Yang dalam prosesnya, terdapat pula sindikat dalam pemasaran di industri gula.
Kondisi di atas memperlihatkan bagaimana suramnya industri gula berjalan di Indonesia. Di beberapa daerah, selalu ada desa-desa di Jawa yang masih menggunakan metode primitif untuk memproduksi gula dari tebu. Juga di luar pula dengan tambahan produk lain seperti perkebunan untuk kelapa atau pohon palem lainnya, allih-alih tebu. Pertanyaan dasar ekonomi terhadap kebijakan Indonesia apakah akan merehabilitasi industri gula dan memperluas produksi gula secara domestik menggambarkan lebih kepada penggunaan lahan dan sumber daya lain yang dibutuhkan, dibandingkan menggunakannya untuk produk komoditas lain seperti beras. Yang penting kemudian adalah masa depan, bukan masa lalu.
Barangkali, hal terpenting untuk memulai langkah pengembangan ke depan, yaitu kebijakan desentralisasi dan otonomi terhadap managemen pabrik gula. Pak Muby di sini menyarankan untuk menghapus BPU dan menggantinya dengan sistem yang lebih terdesentralisasi. Tidak ada pula pseudo BPU di industri lainnya. Selain itu juga menyertakan pengurangan kontrol dari birokrasi terhadap manajemen pabrik dan biaya administrasi yang rendah. Otonomi akan memberikan pengelola pabrik suatu insentif untuk menyediakan kebutuhan, tiap manager akan tahu apa tanggung jawab mereka sehingga bisa sukses atau malah gagal. Dengan mentransfer tanggung jawab fungsi pemasaran kepada Menteri Perdagangan, kesempatan penyediaan regulasi bagi impor gula lebih dibutuhkan, dibanding kontrol administratif diperlukan untuk menstabilkan harga gula. Setiap usaha dapat membuat keamanan finansial dan bantuan teknis dari pihak lain.
Mubyarto. "The sugar industry." Bulletin of Indonesian Economic Studies 5.2 (1969): 37-59.
Link: https://www.tandfonline.com/doi/pdf/10.1080/00074916912331331402
#31daysofindonesianscholars #mubyarto #sugar #industry #economic #indonesia
PRODIL SCHOLAR:
Mubyarto dikenal sebagai pakar ekonomi kerakyatan yang lahir di Sleman, 3 September 1938, dan meninggal di Sinduadi, 24 Mei 2005. Menyelesaikan pendidikan S1 di UGM, S2 di Universitas Vanderbilt Tennessee, dan S3 di Iowa State University. Gelar doktor didapat saat beliau berumur 27 tahun dengan disertasi berjudul "Elastisitas Surplus Beras yang Dapat Dipasarkan di Jawa-Madura". Dulunya merupakan pengajar di Fakultas Ekonomi UGM (1959-2003) dan menggagas konsep ekonomi Pancasila. Buku-buku beliau di antaranya: "Pengantar Ekonomi Pertanian", "Ekonomi dan Keadilan Sosial", Ekonomi Terjajah", "Ekonomi Pancasila", dan "Ekonomi Pertanian dan Pedesaan".
Kamis, 28 Maret 2024
Rentang Batas dari Rekognisi Hutan Adat dalam Kepengaturan Neoliberal - Laksmi Adriani Savitri
Putusan MK 35/2012 yang menegaskan hutan adat bukan lagi merupakan hutan negara, menjadi tonggak kemenangan perjuangan hak atas tanah yang monumental. Menjadi langkah maju dari pertautan antara politik rekognisi dan redistribusi yang dijalankan oleh pelaku gerakan sosial. Lebih jauh, setiap perjuangan sosial merupakan upaya untuk menembus batas-batas atau limit kekuatan struktural negara dan kapital. Untuk memeriksanya, perlu mengenali limit-limit yang menghadang. Terlebih dalam kondisi Indonesia sebagai negara neoliberal yang menyediakan regulasi bagi pasar bebas dan privatisasi, atau dengan membentuk regulasi baru, menjadi pembentuk kondisi yang memungkinkan neoliberalisme bekerja lebih sistematis.
Pembacaan limit-limit yang dilakukan Laksmi dalam paper ini dipengaruhi oleh konsep governmentality (kepengaturan). Konsep ini memperlihatkan bahwa kuasa untuk mengatur kehidupan populasi manusia Indonesia dari zaman kolonial sampai hari ini dilakukan melalui pembentukan rasionalitas (cara pikir) yang meyakinkan, teknikalisasi, dan prosedur yang diterapkan melalui jaring-jaring praktik dan institusi yang tak hanya berpusat pada logika dan perilaku negara, tetapi juga institusi yang disebut sebagai "wali masyarakat". Nilai dasar neoliberalisme sendiri adalah kebebasan individu, yang membenarkan hak privat dan kebebasan pasar sebagai jalan menuju akumulasi kapital.
Laksmi berargumen: elemen-elemen yang akan hadir sebagai pembatas struktural dari peluang politik yang dibuka oleh Putusan MK 35 dimungkinkan kemunculannya dari keharusan gerakan masyarakat adat untuk menghadapi ragam arena politik lain, sebagai proses lanjutan dari Putusan MK. Ada tiga limit dari arena politik lain tersebut yang memungkinkan dihadapi gerakan masyarakat adat:
- Limit teknikalisasi melalui regulasi. Hal in dilahirkan dari keharusan masyarakat adat untuk mengukuhkan keberadaannya sebagai subjek hukum melalui regulasi.
- Keterbelahan antara kepengaturan wali masyarakat dan golongan elite yang mengarah pada komunalisasi dan kepengaturan yang diinginkan oleh masyarakat, ke arah privatisasi kepemilikan dan penguasaan tanah. Komunalisasi seperti tindakan membangun tembok yang melindungi masyarakat pribumi dari serangan musuh, tetapi membiarkan musuh bergerak di luar tembok tanpa koreksi.
- Penetrasi budaya korporasi dalam sistem pendidikan Indonesia yang dimulai dari desa. Privatisasi pendidikan di Indonesia telah memberi jalan bagi penetrasi budaya korporasi yang tidak mengenal batas desa-kota. Ia tidak mengenal siapa subjeknya, tapi melakukan ekspansi geografis kapitalisme perkebunan di Indonesia.
Pada limit tersebut, menubuh kesempatan hadirnya elitisme dan ketidakadilan gender. Laksmi menawarkan jalan untuk melalui proyek investasi sosial jangka panjang, yaitu pendidikan untuk kesadaran yang reflektif. Inilah yang memberi jalan bagi kepengaturan tandingan (counter-conduct) ala gerakan sosial yang melawan kepengaturan neoliberal.
Perjuangan masyarakat adat di dunia muncul sebagai gerakan menggugat karena negara sengaja mengabaikan atau salah merekognisi keberadaan masyarakat adat baik secara kultural maupun material. Klaim keadilan sosial tak bisa dilepaskan dari dua aspek perjuangan politik: rekognisi dan redistribusi. Ujung dari politik rekognisi dan redistribusi yaitu kesetaraan dalam berpartisipasi untuk melakukan perubahan.
Ada prakondisi tertentu untuk mencapai kesetaraan partisipasi menurut Fraser dan Honneth (2005): (1) kondisi objektif, di mana distribusi sumber daya material memungkinkan subjek menjadi mandiri dan berdaulat, (2) kondisi intersubjektif, terinternalisasinya nilai budaya yang memberikan penghargaan setara dan memastikan kesempatan setara kepada semua subjek untuk memperoleh penghargaan diri secara sosial. Namun, prakondisi ini tidak menghadirkan aspek ketiga yang penting, yaitu arena politik yang meliputi institusi hukum dan praktik regulasi, kewarganegaraan, administrasi, dan partisipasi politik (representasi).
Laksmi berargumen, para arena politik lain inilah jebakan-jebakan kepengaturan berkemampuan memutarbalikkan politik rekognisi dan redistribusi menjadi kekuatan yang mengeksklusi atau membatasi akses, menghasilkan kontradiksi karena kesalahan rekognisi atau malah pengabaian. Kondisi ini menyediakan jalan bagi perluasan hegemoni budaya korporasi, dan sangat bisa berpeluang mereproduksi ketidakadilan gender.
Proyek neoliberalisme bekerja efektif melalui negara, dengan sarananya berupa "kepengaturan". Kepengaturan ini tidak hanya merujuk pada kepengaturan negara, tapi juga pihak yang mempunyai kuasa sehingga mencapai tujuannya. Pengarah ini disebut sebagai "wali masyarakat", yang tugasnya menyiapkan rasionalisasi dan kalkulasi untuk memproduksi regulasi, program, dan rencana aksi, dengan disertai teknik dan taktik pendisiplinan. Sistem kepengaturan yang kentara di negara neoliberal yaitu dengan pengalihan tanggung jawab negara menjadi tanggung jawab individu. Contohnya, bagaimana World Bank di Indonesia memutarbalikkan politik rekognisi dan redistribusi reforma agraria sebatas hanya sebentuk pengadministrasian pertanahan atau legalisasi aset. Melalui privatisasi tanggung jawab, pemerintah telah membiarkan petani menggantungkan diri pada mekanisme pasar. Duggan (2003) menyebut ini sebagai "proyek kultural neoliberalisme".
Pada batasan 1: Sifat "eksklusif" menghambat pihak lain memperoleh manfaat dari properti yang dikuasai satu pihak. Ketika gerakan melawan eksklusi dari masyarakat adat atas hak-haknya merebut ruang telah diprivatisasi oleh negara dan dilekatkan pada identitas, gerakan ini bisa mengeksklusi kelompok rakyat lain yang tak masuk pada wacana identitas tersebut. Ini seperti tampak pada UU No. 13/2012 tentang Keistimewaan DIY yang mencangkup kewenangan bidang pertanahan dan tata ruang di Jogja menyatakan jika kesultanan dan kadipaten mempunyai hak atas tanah. Pada perjalanannya, UU ini mensituasikan dualisme dan ambiguitas terhadap status Tanah Sultan, baik Sultan Ground (SG) dan Pakualaman Ground (PAG).
Ketika perjuangan dan kontestasi tidak lagi bersifat vertikal (masyarakat vs negara, petani vs sultan), maka akan masuk ke bidang horizontal antar-kelompok masyarakat. Eksklusi menghasilkan konflik komunal yang keras dan mengendap, seperti terjadi pada masyarakat Poso, Ambon, dan Kalimantan. Muncul politik identitas berdasarkan etnis dan agama, yang melahirkan konflik sosial. Lalu negara menutupinya dengan doktrin Bhineka Tunggal Ika dan larangan membicarakan SARA.
Li (2012) menjelaskan, ada dua praktik pokok dalam mewujudkan kepengaturan menjadi program-program yang eksplisit: problematisasi dan teknikalisasi, yang keduanya mengandalkan otoritas yang disebut "ahli". Problematisasi berkaitan dengan identifikasi hal-hal yang perlu dibenahi. Teknikalisasi berkaitan dengan serangkaian praktik yang tegas cakupannya, jelas ciri-cirinya, berisi informasi dan pengembangan teknik untuk menggerakkan kekuatan yang ada. Ini terjadi pula pada UU No. 21/2001 dan kriteria keaslian orang Papua yang lahir sebagai bentuk gerakan kontra dari kuasa eksklusi yang diciptakan pemerintahan Orde Baru.
Pada batasan 2: Komunalisasi pemilikan dan penguasaan tanah atau hutan seringkali digunakan oleh wali masyarakat sebagai kepengaturan tandingan dari privatisasi oleh negara. Keterbelahan antara pembelaan atas komunalisasi pemilikan tanah dan keinginan rakyat pedesaan atas individualisasi hak atas tanah menjadi salah satu risiko yang patut dipertimbangkan sebagai limit dalam menjalankan politik rekognisi dan redistribusi. Komunalisasi tanah berbasis desa dibentuk oleh pemerintah kolonial untuk menyederhanakan sistem pemilikan tanah dan memudahkan diberlakukannya pajak tanah. Ini juga memudahkan penerapan Tanam Paksa kala itu. Padahal, hak ulayat tidak selalu berbentuk tunggal, tapi berkembang sebagai tanggapan terhadap keadaan ekonomi.
Ide komunalisasi pemilikan tanah merupakan simplifikasi sistem tenurial rakyat untuk melicinkan akumulasi kapital pemerintah kolinial, atau komunalisasi sebagai upaya memperoteksi masyarakat pribumi terhadap kejahatan kapitalisme. Selain itu, komunalisasi sebagai bentuk advokasi kontemporer terhadap perampasan tanah akibat kerja kapital global. Komunalisasi ini juga merupakan tindakan sengaja dari wali masyarakat untuk melindungi rakyat pedesaan dari proses-proses perampasan tanah, atau malah jalan bagi institusi keuangan internasional untuk meluaskan pasar.
Dapat disimpulkan, komunalisasi bisa menjadi jebakan untuk melakukan simplifikasi atas kondisi rakyat pedesaan. Alih-alih melindungi, simplifikasi malah menghasilkan kontradiksi dari usaha proteksi itu sendiri.
Pada batasan 3: Penciptaan budaya korporasi melalui privatisasi sistem pendidikan dengan sarananya melalui proses pengajaran dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi, menghasilkan individu yang kompetitif dan mementingkan diri sendiri dalam pencapaian keuntungan materialnya sendiri. Budaya korporasi membungkam denyut demokrasi dan praktik masyarakat sipil dengan menyerapnya ke dalam logika pasar. Sekolah kemudian diarahkan sebagai alat reproduksi buruh. Kerja sama antara pemerintah dan swasta juga melicinkan negara neoliberal melakukan privatisasi tanggung jawab di sektor pendidikan.
Tak heran, Althusser menyebut pendidikan sebagai alat ideologisasi negara. Penciptaan cadangan buruh terdidik sesuai dengan kebutuhan pelancaran sirkuit kapital. Ini sebagaimana yang dilakukan oleh Eka Tjipta yang melipatgandakan usahanya di sektor pendidikan melalui Eka Tjipta Foundation (ETF). Tidak ada kedermawanan di sini, kecuali sebagai citra yang dibutuhkan untuk mengamankan akumulasi-tak-henti.
Harvey (2003) menegaskan, cara pemecahan masalah akumulasi berlebih (overaccumulation) sebagai "spatio-temporal fix", yang tak lepas dari pergeseran temporal, yakni surplus diinvestasikan untuk proyek yang mendatangkan keuntungan jangka panjang, seperti proyek infrastruktur, pendidikan, sekolah.
Sekolah kebun dalam ETF menjadi arena pendisiplinan sekaligus "arahan perilaku" yang berkait erat dengan pembentukan disiplin diri, perilaku, dan mental individu yang hidupnya tergantung pada mekanisme kerja perkebunan.
ETF tak sendirian, Wilmar Group juga tak ketinggalan. Polanya dengan menghadirkan sekolah dan uang beasiswa di wilayah-wilayah konsesi perkebunan. Berkat sekolah perkebunan, kita bisa menyaksikan proses proletarianisasi yang penuh, tanpa menyisakan surplus populasi, atau orang yang terkatung-katung hidupnya di desa, tidak ada kerja dan di kota bisa bertahan dengan menembus keganasan sektor informal. Budaya korporasi yang menciptakan mental buruh ini merupakan alat yang efektif untuk menggerus ikatan orang dengan tanahnya.
Rentang limit berikutnya yang dihadapi yaitu ketidakadilan gender. Hak komunal sering memarginalkan perempuan, dan membuat hak-hak perempuan menjadi tidak terlihat.
Laksmi memandang, mendampingkan politik rekognisi dan redistribusi dengan politik pendidikan perlu dilakukan, karena menjadi jalan penguasaan cara pikir pendidikan kritis. Pendidikan kritis bukan hanya bersandar pada pengetahuan kognitif dan afektif, tetapi juga pada proses refleksi. Refleksi ini penting karena melibatkan pikiran dan perasaan untuk memaknai apa yang sudah dipikirkan, dialami, dan dirasakan di waktu sebelumnya. Hal ini bisa kita sebut juga dengan pendidikan reflektif.
Pendidikan reflektif membawa satu kebenaran untuk membaca "kebenaran lain", dan lebih jauh lagi, memikirkan ulang kebenaran yang digunakan sebagai alat baca. Tidak hanya kritis terhadap kondisi eksternal, tapi juga kritis terhadap diri sendiri. Langkah maju berpola spiral penting sebagai proses perjuangan nilai.
Upaya membalikkan nilai-nilai yang dibangun oleh kapitalisme menjadi nilai-nilai yang sama sekali berbeda. Pendidikan reflektif membongkar bangunan budaya pasar untuk membentuk bangunan budaya yang sama sekali berbeda. Pendidikan yang reflektif merupakan proses sabotase kebudayaan. Ini bentuk investasi sosial jangka panjang dari gerakan sosial. Kita patut meyakini, setiap investasi sosial untuk tujuan transformasi sosial akan senantiasa membangun sirkuitnya sendiri, bagaimanapun kecilnya.
ABSTRAK:
Paper ini bertujuan untuk membahas rentang batas dari rekognisi hutan adat dalam konteks gerakan masyarakat adat melawan pemerintahan neoliberal di Indonesia. Politik seperti ini dikembangkan oleh kolektif untuk menekan masyarakat yang menggunakan keadaannya sebagai posisi untuk mengklaim keadilan sosial, terutama meskipun tidak hanya soal tanah, hutan, dan batas teritorial. Meskipun, di dalam konteks negara neoliberal, politik dapat terkurung di dalam praktik "pemerintahan neoliberal" yang cenderung mentransformasi manuver politik ke dalam ukuran teknis. Batas pertama adalah prosedur teknis yang merupakan proses eksklusi karena prosedur kewajiban untuk mendefinisikan kriteria masyarakat adat. Kedua, batasnya adalah kontradiksi antara komunalitas sebagai praktik properti yang ideal dan privat, yang diartikulasikan sebagai dua penerjemahan bandingan antara pengawas dan masyarakat tentang "apa yang masyarakat inginkan dan butuhkan" berdasarkan tipe tanah atau hak hutan. Ketiga, batas yang lebih umum, tetapi secara potensial masih dalam kerangka kondisi hegemoni budaya korporasi sebagai paksaan bagi demokrasi radikal. Sebagaimana yang didemonstrasikan oleh investasi korporasi dalam pendidikan, korporasi budaya ini telah masuk ke sistem pendidikan Indonesia yang bertujuan untuk reproduksi generasi buruh upah rendah, dimulai dari tingkat SD hingga perguruan tinggi. Terakhir, dari batasan ini, ketidakadilan gender secara tak terpisahkan juga direproduksi. Batas-batas ini diidentifikasi dan dikenal dengan satu tujuan transenden. Oleh karena itu, gerakan politik progresif yang sedang berjalan perlu dilengkapi dengan gerakan budaya yang kuat dan mampu menumbangkan kekuatan halus kapitalisme.
Savitri, Laksmi A. "Rentang Batas dari Rekognisi Hutan Adat dalam Kepengaturan Neoliberal." Jurnal Wacana Nomor 33 (2014): 61-98.
Link: https://www.aman.or.id/wp-content/uploads/2014/06/Wacana-_33.pdf#page=61
#31daysofindonesianscholars #laksmiasavitri #jurnalwacana #adat #hutan #neoliberal #ugm
PROFIL SCHOLAR:
Laksmi Adriani Savitri merupakan pengajar di jurusan Antropologi UGM. Menyelesaikan pendidikan S1 Program Studi Arsitektur Lanskap IPB, S2 Studi Sosiologi Pedesaan IPB, dan S3 Kajian Agraria dan Gender Universität Kassel, Jerman. Saat menjadi pegiat lingkungan, dia mendapat pelatihan profesional Hubert Humphrey Fellowship Programme di Cornell University. Ia juga pernah bergiat di Sajogyo Institute (2005-2012), dan sempat menjadi Direktur Eksekutif di sana. Lalu pada 2011-2015, dia melakukan penelitian studi pascadoktoral di Universiteit van Amsterdam terkait "The Politics of Land Control in Papua and West Kalimantan". Laksmi juga menulis buku "Korporasi & Politik Perampasan Tanah" (INSISTPress, 2013).
Rabu, 27 Maret 2024
A Historical View of Mosque Architecture in Indonesia - Bagoes Wiryomartono
Aceh barangkali menjadi tempat pertama yang terpengaruh dengan Islam, yang masjidnya diadaptasi dari adat tradisional meunasah, yang berasal dari hall komunitas atau ruang besar untuk berkumpul. Hanya sedikit penyesuaian yang dilakukan untuk menyediakan aula dengan mihrab di depan dan untuk mengarahkan bangunan ke Mekah. Sementara di wilayah Melayu, khususnya di Jawa, komunitas lokal mengadaptasi konsep langgar, bangunan kecil yang digunakan oleh warga untuk melakukan pertemuan.
Langgar sendiri memperlihatkan teknik bangunan lokal: ada panggungnya, menggunakan bambu atau kayu sebagai dindingnya. Kemudian, modifikasi dan elaborasi dibuat di tahun-tahun berikutnya, di Jateng dan Jatim, langgar memiliki struktur atap "tajug" yang berbentuk piramida runcing curam yang dibangun dalam dua atau tiga bagian. Dalam tradisi Jawa, tajug terutama digunakan untuk bangunan non-perumahan, seperti makam, tempat pusaka, dan tempat meditasi.
Bukti masuknya Islam di Jawa ditemukan pada batu nisan sekitar abad kelima belas di Demak, Kudus, Cirebon, Banten, Sundakelapa (sekarang Jakarta), Gresik, Tuban dan Surabaya. Masjid-masjid tua di wilayah ini tidak dapat bertahan karena pengaruh iklim terhadap bahan bangunan yang mudah rusak. Benar saja, bangunan permanen tidak menjadi prioritas shalat umat Islam; salat berjamaah dapat dilakukan di tempat mana pun yang bersih dan terbuka.
Ada bukti yang jelas pada awal-awal pendirian Islam di Nusantara, terutama dari abad ke-16 di beberapa lokasi bersejarah, seperti Kotagede, Demak, Kudus, dan Cirebon. Ada tempat tinggal Muslim yang disebut "kampung Arab" atau kauman di beberapa wilayah pesisir di Jawa dan Sumatra. Pedagang Cina di sini memiliki peran penting dalam penyebaran Islam sepanjang pesisir Jawa, ini kenapa bentuk masjid dengan arsitektur Cina juga ada di Semarang, Cirebon, atau Utara Jakarta.
Sesuai dengan praktik sebelum masa Hindu-Buddha di Indonesia, ketika seseorang mendirikan bangunan berarti juga mentransformasi kekuatan kosmik ke dalam bentuk-bentuk ciptaan manusia. Suatu ritual yang disebut dengan upacara selametan atau kenduri menjadi ekspresi rasa syukur dan dia kedamaian dan keindahan bagi dunia. Masjid juga dianggap dikaruniai kekuatan kosmik. Semangat jiwa ini juga tampak pada bentuk nasi tumpeng dengan dekorasi yang berwarna dari sayuran dan daging.
Sebelum abad ke-13, Aceh dan Malaka mengadopsi masjid sebagai komponen yang esensial dari urbanisme. Pada masa Sultan Iskandar Shah (1402), masjid merupakan tempat publik pertama yang didirikan di samping keraton. Ini terjadi pula di daerah Mataram Kotagede, juga di Demak. Masjid menjadi pusat politik dan spiritual para sultan Jawa. Sebagaimana kota di zaman sebelum penjajahan, Demak Bintara juga mendirikan alun-alun, atau ruang kosong di tengah arah mata angin utara selatan dan timur barat. Sistem koordinat ini disebut nawa sangah, dari tata letak Hindu Jawa, titik kesembilan adalah pusat dari delapan arah mata angin global.
Ini dipercayai oleh Sunan Kalijaga, satu dari sembilan wali penyebaran Islam di Jawa untuk menyesuaikan arah utama dari nawa sangah ke Mekah. Masjid kemudian menempatkan mihrab di sumbu barat laut yang menjadi garis tengah alun-alun. Dalam denah Hindu Jawa, alun-alun merupakan pusat kosmologi dunia dari penguasa. Singgasana penguasa diarahkan ke alun-alun. Bagian lain ada yang disebut "peken", yang menjadi pusat perdagangan dan sosialisasi, di mana masjid dan kraton berdiri tak jauh dari kehidupan masyarakat sehari-hari.
Dalam kehidupan urban, masjid dan kraton memainkan peran yang istimewa untuk perayaan keagamaan hingga pengadilan. Ini terutama terjadi pada bulan Syawal, bulan suci Ramadan.
Masjid tidak hanya artefak, tetapi juga mengandung energi spiritual terkai kesehatan dan keindahan. Masjid Demak sendiri didesain untuk mengakomodasi jamaah yang berdoa di luar ruangan selama hari-hari penting dalam kalender Islam. Konstruksinya sendiri mirip dengan candi Hindu dan Buddha, ada lapangan kosong dengan lanskap minimal, mengelilingi bangunan yang berdiri bebas. Ruang kosong dalam bangunan juga didedikasikan untuk pemakaman keluarga penguasa, atau pahlawan nasional dan para pemimpin. Sehingga, masjid tidak hanya sebagai destinasi jamaah, tetapi juga penghargaan kepada keluarga pemimpin dengan ritual Jawa mistis. Praktik mistisme Jawa berhubungan dengan astrologi dan kalender untuk makhluk lainnya, yang telah ikut melakukan tugas memayu ayuning bhawana. Masjid Demak menunjukkan kepercayaan mistis, dilihat dari jumlah pilarnya, bentuk atap, makam, dan cerita dari pengunjung yang berhubungan dengan mistisisme.
Masjid Demak juga didesain menyesuaikan iklim tropis Indonesia, dengan bukaan dan ventilasi. Meski dalam budaya Jawa, tidak melihat laki-laki dan perempuan sebagai suatu hal yang setara, tetapi dibedakan ke dalam peran alami mereka di dalam masyarakat, sehingga perempuan diberikan tingkat yang sama hormatnya dengan laki-laki.
Tradisi lainnya juga ada ziarah, yang dilakukan dengan membacakan ayat-ayat Al-Qur'an, membakar setanggi, dan menempatkan bungai di dalam wadah berair. Integrasi antara kaligrafi Arab dan dekorasi Hindu juga menjadi pemandangan yang umum di pemakaman.
Elemen lainnya adalah dengan adanya bedug, yang berfungsi sebagai bagian dari adzan untuk memanggil para jamaah.
Fitur lain adalah menara masjid, sebagaimana yang ada di Kudus. Menara Kudus sendiri menyerupai Candi Singasari. Secara arsitektur, menara merupakan struktur monumen dengan karakter ikonik yang mengingatkan kita pada panunggun karang Hindu (monumen penjaga situs). Atau tempat pelindung dan pemberi sirine yang dipercaya menjadi tempat untuk menjaga keselamatan, kesadaran (eling), dan elemen kontrol diri.
Bangunan prakolonial lain di Jawa adalah Panembahan Senapati di Kotagede (didirikan 1575), dan Sang Cipta Rasa di Kraton Kasepuhan Cirebon (didirikan awal abad ke-17). Keduanya memadukan elemen animisme dan Hidu dalam desain arsitekturnya. Di masjid Kotagede juga diintegrasikan dengan pemakaman generasi pertama dinasti Mataram. Bangunan lama kraton juga hilang di tengah kepadatan penduduk.
Pada masa penjajahan Belanda, Kesultanan Banten, Kesultanan Yogyakarta, dan Kesultanan Surakarta merupakan contoh berharga dari bangunan masjid kala itu. Seperti Masjid Banten yang berdiri tahun 1566 di bawah Sultan Maulana Jusuf. Desainnya juga mengikut gaya tajug yang ada di Demak. Arsitek pemberontak Belanda, Hendrik Lucasz Cardeel adalah penasihat pembangunan kompleks masjid dan memasukkan ciri-ciri arsitektur Barok awal Eropa.
Masjid Maimun di Medan juga masjid penting lain yang didirikan sepanjang masa penjajahan Belanda. Masjid Deli Maimun atau Masjid Besar Medan didirikan dengan batu bata dan plesteran dengan denah 30x30 meter dan empat struktur sudut segi delapan yang ditandai dengan konstruksi terowongan kubah. Masjid yang berdiri tahun 1906 di bawah kekuasaan Sultan Makmun Al-Rasyid Perkasa Alamsyah ini mengadopsi elemen Hindu, dan tak lupa mausoleum bagi Sultan Deli dan keluarganya menjadi bagian integral dari kompleks masjid.
Setelah kemerdekaan, untuk memperingati pahlawan Muslim dalam perjuangan di masa penjajahan, komunitas yang ada di Yogyakarta mendirikan masjid baru tahun 1950 dengan dana sendiri, yang kemudian disebut dengan Masjid Syuhada. Masjid ini terdiri dari tiga bangunan utama, lantai dasar sebagai perpustakaan dan taman kanak-kanak, lantai dua untuk perempuan, dan lantai tiga untuk laki-laki, dengan tambahan menara di atasnya. Secara arsitektur, Masjid Syuhada merupakan masjid modern.
Tak jauh berbeda, Masjid Al Azhar di Kebayoran Baru, Jakarta, juga berdesain modern tanpa elemen vernakuler zaman penjajahan. Bentuk modern ini ditunjukkan dengan penggunaan batu bata dan plesternya.
Lalu, pada tahun 1961, Soekarno dan para tokoh Islam seperti Wachid Hasyim dan Anwar Cokroaminoto menginisiasi pendirian masjid terbesar di Asia Tenggara, yaitu Masjid Istiqlal. Istiqlal sendiri dalam bahasa Arab berarti kemerdekaan. Masjid ini berintegrasi dengan plaza di sekitarnya, di sana juga tidak ada kuburan atau mausoleum sebagaimana masjid-masjid lain di masa lalu. Hall utamanya sendiri bisa diisi oleh 12 ribu jamaah, dan kompleksnya mengakomodasi hingga 120 ribu jamaah selama perayaan hari suci Islam. Di sana juga ada fasilitas modern seperti instansi publik, perpustakaan, ruang pertemuan, hall pameran, hingga ruang seminar. Masjid ini tidak hanya untuk pelayanan spiritual, tetapi juga aktivitas sosial-budaya.
Lalu pada masa Orde Baru, di Bandung sendiri ada Pusat Dakwah Islam (Pusdai) yang didirikan pada tahun 1997, dan berfungsi penuh pada tahun 2000. Kompleks masjid juga bisa digunakan sebagai ruang pertemuan, perpustakaan, auditorium, hingga kafetaria. Beralih ke Semarang, setelah masa Orba, juga didirikan Masjid Agung Semarang yang didirikan tahun 2001 dan selesai pada tahun 2006. Masjid ini didesain untuk mengakomodasi lebih dari 10 ribu jamaah, juga sebagai tempat sosial-budaya, bisnis, dan aktivitas produktif lainnya.
Masjid kemudian tidak hanya sekadar bangunan untuk jamaah, tetapi juga menjadi ruang untuk komunitas dan sosial-budaya. Mengadaptasi masa yang semakin berkembang, alih-alih keras kepala pada hal-hal yang konservatif.
ABSTRAK:
Bagi umat Muslim secara umum, masjid merupakan tempat bersujud kepada Yang Maha Kuasa. Namun, desainnya bergantung pada budaya lokal. Masjid ini memiliki arsitektur unik dan kontekstual. Esai ini mengeksplorasi perkembangan arsitektur masjid di Indonesia melalui era yang berbeda dan dikembangkan dari penelitian lapangan penulis, serta dari pengalamannya tinggal dan bekerja sebagai arsitek dan perencana kota antara tahun 1993 dan 2005.
Wiryomartono, Bagoes. "A historical view of mosque architecture in Indonesia." The Asia Pacific Journal of Anthropology 10.1 (2009): 33-45.
Link: https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/14442210902758715
#31daysofindonesianscholars #bagoeswiryomartono #islam #mosque #architecture #indonesia #culture
PROFIL SCHOLAR:
Bagoes Wiryomartono merupakan peneliti independen yang tinggal di Toronto, Kanada. Dia memperoleh gelar doktoral dari Aachen University of Technology Jerman (1990) di bidang arsitektur dan urbanisme. Minat kajiannya berfokus pada sejarah, teori, dan desain urbanisme di berbagai budaya di Asia Tenggara dan Maerika Utara. Pernah menjadi dosen di ITB, dan peneliti di Asian Institute, Universitas Toronto. Menulis buku di antaranya: “Livability and Sustainabilty of Urbanism”, "Javanese Culture and the Meanings of Locality", dan "Perspectives on Traditional Settlements and Communities".
Catatan Film #11: Exhuma (2024)
Awal-awal film sebenarnya cukup menarik, meskipun kemudian ada plot yang patah kalau istilah teman mah. Pas pergantian antara penggalian makam pertama, yang nenek moyang orang kaya keluarga Amerika itu, sama penggalian makam kedua yang nyeritain jenderal Jepang yang hidup lagi. Jenderal yang menyerupai zombie, suka makan ikan, dan setannya dibuat karena proses upacara yang mengerikan macam buku Shelley yang Frankeinstein gitu. Yang buat sebuah kelompok sesat, dengan menjahit kepala dan tubuh yang berbeda. Nah, antara penggalian satu dan dua ini kesannya kayak patah aja, hubungannya gak kokoh.
Teman lain menilai jika latar belakang Amerika di film ini sebenarnya gak perlu. Karena menurut saya juga, kalau konflik yang diangkat mau menyoroti perang sejarah antara Korea Selatan dan Jepang, yang perang itu diteruskan hingga masa modern seperti sekarang ini, itu udah menarik. Hal menarik lain yang kutangkap terkait penggambaran suasananya, pemilihan makam yang secara fengshui gak cocok, sebagaimana rumah yang menghadap arah tertentu, atau rumah tusuk sate, atau semacamnya. Terus tokoh yang rata-rata anak muda juga menarik, selain dua bapak tua Kim Sang Deok (Choi Min-sik) dan Young-geon (Yoo Hae-jin).
Saya jadi menganalisis juga, selain jadi dokter, polisi, dan politisi, pekerjaan lain yang tak banyak dilirik dan sepertinya cukup memacu adrenalin adalah menjadi dukun dan ahli fengshui. Dua profesi ini naik popularitasnya karena film Exhuma. Si sutradara juga sebelumnya udah riset lapangan, dan kaget menemukan para dukun ini muda-muda dengan penampilan yang edgy dan macem nak-nak senja dan skena. Macem tokoh Bong-gil yang punya tato mantra Budhha sebadan, atau Hwa-rim, mbak-mbak yang outfitnya cocok banget buat nonton konser. Pekerjaan sektor informal dan berbau okultisme ini memang makin ke sini makin menyesuaikan diri dengan anak muda.
Berbagai budaya lokal juga di film ini sebenarnya tak beda jauh dengan di Indonesia, misal ada upacara pemanggilan arwah melalui tari, lagu, dan nyanyian-nyanyian mantara. Mereka juga menggunakan media hewan seperti babi, darah kuda, atau juga garam untuk sarana pelindung diri. Mereka juga menyebut ada waktu baik dan waktu buruk. Semisal, kita tak bisa membakar mayat atau melakukan kremasi saat hujan turun, karena dikhwatirkan arwahnya tidak berjalan mulus ketika menghadap yang kuasa.
Namun, dari film ini, saya seperti merasakan ada energi lain yang menghampiri. Terlebih dari pengalaman-pengalaman saya berkunjung ke berbagai makam, yang rata-rata tidak saya kenal. Dari situ mata saya seperti terbuka, pengaruh leluhur itu nyata adanya. Dia bisa mengikuti kita kemana pun, baik dia suka ataupun tidak suka, dan dia juga bisa memberi pengaruh ke kita. Setelah perjalanku ke Gunung Selok pula, aku jadi sadar, leluhur ini semacam gunung es, yang hanya saya ketahui permukaannya saja, tetapi akarnya begitu kuat dan tak terpatahkan.
Selasa, 26 Maret 2024
Piety and Sexuality in a Public Sphere - Kurniawati Hastuti Dewi
Ada banyak penelitian terkait Pemilukada sejak 2005, mulai dari praktek politik uang, pembiayaan kampanye ilegal, penguatan identitas daerah, kolusi, hingga pertumbuhan ekonomi, pelayanan publik, dan SDA. Namun sedikit yang memahami terkait peningkatan kepemimpinan daerah bagi perempuan dalam pemilihan. Lebih jauh lagi, tidak ada analisis menyeluruh terkait persaingan gagasan berkaitan dengan kesalehan Islam dan seksualitas yang menjadi dasar naiknya kepemimpinan perempuan di Pemilukada. Yang menarik pula, di dalam tubuh pengetahuan kepemimpinan perempuan di Asia, jalinan antara kesalehan dan seksualitas ini belum banyak dibahas.
Dewi menanyakan beberapa hal: Pertama, apa yang menyebabkan meningkatnya keterlibatan perempuan Muslim Jawa dalam kepemimpinan politik? Kedua, bagaimana perempuan menegosiasikan narasi gender dan kesalehan Islam dalam politik? Ketiga, bagaimana perempuan menggunakan atau menegosiasikan seksualitas dalam politik? Suara asli perempuan menjadi ruang yang spesial dalam paper ini. Dengan menggunakan metodologi penelitian interview mendalam, melalui fokus pada pengalaman perempuan di dalam konteks yang spesifik untuk mendapatkan pengetahuan berdasarkan pada pengalaman hidup sehari-hari.
Material utama paper ini berasal dari wawancara mendalam pada empat pemimpin perempuan, yang semuanya Muslim Jawa. Mereka terdiri dari BD kepala daerah di GK; SSW kepala daerah di BT; SM wakil kepala daerah di KL; dan YS wakil kepala daerah di SL. Empat narasumber ini dipilih karena dekat dengan Provinsi DIY. Untuk melengkapi informasi, Dewi juga mewawancarai lima orang anggota tim kampanye yang beberapa merupakan aktivis perempuan. Penelitian dilaksanakan antara tanggal 25-31 Juli 2016 di GK, BT, SL, dan KL.
Paper ini melihat tren naiknya jumlah pemimpin perempuan Muslim dalam politik pada bingkai politik perempuan di kawasan Asia. Secara umum, perempuan Asia Tenggara relatif memiliki posisi yang tinggi di masyarakat dan menikmati privilese ekonomi yang setara dengan laki-laki. Peran sentral perempuan di Asia Tenggara juga dapat dilihat melalui posisi kepemimpinan mereka. Mayoritas akademisi mengidentifikasi faktor keturunan keluarga sebagai hubungan yang dominan dan menjadi faktor vital dalam naiknya mereka di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Hal ini seperti terjadi di India, Bangladesh, Pakistan, dan Sri Lanka.
Selain itu, faktor lainnya yang berpengaruh adalah "modal moral" dengan merujuk pada kasus Aung San Suu Kyi yang modal moralnya telah bertransformasi ke dalam otoritas dalam perlawanannya terhadap kediktatoran militer. Kasus lainnya, kampanye moral dalam lingkungan semi-otoriter Wan Azizah di Malaysia dengan Partai Keadilan Nasional yang dipimpinnya dan Presiden Korea Selatan kesebelas, Park Geun-hye yang memimpin Partai Nasional Agung. Juga ada Tanaka Makiko, anggota Partai Demokrat Liberal (LDP) Jepang dan Menteri Luar Negeri Jepang dari tahun 2001 hingga 2002, yang mendorong reformasi politik radikal namun tetap mengikuti teladan “ibu rumah tangga yang baik".
Sebelum menjelaskan dengan detail gelombang Islamisasi di Indonesia, dibutuhkan ilustrasi penting yang mengubah ekspansi kepemimpinan perempuan di Indonesia. Dewi mengidentifikasi ada tiga tahap terkait hal ini. Pertama, akhir abad 19 hingga Orde Baru. Kedua, masa Islamisasi dan awal demokratisasi. Ketiga, demokratisasi pada periode pasca-Soeharto yang memperluas pandangan peran perempuan di dalam politik.
Selama masa Orde Baru (1966-1998), perempuan Indonesia tidak diberikan otonomi politik di bawah ideologi ibuisme negara, yang mengharapkan pengabdian perempuan Indonesia secara total sebagai istri dan ibu. Lalu, pada tahun 1970an, seiring dengan tumbuhnya sektor industri, perempuan lebih memiliki kepercayaan diri, karena pendapatan dan keterampilan yang lebih baik. Tren penambahan jumlah perempuan Indonesia yang mengejar karier politik di tingkat lokal juga berkembang di sini, di gelombang ketiga Islamisasi pasca-Soeharto.
Fase kedua, gelombang Islamisasi di Indonesia, yang ditandai dengan meningkatkan semangat Islam di berbagai negara termasuk Malaysia dan Indonesia, perubahan yang terjadi yaitu dengan penambahan penggunaan kerudung pada perempuan Muslim. Pada periode ini juga munculnya generasi intelektual Islam dalam organisasi seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU).
Pada fase gelombang ketiga, akademisi memperhatikan pada perubahan hidup dan peran perempuan Muslim, baik secara individu maupun kolektif. Pembangunan penting Islam ini berubah menjadi pusat dan membentuk keterlihatan perempuan Muslim Indonesia di ruang publik. Dewi dalam paper ini menekankan bagaimana dua elemen, yang disebut kesalehan Islam dan seksualitas, menjadi elemen penting dalam analisis.
Sementara, diskusi tentang seksualitas selalu berhubungan erat dengan gender, yang pengaturannya mempromosikan tatanan biner laki-laki/perempuan, yang telah mereproduksi diri mereka sebagai sistem dominasi laki-laki dalam hubungan seksual heteroseksual. Wacana dan praktik seksualitas menjadi semakin dinamis dalam konteks globalisasi. Menurut Giddens (2000), salah satu dampak globalisasi adalah munculnya hal-hal baru gagasan tentang pernikahan dan orientasi seksual yang tidak sesuai dengan norma heteroseksual karena generasi baru hidup di dunia kosmopolitan, yang lebih bebas mengekspresikan keinginannya. Hal ini mewakili pengawasan terhadap batasan-batasan yang diperbolehkan secara seksual.
Karier politik keempat pemimpin politik perempuan Muslim Jawa yang diamati difasilitasi oleh karier awal suami mereka. Mereka semua adalah pemain yang relatif baru karena tidak satu pun dari mereka yang pernah menjadi politisi profesional sebelum debut politiknya. Mereka adalah pengusaha wanita atau ibu rumah tangga biasa. Pertama, SSW umur 65 tahun, sebagai kepala daerah di BT. Dia merupakan istri dari IS yang juga mantan kepala daerah di sana. IS merupakan pengusaha kaya dan kader PDIP. Kedua, BD, umur 67, kepala daerah GK berasal dari keluarga kaya dan sukses. BD menikah dengan WSD, politisi dan kepala Golkar cabang GK. Ketiga, SM, umur 39 tahun, wakil kepala daerah di KL. KL sendiri merupakan merupakan istri dari SN, dia menjabat sebagai ketua PDIP cabang KL. Keempat, YS, umur 48 tahun, wakil kepala daerah di SL. Ayah YS merupakan anggota militer, sementara ibunya politisi terkenal Golkar. YS sendiri adalah seorang pengusaha, aktivis, dan ibu dari dua anak. Suaminya juga pebisnis dari Palembang dan kader PDIP. Menariknya, semua perempuan ini berasal dari kalangan kelas menengah, yang memungkinkan mereka masuk ke dalam ranah publik, dengan tetap menyeimbangkan perannya di ranah domestik. Kesemuanya juga mengalami penolakan yang relatif kecil dari tokoh agama.
Demi harkat dan martabat suaminya, seorang perempuan Jawa diharapkan melakukan cancut tali wanda (berinisiatif melakukan segala sesuatu, terutama ketika keluarganya dalam kesulitan) dan memberikan punggung bagi prestasi suaminya. Wanita sejati adalah wanita yang dapat melayani dengan baik di rumah baik sebagai ibu maupun istri, baik di dapur maupun di tempat tidur, serta tidak berperan di depan umum karena dapat merendahkan martabat suaminya. Pertanyaannya kemudian, bagaimana kiprah pemimpin perempuan Muslim Jawa tersebut di ranah politik?
Melalui kasus keempat pemimpin perempuan tersebut, kita dapat mengidentifikasi hal menarik mengenai relasi gender. Daripada menganggap remeh standar normatif gender, keempat pemimpin perempuan Muslim Jawa ini menegosiasikannya dan menyusun strategi untuk mencapai kekuasaan. Semuanya memosisikan suami sebagai kepala keluarga. Mereka meminta saran atau izin untuk melakukan sesuatu, termasuk berpartisipasi dalam politik. Namun, mereka menunjukkan tingkat ekspresi yang bervariasi dan menghadapi batasan yang berbeda ketika memainkan peran mereka masing-masing.
Budaya Jawa kuno mengharapkan laki-laki menjadi pencari nafkah dan perempuan menjalankan peran sebagai ibu dan istri. Sebaliknya, dalam situasi di Jawa saat ini, norma tersebut telah berubah. Memang benar bahwa keempat perempuan Muslim Jawa tersebut masih menganggap suaminya sebagai kepala keluarga, namun mereka menikmati kebebasan untuk berpartisipasi di ruang publik dengan menjalankan bisnis dan terlibat dalam politik secara bebas.
Tindakan mereka yang juga menggunakan atribut agama serta melakukan sesuatu yang bernuansa keagamaan, tentu saja telah mengubah gagasan tentang kesalehan Islam: dari tindakan pribadi beribadah kepada Tuhan menjadi kesalehan publik di mana gagasan dan norma-norma kesalehan Islam berperan penting dalam politik dalam mendefinisikan apa yang saya sebut 'aturan perilaku umum' untuk menunjukkan kesopanan dalam masyarakat yang semakin terislamisasi dalam politik kontemporer Indonesia”. Hal ini dapat menjadi peringatan bagi kita karena proses tersebut mungkin mengindikasikan menguatnya politik identitas berdasarkan agama, etnis, dan ras.
Terkait seksualitas, norma gender ideal yang ditetapkan dalam Undang-undang Perkawinan tahun 1974 dan norma-norma di Jawa berpusat pada heteroseksualitas sebagai hal yang penting dalam keluarga dan tatanan masyarakat. Meskipun saat ini terdapat wacana dan perdebatan di kalangan kosmopolitan yang menentang norma heteroseksual, norma yang umumnya tersebar luas di masyarakat Indonesia mencakup bagaimana masyarakat Muslim Jawa memandang heteroseksualitas sebagai norma yang dapat diterima. Gagasan tentang seksualitas romantis yang didasarkan pada norma heteroseksual tentang hubungan harmonis suami-istri, digunakan secara strategis dalam kampanye politik untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat dan memenuhi ekspektasi gender masyarakat Jawa.
ABSTRAK:
Ikatan kekeluargaan, dinasti politik, dan modal moral merupakan beberapa faktor yang sebelumnya dipercaya bisa menjelaskan kepemimpinan perempuan di Asia. Sayangnya, faktor-faktor ini tidak cukup untuk memahami peningkatan perempuan Muslim di Indonesia dalam politik, terlebih sejak gelombang ketiga dan globalisasi di abad ke-21. Paper ini menganalisis persaingan gagasan kesalehan dan seksualitas Islam di balik kebangkitan perempuan Muslim dalam politik lokal Indonesia. Di dalamnya mengeksplorasi cerita kepemimpinan empat perempuan Muslim Jawa menggunakan gagasan gender, kesalehan, dan seksualitas dalam ranah pribadi dan sebagai strategi politik. Paper ini memperlihatkan bahwa, gagasan terkait kesalehan Islam seperti menggunakan kerudung untuk memperlihatkan kesederhanaan bisa menambah keterlibatan (engagement) masyarakat Indonesia kaitannya dengan politik. Diskursus dan praktik seksualitas difokuskan pada norma heteroseksual yang telah menjadi bagian utama dalam membentuk harapan sosial dan digunakan sebagai kampanye politik. Paper ini melihat bahwa standar normatif gender yang ditempatkan pada posisi yang tepat serta peran antara perempuan dan laki-laki di dalam masyarakat Jawa telah berubah, mendukung partisipasi yang lebih besar dari perempuan Muslim di ruang publik.
Dewi, Kurniawati Hastuti. "Piety and sexuality in a public sphere: Experiences of Javanese Muslim women’s political leadership." Asian Journal of Women's Studies 23.3 (2017): 340-362.
Link: https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/12259276.2017.1352250
#31daysofindonesianscholars #women #muslim #javanese #politicalleader #piety #sexuality #publicsphere
PROFIL SCHOLAR:
Kurniawati Hastuti Dewi merupakan Peneliti Senior Pusat Riset Politik, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Menyelesaikan pendidikan doktoral di Universitas Kyoto, master di Universitas Nasional Australia, dan sarjana di Universitas Diponegoro. Minat penelitiannya terkait gender dan politik. Buku beliau yang penting untuk dibaca, "Indonesian Women and Local Politics: Islam, Gender and Networks in Post-Suharto Indonesia". Website untuk membaca tulisannya lebih lanjut: kurniawatihastutidewi.wordpress.com.
Statement ke Diri Sendiri
Kayaknya emang perlu buat statement ke diri sendiri, penting gak penting sih ini, haha. Cinta bukan core utama dalam hidup saya, saya lebih mentingin ilmu daripada cinta. Ya, mesti hidup saya rasanya lempeng2 saja, saya sering jatuh berkali-kali karena cinta, dari yang terdalam, terlama, terbullshit, tersakit, tertipu, atau yang ter-ter yang lebai itulah. Cukuplah. Di luar sana banyak nom-noman taek yang bahkan gak bisa tanggung jawab sama dirinya sendiri, apalagi tanggung jawab sama orang lain.
Senin, 25 Maret 2024
The Indonesian Mentality and Development - Koentjaraningrat
Karakteristik mental populasi Indonesia hari ini terbilang kompleks. Oleh karena itu, untuk mendapatkan pandangan dari berbagai karakter mental yang berbeda dari etnis dan kelas sosial dibutuhkan pembahasan ke dalam tiga kategori karakteristik mental: (1) karakteristik mental pribumi, (2) karakteristik mental pada masa penjajahan, (3) karakteristik mental setelah kemerdekaan, yang berkembang sejak Perang Dunia II.
Pada karakteristik yang pertama, berkaitan dengan karakteristik mental pribumi, ini berkaitan dengan nilai budaya, yang berakar secara dalam selama beratus tahun. Hal ini diinternalisasi dengan populasi tahun 1961, yang berdasarkan sensus, terdapat 87.700.000 petani kecil di areal pedesaan atau 85,4 persen. Mentalitas ini disebut sebagai mentalitas petani.
Karakteristik mental kedua, juga berakar dari pemikiran kolektif yang beragam, khususnya yang berpusat pada berbagai kerajaan pribumi di Indonesia, atau area di mana suatu tempat mengalami penjajahan langsung. Di Jawa semisal, terdapat kolektif urban yang berhubungan dengan mereka yang dulunya berada di kerajaan, atau pemerintahan kolonial. Mentalitas ini yang awalnya berasal dari kerajaan pribumi, kemudian dipengaruhi oleh sistem politik kolonial, atau disebut juga dengan mentalitas pelayan publik, atau mentalitas priyayi.
Karakteristik mental ketiga berhubungan dengan sikap yang belum menjadi komponen dari sistem nilai budaya, karena mereka tidak punya waktu untuk diinternalisasikan, karena faktanya mereka ada hanya pada satu generasi. Karakteristik mental ini berkembang pada era perubahan, ketika norma lama dirusak, atau tidak ditempatkan kembali menjadi sesuatu yang baru. Ini juga menjadi era ketidakteraturan dan kehancuran ekonomi. Oleh karena itu, karakteristik-karakteristik ini merupakan refleksi dari suatu keraguan dan ketidakpastian.
Sejak jumlah rakyat Indonesia mayoritas adalah petani, maka tak mengherankan bahwa jalan pikir pribumi merupakan jalan berpikir petani. Pak Koen memandang, petani di sini sebagai masyarakat desa yang mempraktikkan agrikultur dengan teknologi sederhana, dan mereka yang merasa stratanya lebih rendah daripada mereka yang berada di strata atas, khususnya yang tinggal di daerah urban. Sistem ekonomi masyarakat petani berbasis pada tanah, hewan ternak, perikanan. Lalu menurut Prof. JH Boeke, petani di sini tidak suka bekerja, karakter mereka statis, kurang inisiatif, dan berusaha menyamai kehidupan elite urban.
Meski harus disadari pula, struktur sosial petani dan sistem ekonomi pedesaan tidak bisa disatukan menjadi satu tipe ideal. Hari ini, perbedaan antara masyarakat desa dan kota sangat menyolok mata, tetapi masyarakat pedesaan bukanlah sesuatu yang statis. Apa karakteristik dari mentalitas budaya petani ini kemudian? Mentalitas ini sebenarnya telah mendapatkan perhatian dari berbagai ahli. Para ahli ini berbicara terkait keberadaan unsur religius dan mistis yang terjadi pada alur berpikir petani di Indonesia area pedesaan. Hal ini berguna untuk menunjukkan suatu adat ritual, kepercayaan religi, dan hal-hal gaib yang ada di berbagai daerah di Indonesia. Ini juga digunakan untuk menjelaskan pola keseharian masyarakat. Sebagaimana yang diungkap Kruyt dan Ossenbruggen, petani desa ini tidak selalu irasional, tetapi juga rasional.
Tentu sistem budaya petani ini berbeda-beda antara di Aceh, Minangkabau, Jawa Timur, Makassar, Bali, hingga Irian Jaya. Dalam bingkai pemikiran Kluckhohn, petani Indonesia khususnya di Jawa menganggap kehidupan ini sesuatu yang buruk, penuh dosa, kesusahan, dan bahaya. Sehingga mereka harus mengikuti meditasi atau olah kebatinan. Mereka juga melakukan pola hidup prihatin diikuti dengan usaha (ikhtiar). Mereka juga harus bergotong royong yang membantu mereka mendapatkan rasa aman.
Kemudian Pak Koen mananyakan, dapatkah petani bisa berpartisipasi secara penuh dalam proyek pembangunan raksasa hari ini? Berdasarkan kerangka Kluckhohn (1950, 1951), Pak Koen melalukan analisis. Pertama, relasi antara manusia dan alam, usaha menjadi pilar yang penting dalam setiap aktivitas pembangunan. Meskipun budaya kebatinan belum bisa dilepaskan. Kedua, nature of work (karya), nilai buaya bahwa manusia bisa bekerja untuk menghidupi dirinya sendiri tidak cocok bagi pengembangan ekonomi, karena tak mengharuskan adanya motivasi. Seharusnya dia lebih sesuai dengan pembangunan dengan adanya nilai karya, yang memacu kualitas kerja dan menampak kreativitas. Ketiga, dimensi waktu yang signifikan, mentalitas yang berorientasi ke depan, saat ini, dan tidak memikirkan masa depan juga tidak cocok bagi pengembangan ekonomi. Sebab orientasi pada masa depan memotivasi seseorang menjadi lebih hemat dan cermat dalam menggunakan alat, karena kebanyakan ketika bekerja tidak peduli pada alatnya. Keempat, petani menyelesaikan sesuatu biasanya dengan semangat gotong royong. Mentalitas ini berpengaruh pada pembangunan dan memberikan nilai positif. Gagasan bahwa manusia juga tidak bisa berdiri sendiri juga bisa mengikis rasa individualisme.
Kemudian pada periode setelah penjajahan, terjadi kecenderungan berlaku halus yang terjadi pada priyayi, dan berasal dari kalangan bangsawan. Kelompok priyayi ini hidup di area urban dan dulunya merupakan pusat administrasi kerajaan dan kolonial. Jauh sebelum Perang Dunia II, ada sekelompok pebisnis di area urban, tetapi mereka tak memiliki pengaruh yang kuat, karena tak ada kesempatan bagi mereka untuk mengembangkan skill di ranah politik. Mentalitas priyayi ini di Indonesia menunjukkan tujuan kerja yang ingin dicapai dalam posisi tinggi dan mencapai simbol. Ini tentu tidak cocok dalam pembangunan, karena menggunakan hal-hal yang tidak produktif seperti rumah yang besar, berorientasi pada dekorasi, menginginkan titel Haji pada para priyayi. Mereka juga berusaha untuk mendapat gelar akademik, setelah lulus, posisinya kurang menguntungkan bagi pembangunan karena lebih memilih bekerja di belakang meja.
Lalu, untuk dimensi waktu, mentalitas priyayi tampak menaruh perhatian besar pada masa lalu. Priyayi mengkonseptualisasikan Jawa terhadap berbagai pencapaian luhur, tanpa berusaha memahami mengapa pencapaian itu bisa terjadi. Mereka jarang menanyakan alasan para pendahulunya itu sukses. Mental ini tentu tidak cocok bagi pembangunan ekonomi. Lalu mereka juga mengenal konsep nrima, sabar, dan ikhlas yang tentu tidak cocok bagi pembangunan karena sifatnya yang pasif. Mereka juga patuh pada pemimpin, yang karakter ini dinilai positif untuk memobilisasi.
Berikutnya, mentalitas masyarakat Indonesia sejak kemerdekaan, di masa keruntuhan ekonomi muncul setelah Perang Dunia II. Era ini mengalami perubahan yang cepat, karena mengalami periode yang sulit dan menderita. Era ini ditandai oleh kegagalan institusi ekonomi yang berjalan stagnan. Inflasi juga terjadi setelah perang, ini tentu hal yang buruk bagi proses dekolonialisasi.
Sejak masa perjuangan Indonesia, masyarakat Indonesia memberanikan diri meninggalkan norma feodal, kolonial, dan neo-kolonial. Terlepas dari pengaruh masa yang berubah, kurangnya penghargaan pada kualitas juga merupakan hasil dari kemiskinan yang dialami oleh masyarakat. Mereka tidak lagi berorientasi pada kualitas terhadap pekerjaan yang mereka lakukan, dan kualitas dari apa yang mereka konsumsi. Adapun dampak dari sikap ini adalah hilangnya kompetisi, tak hanya di ranah produksi, tapi juga berbagai area kehidupan lainnya. Semangat kompetisi ini dalam masyarakat didukung oleh hasrat menjadi lebih baik dari yang lain.
Ada sikap baru yang menurut saya unik, yang disebut sebagai "mentalitas terburu-buru" atau "mentalitas menerabas" sebagai produk dari kurangnya konsentrasi pada kualitas. Ini terlihat dari banyaknya pengusaha yang tengah mencoba memperlihatkan standar kehidupan yang tinggi secepat yang mereka bisa dan menghindari kesusahan saat memulai bisnis. Ada pula junior yang ingin memperoleh jabatan secara cepat, tanpa kualitas kerja yang diimbangi dengan kemampuan. Mentalitas terburu-buru ini juga tampak pada norma yang mencari-cari jalan mudah.
Alasan apa yang menjadi sebab mentalitas menerabas ini? Pertama, dalam istilah sosiologi merupakan suatu celah generasi (the generation gap). Fenomena ini dimulai sejak okupasi Belanda, yang pada praktiknya membawa Indonesia mundur, tak peduli seberapa pintar dia, dia akan menjadi pencari kerja berikutnya. Kedua, sikap tidak bertanggungjawab, terlebih pada sektor yang non-tradisional, menggunakan peralatan yang modern. Sikap tidak bertanggungjawab ini juga hasil dari kurangnya pendidikan dan kedewasaan. Orang yang bersosialisasi pada lingkungan yang tidak menekankan pendidikan dan pengembangan karakter moral biasanya memperlihatkan sikap tidak bertanggungjawab. Alasan ketiga, karena kurang percaya diri, karakter ini berakar pada nilai budaya lama yang berusaha melebihi kebiasaan yang dicontohkan oleh pemimpin mereka. Pada masa penjajahan muncul penghargaan yang tidak cukup bagi orang asing, khususnya Eropa, karena mengalami penjajahan. Ini juga memandu pada inferioritas kompleks. Alasan berikutnya adalah apatis, sebagai konsekuensi dari kurangnya kepercayaan diri.
Penelitian lebih lanjut pada daerah yang berbeda dan kelas sosial yang berbeda di Indonesia dibutuhkan, seiring dengan naiknya populasi masyarakat. Pertanyaannya kemudian, apa yang dapat kita ubah? Mentalitas yang seperti apa yang dibutuhkan dalam pembangunan?
Berdasarkan gagasan Jan Tinbergen dalam bukunya "Development Planning" (1967), ada beberapa karakteristik yang harus dikembangkan untuk kemajuan:
1. Sangat menghargai budaya material
2. Menghargai teknologi secara tinggi
3. Berwawasan ke depan
4. Memiliki keberanian mengambil resiko
5. Memiliki tekad
6. Mampu bekerja sama dengan disiplin dan tanggung jawab
Artikel ini merupakan terjemahan bebas Bagian III dan IV dari kerja panjang Pak Koen, di dalam karya "Rintangan-Rintangan dan Pembangunan Ekonomi di Indonesia" (Jakarta: Bhratara, 1969). Artikel diterjemahkan oleh Sharon Siddique dan Leo Suryadinata dengan izin dari Professor Koentjaraningrat.
Dalam pandangan Pak Koen, ada dua hal yang harus menjadi perhatian jika ingin mentalitas pembangunan berubah. Pertama, mereka harus mengubah nilai budaya yang secara jelas menghalangi pembangunan. Kedua, mereka harus mengubah sikap negatif yang ada selama stagnasi ekonomi menjadi sesuatu yang positif.
ABSTRAK:
Pembangunan telah dan dilanjutkan menjadi isu utama setelah kemerdekaan Indonesia. Khususnya pada tahun 1960an, perhatian diberikan terkait bagaimana pembangunan dapat dicapai dan apakah fitur dari budaya Indonesia cocok dengan proses pembangunan. Esai ini, yang aslinya terbit pada tahun 1969, membahas isu ini dalam istilah "karakteristik mental" dan "nilai kebudayaan" sebagai refleksi dari perspektif antropologi. Esai ini merupakan bagian dari desain riset nasional di bawah sponsor Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Di dalamnya terkandung pemahaman yang lebih baik dari masalah yang bernama sikap mental populasi Indonesia yang konduktif bagi pembangunan ekonomi yang diinisiasi oleh Rencana Pembangunan Lima Tahun I (tahun 1969). Studi ini menghasilkan paper yang dikirimkan ke Badan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada tahun 1972-74, yang tidak pernah diterbitkan. Meskipun, studi ini masih digunakan secara luas bagi latar belakang pada Repelita II dan rencana lanjutan lainnya.
Koentjaraningrat. "The Indonesian Mentality and Development." Sojourn: Journal of Social Issues in Southeast Asia (1988): 107-133.
Link: https://www.jstor.org/stable/41057106
#31daysofindonesianscholars #koentjaraningrat #indonesia #mentalitas #pembangungan #antropologi
PROFIL SCHOLAR:
Koentjaraningrat, lahir di Sleman, Yogyakarta, 15 Juni 1923, dan meninggal di Jakarta, 23 Maret 1999. Beliau dikenal sebagai Bapak Antropologi Indonesia, yang berperan besar dalam mendeskripsikan sejarah dan kebudayaan Indonesia. Mendapat gelar Sarjana Bahasa Indonesia dari UI (1952), Master bidang Antropologi dari Universitas Yale USA (1956), dan Doktor Antropologi dari UI (1958). Pak Koen telah banyak menerbitkan buku berkaitan dengan Antropologi, di antaranya "Pengantar Antropologi", "Sejarah Teori Antropologi", Beberapa Pokok Antropologi Sosial", "Manusia dan Kebudayaan di Indonesia", juga "Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan".