Kumencari kau di pusat raga. Kumencari kau di
pusat rasa.
Pas kecil saya pernah
(istilahnya) ngefans dengan sebuah
band. Cukup lama jadi penikmat band tersebut dari kelas VI SD (2003) sampai II
SMA (2009). Saya juga cukup fanatik seperti anak-anak ababil lainnya yang
bermimpi ingin ketemu, foto, dan melihat konsernya langsung. Band ini beraliran
romantis-melankolis. Satu-satunya artis paling lama yang saya suka, ya band
itu.
Seiring waktu dan kedewasaan,
saya mulai beralih memfanatiki buku daripada sekedar manusia. Perlahan saya
mulai mengikis kadar emosi saya pada band
yang saya kagumi itu. Akhir SMA (2011), kecintaan saya berubah. Saya ingin bertemu
dengan seorang penulis saja.
Lalu, dalam masa transisi saya
selama dua tahun antara nganggur, buku,
nulis, dan kerja. Rasa kefanatikkan akan band bahkan penulis itu pudar. Saat
jadi mahasiswa (2013) sudah lengser idola-idola yang bersemayam di otak (dalam
arti fanatik). Saya lebih obyektif dalam menilai mereka. Suka sih suka, saat
ini pun saya masih kagum dengan band masa kecil saya itu dan penulis idola saya
itu, tapi dalam porsi yang wajar dan
tidak berlebihan.
Suatu hari di tahun 2014, ada
orang yang mengajari saya metik-metik gitar. Dia mengajari saya tiga lagu
ber-chord mudah milik Pink Floyd dan Radiohead. Lalu orang itu memberi saya
beberapa lagu berlirik mudah juga (katanya dia), bandnya saya tidak kenal.
Namanya Sisir Tanah.
Nah, di kos… Iseng-iseng ndengerin kan. Pertama dengar vokal
penyanyinya, imajinasi saya membayangkan kayaknya penyanyinya ini sudah
matang usianya seperti Iwan Fals atau Ebiet. Kedua, musiknya sederhana banget,
dari lagu satu ke lagu lainya hanya iringan gitar saja yang saya dengar.
Ketiga, liriknya kalau menurut bahasa di sanggar yang saya ikuti ‘wohhh’. Saya
mendengarkan kira-kira lebih dari dua kali.
Suatu hari, orang yang ngajari
saya sedikit main gitar bernyanyi , dan saya kok ngrasa ini nada sama liriknya
pernah dengar. Soalnya jleb banget dengan suasana hati waktu itu. Orang
itu nyanyi gini:
“…Seumpama suka,
kau ambillah jantungku saja….”
Entah kenapa di lirik itu rasanya
saya seolah mengikhlaskan semua beban yang memberatkan hati saya. Di kos
langsung saya buka lagu-lagu Sisir Tanah. Baru sadar isinya ternyata ‘kritik
sosial’ semua. Dan satirnya kalau dalam bahasa rock ‘cadas’ banget. Keren.
Sejak saat itu lagu Sisir Tanah
yang judulnya Lagu Baik, saya
dengarkan berulang-ulang sampai liriknya hafal. Suatu malam juga iseng-iseng googling tentang Sisir Tanah, hm, sedikit kecewa karena di google juga
minim banget info tentang Sisir
Tanah.
Ternyata Sisir Tanah berasal dari Jogja. Ada beberapa tulisan keren sih,
kayak ulasan Aris Setyawan di jakartabeat.net
juga blog si vokalinya langsung (sayangnya juga minim tulisan). Pas searching
gambar juga, ternyata prejengan-nya tak se’matang’ vokalnya (lebih muda). Teduh.
Pencarian malam itu membawa saya akan
musik alternatif mereka. Sungguh, saya mencintai kesederhanaan yang berisi
tetapi tanpa keberisikan. Seolah mengantar saya pada keabadian. Saya suka
konsep luka mereka. Adalah luka… Adalah
luka… Adalah luka… (Lagu Wajib). Bahwa hidup tak semulus kuliah moral para
motivator, yang menurut bahasa Marx “Candu Masyarakat” tempat dimana mereka
meng-aleniasi diri. Saya belum menemukan analogi yang tepat untuk ini.
Sejak saat itu saya semacam
menemukan role model baru: Sisir Tanah.
Dalam artian, saya tidak memfanatiki orang-orang dalam Sisir Tanah, tetapi saya
suka pada karya-karya mereka (kefanatikan pada ‘seorang manusia’ luntur sejak saya banyak ikut
acara-acara yang dihadiri orang-orang hebat di Jogja. Teman saya bilang: kita
sama-sama makan nasi. Kesimpulan saya: you can do more
than him/her).
Lirik Sisir Tanah mulai saya
hafal dan saya tulis ulang di blog. Terbesit juga dalam hati, suatu saat saya
ingin nonton Sisir Tanah langsung.
Kamis kemarin (20/8) kebetulan
lagi nongkrong di sekret LPM Arena,
ada yang memberi undangan. Acara pameran tentang Forest Project gitu. Pas undangannya sampai di tangan, saya senang
banget (bisa dibilang sedikit ‘histeris’) ada Sisir Tanah sebagai salah satu
yang mengisi acara.
Saya lalu cari teman buat nonton
bareng. Awalnya mau ngajak Ria (naik sepeda), tapi kata teman dekatnya Cakson,
Ria balik lagi ke kampung halaman. Yaudah, saya ngajak teman sealiran Ria,
Cakson. Dia menyetujui, kita janjian naik pit. Eh, iseng nyebar info, Mas Jamal
juga mau ikut, orientasinya sekarang naik motor.
Pas hari H (23/8), setelah olah
tubuh sanggar. Jam tujuh malam saya sudah stay
di Arena. Yang ikut ternyata empat orang: Saya, Cakson, Mas Jamal, dan Mas
Sabiq. Kami naik motor, saya sama Cakson, Mas Jamal sama Mas Sabiq. Acara
dimulai jam delapan, kita berangkat pukul setengah delapan. Di jalan macet euy, maklum, lagi banyak event (FKY, Pasar Kangen, Festival Dodolan,
dll). Dan sampailah kita di Jogja
Nasional Museum tempat acara (letaknya dekat SMA Negeri 1 Yogyakarta).
Pas sampai panggung, ternyata eh
ternyata Sisir Tanah lagi main. Yaph,
disana vokalis Bagus Dwi Danto yang mengenakan kemeja dan topi memetik gitar
bolongnya seorang diri, menyanyi dengan suara khasnya. Kita berempat langsung
duduk di bangku agak depan. Sepertinya kita datang agak telat karena acara
sudah dimulai. Saat itu Mas Danto nyanyi lagu judulnya Bebal.
“...jika hutan adalah ibu. Kita manusia
memperkosa ibunya.
Setiap hari, setiap jam, setiap
menit, setiap detik…”
Bergetar banget pas dengar itu.
Apalagi pas suaranya ditinggikan, nusuk banget. Diksi memperkosa ibu ngeri sekali, refleksi akan kerusakan alam Indonesia
khususnya hutan. Apalagi tadi siang saya melihat pohon depan Rumah Sakit
Bethesda yang pinggir jalan ditebangi. Ah, payah. Benar kata Mas Danto, ada dan
tak ada manusia itu harusnya pohon-pohon tetap tumbuh.
Acara pembukaan pameran lalu
dibuka. Ada tujuh seniman yang berpartisipasi dalam acara ini. Wujud karyanya ada lukisan, instalasi, video
grafis, foto-foto, dll. Senimannya pun banyak yang datang langsung.
Yang menarik, pas saya masuk di
ruang instalasi karya Hiroshi Mehata, orangnya masih muda, salah satu seniman
yang berasal dari Jepang. Nah, kan lagi lihat gambar Hiroshi semacam lukisan
naga-naga gitu kan. Seperti kolase
gambar sih menurut saya. Entah kenapa, setiap ada event itu di otak saya selalu kepikiran buat meliput acara. Dan…
Mas Bagus Dwi Danto juga sedang melihat-lihat lukisan itu ada disana. Kebetulan di
tangan saya sudah pegang note. Saya
dengan PD-nya mendekati dia, salaman, kenalan. Kira-kira gini:
“Mas Danto ya?”
“Iya…”
“Boleh wawancara? Saya Isma dari
UIN, dari pers mahasiswa UIN, LPM Arena.”
“Oh UIN… Arena.” Katanya seperti
mengingat, aku sempat mendengar dia berkata Arena
terkenal.
Dengan diringi canda-canda gitu,
Mas Dantonya mau diwawancarai. Setelah bertanya beberapa pertanyaan, datanglah
Mas Sabiq. Dia dan Mas Danto seperti sahabat lama yang seabad tak ketemu, haha,
langsung salaman, ngomong-ngomong, canda-candaan, ketawa-ketawa. Ternyata mereka
sudah kenal lama saat di Bandung, Mas Danto cerita pernah makan gorengan bareng.
“Oh, kamu temannya mbak ini… Ini
ada selebaran tinggal dibaca… Aku bukan aktor utama, tapi aktor figuran…”
Katanya dengan nada bercanda dan tertawa bareng gitu. Mas Sabiq bilang, “Satu
komplotan, LPM Arena.” Makin keras tawa kita waktu saya nanya tentang isu kehutanan di Indonesia saat ini? Haha. Mas Danto
bilang, “Bobrok, sudah jadi rahasia umum. Indonesia kaya dengan hutan. Banyak
hutan dalam tanda kutip ‘lepas’,” katanya.
Terus, saya juga bilang: lagu-lagunya keren, saya suka. Mas
Dantonya ketawa lagi, tersipu mungkin. Saya lalu minta tanda tangannya diakan.
Dia awalnya nolak, terus mau juga. Terus saya minta foto bareng, Mas Dantonya
bilang apa coba? “Wawancaranya modus ini, hahaha…” celotehnya ketawa, dalam
hati ngakak banget, rasanya kayak
mimpi.
Memakai kamera HP Mas Jamal
(sekaligus Mas Jamal fotografernya), Mas Danto mau diajak foto, senangnya lagi
Mas Sabiq juga ikut foto, duuhhh…
lengkap!
|
Bertiga: Dibilang “modus” sama
Mas Danto, haha.
|
|
Tanda Tangan: Bagus Dwi
Danto/Sisir Tanah
|
Habis foto bareng, saya
mewawancarai ketua acara, mbak Ope’e Wardany yang juga seorang penulis. Trus
lihat-lihat pamerannya lagi. Keren pokoknya.
Recommended buat datang kesini, penutupan sampai 29 Agustus 2014 di
Jogja Nasional Museum.
Senang, Mas Danto nyanyi lagi.
Dia menyanyikan lagu favorit saya Lagu
Baik (tiap dengar lagu ini tuh jadi semangat lagi), lalu nyanyi lagu Konservasi
Konflik, nendang banget ini lagu, haha. Dan ditutup dengan Lagu Wajib. Dalam hati saya juga ingin
bilang sesuatu untuk seseorang: Yang wajib dari aku adalah kamu. Hahaha *apaan
sih Is?*
Pas mau pulang, Mas Sabiq pamit
sama Mas Danto, kita ngikut. Berlima sama Mas Danto ngobrol-ngobrol lagi di
pinggir panggung. Mas Danto cerita tentang event-event
Sisir Tanah ke depan. Ngasi contack
person juga ke Mas Sabiq. Katanya mau main ke UIN *asyik!!*
Nanya juga ke saya darimana dapat
lagu Sisir Tanah? Saya nunjuk Mas Sabiq. Soalnya di internet sedikit, kalau
dari soundcloud (kasian) nggak begitu
jelas. Di stafa lagu Sisir Tanah bisa juga di-download meski tak semua. Terus ngomong tentang album juga. Mas
Danto cerita, ada yang bertanyakan pada Sisir Tanah, “Kapan buat album?”
Dijawab tahun 2020, waktu itu dia jawab sebenarnya bercanda tapi ditulis
beneran. Namun kali ini di mata dan suaranya saya melihat ada keseriusan mau buat album di
tahun 2020.
“Mungkin tahun 2020, tepat
sepuluh tahun Sisir Tanah. Kalau tahun ini 2014, usia empat tahun, diibaratkan
manusia masih anak-anak…” katanya. Aplause
banget, bertolak belakang sekali dengan band-band sekarang yang maunya
instan. Sisir Tanah dengan konsep, lirik, spirit, kesederhanaan, dan kritik
telah memberikan sesuatu yang luar biasa untuk saya pribadi. Sukses.
Yogyakarta Yang Wajib, 24 Agustus
2014
Is