Rabu, 12 Agustus 2015 -
Sebelum berangkat, kelompok VI (Wahyu, Dinda, Saya, Bang Nesa, Aldi, Cahyadi,
Tejo, Chondro, Mbak Diah, Nazmi, Bunda--tapi Bunda nggak ikut naik, hiks) pada foto bersama, lalu kita
berjalan menuju Pos I: Sei Dahie. Sei dalam bahasa orang sana artinya sungai. Track pembukanya saja sudah dipenuhi
banyak sungai-sungai mengalir. Alhasil, di setiap sungai banyak peserta yang
istirahat.
Waktu itu, perjalanan sekitar 3,5 jam (14.00-17.30 WIB).
Waktu sampai Pos I, saya dibarengi sama Bang Nesa dan pas sampai sudah ada tiga
anggota kelompok kami yang sampai duluan, si Dinda, Chondro, dan Nazmi. Nyampe
sana saya dan Dinda langsung masak-masak nasi dan mi. Si Nazmi buat api unggun
dan apinya lumayan gedhe, enak buat ngangetin badan. Saat itu nge-camp-nya di bawah pohon bambu, saat
masakan matang, kita berlima makan bersama.
Sebenarnya hati kami pada nggak enak mikir lima anggota
kelompok kami yang lain. Syukurnya, entah jam berapa gitu (malam) mereka datang
dan kami lengkap lagi. Senang rasanya. Tidurnya, tiga wanita di tenda dan yang
laki-lakinya di bawah flysheet. Kelupaan:
jangan lupa minta vitamin pada Wahyu, biar besoknya kuat, hihi.
Kamis, 13 Agustus 2015
– Kami berangkat pagi tepat waktu, jam 8 pagi menuju pos II, Tosah dan shelter
Air Terjun Bitah Samba. Kami berempat (saya, Dinda, Chondro, Nazmi) kompakan
jalan. Kami juga sempat makan siang di Tosah, masak mi dicampur kornet di sana,
tapi Dinda nggak makan. Cuma nyemil roti dan energen saja. Akhirnya, kami
berempat sampai di Air Terjun Bitah Samba jam empat sore, perjalanan
sekitar 8 jam.
Sampai sana, Chondro dan Nazmi langsung cari tempat camp. Saya sama Dinda mandi di tempat
yang tak jauh dari air terjun. Kami kungkum di sana. Sejenak jiwa dan tubuh
saya lepas mengambang di air terjun sana. Dingin, sejuk, dan lelah bagai mengalir
bersama aliran air.
waa |
Dinda |
Saat saya dan Dinda ke camp,
Bang Nesa sampai, tapi lima anggota kami yang lain belum. Saya dan Dinda
lalu masak-masak lagi. Menu malam itu spesial: nasi goreng chef Chondro
dan mi bihun ala saya dan Dinda, lauknya sarden. Malam itu makan terasa enak
banget deh, beneran.
Jumat, 14 Agustus 2015
– Sampai pagi, lima anggota kami belum juga sampai di Air Terjun ini. Akhirnya
kami memutuskan untuk berangkat lebih dulu. Berangkat sekitar pukul 09.10 WIB
menuju Pos II, Hulu Sei Holom. Dan inilah track
paling menyiksa se-Bukit Raya. Bayangkan, hampir dua jam track-nya naik terus, sudutnya pun nggak
main-main sekitar 70-an derajat. Di titik ini rasanya saya ingin menyerah. Berulang kali saya minum air. Tak saya pedulikan lagi keringat
saya. Dan di titik kritis inilah saya ingin mengucapkan banyak terima kasih
pada Nazmi yang setia menemani saya. Menyemangati saya dalam diamnya.
Hingga, sekitar jam lima-an sore, saya, Dinda, dan Nazmi
sampai di Hulu Sei Holom. Waktu itu Dinda lagi lemes, tenaganya habis, dia
nyaris nyasar. Waktu itu Chondro sudah sampai duluan, dan camp kita dari pintu shelter lumayan
jauh juga. Demi dekat dengan sungai dibela-belain.
Di camp ini,
sumprit, basah banget. Saya dan Dinda masak. Trus Bang Nesa datang. Camp kami juga kedatangan tamu-tamu dari
kelompok lain. Kami masak lebih banyak untuk mereka. Setelah makan bersama,
datang rombongannya Nuri, Mira, dan Nofrian. Di malam ini juga, Nuri tidur di camp kami di samping Dinda di bawah flysheet.
Nasib lima anggota kelompok kami yang lain masih simpang
siur. Tak disangka, kalau nggak salah dengar, jam sebelas malam Wahyu, Aldi,
Cahyadi, dan Tejo (minus Mbak Diah) sampai juga di Pos III. Senang rasanya.
Sabtu, 15 Agustus 2015
– Seperti kemarin, hari ini setelah makan kami siap-siap
berangkat. Dapat kabar, Mbak Diah kakinya terkilir dan menginap di Tosah. Kami
berangkat sekitar jam 09.20 WIB, bersembilan. Di perjalanan hari keempat ini,
saya seperti menemukan arti mendaki. Bahwa sebenarnya yang saya taklukan
bukanlah gunung/bukit/tanjakan, tapi yang saya taklukan adalah ego saya
sendiri.
Di sini saya baru merasa teori psikoanalisanya si Freud berguna. Kering
sekali belajar teori Freud kalau tidak diaplikasikan dalam gunung. Di track-track ini
juga saya belajar: lek wani ojo
wedhi-wedhi, lek wedhi ojo wani-wani. Saya perhatikan sebagian besar tanah
dan batu yang saya injak punya prinsip bertahan seperti itu. Kuncinya hanya
satu: yakin.
Dan ternyata untuk menuju pos selanjutnya, Pos IV Puncak
Kait Bulan tak memerlukan waktu panjang. Jam 14.30 WIB kita sudah sampai. Namun,
di titik inilah petaka bagi sebagian orang terjadi. Ada orang-orang tertentu
yang menyebar hoax bahwa jalur dari Kait Bulan yang langsung menuju ke Bukit
Raya tidak ada. Banyak pendaki yang kemakan hasutan dan kembali balik
arah—padahal sudah sampai perjalanan separuh lebih. Maklum, jalur kali ini
adalah jalur pertama yang ditemukan. Dulunya memang orang ketika sudah ke Kait
Bulan akan kembali ke pos sebelumnya jika hendak ke Bukit Raya.
Negeri Hobbit |
Puncak Kait Bulan |
Saya, Dinda, Chondro, dan Nazmi pun berhenti di sebuah titik
di Kait Bulan untuk memastikan apakah benar? Karena tanda pendakian masih ada
kami memutuskan untuk lanjut, disuruh balik rasanya sangat dongkol sekali.
Kawan, di Kait Bulan inilah negeri hobbit Kalimantan sebenarnya. Di sini
pohon-pohon diselimuti lumut-lumut yang hijau, tebal, dan segar. Indaaah
sekali, kawan.
Setelah kami berjalan lagi,
ternyata kita sampai di Pos IV, Puncak Kait Bulan. Puncak istrinya Bukit Baka.
Di puncak ini suhu lumayan dingin
juga. Kelompok kami mendirikan camp di
jalan menuju kubangan air kecil. Kami menutup jalan dan dialihkan ke jalur
lain. Masang flysheet dan hammock di sekitar tempat itu. Dan
senaaang banget, saat itu malam Minggu kelompok kami nyaris lengkap—minus Chondro
yang jalan duluan k epos selanjutnya. Berangkat bersembilan, sampai pos sini
berdelapan. Yah, kami sepertinya genk jojoba (jomblo-jomblo bahagia).
Malam inilah menurut saya malam
yang paling mengesankan di antara malam-malam yang lain di Bukit Raya. Saat itu
buat Milo, nyeduh kopi, makan roti, masak nasi. Si Aldi juga masak telur bumbu
kecap dan teri sambel (tak kusangka Aldi pintar masak). Lalu makannya muter
bareng-bareng, kita membuat lingkaran dan saling bercandaan.
Topiknya Aldi dan
Cahyadi gombalin Dinda. Trus Dinda nyoba buat permainan ABC-an kayak nyebutin
nama-nama kota, tapi tak bertahan lama. Dinda tak kehabisan akal untuk ngajak sharing perkenalan diri dan tujuan
masing-masing ke sini, tapi tak ada yang mau—sebenarnya saya mau Din. Kami,
ketawa berdelapan. Dingin yang menusuk rasanya tak terasa lagi. Ah, maniis
sekali.
Dan tidurnya pun masih
sewot-sewotan. Dalam satu flysheet yang kagak luas, berdelapan kita masuk semua
coba. Lima di matras, tiga di hammock. Desek-desekan,
kaki nggak bisa gerak karena bakal nendang orang yang tidur di hammock. Saya dan Dinda tidur di
pinggir. Jian tenan, haha.Ya, inilah hotel rimba.
Minggu,
16 Agustus 2015 – Kami bangun kesiangan. Suasananya asli mager (males
gerak). Pagi itu gerimis juga. Dan karena sambel buatan Aldi semalam, perut
kami pada sakit, bingung bokernya. Waktu itu, saya dan Cahyadi nyari air. Ah,
saya malah curhat kangen rumah sama Cahyadi. Dia bilang apa coba? Cahyadi said: Sebulan, tiga bulan lagi kamu akan rindu saat-saat seperti ini, kalau
ingat rumah akan tambah memberatkan, dinikmati saja Isma. Hati saya jadi
lumayan tenang.
Karena kesiangan, kami berangkat
pukul 10.00 WIB menuju Pos V Shelter Hulu Sei Samba. Dan jaraknya ternyata tak
jauh, jam setengah tiga sore kita sudah ampai Pos V. Lalu kita rembugkan lagi,
lanjut sampai ke puncak nggak? Kami memutuskan untuk lanjut. Perjalanan ke
puncak cukup nguras tenaga juga. Perjalanan kurang lebih sama waktunya dari Pos
IV ke Pos V, 4 jam-an. Waktu itu sampai puncak bareng sama Chondro. Pukul 18.30
WIB kami sampai dan langsung berdoa di sana. Alhamdulillah. Puncak men!
Ya, di puncak kami nge-camp berenam (saya, Dinda, Chondro,
Nazmi, Bang Nesa, dan Nuri dari kelompok I, tiga sekawan masih di belakang). Di
sini, bah, ademnya, tapi ada satu
yang bikin saya kuat: kata-kata si Nazmi, kalau
nggak pengen dingin di rumah aja, jangan di gunung. Jleb.
Senin,
17 Agustus 2015 – Selamat ulang
tahun Indonesia!!!
Yah, jam setengah sepuluh di
puncak misi kami untuk mengibarkan bendera merah putih di Bukit Baka Bukit
Raya, puncak tertinggi Kalimantan terwujud. Di detik-detik proklamasi kami
mengadakan upacara bendera. Waktu itu juga ada penyerahan medali dari bupati.
Eh, Bang Raji (ketua panitia) nggeret saya yang lagi bengong suruh mewakili
yang dari jurnalis.
Hiduplah Indonesia Raya |
hormat grak! |
foto bareng bupati |
Sekitar jam 11-12, kami dan
peserta lain pada foto-foto. Menikmati suasana puncak.
Sampai puncak, Na |
Mau dzuhur kita perjalanan turun menuju Pos VI
Shelter Bitah Samba. Nah, dalam perjalanan ke pos inilah kami kehabisan air,
nyaris dehidrasi. Di sini saya baru bisa merasakan derita orang Indonesia timur
yang bilang “sumber air sudekat” lalu yang dari belahan Indonesia lain
menirukan logat ini dengan ketawa-tawa ngakak. Di tempat ini saya baru sadar
kalau air itu sangat penting.
Apalagi dari perjalanan ke Pos VI
Bitah Samba kami melewati jembatan gantung setan yang siap menjeburkan kami ke
jurang. Dinda nyaris jatuh lewat jembatan itu karena tasnya udah
melayang-layang, tapi untungnya cuma tempat minumnya aja yang jatuh. Waktu itu
untung ada Nuri yang ngarahin.
Di perjalanan ini kami kehabisan
tenaga. Soalnya enggak makan, air nggak ada, track-nya rata-rata lewat di antara jurang-jurang. Duuh. Meski
sebenarnya jaraknya nggak terlalu jauh, sekitar 4 jam-an. Gara-gara nggak ada
tenaga jadi terasa berat. Akhirnya, sampai sana sekitar magrib-an, jam lima-an
lebih. Kita nge-camp di tempat yang
kasurnya akar-akar. Begitulah sensasinya. Nuri masih bersama kelompok kami,
kasihan, dia sakit.
logisitk |
Chondro lagi iklan produk, Aldi terpesona |
Selasa,
18 Agustus 2015 – Bangun lumayan pagi. Berangkat ke pos selanjutnya
sekitar pukul sembilan-an. Namun kali ini menempuh perjalanan yang lumayan
panjang. Kita lewat di shelter Soa Tohotung dan Tosah, hingga lanjut terus
kembali ke pos I di Dahie. Butuh waktu sekitar 8,5 jam dengan track menurun dan sungai-sungai. Saat
itu di perjalanan perut saya sakit. Ya, sedikit mengobati sakit dan lelah
karena ada temen jalan dari belakang, Bang Nesa. Saya sama Bang Nesa sampai di
Dahie magrib jam 18.30 WIB.
Di pos sana Chondro udah buat
tenda, ada Mbak Diah juga di sana. Kita masak-masak, ngobrol-ngobrol juga.
Aduh, kebersamaan yang tak terlupakan.
Rabu,
19 Agustus 2015 – Hari ini kita dapat ikan banyak. Yang nggoreng si
Wahyu. Ya, setelah monoton mi-sarden, kami perbaikan gizi, haha. Di pos ini
anak-anak pada malas balik. Hasilnya, berangkat siang banget. Enaknya,
perjalanan terasa lebih cepat dan ringan. Masih sempat main-main juga di
sungai, minum air sungai langsung. Air sehat alami yang tak perlu pakai
pengawet. Bergizi karena ada gizi dari akar dan daun pohon-pohon. Akhirnya
sampai ke tempat awal pemberangkatan. Kami dijemput avanza-avanza untuk kembali
ke rujab.
Kamis,
20 Agustus 2015 – Tubuh istirahat
total, pikiran notal kenangan-kenangan.
#IS,
dua puluh sembilan agustus 2015