Salam kenal Bapak Samuel Langhorne Clemens atau Pak Mark Twain. Wajah dan perawakan Anda mengintimidasi sekali, tapi ya, saya pembaca Anda. Izinkan saya untuk mengobrol terkait buku kumpulan esai "Panduan Bercerita" yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Tahukah Bapak, buku-buku Bapak sangat digemari di Indonesia, buktinya, banyak penerbit besar dan kecil di Indonesia yang sangat semangat untuk menerjemahkan buku-buku Pak Twain.
Baik, kita mulai darimana Pak Mark Twain yang cerdik? Seperti biasa, saya akan memulainya dari alur, karena ternyata setelah saya pikir-pikir, menulis itu susah juga, termasuk menulis resensi. Entahlah Pak, ada semacam ketakutan jika apa yang saya tulis tak lebih baik, karena itu, dengan kerendahan hati, Pak Twain bersedia untuk memberi arahan pada penulis sepele seperti saya. Yang belum ada apa-apanya dibandingkan bakat yang Bapak miliki.
Ada sembilan cerpen ya di sini Pak Twain. Pertama, "Panduan Bercerita" (How to Tell a Story). Setelah membaca cerpen ini, saya jadi bisa membedakan antara cerita "humor, jenaka, dan lucu". Saya akan kutip inti dari cerpen Pak Twain ini, "Cerita humor milik orang Amerika, cerita lucu milik orang Inggris, cerita jenaka milik orang Prancis. Cerita humor tergantung pada cara penyampaian; cerita lucu dan cerita jenaka tergantung pada isi." (p. 3) Anda juga mengelaborasi lebih jauh di cerpen lain soal katak, yang memberikan distingsi antara humor dan lucu/jenaka.
Pak Twain, maaf, sejak kemarin dan beberapa hari yang lalu, saya kurang enak badan. Saya pusing, flu, dan mual, dan gaya "humor" Anda menginspirasi saya untuk tidak sekadar fokus pada isi seperti orang Inggris dan Prancis, tapi juga ada humor di dalamnya. Ada bagian yang tidak merupakan isi dimasukkan, sesederhana suara "emm", "eee", atau melantur ke profil penulis yang sama sekali tak ada sangkut pautnya di konten cerita. Manusia begitu memburu isi atau makna saya kira, dan melupakan hal-hal sederhana yang mengelilingnya. Ini pula barangkali yang membuat Anda pula dengan rigid mengkritik Fenimore Cooper, penulis cacat yang banyak sekali salahnya, tak sesuai pakem, dan menulis seenak udelnya seperti orang-orang punk hidup.
Di kumpulan ini, saya banyak menemukan metode menulis baru, kaitannya dengan cerita di dalam cerita. Seperti di cerpen "Panduan Bercerita" (1897), setelah Anda membedakan bedanya cerita humor dan cerita jenaka/lucu, saya membaca dua cerpen lainnya "Prajurit yang Terluka", yang berkisah tentang prajurit yang kehilangan kakinya. Ada semacam ketololan (sebagai kata ganti kesederhanaan, kepolosan, kejujuran, dan ketidakpekaan) si petani tua, yang mengira kaki prajurit hilang, tapi prajurit itu telah ditembak hingga kepalanya putus. Pak Twain menulis, inti humor adalah punya ciri-ciri seperti ini:
- Rentetan ketidaksesuaian dan kekonyolan yang disampaikan secara melantur dan kadang tak ada tujuan sama sekali, dan dengan raut polos tidak menyadari kalau itu merupakan kekonyolan, adalah dasar dari seni Amerika.
- Menyamarkan intisari cerita.
- Melontarkan ujaran disengaja seakan tanpa menyadarinya, seolah-olah sedang membatin namun dengan suara lantang.
- Adanya jeda.
Anda lalu menyebut tokoh-tokoh komedian AS lain, seperti Artemus Ward, James Whitcomb Riley, yang menggunakan teknik-teknik humor. Cerita humor bisa diceritakan selama 10 menit, tapi cerita lucu bisa cuma setengah menit. "Memasukkan detail membosankan yang bukan merupakan bagian bagian dari cerita dan justru menghambatnya, dengan hati-hati menyisihkan dan memasukkan hal lain yang sama tak bergunanya." (p. 6)
Lalu, selain "Prajurit yang Terluka", cerpen lainnya adalah "Lengan Emas". Yang berkisah tetnang seorang pria yang mempunyai istri di mana lengan istrinya terbuat dari emas, dan suami ingin memilikinya. Secara teatrikal, Anda bercerita bagaimana metode humor berjalan, misal dengan menambahkan suara-suara seperti bzzz atau dengan menggunakan jeda yang kuat.
Beralih ke cerita kedua, "Kisah Si Cacat" (1897). Barangkali ini lebih tepat sebagai ironi, dan saya belum bisa menangkap simbolisme apa yang hendak Anda bawa di dalamnya. Saya menangkap, dalam kisah ini si tokoh utama diminta untuk memulangkan jasad teman sekolahnya yang meninggal bernama John B. Hackett, dia meninggal kemarin. Si tokoh utama kaget dan sedih. Mayat itu dibawa ke dalam peti, kemudian naik kereta. Namun, di kereta itu, si mayat tadi dengan ditambah keju Limburger yang ditaruh penumpang lainnya menyebarkan bau busuk yang makin lama makin membuat penumpang lainnya mual-mual. Termasuk ketika Thompson, si penumpang yang menjadi kurir ingin menghalu baunya dengan membuka jendela, atau menyemprotnya dengan semacam aerosol, hingga membakar berbagai sampah seperti bulu ayam, apel kering, sulfur, dan asafoetida.
Namun, baunya tak menghilang, malah menjadi-jadi. Hingga akhirnya, setelah tokoh utama sampai di tengah musim dingin yang membuat badan mati rasa. Kesehatan si tokoh utama hancur selamanya, dan dia bilang, "Inilah perjalanan terakhirku; aku dalam perjalanan pulang untuk menjemput ajal." (p. 23) Pak Twain, saya membaca ini saat tubuh saya sakit di cahaya lampu orange yang temaram. Entahlah, membacanya begitu menyakitkan. Mungkin di sini kau ingin mengkritik baunya sistem perpolitikan di Amerika, atau entahlah. Bau busuk itu memang tak bisa diobati selain dikubur, setiap usaha untuk menghilangkan baunya serasa sia-sia. Justru menambah perasaan jijik.
Di kisah ketiga, "Percobaan Menulis Pertama Kali" (1865), menurutku ini cerita yang lucu. Bagaimana paman Anda mempercayai Pak Twain yang muda, saat itu usia 13 tahun dengan otak yang sangat cerdas untuk menggantikannya jadi editor di surat kabarnya, Weekly Hannibal Journal. Di sana Anda membuat kekacauan demi kekacauan, seperti menyajikan parodi orang yang gagal bunuh diri dengan menenggelamkan diri di Sungai Bear. Atau bagaimana Anda mengolok-olok dua warga terpandang, termasuk Anda memoles tentang pendatang baru beken dari Quincy yang mencolok. Kekacauan yang Anda hasilkan malah membuat surat kabar itu melonjak oplahnya dan menambah jumlah pelanggan baru. Pengalaman yang menarik Pak Twain, kalau saya jadi Bapak, barangkali saya tak seberani itu, haha.
Pada cerita "Nasihat untuk Gadis Kecil" (1867), Anda seolah bertindak seperti ayah atau kakak yang baik. Bagaimana Anda memberi petuah-petuah pada gadis kecil, seperti: tidak mengolok-olok guru, tidak iri meskipun teman punya boneka Cina dan kita hanya punya boneka isi kayu gergaji, tidak mengambil permen karet adik dan mengajari adik bermain dengan "lumpur", tidak menjawab suruhan ibu jika tak mau mengerjakannya, hormat pada oranguta, juga selamanya kita akan berhutang budi kepada orangtua. Saya kira ini mulia sekali, Anda meninggikan orangtua sekaligus usil pada mereka.
Cerpen sebelumnya, beresonansi dengan cerpen setelahnya, "Nasihat untuk Anak Muda" (1882). Kau memberi nasihat kepada para anak muda Amerika khususnya, karena jika nasihat ini diberikan kepada pemuda Asia, barangkali tak berlaku, termasuk salah satunya soal tidak boleh membawa bedil yang menyebabkan orangtua meninggal. Sebab kau bercerita bahayanya benda itu, hingga seorang cucu hendak menembak neneknya yang polos dan baik hati di taman bunga. Nasihat yang tak hentinya kau ulang-ulang juga adalah patuhlah selalu kepada orangtua.
Di bab ini, kau seperti diminta untuk menyampaikan pesan di suatu seminar bagi anak muda, dan mencari tema apa yang "relate" untuk mereka. Selain patuh pada orantua, juga menghormati atasan. Lalu tidur lebih awal dan bangun lebih awal. Maksudku bangun seiring dengan kicauan pertama lark, barangkali kalau di Indonesia seiring kokok ayam subuh. Kau juga mengingatkan agar sangat berhati-hati pada kebohongan, karena sekali berbohong, kau akan sulit dipercaya. Jangan pula ceroboh, karena itu lahir dari latihan yang belum tuntas. Terakhir, kau mengingatkan pemuda untuk belajar.
Kalu bilang, "Ada banyak jenis buku; namun buku yang bagus adalah yang sepatutnya dibaca anak muda. Ingat ini. Buku adalah cara meningkatkan diri yang hebat, tak ternilai, dan terungkapkan oleh kata-kata. Oleh karena itu, berhati-hatilah dalam memilih, sobat-sobat mudaku; sangatlah berhati-hati dalam memilih; batasi pilihanmu hanya pada Khotbah-Khotbah Frederick William Robertson, Saints' Rest karya Richard Baxter, The Innocents Abroad, dan buku-buk yang sejenis." (p. 40)
Pada kisah, "Mencalonkan Diri Jadi Presiden" (1879), ini juga menjadi ironi lain. Karena seperti yang Wikipedia katakan, "Ironi adalah sindiran dengan menyembunyikan fakta yang sebenarnya dan mengatakan kebalikan dari fakta tersebut atau mengungkapkan sindiran halus." Tepat seperti inilah yang saya baca di cerpen ini. Si tokoh utama ingin mencalonkan diri jadi presiden, namun sebelum itu, dia harus mengubur semua jejak masa lalu yang berpotensi diserang oleh lawan.
Jejak-jejak kriminal itu begitu memalukannya, seperti mengubur jenazah bibi di bawah tanaman anggur karena tanaman itu memerlukan pupuk. Dia juga meminta kakeknya yang tua dan menderita rematik untuk naik ke pohon meskipun tak bisa memanjat di musim dingin. Dia juga mengaku sendiri jika dia bukanlah kawan bagi orang miskin. Orang miskin seperti daging mentah yang disia-siakan dan perlu diekspor dagingnya untuk tambahan pemasukan negara. Dia memulai dari kebobrokan total untuk menjadi beradab. Sungguh aneh. Selucu kutipan, "Aku ingin melindungi negara, tapi lebih memilih jika orang lain saja yang melindunginya." (p. 43)
Cerita yang berkorelasi dengan diriku adalah cerpen "Menjinakkan Sepeda" (1884). Bagaimana Pak Twain kecil belajar untuk mengendarai sepeda yang populer kala itu di tahun 1870-80 bernama sepeda penny-farthing. Jadi ini sepeda yang roda depannya diameternya sangat besar, dan roda belakang dengan diameter yang lebih kecil. Anda menceritakan bagaimana seorang guru sepeda mengajari Anda dengan hati-hati dan babak belur karena menjadi bantalan. Empat hari berlalu, keduanya sudah penuh dengan salep kulit Pond's Extract (saya curiga apa ini yang menginspirasi nama Pond's?), dan keduanya dilarikan ke rumah sakit. Hingga akhirnya si guru memanggil empat orang lain untuk menemani si tokoh utama belajar naik sepeda, dua di kiri, dua di kanan, dan guru aslinya di belakang, sampai akhirnya dari yang hanya berdiri dan bergoyang seperti agar-agar, si anak bisa naik sepeda.Saking bahagianya, dia praktekkan naik sepeda itu di sebuah arena lain. Ada anak kecil yang melihatnya dan mem-bully-nya, karena si tokoh tak lancar-lancar amat, dia masih sering terjatuh karena medannya juga banyak batu. Namun, berkat kerja keras, akhirnya bisa melaju dengan baik, termasuk ketika bertemu anak kecil perempuan yang akan melakukan pemakaman. Di sini Pak Twain mengatakan betapa pentingnya guru yang bisa menambah skill kita dibandingkan kita hanya belajar secara otodidak. Juga bagaimana hukum alam ketika naik sepeda juga bekerja ketika akan belok dan turun dari sepeda.
"Teramat disayangkan dalam mempelajari bahasa Jerman, kau tak bisa jatuh dan mencederai dirimu sendiri. Tak ada fitur semacam itu yang akan memaksamu untuk terus menekuninya." (p. 50)
"Seseorang otodidak jarang mengetahui sesuatu secara akurat, dan tak mengetahui lebih dari sepersepuluh dari yang dipelajari jika di bawah bimbingan seorang guru... Carilah guru, itu akan menghemat banyak waktu." (p. 52-53)
Di "Riwayat Cerita Katak Lompat" (1894), Anda bercerita tentang kesalahan seorang penerjemah yang lupa mencantumkan nama asli si pengarang menjadi namanya sendiri yang menceritakan ulang. Di sini, cerita humor khas Amerika kembali lagi. Ada juga kembali menghadirkan cerita di dalam cerita, terkait kisah Katak Lompat, dengan tiga versi cerita. Dan saya di sini lebih menangkap dengan jelas perbedaan antara cerita humor yang langsung pada isi, dan cerita lucu/jenaka. Intinya yang saya tangkap sama, namun yang pertama lebih straight forward, sementara yang dua cerita lainnya banyak sekali bumbu. sebab inti cerita yang kutangkap, ada orang yang punya katak yang dilatih untuk bisa melompat jauh.
Suatu hari dia ingin mengadu katak ini pada orang asing dengan taruhan 40 dollar, si orang asing meminta si yang punya katak ini untuk mencarikan katak. Ketika mencari, si orang asing ini mamasukan batu, gotri, hingga koin ke mulut si katak sehingga menjadikannya tak bisa melompat. Ketika pertandingan, kalahlah si pemilik katak yang kataknya sudah dilatih. Dia langsung lari dan pergi. Ketika dievaluasi, kataknya dibaringkan terbalik, terkuaklah isi perut si katak penuh dan beratnya juga gendut. Miris.
"Ceritanya berdasarkan ingatan, bukan pikiran. Dia tidak melihat ada humor dalam kisahnya." (p. 62)
"Yang paling dipingini seekor katak adalah pendidikan." (p. 64)
Cerita terakhir, "Kesalahan-Kesalahan Fenimore Cooper dalam Sastra" (1895). Anda di sini bertindak sebagai kritikus garis keras yang melucuti bagaimana Fenimore Cooper (1789-1851), penulis Amerika yang menulis buku kisah-kisah suku Indian, seperti "The Deerslayer" (1841), "The Pioneers" (1823), dan "The Last of the Mohicans" (1826). Saya tertawa-tawa membaca cerpen Anda ini Pak Twain. Anda mengatakan:
"Cooper telah melakukan 114 pelanggaran kaidah menulis dari maksimal 115." (p. 77)
"Sudah tentu orang-orang yang tidak bisa melihat hal-hal sepele di sekitarnya akan lemah dalam menggambarkan peristiwa." (p. 83)
"Jika seseorang memiliki pendengaran yang buruk dalam hal kata-kata, hasilnya adalah tulisan yang datar dan mengecoh, kau mengerti yang ingin dia sampaikan, tapi juga mengerti kalau dia tak mengatakannya... Seperti inilah Cooper. Dia bukan musisi kata-kata. Telinganya sudah cukup puas mendengar kata-kata yang samar." (p. 92)
Inti kritik Pak Twain ke Cooper ada di halaman 94, dengan geram Anda mengolok-olok, "Sebuah mahakarya? Buku itu tak punya daya cipta; tak punya aturan, sistem, kesinambungan, maupun kesimpulan; tidak punya keselarasan dengan hidup, tidak menggetarkan hati, tidak menggugah perasaan, tidak tampak nyata; karakter tokoh-tokohnya tidak jelas, dan tindakan serta ucapan tokoh-tokoh itu membuktikan kalau mereka bukanlah karakter orang yang diklaim oleh penulisnya; humornya menyedihkan; penderitaannya konyol; percakapannya--oh! tak terlukiskan; kisah asmaranya menjijikkan; bahasa Inggrisnya adalah kejahatan bagi bahasa." Bjir, bjir, bjir! Wkwkwkwk, ketawa-tawa saya Pak, apalagi yang bagian terakhir, bahasa Inggrisnya adalah kejahatan bagi bahasa, wkwk.
Di esai ini Anda sebagai kritikus memang detail merinci 18 pelanggaran yang dilakukan oleh Cooper yang menulis dengan cara punk itu, barangkali saya ingat dengan cerita eksperimen yang ditulis oleh Martin Suryajaya di novelnya "Kiat Sukses Hancur Lebur". Saya juga suka dengan bagian ketika Cooper bercerita tentang tokohnya yang menembak paku payung dari jarak 100 meter dan bisa terjadi. Haha. Sementara Anda merasa itu tak masuk akal, juga bagaimana susunan dan struktur bahasa yang dipakai Cooper seperti anak kecil berlajar grammar, menyedihkan.
Mari kita beranjak ke sesi kedua Pak. Pak Twain dikenal sebagai Master Satir, Anda banyak mengolok-olok berbagai aspek kehidupan di Amerika, dari politik (kisah ingin jadi presiden), kesastraan (Fenimore Cooper), moral anak-anak dan remaja, romantisisme sastra, menurut saya banyak yang lucu, tapi humor Anda penuh kritik sosial yang tajam. Pembaca jadi bisa berpikir dan tertawa secara bersamaan. Saya melihat Anda juga suka bereksperimen dalam menulis narasi, termasuk bagaimana menyampaikan humor sebagai meta-cerita (refleksi seni bercerita itu sendiri).
Juga di latihan bersepeda itu saya menangkap bagaimana Anda memperlihatkan kecanggungan manusia terhadap teknologi baru yang masih relevan hingga hari ini. Anda lagi-lagi membongkar kemunafikan sosial budaya Amerika. Melihat konteks di mana Anda hidup, pada transisi antara abad ke-19 dan 20, Amerika tengah mengalami berbagai perubahan, termasuk adanya perang sipil, perkembangan teknologi, kebebasan pers, dan kemunculan budaya populer.
Sebagai pengamat perubahan zaman yang tajam, sastra Anda menunjukkan suatu dokumen sastra yang unik. Terlebih, Anda menjadikan humor sebagai alat untuk menyampaikan kebenaran pada pembaca, sepahit apa pun itu, termasuk juga tidak membuat pembaca merasa harus defensif. Bahkan juga Anda seolah bisa membuat cerita, bagaimana kegagalan dalam proses menulis justru bisa jadi bahan untuk menulis itu sendiri. Juga bagaimana membuat hal-hal sepele seperti belajar naik sepeda menjadi potensi sastra besar ketika ditulis dengan sudut pandang segar.
Pak Twain barangkali akan menertawakan sedikit rasa gugupku, dan dia akan berbicara, "Nak, kau tak akan pernah tahu seberapa jauh bisa melangkah, sampai kau menulis tanpa takut jadi dirimu sendiri. Dunia ini sudah penuh orang yang berpura-pura bijak, jadilah orang yang benar-benar jujur, meski hanya lewat humor. Jangan khawatir orang tak suka tulisanmu, khawatirlah kalau semua orang justru menyukainya, karena itu berarti kata-katamu tanpa nyawa. Menulislah dengan mata terbuka, hati terbuka, dan sedikit ketidakpedulian yang sehat terhadap pendapat umum. Satu lagi Nak, kamu hidup terlalu serius, itu tandanya kamu butuh menulis cerita yang lebih konyol."
"Hahahahaha." Kami pun tertawa bersama-sama.
Judul: Panduan Bercerita | Penulis: Mark Twain | Penerjemah: Afris Irwan | Penerbit: Kakatua Yogyakarta | Cetakan: Pertama, Maret 2019 | Jumlah Halaman: vii + 96 | Sumber Terjemahan: "How to Tell a Story, The Invalid's Story", "My First Literary Venture", "Advice to Little Girls, Advice to Youth", "A Presidential Candidate", "Taming the Bicycle", "Private History of the Jumping Frog Story", "Fenimore Cooper's Literary Offenses"


Tidak ada komentar:
Posting Komentar