Ingin menulis renunganku hari ini. Masing-masing kita punya standar, dan aku ingin bilang ke diriku sendiri untuk tidak takut dengan standar orang lain. Standar apa pun yang dipilih oleh orang lain itu. Selagi aku masih bisa menjadi diriku sendiri, standar orang lain hanya akan jadi sawang sinawangku saja. Aku sudah cukup capek untuk hidup memenuhi standar ekspektasi orang lain yang tak ada habisnya. Aku bukan mereka, sungguh bukan mereka.
Hal sederhana, jika ada orang (teman) yang sangat mementingkan privasi, semisal tidak mengunggah foto keluarga, orangtua, pasangan, ya, biarkan. Sementara di sisi lain, aku tipe orang yang woles akan semua itu, jangan dipaksakan. Kalau kamu cuma bisa beli mobil Avanza, tidak usah ngoyo pakai standar Aphard. Bahkan, Avanza yang diisi oleh orang-orang yang hangat di dalamnya lebih membuatmu nyaman, daripada Alphard yang hanya dingin seorang diri. Meski Alphard kelasnya lebih tinggi, lebih dipandang wah, dianggap lebih baik, jika itu bukan aku, tidak.
Jika standarmu menjadi burung gereja, jangan memakai standar burung merak. Jika standarmu menjadi domba, jangan paksakan standar singa. Jika standar musikmu lagu-lagu religi, jangan paksakan standar musik yang dianggap lebih keren. Jika musik idolamu sekarang mentok di Ada Band atau Rony Parulian, jangan paksakan ikut-ikutan mengidolakan Radiohead, The Beatles, atau Sigur Ros. Jika selera filmmu mentok di Denias, jangan paksakan standarmu ke The Godfathers atau Transformers. No. Kamu gak harus jadi orang lain. Kamu cukup jadi dirimu sendiri. Sesepele apa pun kamu dilihat orang lain.
Standar yang kadang dilihat orang lain sepele dan kamu nikmati jauh lebih penting daripada standar megah yang sepah. No, aku gak butuh jadi orang munafik yang memaksakan standar sendiri untuk mengikuti standar orang lain. Kemudian merasa kecil dengan perbandingan itu. Memaksakan standar bagiku sekarang adalah hal konyol yang egois. Gak bisa membedakan standar orang lain dan standar diri sendiri juga sama bodohnya.
Refleksi ini membawaku ke ranah yang lebih luas. Pertama, ranah berkarya. Aku pernah di titik memandang tulisan-tulisan blogku tak lebih baik dengan membandingkan standar penulis lain yang lebih punya nama. Atau, aku tak juga nulis novel, cerpen, atau karya sastra lain karena merasa standarku belum secanggih Haruki Murakami semisal. Aku bisa melihatnya lebih jelas sekarang. Jika standarku bisa menulis seperti Murakami, sampai jadi nenek-nenek pun bakalan gak lahir itu karya. Tapi kalau kusetel standar berkaryaku standar Isma Swastiningrum, aku merasa bakal tak kesulitan menyelesaikan novel setebal "Kaki Lima" dalam waktu sebulan. Skill mengetikku sudah di atas rata-rata karena latihan, tinggal menyesuaikan dengan standarku saja.
Kedua, ranah pendidikan. Sampai di titik ini barangkali aku udah kehilangan harapan mencoba berbagai aplikasi beasiswa dan selalu gagal. Sekarang aku sadar, aku ngeset standar kampus dan beasiswa yang tak setara dengan standar naturalku, sehingga rasanya sangat kerenggosan mengikutinya. Aku perlu memikirkan untuk menyelaraskan standar yang kupunya dengan apa yang kampus dan beasiswa minta. Jika aku "bukan standar mereka", aku juga perlu sadar diri. Sesederhana jika mereka menstandarkan IPK 8/10 atau 3.5/4 tentu aku yang IPK-nya cuma mepet 3 koma sedikit gak akan mungkin nyambung. Penekananku selanjutnya, aku tak perlu kecewa dengan standar yang dibuat oleh mereka juga. Toh, aku punya resources-ku sendiri. Aku juga tak perlu berkecil lagi, mereka bukan standarku, standarku bukan mereka.
Ketiga, ranah-ranah lain yang kupikir akan sangat luas kaitannya. Termasuk dalam hal konsumsi, memilih sahabat dan pasangan, moral, etika, spiritualitas, dlsb.
Kesimpulan, semakin sederhana standarnya, hidupku akan jadi lebih mudah. Semakin aku bisa tahu standarku sendiri, aku tak harus menderita dengan standar yang dipasang orang lain. Semakin aku belajar, kualitas standarku akan berbicara dengan sendirinya, dan aku tak perlu memaksakan diri.
Sehat selalu mbak ismaa, membaca tulisan mu selalu membuat ku terasa lebih baik
BalasHapusEh, hai, terima kasih ya udah baca.
HapusDi tengah gempuran vlog & podcast, makin jarang nemu orang konsisten menulis di blog. Keep writing mba Isma :)
BalasHapus29 Juli 2025 lalu, blog ini tepat berulang tahun ke 13 tahun. Aku senang bisa menulis sejauh ini, hehe. Aamiin doanya, semoga selalu konsisten.
Hapus