Aku ingin memulai pembahasan novel ini dengan konsep "Adu Pelan". Hari ini, Selasa, 1 Juli 2025, di sekitar Monas dan Jalan Merdeka Utara letak kantornya macetnya bukan main. Sial, aku pun datang kesiangan karena lebih mementingkan untuk membaca buku lebih dulu. Namun, dari buku "Momo", aku seperti mendapat konsep hidup dan kacamata baru, "Makin pelan, makin cepat." Pagi ini kurasakan orang-orang saling beradu cepat, dan dengan motor Mio-ku, aku lebih memilih beradu pelan, dan rasanya sangat menyenangkan.
Di sela-sela kekacauan dari kemacetan itu, aku bisa mengamati hal-hal kecil yang tak diperhatikan orang. Semisal, aku takjub dengan para penjual Kopi Dian dengan gerobaknya, ada berjejer-jejer, dan pekerjanya juga perempuan-perempuan. Toleransiku untuk jadi tenang di tengah kekacauan juga meningkat, aku tak naik darah di tengah semprotan klakson sana-sini, atau di banyak sisi orang dengan kendaraannya saling memotong jalan. Aku sungguh menerapkan apa yang dipraktikkan Momo ketika pergi ke kerajaan waktu di Tempat Antah Berantah sebagai "adu pelan", ini juga yang dilakukan oleh kura-kura ajaib bernama Kassiopeia.
Pertama kali aku melihat novel Momo di Gramedia Grand Indonesia. Aku membelinya dengan dua buku lain terbitan Gramedia agar mendapatkan diskon. Buku ini lumayan lama kuselesaikan karena lumayan tebal, tapi membacanya sungguh menyenangkan, pun menulisnya. Tiba-tiba aku merasa bahwa aku tak perlu cepat-cepat seperti yang diharapkan oleh hukum kapitalisme. Di dunia Momo semua berjalan lambat, dan karena kelambatan itu, kita bisa menikmati dunia.
Momo adalah seorang anak kecil, aku tak ingat persis usianya, yang pasti di bawah 10 tahun, mungkin enam atau tujuh tahun. Dia anak gembel yang tinggal di bangunan liar sekitar reruntuhan amfiteater. Di sini tak disebutkan persisnya negara mana, tapi karena Michael Ende berasal dari Jerman, aku akan menganggap latar novel ini di Jerman. Meskipun jika membayangkan tentang amfiteater, dia lebih mirip ke Roma, Italia. Kita juga bisa mengarang sendiri sejarah amfiteater besar itu sebagaimana teman dekat Momo bernama Gigi Pemanduwisata lakukan. Gigi sangat punya banyak imajinasi, tiap orang yang datang padanya, selalu bisa disuguhinya aneka cerita dan legenda yang berbeda soal amfiteater. Di tempat itu juga sering terjadi pertemuan anak-anak yang sedang bermain.
Baiklah, aku akan mulai mengulas buku ini dengan caraku sendiri. Selamat pagi menjelang siang Pak Michael Ende. Sepertinya, aku akan memanggil Anda dengan nama belakang, Pak Ende, karena nama itu juga berhubungan dengan sebuah kota di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Jadi, lebih Indonesia. Pak Ende, novel Bapak ini menginspirasi saya menulis cerita lain dengan karakter yang sama dengan Momo, saya (perubahan ke kata ganti pertama formal) mengambil karakter khas Momo bahwa dia adalah pendengar yang baik. Sangat-sangat baik hingga siapa pun yang punya masalah bisa datang kepadanya, dan mereka (dari anak-anak hingga dewasa) bisa menyelesaikan masalah sendiri dengan cara mereka sendiri, dengan memahami pangkal masalah dan mengkomunikasikannya.
Cerita di awali dari kisah Momo yang hidup di amfiteater. Pak Ende, saya mengimajikan jika Momo adalah saya ketika masih kecil, bukan menggunakan jas dan rok yang tambalan seperti perca, tapi anak kecil berambut pendek yang mengenakan baju warna orange bunga-bunga yang kebesaran. Dia naif tapi baik. Momo punya dua sahabat dekat, Gigi Pemanduwisata dan Beppo Tukangsapujalanan. Mereka juga kubayangkan seperti orang-orang yang kusukai. Karena imajinasi itu membuat buku Bapak ini bisa merasuk lebih dalam ke hati saya. Saya sangat suka dengan cara Beppo bekerja, dia sangat menghayati pekerjaannya meskipun hanya seorang tukang sapu jalanan. Meskipun banyak yang disapunya, dia tidak merasa kesulitan atau lelah, setiap sapuan, dia selalu menarik nafas. Selow sekali hidup si Bapak tua ini.
Banyak yang Pak Ende ceritakan di awal-awal, terlebih terkait scene begitu berpengaruhnya Momo terhadap orang-orang di sekitarnya. Diceritakan kisah para tetangga yang punya masalah, sampai imajinasi anak-anak yang bermain di perahu raksasa, dikemudikan nahkoda, hingga ada ilmuwan yang ingin berburu makhluk aneh di laut yang tak lain itu adalah gejala alam yang belum dipahami. Namun, menurutku ini hanya perintilan, karena konflik utamanya adalah seputar "waktu".
Sekitaran amfiteater yang awalnya tenang, bahagia, dan imajinatif, berubah jadi kelam dan kelabu setelah kedatangan agen kelabu yang tugasnya mencuri waktu milik orang-orang. Suatu hari, salah satu agen kelabu mendatangi seorang tukang cukur bernama Tuan Figaro yang begitu menikmati pekerjaannya, dan masih bisa mengunjungi ibunya yang sakit, merawat burung-burung yang dicintainya, hingga mendekati perempuan yang disukai. Namun, semenjak agen kelabu datang dan menawarkan tabungan waktu, si tukang cukur kemudian memangkas semua waktunya untuk kegiatan-kegiatan yang tak berguna. Dia jadi tak sabaran dalam mencukur, kunjungan ibunya sudah jarang dan dia serahkan ke panti jompo, dia juga tak lagi merawat burung atau melakukan hobi membaca buku. Waktunya harus ditabung untuk memperkaya agen kelabu, menurutku ini kritik yang sangat keras sekali akan kehidupan modern ini Pak Ende.
Suatu hari, semenjak kedatangan orang-orang kelabu di kota, kota jadi berubah drastis. Orang-orang seperti ingin cepat-cepat, kosong dan tak menikmati hari-hari mereka lagi. Termasuk, ini juga terjadi pada anak-anak. Dari awalnya mereka sangat menikmati bermain satu sama lain, kemudian menjadi asing. Dari yang awalnya banyak imajinasi, jadi tak punya imajinasi. Momo sedih dengan kondisi ini. Agen kelabu mendatangi Momo untuk menawarkan bisnis tabungan waktu ini. Jumlah tabungan ini juga bagiku mengerikan hingga miliaran jam, menit, hingga detik. Hitungannya sangat presisi, dan jika waktu kita diuangkan, saya pikir ini sumber daya satu-satunya yang amat penting, yang bisa dimiliki oleh manusia: sumber daya waktu. Di konsep buku ini, waktu berjalan mundur, artinya, semakin kamu tua, waktumu akan semakin sedikit. O iya, agen kelabu ini mirip manusia, tapi tubuh mereka sepenuhnya abu-abu.
Lingkungan yang berubah jadi kelam dan kelabu ini membuat Momo sedih. Ketika Momo didatangi agen kelabu, si agen menawari tabungan waktu, hingga dia dikasi boneka yang menyerupai manusia yang bisa bicara. Namun, boneka mekanik itu hanya bisa bicara hal-hal yang bersifat konsumtif, seperti "aku mau lebih banyak, aku mau lebih banyak." Hingga si agen abu-abu memberi boneka lain sehingga sepasang laki-laki dan perempuan, lalu baju-baju mereka di banyak kegiatan, dari ketika akan ke pasar, sekolah, kerja, dll. Semua sangat membosankan sekali saya pikir, Pak Ende.
Namun, Momo adalah anak kecil yang melampaui zaman. Dia tidak tertarik dengan aneka jebakan mematikan itu. Hingga dia mendapatkan desakan dari banyak sisi, Momo melaporkan pertemuannya dengan agen. Momo juga menceritakan itu pada Gigi dan Beppo, lalu Gigi menjadi koordinator umum (kordum) bagi anak-anak untuk demo pada orang-orang dewasa yang sibuk menghemat waktu dan melupakan anak-anak mereka sendiri. Anak-anak sangat antusias, tetapi suara mereka tidak didengar satu pun oleh orang-orang dewasa, sungguh jahat sekali bukan?
Sebab tragedi itu, agen kelabu semakin meneror Momo dan kawan-kawannya sepersirkelannya. Sebab Momo, agen kelabu juga diketahui, ini membuat salah satu agen mendapat hukuman dari pimpinan mereka. Momo jadi sosok yang membahayakan. Agen pun memburunya. Namun, Momo akhirnya didatangi oleh kura-kura ajaib bernama Kassiopeia tadi. Dia bisa bicara dengan tulisan yang cerah di punggungnya, seperti menyala kayak lampu jika dia hendak bicara. Teteruga itu mengajak Momo pergi ke tempat ajaib yang menjadi sumber waktu, di rumah Empu Hora (Secundus Minutius Hora). Di sini waktu berjalan terbaik dari apa yang kita alami di dunia nyata. Semakin kita melambat, semakin kita cepat sampai. Di satu titik, Momo juga harus berjalan dengan mundur (membalikkan badan) agar dia sampai. Kassiopeia-lah yang menuntunnya di Tempat Antah Berantah setelah melewati gang Antah Berantah yang tak bisa ditembus oleh para agen kelabu yang menyatukan diri. Mereka ingin cepat, tapi semakin cepat keinginannya, semakin tak bisa mereka ke tempat Empu Hora.
Empu Hora ini orang sakti yang bisa merubah umur sesuka hati dia. Terkadang dia bisa berubah jadi tua, terkadang jadi muda, dia menyesuaikan kondisi, tapi di novel ini dia menampilkan diri sebagai seorang bapak-bapak yang baik hati. Awalnya, dia berpakaian serupa pakaian masa depan beratus tahun kemudian, dia mengganti baju secepat jentikan jari, hingga akhirnya pas di percobaan ketiga dengan memakai jas. Empu Hora menyambut Momo dengan sepenuh hati. Seluruh kerajaannya terdiri dari hutan jam, berbagai bentuk jam ada di situ. Di sana juga banyak peralatan berbahan emas, bahkan makanan pun terlihat seperti emas. Di sana Empu Hora menyuguhi Momo makanan seperti roti yang renyah, mentega, cokelat hangat. Momo sangat senang berada di kerajaan Empu Hora.
Di tempat itu, Momo ditunjukkan suatu keajaiban yang tak pernah ditemukan di dunia nyata. Dia berada di sebuah kubah raksasa, di sana ada yang namanya kembang-kembang waktu yang mekar dengan cantiknya dan sangat wangi. Namun, kembang itu cepat layu, tapi bisa tumbuh dengan bentuk lain dan lebih cantik, lebih wangi. Momo sangat takjub, apalagi cahaya juga berhamburan datang dari atas kubah. Serupa cahaya ajaib. Momo di sana juga bisa mendengar suara matahari dan bintang-bintang. Membaca ini, aku jadi punya kesadaran tersendiri akan waktu Pak Ende, waktu tak bisa dimaterialkan, tapi di sini aku menangkap kesan jika waktu bisa dimaterialkan. Aku kesulitan mengimajinasikan ini (ganti kata ganti aku lagi), tapi ini jadi pertanyaan menarik.
Semenarik juga teka-teki yang diberikan Empu Hora ke Momo. Teka-tekinya, ada tiga saudara yang sebenarnya bisa dibedakan, tapi ketika saudara sulung melihat saudara kedua dia akan hilang, dan ketika melihat saudara ketiga, dua saudara lainnya lagi hilang. Siapakah mereka? Dan ternyata jawabannya adalah waktu, tiga saudara itu adalah masa lalu, masa kini, dan masa depan. Mereka ada di dunia. Sangking senangnya Momo bisa melihat kembang waktu, dia ingin membagikan pengalaman tersebut pada kawan-kawan baiknnya, terlebih Gigi dan Beppo. Namun itu butuh waktu, dan satu hari di Tempat Antah Berantah, setara dengan satu tahun di dunia nyata.
Ketika Momo kembali ke dunia nyata, dunia aslinya sudah sangat berubah. Dalam waktu setahun, Gigi sudah menjadi pendongeng terkenal yang muncul di TV-TV dan terkenal di seluruh negeri. Dia punya rumah bagus di kawasan perumahan elite, dia punya banyak sekretaris pribadi yang membantu mengerek populatirasnya. Namun, di sisi lain, Gigi merasa dirinya kosong. Dia yang punya prinsip tak mau mengulang cerita yang sama tiba-tiba kehabisan ide, dia mengkhianati prinsipnya sendiri di bawah nama besar Girolimo. Dia hanya mengganti nama-nama tokoh dan tempatnya saja, tapi anehnya, masyarakat masih menyukai itu. Bahkan, Gigi merasa, dia tak memiliki waktu untuk dirinya sendiri setelah jadi terkenal seperti mimpinya sejak dulu.
Ternyata, mimpi bodoh menjadi terkenal itu memang menyesakkan. Bahkan sesederhana ketika adegan di Bandara, bagaimana Gigi begitu kesulitan berkomunikasi dengan Momo akibat didesak oleh pekerjaan yang katanya "produktif", di titik ini, aku jadi punya ide untuk menggunakan waktuku secara tidak produktif, haha, untuk melakukan hal-hal menyenangkan yang aku sukai. Yang meskipun itu tak mendatangkan hasil, ya, tak masalah. Aku menyukainya. Obsesi terhadap waktu dan produktivitas ini benar-benar membunuh manusia perlahan-lahan. Termasuk di bidang kepenulisan, menulis yang baik terkadang memang seperti bunga waktu, pelan, hening, dan bermakna. Dia tak terjebak dalam produktivitas semu.
Sementara, nasib Beppo lebih tragis lagi. Dalam rangka mencari Momo yang hilang, dia mendatangi banyak kantor polisi, menceritakan tentang agen kelabu dan cerita yang hanya bisa dimengerti oleh Momo dan Gigi. Para pegawai polisi ini menganggap Beppo gila, hingga akhirnya dia dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Lalu, agen kelabu datang memberi penawaran. Dia bisa keluar dari RSJ kalau dia janji tak akan berceita lagi tentang manusia-manusia kelabu. Dia juga harus menghemat waktu sampai 100 ribu jam (bayangkan! 11 tahun lebih) dari waktu yang dimilikinya untuk bank waktu agen kelabu! Agar Beppo bisa bertemu dengan Momo. Akhirnya, Beppo setuju. Namun, penghematan waktu itu membuat Beppo tak lagi menikmati pekerjaannya. Dia kerja dengan ngawur untuk menghemat waktu. Apapun dikerjakannya asal bisa cepat dan menghemat waktu, hingga ketika menyapu di jalan pun Beppo dianggap sebagai orang gila, meskipun Beppo sudah biasa dengan sebutan itu.
Di sisi lain, seluruh agen kelabu seluruh dunia mengadakan rapat koordinasi internasional untuk menyelesaikan masalah Momo, juga untuk mencuri waktu milik Empu Hora. Fun fact, sebenarnya para agen kelabu ini adalah makhluk ciptaan manusia sendiri, yang diberi kesempatan manusia untuk hadir, bahkan diberi kesempatan untuk mengontrol hidup manusia. Miris sih. Dalam rakor internasional itu, tujuan utama adalah menuju Tempat Antah Berantah yang tak mudah ditembus. Yang bisa menembus hanya Momo yang ditemani teteruga, Kassiopeia, kura-kura yang bisa melihat masa depan dengan presisi. Tak banyak, tapi setengah jam yang akan terjadi di masa depan dia tahu, dan masa depan yang dia lihat itu tak bisa diubah.
Tugas Momo kemudian sangat berat. Bagaimana membantu Empu Hora untuk melenyapkan para agen kelabu tersebut. Caranya juga unik, Momo hanya punya waktu satu jam. Selama itu, Empu Hora akan menghentikan waktu sehingga dia pun ikut mati suri sejenak. Momo harus menyelamatkan waktu lewat misinya melenyapkan agen kelabu dalam waktu satu jam. Empu Hora pun menghentikan waktu, tepat di titik itu semua makhluk dan benda berhenti seperti patung. Bahkan selembar debu itu pun membeku, aku jadi kepikiran semisal kapitalisme pasti bisa dilemahkan lewat cara-cara seperti ini, haha. Saat pekerja berhenti, dan di titik ini, Momo bertemu dengan Beppo yang sedang bekerja. Saking menabung waktu 100 ribu jam, dia tidak sempat bercukur, tubuhnya tampak tak terurus.
Kassiopeia meminta Momo tidak membuang waktu. Dia harus sampai ke bank waktu yang di tempat itu disimpanlah semua waktu yang dicuri dari orang-orang seluruh dunia. Bentuknya dalam kembang-kembang waktu. Dari yang awalnya banyak orang, lalu diseleksi dari ganjil dan genap lewat lemparan koin, sampai agen kelabu hanya menyisakan enam orang. Cerutu mereka juga jadi simbolisasi menarik, karena jika api cerutu itu habis, waktu mereka juga habis.
Agen abu-abu mirip asap dalam cerutu. Momo pun ada di ruangan tempat enam agen abu-abu itu berkumpul. Kassiopeia mengarahkan Momo untuk langsung masuk ke bank waktu, di tengah kejaran para agen abu yang dari enam menciut tinggal satu, hingga dia karena kehilangan asap cerutu, menghilang. Bank waktu itu pun terbuka, dan dibagikan ke pemiliknya masing-masing hingga para manusia ini merasa tak kehilangan waktu, tak ada kata "tak punya waktu". Mereka bisa melakukan hal-hal menyenangkan yang mereka suka tanpa rasa bersalah. Momo pun bisa bercerita pada Beppo lagi, meskipun nasib Gigi tak jelas di akhir cerita. Pak Ende bercerita jika cerita Momo ini didapatkannya di sebuah kereta, yang ternyata itu Pak Ende sendiri.
Baiklah Pak Ende, mari kita masuk dalam bagian refleksi dan analisis.
Aku membaca, waktu di sini secara gender bersifat maskulin sekali ya, yang dilambangkan dengan laki-laki agen abu-abu. Masyarakat di sekitarnya juga lebih banyak berpikir jika perempuan punya lebih banyak waktu daripada laki-laki. Di novel ini rasanya, Anda menggali tema besar terkait "waktu" yang mungkin tak banyak digarap oleh penulis-penulis lain yang sezaman dengan Anda. Atau jangan-jangan Anda terpengaruh dengan Einstein, ilmuwan yang terkenal karena konsep relativitasnya. POV yang Anda ambil juga menarik, anak-anak yang diwakili oleh Momo. Momo sebagai perempuan di sini juga kau gambarnya punya banyak waktu. Anda juga menyelipkan tentang persahabatan, imajinasi, dan misteri.
Anda juga mengkritik kapitalisme melalui restauran cepat saji milik Nino, yang bahkan untuk makan pun mereka harus berdiri. Jika lama mengantri, mereka juga akan memaki-maki. Padahal, manusia butuh ruang yang tidak selalu "produktif" untuk bisa hidup. Di novel ini aku sungguh bersimpati pada Beppo, dan aku ingin meniru cara kerjanya. Jika dipikir-pikir memang tidak mungkin bisa menyapu bermil-mil jalan yang luas, dengan menarik nafas tiap satuannya. Namun, Beppo hanya berfokus pada langkah-langkah kecil yang bisa dilakukannya, dan tahu-tahu, pekerjaan itu selesai. Dalam menulis, rasanya aku juga ingin seperti Beppo, bahkan untuk setiap huruf, kata, kalimat, dan paragraf yang kubuat. Konsep "adu lamban" di sini bagiku sangat menarik.
Kritik berharga yang saya dapat dari Bapak juga adalah bagaimana kita tak bisa menikmati momen. Tahukah Pak Ende, jika pencurian waktu manusia hari ini lebih rumit lewat sosial media, tayangan-tayangan TikTok, dll, namun, pertanyaan yang lebih mendasar: Dalam situasi seperti apa kita benar-benar menikmati waktu? Aku juga sepakat, barangkali di dunia nyata, orang-orang abu-abu di dunia nyata ini merupakan percikan dari manusia-manusia yang memanfaatkan kita untuk kepentingan mereka sendiri. Energi kita terkuras sangat banyak karena ini. Mereka digambarkan juga seperti "perusahaan" di dunia nyata. Di Jakarta, Pak Ende, kau akan banyak menemukan fenomena laki-laki abu-abu. Di tengah hutan kapitalisme, birokrasi, dan obsesi akan efisiensi.
Buku Anda juga terbit tahun 1973, di mana di Eropa, khususnya Prancis saat itu masuk dalam gelombang modernisme, konsumerisme, dan kerja-kerja yang eksploitatif. Buku Anda mendapatkan penghargaan Prix de la Jeunesse dari Académie Française dari kedalaman filosofis yang cocok dengan semangat literasi Prancis. Meskipun kritiknya, novel ini mendikotomikan manusia jadi hitam putih dan simplitis, tak menawarkan suatu "ambiguitas moral" dan "pemahaman struktural". Barangkali juga konsep-konsep seperti bunga waktu kurang Anda garap dengan lebih filosofis dan psikologis Pak Ende. Ini membuat tokoh Momo di sini sangat sempurna dan tidak berkembang.
Itu saja Pak Ende yang ingin aku ceritakan, terima kasih untuk waktu imajinernya.
Mungkin, Pak Ende akan menjawab, "Aku merasa tersentuh karena kamu membaca Momo dengan penghayatan sebagai pembaca dewasa. Kau menangkap esensi sunyi akan ambiguitas waktu, waktu bukanlah komoditas, tapi juga ruang untuk hadir satu sama lain. Sebagai pembaca, kau juga mengkontekstualisasi cerita di buku ini dengan kondisimu sekarang, perlawanan dengan manusia abu-abu di realitasmu sendiri. Semoga ke depan, kau bisa mengungkap misteri-misteri lain terkait waktu. Terakhir, jangan lupa, selesaikan ceritamu sendiri tentang Momo, Isma."
Judul: Momo | Penulis: Michael Ende | Alih Bahasa: Hendarto Setiadi | Penerbit: Gramedia Pustaka Utama | Terbitan: Ketiga, Maret 2025 | Jumlah Halaman: 336 | ISBN: 9786020677590 | Copyright: Michael Ende, 1973

Tidak ada komentar:
Posting Komentar