Kamis, 10 Juli 2025

Catatan Buku "Orang Asing" Karya Albert Camus

Buku ini datang padaku seperti dalam waktu dan kondisi yang tepat. Saat aku tak punya gairah lagi pada dunia. Seolah, apa yang aku lakukan begitu melelahkan. Repetisi yang tidak ada habisnya. Saat itu malam, sekitar pukul delapan. Aku menderita sariawan yang berpengaruh pada tidak enaknya suasana hati. Aku meraih begitu saja buku ini dari rak buku. Aku menyalakan lampu warna coklat temaram, lampu untuk tidur alih-alih membaca. Suasana hatiku sedang buruk. Malam itu aku kehabisan energi untuk membaca. Aku ingin istirahat total, meskipun tak bisa. 

Di tengah temaram lampu, aku membaca novel perdana Albert Camus dalam kariernya sebagai penulis ini lembar demi lembar. Aku ingin memaki dalam rasa iri, "Brengsek! Novel pertama saja sudah sebaik ini?!" Di dalam kata pengantar juga dijelaskan, bagaimana "Orang Asing" membawa semangat dan hawa baru di kesastraan Prancis. Kalimatnya cerkas, dia tak ragu menulis dengan kalimat-kalimat pendek. Dia seolah tak peduli pada alur linier, seolah ini kisah diary depresi saja. Dia juga membawa tema yang lebih memihak kelas bawah dan pekerja, di tengah karya-karya zaman itu yang lebih bercorak borjuis. 

Karakter utamanya juga tak biasa, fatalis sampai ke tulang sumsum. Orang yang menyerah pada hidup. Dia percaya bahwa takdir tak bisa diubah, sehingga tak punya daya untuk mempengaruhi peristiwa dalam hidupnya. Segala pilihan dan tindakan dirasakannya tak memberi perbedaan berarti, karena hasil seperti sudah ditetapkan sebelumnya. Dia tidak percaya akan tindakan heroik mengubah dunia. Para savior complex atau SJW itu pasti akan diludahi prinsipnya habis-habisan. Karakter ini memang tipe antihero, aneka teori pembangunan tak ada apa-apanya untuk dia.

ALUR

Baiklah, salam kenal Albert Camus. Saya hendak berbicara dengan Anda secara imajiner setelah membaca buku Anda yang berjudul "The Stranger" (1942). Saya ingin memulainya dari alur. Di awal bab buku ini, tokoh ikonik Anda, Meursault, minta izin pada majikannya untuk menghadiri pelayatan ibunya yang meninggal. Anda memakai gaya penceritaan pertama, dengan memakai "aku". Anda menggambarkan seperti Meursault tak ingat akan waktu, bahkan dia tak begitu yakin apakah sang ibu wafat hari ini atau kemarin.

Sebelumnya, Meursault menaruh ibunya di panti wreda karena keuangannya tak sanggup untuk menyewa perawat khusus bagi ibunya.  Kemudian, Nyonya Meursault mati di sebuah pantri wreda, entah karena penyakit atau usia tua. Anda tidak begitu menjelaskan. Tak ada kesedihan apa pun di hati Meursault, juga tak ada tangis, tak ada drama, seolah prosesi pelayatan dan pemakaman sang ibu hanyalah tindakan sehari-hari seperti kau hadir dalam sebuah kondangan teman. Tokoh Anda Meursault menemui direktur panti wreda untuk mengurus administrasi ibunya. Hal itu dia lakukan dengan santai.

Anda juga menceritakan dengan detail tentang para pelayat dan teman-teman panti wreda sang ibu. Ibu Meursault awalnya takut ditaruh di panti wreda, tapi Meursault yakin di tempat itu dia tak akan kesepian. Menurut Anda, ini hanya masalah kebiasaan. Di sana juga ada penjaga pintu, ada perawat panti, sampai seorang pria yang dianggap sebagai tunangan Nyonya Meursault. Pria itu bernama Tuan Thomas Perez. Dia merasakan kesedihan dan kemurungan yang mendalam. Dia tak berhenti menangis di antara orang-orang tua. Bahkan saat mengantar ke penguburan, pria itu menguat-kuatkan diri di tengah cuaca yang panas dan memilih jalur pintas. Pria itu sampai pingsan di tengah suasana duka dan cuaca tak baik itu. Lalu, tokoh Anda Meursault begitu saja melupakan kematian ibu, menganggap itu adalah hal yang memang sudah pasti.

Meursault kembali ke kehidupan aslinya di sebuah apartemen kere, di dekat Aljazair. Meursault suka memperhatikan apa yang terjadi di luar jenderla lewat balkonnya, seperti menilai, tapi juga tak ingin menilai. Di sana banyak kaki lima, keluarga yang ingin berwisata, atau para pemuda yang ingin menonton film bersama. Meursault suka makan di restoran milik Celeste, meskipun jika dia ditanyai macam-mcam, dia akan memasak sendiri. Dia malas meladeni perempuan cerewet, berperut besar, dan bercelemek itu. Meursault juga punya kekasih bernama Marie Cordona, yang sering datang ke apartemen. Mereka melakukan hal-hal dewasa, nonton film bersama, dan berenang. Marie sering mendesak Meursault untuk menikahinya, pria itu mengiyakan. Marie sering bertanya, apakah Meursault mencintainya? Meursault menjawab, tidak penting dia mencintainya atau tidak. Jawaban itu membuat Marie sedih.

Di apartemen itu, tetangganya bernama Salamano adalah pria tua yang ditinggal mati istrinya. Dia merasa kesepian, hingga suatu hari dia dihadiahi seekor anjing yang menemani kesendiriannya. Ras anjing itu dipuji Meursault berasal dari golongan anjing baik. Namun, Salamano dan anjingnya saling membenci dengan kondisi yang rumit. Anjing itu fisiknya telah kurap, banyak totolan penyakit, bulunya sering rontok, berbau bacin, dan sudah tua. Kondisi anjing itu mencerminkan kondisi fisik Salamano juga, keduanya tak jauh berbeda. Salamano bahkan lebih parah, setiap hari selalu mencaci maki anjing itu dengan ucapan, "Kurap! Bacin!" Padahal, setiap hari, anjing itu diajaknya lari-lari. Suatu hari, Salamano tengah menonton pertunjukkan rakyat, anjingnya tiba-tiba hilang. Dia kemudian sangat sedih. Salamano menghubungi tempat penampungan anjing liar. Dia juga menghubungi polisi, tapi tidak yakin karena tak punya uang. Akhirnya, pria menyedihkan itu hanya mengutuki diri. Meursault menganggap itu hal yang biasa saja. 

Meursault juga bertetangga dengan Raymond Sintes. Si gendeng yang melakukan KDRT pada gendakannya sendiri. Hidup kumpul kebo dengan gendakan, tapi sewa flat gendakan dia bayari. Raymond juga memberi uang harian dan hadiah-hadiah kecil, tetapi perempuan itu tak puas dan tetap mengeluh dengan kondisi keuangannya. Raymond mengundang Meursault ke kamarnya untuk makan sosis dan minum bir. Namun, itu hanya alibi saja, karena Raymond sesungguhnya ingin minta tolong pada Meursault untuk menuliskan surat pada gendakannya. Surat provokatif yang ingin menghajar dan mengancam. Apalagi saudaran si gendakan telah mengawasi tindakan Raymond dan melakukan konfontrasi fisik di ruang publik. Raymond berniat melepas gendakannya yang tak tahu untung itu katanya, tapi masih tetap ingin merasakan kenikmatan duniawi dari fisik perempuan itu.

Suatu hari majikannya tengah mendirikan perusahaan di Paris. Meursault dipromosikan untuk bekerja di sana. Bagi Meursault, di mana pun dia berada sama saja. Dia tidak menolak atau menerima, tapi tetap membicarakan keputusan itu pada Marie, dan tak jelas keberlanjutannya.

Suatu hari lainnya, Raymond mengajak Meursault dan Marie untuk bermain ke rumah sahabatnya. Nama sahabat itu Masson, yang tinggal dengan istrinya yang berbadan kecil. Di sepanjang jalan, mereka bertemu musuh Raymon, gerombolan orang Arab. Rumah itu terletak di tepi pantai, dengan pemandangan indah di samping kiri-kanannya. Pemandangan alam yang indah, dengan pesanggrahan-pesanggrahan. Sesampainya rumah itu, diadakan makan bersama, kegiatan berenang, dan berjalan-jalan siang setelah makan. Naas, saat acara jalan-jalan siang itu, Raymond bertemu musuhnya, dua orang Arab yang sepertinya membuntuti mereka saat perjalanan.

Terjadilah perkelahian, mulut dan tangan Raymond robek sehingga Masson harus cepat-cepat membawanya ke dokter terdekat. Dokter yang masih mau bekerja di hari Minggu di tempat wisata. Musuh orang-orang Arab itu masih seperti memata-matai, hingga Raymond membawa pistol untuk menembak mereka secara langsung. Meursault masih logis dengan menasehati kawannya untuk bersikap jantan, melawan satu lawan satu dengan atau tanpa senjata. Raymond kemudian menitipkan pistolnya ke Meursault. Dia berpesan, jika lawannya itu melawan, Meursault harus menembaknya. Meursault berkata, "oke". Perkelahian terjadi lagi.

Namun, kapal-kapal yang mendekati pantai membuatnya agak waspada. Ketika orang-orang Arab itu lengah, terlentang di antara batu-batu. Fisik Meursault terasa lemah, di tengah pasir yang sangat panas, matahari yang membara. Dia melihat musuh, dia langsung menembak salah seorang orang Arab. Pertama hanya satu tembakan, kedua dengan empat tembakan pistol, yang menyebabkan orang itu meninggal. Meursault pun ditangkap polisi.

Dia dibawa ke pengadilan dan penjara. Entah mengapa, dia berpikir aneh, semacam "akhirnya dia jadi keluarga besar pengadilan". Apa pun pertanyaan yang ditanyakan padanya dijawab apa adanya, tanpa drama, tanpa berlebai-lebai ria. Dia bersikap straight forward, tanpa ingin dibela. Bahkan ketika ditawari pembela, dia merasa tak perlu. Hukum punya aturan lain, secara resmi akan ada pembela yang membantu kasusnya. Pembela ini pun tidak bisa biasa saja, cara kerjanya berputar-putar, dan Meursault merasa kelelahan meladeni pertanyaan-pertanyaannya. Meursault merasa kesal, karena pembela itu mengharapkan jawaban yang diinginkannya sendiri, bukan kenyataannya.

Sembari menuju sidang, Meursault dipenjara. Dia merasa biasa saja, seperti datang ke ruangan baru. Dia membayangkan, bahkan ketika dia hanya hidup di sebuah pohon kering, dia akan hidup juga sambil mengamati langit, tumbuhan, dan hewan-hewan di sekitarnya. Apalagi cuma penjara, kecil saja baginya. Seperti kata ibunya, lama-lama kita akan biasa. Di penjara itu, Meursault melakukan aktivitas-aktivitas untuk menunda rasa bosannya. Dia mulai membayangkan tempat-tempat yang didatanginya dan mengingat benda-benda di ruangan itu satu per satu. Melamunkan itu bisa sampai empat jam. Dia akan mengulang-ulang pikiran yang sama, semakin diulang, semakin ada hal baru yang muncul.

Dia juga terbiasa tidur lama sampai 14-16 jam, lalu menghabiskan jam-jam sisanya untuk aktivitas jasmaniah lainnya. Dia juga membaca koran yang menceritakan kisah absurd orang Cekoslowakia. Ada seorang anak yang merantau, ibu dan adiknya di tengah perantauan anak dan kakaknya itu mendirikan hotel, sehingga ketika anaknya kembali bisa memberikan tempat yang baik. Sebab ingin memberi surprise, dia berpura-pura jadi tamu di hotel itu,  dia juga menunjukkan banyak uangnya. Ibu dan adik kalap melihat harta itu, dibunuhlah tamu itu dan uangnya diambil. Suatu hari istrinya datang dan menceritakan siapa tamu itu. Ibu dan adiknya kaget luar biasa dan keduanya memutuskan untuk bunuh diri dengan cara masuk jurang dan menenggelamkan diri ke sumur. Cerita aneh yang sudah diulang Meursault seribu kali.

Suatu hari, Marie datang membesuknya. Tak ada hal-hal lain yang penting untuk dibicarakan, semua seolah berjalan seperti biasa: menanyakan kabar dan Marie meminta setelah Meursault keluar, mereka akan menikah. Bukan masa depan yang dipikirkan Meursault, tetapi tamu-tamu lain yang datang membesuk, yang suaranya lebih jelas dari suaranya sendiri atau suara Marie. Semisal anak dan orangtuanya, atau suami dengan istrinya. Kejadian itu lebih mencuri perhatian Meursault. Marie juga tak diperkenankan untuk datang lagi membesuk karena dia bukan istri Meursault.

Sidang pun datang, tangan Meursault diborgol. Ada pikiran aneh lagi, Meursault seperti excited dengan persidangan itu karena seperti milestone bagi hidupnya. Semacam bilang, "pengalaman yang menarik ini ikut sidang dan jadi tersangka." Namun lama-lama dia merasa bosan, seperti berada di trem dan orang-orang ingin mencari apa yang lucu dari dirinya. Padahal, yang mereka cari adalah kejahatan.

Meursault tak melakukan apa pun di persidangan. Tuduhan apa pun yang sesuai kenyataan dia benarkan. Sementara, para wartawan sedang sepi berita. Dua berita yang menarik untuk mereka liput adalah kasus pembunuhan seorang ayah, kedua kasus Meursault yang dianggap biasa saja tapi ingin dibesar-besarkan. Para kenalan Meursault juga dihadirkan untuk memberi kesaksian, dari Raymond, Thomas Perez, direktur dan penjaga pintu panti wreda, Salamano, dan Marie. Setiap saksi memberikan keterangannya sesuai kadar kedekatan mereka dengan Meursault. Meskipun saya mendapat kesan jika pengadilan juga adalah lapangan lelucon bagaimana humor terkejam bisa muncul. 

Anda juga menyatakan satir keras, bagaimana hukum lebih banyak menyoal sisi hidupnya yang lain alih-alih langsung ke perkaranya. Bahwa Meursault telah membunuh, bukan malah menguliti personalitinya dengan Marie, Raymond, sampai Celeste. Di akhir novel ini, Anda dengan jelas menunjukkan pertentangan Anda pada kaum agamawan. Pendeta datang ke penjara Anda, di tengah jam-jam penjatuhan hukum. Meursault membayangkan kemungkinan terburuk bahwa dia akan dihukum mati. Dia membayangkan gulotine akan memangsanya, dan untuk itu, dia tak merasa takut. Dia merasa sudah siap akan segala hal. Mati umur 30 atau 40 tak penting baginya, toh, pada akhirnya kita sama-sama mati.

Saya termenung dengan perkelahian ideologis antara pendeta dan Meursault. Pikiran mereka saling bersebarangan dan tak bisa disatukan, sebagaimana kita susah menyatukan antara Barat dan Timur. Pendeta selalu berpikir bahwa Tuhan telah membutakan hati Meursault, sementara Tuhan tak dipercayai Meursault. Apa pun khotbah yang diberikan pendeta mentah di hadapannya. Meskipun dengan sangat baik si pendeta mendekati, memberikan petuah, bahkan menganggap dia seperti anak sendiri. 

Posisi dan sikap Meursault jelas, dia tak ingin ditolong, apa pun ocehan tentang Tuhan sama sekali tak akan masuk di hatinya, seperti Napoleon Bonaparte yang akan kesulitan menjauhkan diri pada kekuasaan. Sampai Meursault muak dan mengusir pendeta itu. Di akhir novel ini, saya terkejut, ketika Meursault mengatakan, kenapa dia tak menangis di kematian ibunya? Sebab dia yakin, ibunya meninggal dengan bahagia. Dia memulai hidup baru dengan menjalin hubungan dengan orang-orang di panti, bahkan hendak menikah lagi dengan Thomas Perez. Begitu pun dengan dirinya, meskipun hukuman belum ditentukan, tapi dia lebih optimis, semua hal akan dihadapinya dengan seperti apa adanya. Kisah selesai.

ANALISIS

Tahukah Anda, Albert Camus, ketika awal membaca buku ini, saya membayangkan tokoh utamanya perempuan. Kemudian, saya tahu jika tokohnya Meursault adalah laki-laki. Namun, saya tetap keras kepala memaksakan jika tokohnya perempuan. Saya membayangkan tokoh utama itu diri saya sendiri. Saya tak bisa bergerak secara perspektif, karena Anda bercerita terkait ibu. Kondisi kesedihan akan ibu beresonansi dengan saya. Ada ketakutan, di tengah kondisi ibu saya yang sakit, dengan memposisikan sebagai Meursault, barangkali saya akan lebih siap. Sudut pandang yang agak menyimpang ini kemudian harus saya ganti ketika Meursault bertemu Marie. Tak mungkin saya memaksakan diri, bukan nature saya. Setelahnya, terbesit dalam pikiran saya, Meursault adalah karakter sakit.

Di banyak karya Anda, Aljazair sering dibawa-bawa. Kisah ini terjadi saat Perang Dunia II (1942) sedang meletus. "Orang Asing" tak diragukan, membuat manusia berpikir akan hidup dan kemanusiaan. Anda juga tak terjebak dalam label eksistensialis, bahkan bagi Anda, menikmati setiap hari kehidupan lebih penting, daripada mengurung diri akan terlalu banyak pencarian akan makna. Padahal, makna itu juga ilusi. Makna itu tidak ada. Upaya mencari makna dalam ilmu pengetahuan, filsafat, pendidikan, dan buku-buku barangkali juga kejauhan, terkadang, sia-sia. Dorongan akan makna inilah yang Anda sebut dengan absurditas. Seolah Anda sedang menjadi pihak antagonis dari buku-buku semacam "Man's Search for Meaning" karya Viktor E. Frankl, semisal. Saya membeli buku itu. Sementara, alam tidak peduli. Anda lebih memilih untuk merangkul absurditas. 

Tuan Camus, novel Anda ini dianggap mengguncang Prancis kala itu karena bisa menjadi cermin untuk memahami eksistensi, absurditas, dan moralitas. Meski Anda menolak diri sebagai seorang eksistensialis, karya jadi pilar eksistensial lewat tokoh Meursault. Dia adalah seorang manusia absurd, tidak mau berpura-pura mencintai, sedih, beragama, dia seorang ateis. Tokoh Anda mengambil posisi konfrontatif terhadap kemunafikan masyarakat. Di novel ini, bahasa Anda juga dipuji karena sangat ekonomis, dingin, dan datar, alih-alih melodramatis atau moralis. 

Diam-diam, Anda juga melakukan kritik sosial dan hukum. Persidangan Meursault merupakan satir sekaligus alegori. Masyarakat mengadili manusia lain karena dia berbeda, dan tak seperti pada umumnya. Memang kenapa jika dia tak menangis di kematian ibunya? Apakah cinta itu perlu ditunjukkan? Tokoh Anda menerima nasibnya dengan kesadaran penuh. Pengaruh ini juga yang mempengaruhi Haruki Murakami, Samuel Beckett, dan Jean-Paul Sartre. 

Naskah Anda ini juga memberikan pemikiran pada saya untuk menulis tokoh yang tak selalu menyenangkan, tapi tokoh yang jujur. Meursault tentu bukan tokoh ideal, dia bukan Cinderella, tapi dia jujur pada dirinya sendiri meskipun orang lain tak nyaman. Tokoh Anda memang tak diharapkan pembaca, tapi dia konsisten dengan karakternya sendiri. Anda juga menunjukkan itu tanpa harus menjadi over-explaining. Ada kontras besar di sini di dunia keabsurdan Anda. Absurd yang saya pahami sebagai sesuatu yang tidak umum, menentang logika barangkali, tapi bukan berarti tidak nyata. Anda saya lihat juga tak peduli alur, karena itu seperti biografi Meursault saja. 

Ada beberapa kritik juga untuk novel Anda: (1) Anda seolah mendehumanisasi Orang Arab di sini, korban Meursault yang dia bunuh sebenarnya tanpa alasan dan motif yang jelas. Seolah tokoh utama Anda seperti robot tanpa hati. Arab di sini juga ditampilkan tanpa nama, tanpa identitas dan cerita, bahkan tanpa alasan kuat kenapa dia harus dibunuh. (2) Anda melanggengkan kolonialisme diam-diam. Maksud saya, Anda di sini lebih banyak memakai sudut pandang kolonial Prancis di tengah kolonialisme yang terjadi di Aljazair, karena Anda seperti mengabaikan relaitas penjajahan, dan Erdward Said sepertinya lebih paham soal ini. (3) Anda mereduksi emosi, ini bisa kelebihan sekaligus kekuatan Anda. Tokoh Anda dianggap terlalu nilistik dan kosong, sehingga seolah kebebasan moral yang dimilikinya tak berdosa sama sekali. Padahal, pembaca yang cerdas tahu, tokoh Anda Meursault tetaplah problematik. Anda memutihkan pembunuhan. 

Barangkali, Albert Camus tak akan melakukan pembelaan terhadap kritik-kritik ini. Barangkali, dia akan membalas, "Kita sama-sama tampak letih, Nona. Kita seperti seseorang yang selalu sering merasa bersalah karena tak cukup bahagia. Sadarkah engkau? Kita tidak diciptakan untuk bahagia, tapi untuk hidup dan tidak menyerah. Meursault tidak menangis di pemakaman ibu, karena kenyataan tak harus dilebih-lebihkan. Mati itu keniscayaan. Ilusi itu justru lebih melelahkan, meletihkan, memuakkan, dibanding kejujuran itu sendiri. Absurditas bukan alasan untuk menyerah, tapi kadang itu kebebasan yang kita punya tapi telah dirampas." 

KUTIPAN:

 "Kita tidak pernah mengubah hidup kita, bahwa bagaimana pun, semua sama nilainya, dan bahwa aku menyukai benar hidupku di sini." (p. 43) 

"Aku tidak mempunyai ambisi, dan bahwa semua itu mengecewakan dalam dunia usaha... Aku tidak punya alasan untuk mengubah hidupku." (Ibid) 

"Ia mempunyai kebiasaan untuk melengkapi semua yang sudah dikatakannya dengan 'dan bisa dikatakan pula' juga meskipun pada dasarnya ia tidak menambahkan apa pun pada makna kalimatnya." (p. 42) 

"Ketika aku mulai ditahan, hal yang paling berat adalah bahwa aku mempunyai pikiran manusia bebas." (p. 79) 

"Aku tidak bisa mengerti mengapa sifat baik seseorang bisa menjadi beban yang menghancurkan bagi seorang yang bersalah." (p. 102) 

"Aku tidak pernah sungguh-sungguh menyesali sesuatu." (Ibid) 

"Aku diserbu kenang-kenangan yang paling melarat dan paling kokoh: bau-bauan musim panas, daerah tempat tinggal yang kucintai, suatu langit malam, tawa, dan gaun Marie." (p. 106-7) 

"Kita selalu membayangkan secara berlebihan tentang sesuatu yang tidak kita ketahui. Sebaliknya, saat itu aku harus mengakui bahwa semua sederhana..." (p. 114) 

"Akhirnya ku katakan pada diriku sendiri bahwa yang paling bijaksana adalah tidak memaksakan diri." (p. 114) 

"Ibu sering berkata bahwa kita tidak pernah sama sekali sengsara." (p. 115) 

"Aku tidak mau dibantu, dan justru aku tidak mempunyai waktu untuk tertarik pada hal yang tidak menarik hatiku." (p. 118) 

Judul: Orang Asing | Penulis: Albert Camus | Penerjemah: Apsanti Djokosujatno | Penerbit: Yayasan Pustaka Obor Indonesia Jakarta | Jumlah Halaman: x + 124 | Cetakan: Ketiga, Desember, 2014 | Copyright: Albert Camus, L'Etranger, 1942 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar