Semalam pekerjaanku terasa menumpuk, aku dikejar-kerja deadline, susah tidur, dan untungnya bangun dengan keadaan yang sedikit lebih segar dan waras. Apalagi Jakarta sangat panas. Pergantian suhu yang cepat membuatku sangat gerah, meski kipas angin jika aku di kos tak pernah berhenti berputar, tetap saja tak mengatasi gerah. Krisis iklim benar-benar nyata.
Setelah melanjutkan mengerjakan deadline, dilanjutkan dengan kelas private bahasa Inggris online, lalu makan, mandi, dan ada satu agenda penting yang ingin kuhadiri: datang ke nikahan Bung Khalid dan Mbak Fifi di Rektorat Universitas Pamulang Tangerang, 21 April 2024. Aku lumayan kedandapan untuk datang ke acara akad pukul 08.00 WIB, nyaris aku pesimis karena ternyata banyak hal yang belum selesai: makan, mandi, nyiapin kado, beli kuota yang habis, dan semua selesai pukul 07.30 WIB. Belum lagi di jalan mesthi ngisi bensin. Mau pakai Gojek, tapi mahal banget sampai Rp85 ribu, bolak-balik bisa Rp170 ribu, Kalau naik MRT juga waktu kurang pagi, jalan MRT Lebak Bulus juga panjang. Argh!
Aku cuma punya waktu 30-an menit saja, sedangkan jarak antara Kos Petojo ke Unpam sejauh 25 kilometer yang bisa ditempuh dengan waktu sekitar 38 menit normal. Aku awalnya sangat pesimis dengan waktu yang kupunya, Unpam cuma berjarak satu kilo dari rumah Mbak Rizki dan Mas Angga, yang pengalaman kutempuh dengan waktu 1 jam sampai 1,5 jam kala macet. Namun pagi itu aku benar-benar berniat baik mau mendatangi akad, dan jalan itu tak kusangka dipermudah, jalanan hari minggu yang tak macet, lancar, dan aku diberi kekuatan mengemudi dengan kecepatan yang di atas rata-rata aku berkendara.
Tak dinyana, aku sampai di tempat acara pukul 08.10 WIB, pas, dan pas aku masuk, acara baru saja dibuka. Rasanya aku seneng banget bisa mengalahkan rasa pesimisku sendiri. "Kalau udah niat pasti dimudahkan." Begitu pesan moral yang bisa kutarik. Dan sebelum pukul 08.31 WIB pas, akad pun dimulai. Alhamdulillah, waktu-waktu mustajab untuk berdoa bisa kudapat. Aku berdoa sesuai apa yang aku butuhkan.
Lalu, sekitar satu setengah jam kemudian, karena sudah suntuk nunggu teman-teman lain dari Daulat Umat dan Islam Bergerak datang, untuk mengusir kebosanan menunggu waktu resepsi, akhirnya aku keluar. Pas ngisi buku tamu, eh, ketemu Mas Firas Khudi, kolega di Pena Umat Daulat Umat. Akhirnya, aku gak jadi keluar dan ngobrol banyak sama Mas Firas. Awal-awal kami ngobrol terkait circle perkawanan kami, khususnya bahas tentang Mas Iwang (Irwan Ahmett) dan Mbak Tita Salina, duo seniman yang kami pernah bikin project bareng dengan mereka. Kami memuji bagaimana Mas Iwang dan Mbak Tita menghasilkan karya seni yang gak mainstream, dengan perjalanan yang sangat tidak biasa dan melelahkan.
"Sebenarnya kerja antropolog dan etnografi itu seperti yang dilakukan sama Mas Iwang dan Mbak Tita, meski tarikan mereka ke seni ya khususnya, tapi sebenarnya kerjanya begitu," katanya.
"Iya, dan menariknya mereka itu gak terikat dengan satu lembaga khusus yang mengikat mereka. Mereka juga bisa bebas. Mas Iwang pernah bilang juga pas kutanya, 'sebenarnya genre seni Mas itu apa sih?' Dia jawab, 'aku gak mau dikotak-kotakkan seperti itu, ya seni yang seperti ini,' haha," tambahku.
Obrolanku dengannya kemudian membuka jalan dan pikiranku akan masa depan dan cita-cita yang telah lama kudoakan: dia ngasi aku info beasiswa tak terikat dari Universitas Chiang Mai Thailand terkait Ilmu Sosial (Development Studies) gitu untuk gelar Master. Tak terikat yang kumaksud adalah beasiswa yang tak harus pulang mengabdi ketika selesai, tak harus mengembalikan dan kasih feedback ke pendonor, dan hanya diminta jaga nilai sama tepat waktu aja. Ini benar-benar tipe beasiswa yang sedang kucari dan usahakan. Tipe beasiswa yang seperti ini pula yang didapat sama Mbak Rizki Amalia Affiat dan Mas Angga Yudhiyansyah yang mau melanjutkan studi Ph.D mereka di NUS, lewat info Ling Hongxuan. Xuan bilang ada 5 seat Ph.D di NUS untuk orang Asia Tenggara dan sedikit yang daftar sampai waktunya diperpanjang.
Mas Firas kemudian cerita banyak tentang perjalanan S2-nya dapat beasiswa di Chiang Mai (700 km dari Bangkok), juga topik penelitian livelihood di Kampung Akuarium Jakarta. Terus tipe-tipe riset yang menarik para profesor dan dosen di sana. Chiang Mai juga punya pusat studi menarik yang bisa kucoba, dia juga gak jauh dari Myanmar, cuma 4-5 jam aja udah sampai. Letak Chiang Mai itu di atas, dan levelnya kalau di Indonesia setara dengan UGM. Di sana banyak sekali isu yang bisa digali dan sangat Asia sekali problemnya. Ada pusat studi menarik juga namanya The Regional Center for Social Science (RCSD), bisa jadi kawah candradimuka menarik untuk studi kawasan Asia Tenggara.
Menurut para antropolog lama, tempat terbaik untuk studi itu ada main land-nya ada di kawasan yang diteliti sama Clifford Geertz (Jawa), dan selanjutnya di sekitar Thailand dan Myanmar ini, Chiang Mai. Geertz awalnya juga di sini sampai dia terlempar ke Indonesia. Mas Firas kemudian memberiku link untuk kupelajari lebih lanjut, dan ada pembukaan S2 sayangnya deadline besok, hiks. Telat banget ya aku. Namun aku janji sama diri sendiri akan dalami ini dengan pendekatan media studies yang kupunya. Dosen di studi Ilmu Sains Chiang Mai ini juga kebanyakan latarnya Antropologi dan Geografi.
Mas Firas juga nyebut studiku bisa dikaitkan dengan penelitian macam Daniel Dhakidae saat nulis disertasi di Universitas Cornell di bawah saran Ben Anderson juga. Sama dia nyebut tokoh-tokoh lain misal Rugun Sirait sampai Aryo Danusiri. "Coba aja Mbak, apalagi Mbak perempuan, bukan mendeskriditkan perempuan ya, mereka biasanya punya slot sendiri." EUREKA!
Lalu, kawan-kawan IB dan DU pun padha datang setelah wawasan berbobot dan berguna dari Mas Firas untuk masa depanku kemudian. Aku senang ketemu teman-temanku ini: Mbak Rizki, Mas Angga, Pravda, Mas Azka, Mas Azhar, Mas Indra, Mas Adi, Mbak Nila, Bapak Shohib, Juple, Debbi, Hafiz, pacar Hafiz, dll. Energiku terasa penuh bertemu mereka.
Usai resepsi dari Bung Khalid, kami pun bareng-bareng ke rumah Mbak Rizki di kawasan BPI Pamulang, kami naik dua angkot putih. Di jalan sempat ngobrol sama Bapak Shohib juga dosen IPB pembina DU. Ternyata beliau dari Tuban dan istrinya Rembang, aku Blora, dekat sekali hehe. Lalu, sampai di rumah Mbak Rizki juga cerita dunia akademik dan ilmu pengetahuan juga. Misal terkait Jurnal Perempuan yang masih eksis sampai sekarang meski ideologi dan penulisnya gado-gado (bisa kanan ekstrem, bisa kiri ekstrem).
Rombongan pulang sekitar pukul tiga, di rumah Mbak Rizki dan Mas Angga hanya tersisa aku dan Mas Firas lagi. Aku tinggal karena ada buku Mbak Rizki yang kubantu untuk proofread perlu pembicaraan lebih lanjut, terus Mas Firas nunggu travel ke Bandung setengah tujuh. Akhirnya, yang kami bicarakan soal dunia akademia kembali. Mas Angga misal, berbagi secuplik tema penelitian untuk Ph.D dia di NUS, terkait kelapa sawit di Sumatra. Intinya, buat riset itu tema yang kita suka
Kemudian, Mas Angga juga cerita pengalaman dia kuliah S2 di Singapore University of Technology and Design (SUTD) terkait bagaimana memadukan antara ilmu sosial dan teknologi ke publik. Ini sebenarnya kajian khas MIT banget, karena rektor dan pendiri SUTD sendiri emang dari MIT. Mereka sadar jika teknologi tak bisa berdiri sendiri, tapi mesti diikuti oleh ilmu sosial. Lalu juga Mas Firas nambahi gimana pola/pattern dari riset khas Singapur banget, yang teknologi dan sosial gitu. Di perkuliahan Singapur, kamu boleh nulis apa aja, asal satu: jangan kritik Singapur. Mau bilang Indonesia kiri mentok atau apalah terserah, tapi jangan memperburuk citra Singapur.
Trus Singapur itu juga sangat menjaga negara-negara tetangga. Singapur silahkan mau nyerang Inggris, tapi mereka akan selalu menjaga hubungan dengan Indonesia, Malaysia, Thailand, dll, sebagai kekuatan penting. Karena ada kasus pula,
scholar yang nulis terkait kritik raja di Thailand, ditelpon raja di Thailand, riset yang rencananya mau dibuat buku itu pun gagal terbit, terus akhirnya diterbitkan sama Yale kalau aku gak salah dengar.
Mas Firas sendiri bercita-cita mau S3 di USA, apa pun asal di US. Sebab Ph.D di sana panjang dan disa suka belajar lama-lama, wkwk, kok sama. Di US pula S3 bisa sambil mroyek riset dan kerja. Pengalaman dari Mas Iqra Anugrah yang dapat Ph.D di US juga, mendorong Mas Firas buat yakin ke US. Studi Mas Firas sebenarnya lebih ke studi urban dan perkotaan, meski Mas Angga merasa kurang tertarik pada isu itu karena mungkin akan Jakarta lagi, Jakarta lagi. Tapi Mas Firas bakal ngambil studi kasus di palembang, tempat asal dia.