Ini bukan bermaksud narsis-narsisan
atau apa yaa? Hehehe. Karena dalam study pentas teater (lakonTUK karya pak
Bambang Widoyo SP) kemarin aku meranin Sum makanya, aku nulisnya Sum, kalau aku
berperan sebagai Mbah Kawit atau Mbokdhe Jemprit, akan beda lagi judulnya :D
Tulisan ini juga aku tujukan kepada pelaku teater yang mungkin saja suatu hari
meranin si “Sum”, kita lebih expert di tokoh yang kita perankan bukan?
|
Romli dan Sum |
Sebelumnya, terima kasih buat
suamiku Romli (a.k.a Faruqi Munif) yang menambahkan nama lanjutan di namaku yang
singkat ini. Dulu, sehabis aku kesrempet mobil sampai dibawa ke kantor polisi tapi
Alhamdulillah masih bisa latihan, malam itu pak Munir (sutradara) meminta kita
memperkenalkan latar belakang peran kita masing-masing. Malam itu aku ditanya,
nama lengkapnya siapa? Aku bingunglah, ada nama-nama yang ku kenal, dari Sumi
(penjual jajan di kampungku) dan Sumiati (teman SD ku), lalu kau yang waktu itu
ada di dekatku #eaa #dan kita di “suit-suitin”, memberi tawaran “Sumarto atau
Sumarni?” Gila apa kau ngasi aku nama Sumarto, haha, okelah “Sumarni” nggak
jelek-jelek amat. Mulai saat itu, warga se-Magersaren manggil aku “Sum,
Sumarni”. Next, aku akan menceritakan latar belakang yang pernah aku
imajinasikan dan aku sampaikan dulu: Sum umurnya 29 tahun. Asal Bojonegoro (ini
sih asal ayah aku, haha). Pendidikan SMP. Pekerjaannya tukang cuci, dia punya
tiga anak (melenceng sama Romli yang bilang dua anak, haha). Seingatku itu
dulu.
Sum muncul di babak I, karakter
dia menurutku ngenes. Sejak pertama kali baca dialognya Sum di naskah asli,
gila nih istri, bahasanya vulgar banget, apalagi pas di dialog “Tak jejeg muntu
sisan m*n*kmu”. Si Sum ngomong gini bukan tanpa alasan. Bayangin deh, kamu
punya suami yang sering selingkuh, Sum tahu itu tapi dia pura-pura tak tahu.
Dia sakit nge-diemin si Romli sambil berdoa semoga dia sadar. Namun apa
balasannya? SI ROMLI MENGHAMILI PERAWAN. Disana puncak kemarahan si Sum. Selama
latihan beberapa hari itu, aku belum bisa paham, Sum itu maunya apa sih? Sampai
mas Ilham (asisten sutradara) bilang, “Bayangin, kamu lagi hamil muda dan suamimu
selingkuh sampai membuat selingkuhannya hamil”. Aku denger aja udah saaakiiit
banget, apalagi bayangin aku hamil muda. Bukan lebai atau apa, haha, aku tuh pernah ya, habis latihan tanggal
24 Februari, malam itu nangis di kos gara-gara bayangin jadi si Sum.
Selama pengalaman aku latihan,
hal paling susah itu sebenarnya di emosi. Dan emosi dimulai sejak dari luar
panggung. Tiap latihan harus marah-marah, vokal tinggi, dan teknis-teknis
lainnya itu tantangan banget.
Pernah suatu hari di tengah
kejenuhan, suami Sum si Romli buat gebrakan. Pas Sum minggat dia bilang gini,
“Sayaaangggg, kamu mau kemana?”. What?
Dia manggil apa? “Sayang”, kami pada cekikik’an di luar panggung. Beneran, baru
kali ini ada yang manggil aku sayang (Helloww, bukan elo Is, tuh si Sum, wkwk).
Namun, sebagai pemeran si Sum, Isma merasa tersanjung sekali #gubrak :D
Yang jadi masalah itu sebenarnya
aku yang belum bisa menikmati panggung. Entahlah, di acting terparahku, saat
malam itu (ntah tanggal berapa), pas pertama-tama diiringi musik gamelan.
Kesalahanku masih ku-ingat: aku ngelewatin adegan Marto Krusuk, aku dialognya
kecepetan, lupa dialog, blank, parah. Sampai si Faruqi bilang, “Kamu tuh
tenang, nikmati panggung. Jangan kamu pikirin, kamu kebanyakan mikir, biarlah
apa kata orang”. Dan aku nyurhatin hal ini pas evaluasi. Aku jujur-jujuran.
Nah, pas gladi resik, aku merasa
itu penampilan terbaik yang pernah aku rasakan selama aku jadi Sum. Dimana aku
bisa tenang, bisa nikmati panggung, nggak keburu-buru, dialogku nggak mblibet-mblibet, emosiku pas dan yang
paling penting aku bisa merasakan di situ ada Romli suamiku (suami Sum).
Hingga puncaknya tanggal 21 Maret 2014, tepat
di hari ulang tahun aku yang ke-21, kami pentas. Perasaanku campur aduk. Siang-siang
pas lagi kumpul warga Magersaren gitu, karena mereka tahu aku ulang tahun,
mereka godain aku sama Faruqi. Aku Cuma senyum-senyum doang, nggak salting juga
sih, emang aku nggak ada apa-apa sama dia, haha. Lagian, umurnya tua’an aku
(aku 93, dia 94) -_- aku udah sepakat sama diri sendiri, nyari cowok yang
umurnya di atas aku, haha. Sebenarnya yang bikin aku senang tuh saat Faruqi
ngucapin selamat ulang tahunnya ke aku. Pas senyum-senyum GJ, dia berdiri di
depanku menghadap belakang dan melepas kemejanya. Disana, di kaos warna
putihnya dia nulis kira-kira gini:
“SELAMAT ULANG TAHUN SUMARNI”
Ya Allah, siapa coba yang nggak
tersipu malu. So sweet banget. Kayak terbang ke langit ke-tujuh. Di depan
anak-anak lagi, Faruqi bilang: “Aku udah ngasi ini ke kamu, kamu mau ngasi
apa?”. Anak-anak pada teriak: “Sun… sun.. sun..”. Dalam hati aku bilang:
“apa’an sih??”. Kelakar-kelakar ini jadi kado indah, haha. Karena waktu itu
hari jumat, anak-anak cowok pada jumatan. Dalam hati aku bilang: Makasih Qi, makasih Magersaren.
Malamnya.. saat latihan terakhir.
Eksekusi di depan penonton. Aku sedih banget, motivasiku malam ini entah menguap
kemana. Dari adegan lempar piring yang gak neror.
Sampai aku masuk panggung, padahal cuma ini doang
kesempatan aku, porsiku nggak banyak. DIINGAT atau DILUPAKAN.
“Tenag-tenang… kamu tadi kecepetan.
Kamu yang tenang yaa” kata Faruqi. Makasih
udah buat aku tenang. Dan, aku bisa menikmati peranku lagi di dialogku
terakhir. Saat minggat bawa magic com
dan tas besar sambil bilang: “Duh Gusti, Ya Allaaah, aku ra kuat. Mbah Kawit,
aku pamit”. Si Romli pakai improve dialog segala lagi, “Sumarni sayaaangg kamu
mau kemana? Jangan pergi sayaang, aku janji tak akan selingkuh lagi”. But, it hears romantic in my ear.. :D
Dan pas evaluasi, aku senang
dikritik. Sama Pak Dhe Untung (seorang aktor, seniman, yang pernah
berproses bareng WS Rendra. Meski beliau sudah berumur, tapi semangatnya
keren). Beliau mengkritik intinya: 1) Saat adegan pertengkaran, itu aktor
vokalnya tinggi, kecepatan tinggi, maknanya jadi hilang. 2) Irama kurang
diolah, irama dan pemenggalan sama. Saat tutup mata jenuh. “GERRR” dari
penonton itu bukan berarti sukses, ada unsur lain yang membuat “GERRR”. *dan
esoknya pas evaluasi Cipoa, dapat kritikan lagi* 3) Di Magersari, bertengkar
seperti itu, meski sedikit saja, bisa jadi tawur. Sutradara harus pinter
meng-intrepretasi itu (merujuk pak Munir, aku yang meranin ngrasa “…..”). Dan
kritik-kritik tak terdengar lainnya.
Dan sekarang, saya sudah legowo dengan semua yang terjadi di
panggung. Mungkin juga baru pertama kali yaa, ya, setidaknya saya tahu dimana letak kesalahan saya :) Seperti kata Mas Ilham dulu: Nggak usah disesali, nggak usah ngrasa bersalah :D
Itulah, sedikit pengalaman yang
bisa aku bagikan tentang Sum, Sumarni. Aku juga tidak menyangka, Sumarni itu
nama tantenya mas Zulfan, ada lagi yang bilang nama ibunya Doni (Tivri
“Cipoa”), haha.
Terakhir, aku mengucapkan terima kasih
tak terhingga buat seluruh tim produksi, ntah apa kata yang tepat untuk mengucapkan terima kasih. Rasanya ingin saya katakan pada dunia: "Saya bangga berproses di Sanggar Nuun". Dan secara pribadi aku mengucapkan
terima kasih untuk Mas Aji Duta dan temannya yang udah mau jauh-jauh datang
dari ISI Solo cuma buat menghadiri undanganku di pentas perdana TUK Sanggar
Nuun ini. Terima kasih Mas Aji buat ilmu-ilmunya, masukan-masukannya,
cerita-ceritanya. Malam itu kau bilang: “Jika tidak ada proses, aku malah
sakit”. Rasa-rasanya memang begitu. Selamat berrproses disana yaa, di tempat
yang keren, berharap September nanti aku bisa memenuhi undanganmu :)
Djogja, 31 Maret 2014