Aku telah berusaha sekuat pikiran untuk menyamakan frekuensi otak kita yang jarang bertemu. Juga hatiku yang kadang kupautkan entah di mana dalam bagian tubuh dan rohmu. Di lain sisi, di lain tempat, aku hanya menjadi bayanganmu yang lain. Aku begitu mencontohmu terlalu banyak. Dalam konteks mengasmarai, menjadi duplikat adalah ritus yang sangat menyenangkan. Dari sana aku merasa, aku tak sendiri. Namun, dari sana aku juga merasa menjadi orang yang bodoh. Hanya orang bodoh yang mencontek orang lain. Ya, kebodohan yang menantang. Ah, tidak. Kita tak pernah sama, tak pernah sama.
Desember sebentar lagi patah. 2016 akan menjadi jompo dan mati. Kesedihan dan kegembiraan kemarin hanya menjadi pulasan saja, yang memberi corak buku lukisan hidupku, hidupmu. Kamu semakin tua, aku juga. Salah satu yang kusuka dari kamu, meski kamu tua kamu tak pernah merasa tua. Hidup bagimu hanya seperti permainan yang lucu yang harusnya lebih banyak tertawa (to laugh is to life profoundly, kata Kundera). Kamu sadar cara bermain dan kamu tahu cara berposisi. Aku tak perlu lagi mengkhawatirkanmu menghadapi apapun. Kamu juga tak perlu mengkhawatirkanku. Kita sama-sama bebas dan soliter bukan?
Sekarang, saat semua perlahan pergi... Ada sakit yang sangat pada jaring-jaring persekawanan yang bersama kita ciptakan dengan yang lian. Bersamamu dan bersama mereka. Aku rindu lagi ketika melihat mata kalian yang pagi, suara kalian yang siang, dan keteduhan kalian yang malam yang tiba-tiba tak ada lagi. Jujur, aku shock di hari itu. Mau tumbang aku rasanya, sebentar lagi putus. Lagi-lagi kamu menjadi penyanggaku yang sangat baik. Kamu telah memberiku contoh terlalu banyak bagaimana menjadi seorang ubermensch.
Jika di akhir waktu, aku gagal membuatmu mencintaiku... kamu pergi dan memiliki hidup yang baru. Tak peduli gita kasih Otis Redding I've Been Loving You Too Long... Aku tak menyesal. Aku telah memiliki dirimu dalam diriku.
Jumat, 30 Desember 2016
Minggu, 18 Desember 2016
Apalagi yang Bermakna?
Aku akan jadi perempuan yang sehat, ceria, pintar, dan tumbuh sedikit gemuk. Hidup dari sawah, kebun, kolam, dan peternakan bersama pria yang suka guyon, sabar, dan menyayangi anak-anak, hewan-hewan, tanaman-tanaman dengan tulus.
Rabu, 30 November 2016
“Bangun Perjuangan dan Solidaritas untuk Kedaulatan Rakyat Indonesia”
Lahirnya MEA, Undang-Undang No.1/1967 tentang
Penanaman Modal Asing, Inpres No. 1 tahun 2015 tentang
Percepatan Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Inpres No. 4 tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu
Pintu Pusat di Badan Koordinasi Penanaman Modal, PP 78
tahun 2015 tentang Pengupahan
Buruh, kurikulum KKNI, menjadi sederet bukti bahwa
pemerintah dininabobokan oleh kepentingan korporasi dan digembluk tahi dunia bernama pasar bebas. Modal produksi
diprivatisasi oleh maling-maling besar lewat wajah-wajah kapitalisme yang
beraneka ragam, yang hanya melambungkan
kesejahteraan cukong dalam
pertarungan modal nasional dan internasional. Buntutnya, penggusuran, perampasan, pemiskinan,
penggadaian kekayaan negara berupa
tanah, air, dan udara terjadi oleh tangan-tangan
investor. Yang mana realita ini sangat merugikan dan menindas rakyat.
Titik-titik pembangunan infrastuktur,
meliputi: bandar udara, pelabuhan, perluasan area perkebunan kelapa sawit,
waduk, jalan tol, jalur kereta api, serta puluhan kawasan industri baru dan
kawasan ekonomi khusus tak lain berdampak besar pada sektor agraria. Semua
diarahkan pada industrialisasi yang menyebarkan penyakit ketergantungan. Lebih banyak
mengkonsumsi daripada produksi. Ini tak lain dari dampak masterplan nawacita rezim Jokowi-JK dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)
2015-2019. Kebijakan-kebijakan pembangunan di atas tak diimbangi dengan kebijakan yang pro rakyat. Alih-alih
mengimbangi, negara malah menggunakan kekuatan militer dan hukumnya untuk
memuluskan jalan korporasi dan menindas rakyat kecil. Akibatnya, penggusuran
lahan produktif petani yang terjadi di Kulon Progo, Sukamulya, Langkat, dan
daerah lain menciptakan aksi solidaritas membela tanah dan kedaulatan mereka.
Ketika alat produksi
dirampas dan tanah dikuasai korporasi, rakyat beralih kerja menjadi buruh atau
menuju pekerjaan-pekerjaan lumpen di sektor informal. Di mana penghasilan
mereka hanya cukup untuk hidup subsisten sehari. Semisal di sektor perburuhan
Jogja, UMK buruh hanya naik 8,25%, jauh sesuai dari kebutuhan buruh hari ini. Juga nasib Pedagang Kaki Lima dan nelayan
yang musti berhadapan dengan kebijakan-hukum yang mencekik jaring hidup mereka. Pendidikan yang idealnya
mengkonstruk pemikiran kritis cum pro rakyat,
ironisnya, semakin tinggi pendidikan pejabat malah semakin tercerabut dari akar rumput.
Para intelek pembuat kebijakan, sifatnya hanya sebatas berputar pada
kepentingan pribadi dan golongan, tanpa
‘visi-misi’ yang jelas untuk rakyat.
Ditambah lagi di Generasi Status seperti sekarang,
semakin banyaknya orang yang menderita superhero syndrome. Di
mana setiap orang ingin menjadi artis dan pahlawan yang ingin dipuja-puja, tapi minim konstribusinya untuk hajat
rakyat. Hanya berkesah ketika kalah dan lelah. Semacam menjadi aktor-aktor
fabel dan lintah yang memunggungi rakyat. Maka, ketika eksistensi individualis
dijunjung tinggi, dan buruh serta petani tidak memiliki kawan lagi, maka yang
bertanggung jawab besar akan hidup
para petani, buruh serta kaum marjinal adalah pemuda.
Pemuda merupakan subjek yang memiliki kesadaran bertindak, berjiwa sosial (volkgiest), dan mengubah keadaan. Ia membawa misi kesejahteraan, sebagai kerja
kita bersama. Solidaritas pemuda adalah proses kesadaran dan sikap konsistennya
membela rakyat. Untuk itu, kami para pemuda dari Front Perjuangan Pemuda
Indonesia (FPPI) Yogyakarta, menuntut:
- Pendidikan murah untuk rakyat
- Naikkan upah buruh
- Cabut PP 78 Tahun 2015
- Tolak investasi yang merugikan rakyat
- Cabut UU PMA
- Wujudkan reforma agraria sejati
- Hentikan represifitas aparat terhadap petani Sukamulya (Majalengka) dan Langkat (Sumatera)
Viva, diva, merdeka Rakyat!!!
Tugu Jogja, 28 November
2016
Rabu, 26 Oktober 2016
Ruang Gelap
Usaha untuk lepas dari normatifitas rasanya hanya
membuang-buang energi. Ceramah perubahan menyuruh dari negatif ke positif, dari
jahat ke baik, dari bajingan menuju sholeh rasanya akan mengabadi diserukan.
Bahkan oleh lagu-lagu folk,
sastra-sastra kiri, sampai filsafat kritis sekalipun. Semua harus dimaknai
secara linier pada arah kemajuan, pada sesuatu yang menggugah, meskipun itu
kritik. Semua orang dasarnya hanya memburu terang dan tenang, tak peduli
dia ateis, agamis, anarkis, sosialis, komunis, atau kapitalis. Dimana-mana
orang-orang memburu guna dan manfaat, kembalinya pasti ke kepentingan dirinya
lagi. Hal haram adalah semua hal yang tak berguna, hal yang tak menunjang
kepentingan. Di luar misi kepentingan adalah jalang. Pantas dikebiri,
dipermalukan, diserapah, ditakut-takuti, dikutuk, diinjak-injak, dan di satu
sisi juga mensucikan yang lain. Tai yang sok suci atau aku yang sok antipati yang kehabisan pil penggugah.
Aku tengah bermimpi berada di ruang yang bebas dengan nilai.
Ruang yang bukan serupa manusia. Aku mencari ruang baru itu. Dan, tak ada yang
bisa kutemui di sana, kecuali aku tak tahu apa-apa. Aku lari… lagi-lagi aku
terjebak pada terang. Pada ruh yang dicari orang-orang. Di sana aku pasti
dikucilkan. Mereka tak menerima gelap yang sepertiku. Aku ingin memberontak,
lari, lari, lari…
Hai terang. Benar kataku, anomali hanya quote-quote bullshit. Usaha untuk lepas dari normatifitas hanyalah
kesia-siaan.
Minggu, 16 Oktober 2016
Kasian
kondisi 1:
dihajar disiplin pribadi
dadakan sejak dulu
membuat susah sendiri
serasa sakit mental
di simpang sepuluh
tengah-tengah iya, tengah-tengah tidak
kondisi 2:
tak mau meninggalkan beban yang telah terbuntal
banyak meninggalkan ikhwal-ikhwal sentral
bersulur gemulai wajah-wajah di persimpangan sepuluh
menarik tanggung jawab, seperti menarik hutang
tak selesai dengan diri, itu resep agar tercekik
tidak butuh istirahat panjang
atau liburan
kondisi 3:
dimanakah Keluarga Air tinggal?
bolehkah saya dari Keluarga Api berkunjung?
melawan kecurigaan, ketakutan, kesakitan
mencari merdeka
meski saya harus padam
Jogja, 16 Oktober 2016
dihajar disiplin pribadi
dadakan sejak dulu
membuat susah sendiri
serasa sakit mental
di simpang sepuluh
tengah-tengah iya, tengah-tengah tidak
kondisi 2:
tak mau meninggalkan beban yang telah terbuntal
banyak meninggalkan ikhwal-ikhwal sentral
bersulur gemulai wajah-wajah di persimpangan sepuluh
menarik tanggung jawab, seperti menarik hutang
tak selesai dengan diri, itu resep agar tercekik
tidak butuh istirahat panjang
atau liburan
kondisi 3:
dimanakah Keluarga Air tinggal?
bolehkah saya dari Keluarga Api berkunjung?
melawan kecurigaan, ketakutan, kesakitan
mencari merdeka
meski saya harus padam
Jogja, 16 Oktober 2016
Selasa, 04 Oktober 2016
Hujan dan Hitam
I
Sudah seberapa langkah hujan menemanimu membangun rumah yang
ingin kamu bangun dengan sungguh-sungguh? Kamu ingin menyerah ya? Jangan.
Sebentar lagi reda.
Namun kenapa kau kebacut bunuh diri?
Bukankah aku dan kamu suka hujan?
II
Bolehkah aku menanyakan pertanyaanmu: “Dalam mejikuhibiniu,
di mana kah posisi hitam?” Atau hitam sengaja dihilangkan?
Hei, hitam tak sama dengan gelap, gelap tak sama dengan
malam, malam tak sama dengan hitam. Dalam malam aku masih bisa melihat. Dalam
gelap aku masih mampu mendengar. Dalam hitam tak ada yang kutemui selain,
(mungkin) kedalaman.
Apakah itu berarti mati?
Bukankah kamu dan aku suka hitam?
Jogja, 4 Oktober 2016
Selasa, 27 September 2016
Cerita Tentang Tigapagi
Orang lain mengingat orang lain di luar mereka sesuka
mereka. Pun ketika saya mengingat Tigapagi, saya tidak ingin demikian. Perkenalan
pertama saya dengan grup alternatif asal Bandung ini pada suatu hari (9/2) di
sebuah rumah baca di Solo. Saat itu malam, saya dan kawan saya yang sangat baik hati itu tengah
beristirahat seusai kehujanan sejak siang. Kami berdua sepedahan mengelilingi
beberapa tempat di Solo, malam itu juga gerimis, kawan saya bercerita dan mengenalkan saya dengan
lagu Tigapagi, dia menyetel playlist
Tigapagi dari netbook-nya. Mendengarnya pertama saya langsung tertarik. Ada
campuran nuansa musik etnik-etnik Sunda.
Saat kembali ke Jogja, saya download album Roekmana’s
Repertoire Tigapagi dari You Tube. Saya dengarkan di kos. Usai
mendengarkan, jiwa liar saya yang sesekali (juga) misantropi ini bertanya: “Siapa Tigapagi? Enak sekali dia
memusingkanku dengan lagunya? Memang dia siapa?” Jujur, saya yang selalu
menolak ide-ide kerumunan lebih menyukai musik-musik indie dengan lirik-lirik
berat daripada musik berlirik sekali lupa—yang isinya cuma mengajak orang
galau, baper, egois, individualis. Musik yang merusak kesehatan jiwa, kerajaan
semut yang hidup di bawah tanah pun pasti akan terbahak-bahak menertawakan
lagu-lagu manusia yang seperti itu.
Minggu, 25 September
2016: Malam itu gerimis jatuh satu-satu di pelataran Jogja, hari ini iklim
tengah ababil. Semoga musim tak ikut-ikutan. Pohon-pohon di Jogja banyak yang
ditebang, diganti dengan hotel dan mall-mall. Malam itu saya asyik mencatat di
kos, tak ingin kemana-mana. Namun, kalender di dinding yang angkanya sudah saya
lingkari mengingatkan saya dengan tulisan: Tigapagi
@ PKKH UGM. Pun di papan tulis kecil saya tertulis intinya: bisa main gitar kayak Tigapagi DL 12 Agustus
2016! Dan sampai sekarang saya belum bisa main gitar.
Jam hampir menunjukkan pukul delapan malam, saya hampir
sesak nafas, sebenarnya saya ingin tidak nonton. Kiriman saya menipis, sedang
pengeluaran tak terduga saya akhir-akhir ini membengkak. Beratnya menjadi
mahasiswa miskin, tiket 40 ribu bisa untuk makan sampai empat hari. Ini tanggal tua, kalau uang habis saya
makan apa?
Dan lirik: “…berharap
pada tangan hampa dan kaki telanjang. Mungkin hancur ragaku, namun tanpa buta
hati.” Seperti memberi keyakinan pada saya. Yah, mungkin besok saya akan lapar, tapi setidaknya saya bisa
melihat apa yang menjadi impian saya sejak lama: menonton konser Tigapagi! Saya
putus keraguan saya, ambil sepeda di parkiran kos dan ngontel ke PKKH UGM
gerimis-gerimis sendirian.
Malam itu di sebuah jalan juga saya lihat ada bendera lelayu,
ada orang yang meninggal. Saya ingat lagu Tigapagi feat ERK yang Pasir. Saya pernah di kos ngunci pintu,
terus menyanyikan lagu ini sambil menghayatinya dalam sekali. Saya memutarnya berkali-kali,
dengan lebay saya mengatakan saya berderai-derai…
Pasir, lelah mengukir.
Terukir tersingkir. Pasir… tak terukur…
Mendengar lagu ini saya seolah bisa mengimajinasikan apa itu
samsara. Ketika saya merasa kosong
dan rasanya begitu nikmat. Gie yang pernah menulis: “kita tak pernah menanam
apa-apa, kita tak kehilangan apa-apa” memang benar. Mungkin pesan ini juga yang
coba dibangun dalam lagu Tangan Hampa
Kaki Telanjang (THKT). Saya sering membayangkan manusia itu lebih kecil
dari pasir, lebih kecil dari debu. Manusia tidak ada apa-apanya tapi kemakinya
luar biasa. Juga seperti pasir, tak bisa dihitung banyaknya.. Perlahan tersungkur,
tersingkir..
Sampai di PKKH, saya lalu membeli tiket OTS. Masuk dikasi
tiket dan dicap tangan. Banyak band yang tampil, ada yang tidak asing lainnya
seperti Kelompok Penerbang Roket dari Jakarta. Grup lain yang tampil ada ZZUF,
Talking Coasty, dan Sirati Dharma. Tajuk acara ini Stomp Out Fest UGM, entah
itu agenda apa saya tidak tahu. Panggung yang dihadirkan panitia pun serasa
hitam putih, tak ada semiotika apapun yang bisa saya baca di sana. Identitas yang
mengadakan acara tak sampai di saya. Hiasannya cuma background hitam, itu saja, sudah. Dalam hati mbatin: cuma
sampai sanakah jangkauan seninya? Entah, atau kosepnya memang begitu.
Di sana yang nonton sudah berkumpul banyak. Gedung itu
panggungnya ada tiga level. Level pertama panggung utama, level kedua kosong,
level ketiga buat penonton. Saya agak terganggu dengan penonton-penonton yang
maju di level kedua yang panggungnya kecil dan menghalangi penonton yang
kebanyakan di level ketiga. Saya lalu naik ke lantai dua PKKH. Akhirnya nonton
di atas yang sepi, gelap, dan agak jauh.
Yang saya nanti-nanti hanya Tigapagi. Dan, kegembiraan yang
tak sanggup saya tutupi, senang rasanya ketika pukul sekitar 21:50 mereka
tampil. Akhirnya bisa lihat Sigit Agung Pramudita, Eko Sakti Oktavianto, dan
Prima Dian Febrianto di panggung secara langsung, juga lima personil tambahan
lainya di biola, violin, bass, flute,
sampai kayaknya ada juga yang bawa kecapi Sunda. Sigit dengan rambutnya yang
dikuncir setengah ke belakang, Eko yang main gitar sambil kaki kirinya ditaruh
di atas lutut—sangat santai, juga Ewo dengan kacamatanya, pakaian mereka
sama-sama hitam. Mereka konser sambil duduk, sangat elegan. Mata langsung
segar. Apalagi saat dinyanyikan lagu pertama THKT. Mencoba merasakan. Saya yang hampir selalu dihantui akan
makna dan kesan sering bertanya: bagaimana mengukur suatu “kedalaman”? Suatu
yang dalam seni rasa disepakati sebagai sesuatu yang sublim?
Ini lagu-lagu yang Tigapagi nyanyikan:
Ini lagu-lagu yang Tigapagi nyanyikan:
- Tangan Hampa Kaki Telanjang (everlasting…)
- Batu Tua (lagu favorit saya, selalu merasa autentik kalau dengar lagu ini)
- Alang-Alang (rampas semuanya, rampas bedebah!)
- Sembojan (buat ibu-ibu yang berjuang mempertahankan tanah di Kulonprogo kata Sigit, #sweet)
- Tertidur (kosong)
- The Way (“busy, busy, busy, we’re just too busy”)
Sekarang ini, masa yang isinya
hanya pengagungan diri tanpa ada fungsi dan kontribusi apa-apa untuk dunia,
Tigapagi seperti oasis tersendiri. Ada satu garis yang sama setiap kali saya
melihat penyanyi-penyanyi favorit saya berada di depan panggung: menunduk
dalam, semakin dalam, dan semakin dalam. Mata konsentrasi penuh. Entah darimana
koreo itu tercipta.
Terakhir, saya ingin menyampaikan
kegelisahan seorang kawan saya mengenai lagu-lagu folk indie alternatif sekarang, kalau
diperhatikan beberapa kelompok karyanya banyak yang sama. Entah “kesamaan” dari
segi lirik sampai nada. Semoga, Tigapagi tak pernah sama. Elemen musik sekecil apapun
sampai kata arbiter sekata apapun akan memberi sentuhan berbeda. Terus
berkarya ya! Tetap menjadi jingga meski
lelah kau mencoba…
Jumat, 26 Agustus 2016
On Naked Loo
On Naked Loo
as a refugee, nothing the wail place except in loo
my awe bust be a bow
no monsoon, no treachery, no fog, no distress
except the totem that out from your body
or your bastard filth abated by
water
and your garbage syringes disgust
wish, wash, and you will be clean
Jogja, 26 August 2016
--
A Bowl Rue
street saving election agony
ripple and hovering in the air
into your home, include your fate
temptatation swells in your nap
amulet copes deftly, lauds humanity
the crude intention utters on captivity
exhilarate by fist
intimate the grin chill, walks awkward
human rake their own malice
who that didn’t to care own self?
Jogja, 26 August 2016
--
The Bullet Flee
“tranquil dear…” said the whore to her son
her stomach more big like basin back on her cloth
her womb ration the vormit, her thigh be nut in river town
she waits a man as ash to fill her dish
in this city, streets trying suicide, abduct the whore’s
attention
dark trying blaspheme to interest the god’s attention
“how long?” cried the whore
city still lives
Jogja, 26 August 2016
--
Fornlorn Lane
can you hear the torrent howl?
I wandered around the wheel everyday
a moment
I saw canine breed maracle
her rioutous barked the havoc
saw puppy hurling the clamour
retaliation in starve
can you feel the hungry?
as a witness the duty recurrent
government just give us sheer remain
despite you toss recurrent
just rehearse on feast
then, can God give you all?
people said: everything acquired from Him
He brings joyus
All soveregnty
I am hesistant
He also brings agony, foul, doom
─[just little excerpt, much more]
further goverment
demolition the gait lane
we are their heir
Jogja, 26 August 2016
Jumat, 01 Juli 2016
Alen
GUYUR hujan
mengenai genteng-genteng berwarna coklat. Hujan masih deras. Saya masih
sendirian menggigil di pinggir jalan menanti angkot yang hendak mengantar saya
ke kampus. Dengan gigi gemeletuk, saya
ingat Bapa di Wamena pernah bilang bangunan dan pohon-pohon hanya mandi ketika
hujan. Bapa juga pernah bercerita tentang kesetiaan halilintar yang tak pernah
mendahului kilat.
Angkot
warna abu-abu melintas, saya naik. Angkot hari itu lumayan penuh, hanya tersisa
satu tempat duduk di pojok. Saya duduk di sana berdekatan dengan seorang
perempuan berkulit putih yang dari penampilannya mirip iklan handbody di TV. Perempuan itu nampak tak
nyaman di dekat saya. Ia mengambil tissue dalam tas dan menutup hidungnya.
Kejadian ini sudah sering saya alami semenjak kedatangann saya di Yogyakarta
sebulan yang lalu. Saat sampai di sini tiga kos-kosan menolak saya. Bahkan di
beberapa tempat, jika mereka melihat manusia keriting dan berkulit hitam,
mereka akan menghindar. Padahal saya tak pernah mengganggu mereka.
Beberapa
menit kemudian dua orang yang duduk berhadapan dengan saya melakukan hal serupa
perempuan putih itu, dengan tangan dan lengan bajunya. Lalu saya membaui diri
saya sendiri, tak ada yang salah dengan bau saya. Saya pun hanya menunduk sambil
memegang rambut gimbal saya yang sengaja saya potong cepak.
Sampai
di kelas, saya sering memilih duduk paling depan. Saya sudah janji pada Bapa
akan jadi anak pintar dan pulang membangun sekolah di Papua. Saya ingin
buktikan kalau tong tidak bodoh, tidak dungu. Di dekat saya duduk teman saya
dari Bantul namaya Salistya, tapi saya panggil dia Sali. Dia kawan saya yang tak
cerewet, tak seperti teman sekelas saya yang lain. Saya suka karena Sali baik,
suka membantu saya, dan mau satu kelompok sama saya. Di antara banyak orang
Jawa yang sering milih-milih dalam kerja kelompok. Yang pintar dengan yang
pintar, yang putih sama yang putih.
Di
kelas, saya satu-satunya manusia dari ras Melanesia. Ras yang memanjang dari
Maluku sampai samudra pasifik bagian barat. Saya satu-satunya yang hitam. Dan siang
ini saya senang, dosen Sejarah saya mirip Bapa di Wamena, nama dia Pak Samono.
Tapi saya sedih ketika Pak Samono tak ramah pada saya. Saat itu di kelas saya
bertanya pada Pak Sam:
“Bapa
Sam, sa pu[1] daerah di Wamena. Di
Papua kami tak butuh teori muluk-muluk Bapa. Merdeka dalam kehidupan
sehari-hari bagi kitorang ialah Mama bebas menjual hasil pekarangan dan Papa
bebas menangkap ikan. Bagi Bapa yang di Jawa bagaimana ei?” tanya saya.
“Pemuda,
kau belajar Bahasa Indonesia yang benar dulu, baru kau ngomong!” Jawab Pak Sam
kasar. Lalu, teman saya yang duduk di belakang saya dari Jawa menirukan kata-kata
saya dengan logat yang saya punya dan seluruh kelas tertawa.
BULAN
kikuk di luar. Tadi siang adalah hari pertamaku mengajar sebagai dosen, setelah
minggu yang lalu aku membiarkan kelas kosong. Serasa mengunyah lagi kenangan
masa silam, aku begitu menggigil ketika di kelasku ada anak timur itu. Sudah
ingin kulipat rapat-rapat kenangan yang silam, ia membongkar lagi lemari yang
berdebu itu. Kenangan di tempat itu dan semua kompleksitas tentangnya. Wajahnya
begitu mirip. Dendamku membuka, aku begitu takut, tapi aku juga begitu marah.
Aku sering ingin menangis sendiri.
Aku
berharap ayah sudah terbaring tenang. Ayahku seorang nasionalis yang dengan
segenap hatinya menjaga tanah airnya sendiri. Ayahku yang nasionalismenya lebih
kuat dari Soekarno. Namun, ayah menjadi korban saat perang pemekaran Provinsi
Irian Jaya Tengah di Timika tahun 2003 silam. Kejadian itu begitu menyakitkan
untukku. Mereka melakukan upacara bakar batu seratus kali pun tak akan
menghapus lokus menyakitkan yang berbaris tertib di ingatan. Kejam, mendendam.
Ayah
seorang intelejen. Waktu umurku enam tahun, aku sekeluarga dari Surabaya datang
ke Sorong. Kami hidup di sana selama lima tahun. Ayah bekerja secara
sembunyi-sembunyi laiknya orang biasa, yang paling biasa. Ia pergi ke
sudut-sudut Papua yang jauh dari Sorong. Ayah memegang kuat apa yang diajarkan
atasan: gagal dicaci maki, mati tak ada yang mencari. Setiap pulang yang ayah lakukan
katanya riset, paginya melakukan apa yang menjadi catatannya semalam di buku
kecil. Tak pulang berbulan-bulan. Kerap ayah berpesan: No, Samono, arek sinau sing sregep.
Saat
dewasa, aku mulai paham apa yang dilakukan ayah. Aku juga sadar sepenuhnya
politik sparatis yang terjadi di Papua tak hanya sekedar soal badut-badut
Jakarta yang melakukan kekerasan struktural, tapi juga soal grand design AS, Inggris, Australia,
Belanda, dan negara-negara NATO untuk menguasai Papua. Bangsat-bangsat itu
melalui intelejennya melakukan operasi yang taktis, diplomatis, dan tertutup
menguasai bumi emas itu.
Aku
masih merasakan benar politik adu domba itu dengan mempolarisasi
konflik-konflik Papua bersama ayah. Tindakan sparatis diruncingkan menjadi
konflik sipil VS TNI. Penangkapan dan pembunuhan elite OPM dihiperbola sebagai
tindakan represif pemerintah.
Semakin
jelas ketika aku membaca sebuah wacana ada 1500-an LSM dari Amerika Latin memberi
dukungan Papua merdeka. Terlebih bangsat Melanesian Spherical Groove (MSG) yang
benar-benar meracun Indonesia dalam suksesi pemisahan Papua dari Indonesia.
Mereka mengumbar isu ras dimana orang-orang Papua mulai punah di tanah airnya
sendiri. Dengan menghiperbola isu HIV/AIDS, para transmigran, dan lainnya.
Saat
aku melanjutkan S3 di Amerika di sekitar tahun 2000-an USA membuat Rancangan
Undang-undang tentang Foreign Relation Authorized Act (FRAA) yang di sana
mengatur khusus tentang Papua yang nantinya digunakan sebagai landasan USA
megintervensi kedaulatan Papua dari NKRI. Dan Freeport termasuk antek-anteknya.
Ah,
Alen, hidupmu Nak. Bapak tadi tak bermaksud kasar padamu. Bapak janji esok hari
bapak akan mendidikmu jadi orang cerdas, melatihmu jadi pemimpin, dan
mengembangkan semua bakatmu. Bukan karena bapak hendak menolongmu, tidak Nak,
menolong hanya satu irama dengan kasihan. Tapi karena bapak manusia, sama
sepertimu.
BERSAMA
Alen aku belajar menyemarakkan kata-kata baik. Aku tak habis pikir dengan jalan
pikiran Alen, tuan cendrawasih itu. Masih kuingat, Alen beberapa kali mengajakku
ke padang ilalang dekat Bel Rusak (Belakang Rumah Sakit), bersama menikmati
kemegahan waktu. Di sana, Alen sering membuatkanku rok sedengkul dari ilalang.
“Sali
ini sali,” kata Alen dengan suara bass-nya selalu menyebut namaku dua kali
setelah membuat rok ilalang tersebut. Hanya dia yang memanggilku Sali, mirip
nama orang modern, Sally. Padahal sejak orok, emakku memanggil Salis. Aku
menjawab dengan suara tenorku, “terima kasih.” Ya, hanya dua kata itu. Aku tak
mau banyak bicara. Bagiku bicara itu cukup seperlunya.
Di
setiap perjumpaan kita, selalu yang banyak bicara adalah Alen. Dia yang mengisi
kediamanku. Alen sering bercerita padaku di kampungnya sana ia tinggal di rumah
yang tingginya satu setengah kali tinggi rata-rata orang Indonesia. Atapnya
seperti mangkuk kebalik berwarna coklat tua dari jerami/ilalang. Pintunya hanya
satu, alasnya rumput, dan setiap malam yang menerangi sedikit api unggun di
tengah-tengah.
Kotanya
dikelilingi puncak-puncak besar, dari Puncak Trikora, lalu Puncak Jaya, Puncak
Yamin, dan Puncak Mandala. Bahkan kadang sering terjadi hujan es. Len, hujan es itu seperti apa? Aku
membayangkan dalam hati.
“Rumah
itu kitorang kasi nama hanoi untuk
papa, ebei untuk mama, dan wamai untuk babi,” Alen menjelaskan. Mendengar
babi aku merinding, agamaku melarang memakannya. Dalam bayanganku babi itu
lucu, seperti di boneka-boneka imporan China yang tak sanggup aku beli di
etalase-etalase.
Di
tanggal 29 Februari, Alen bercerita tentang peperangan di Papua. Lalu suara
bass-nya tiba-tiba bertambah berat. Aku dapat merasa jika dia sedang sedih.
Setahun menjalin hubungan persahabatan tanpa status, aku mulai menghafal
bagaimana dia berjalan, bagaimana dia bahagia, bagaimana dia berduka.
“Sali,
aku hendak pergi.” Aku terkejut.
Menjawab
dengan lemah. “Ko hendak kemana Len?”
“Kemanapun
Sali, yang alamnya liar.”
Sejenak
kita saling diam. Badanku menggigil, kosong. Dendrit di tubuhku tiba-tiba
lemas. Kami terdiam agak lama, aku mencoba mengurai arti liar yang ia
maksudkan. Bodohku pun kumat, aku pun mengalihkan suasana dengan meletuskan
pertanyaan-pertanyaan yang mengganggguku tentang orang Papua.
“Len,
aku sering dengar di Papua sana sering perang. Benarkah?”
“Satu
pembunuhan di satu suku, bisa mengakibatkan 100 kematian lain. Hingga kedua
korban dari suku yang bertikai seimbang. Sali, di Jawa tenang ya?” Aku
mengangguk. Tak seperti yang kau pikirkan, Len.
“Sali,
sa akan ajak Sali ke Danau Sentani
nanti,” katanya dengan mata berkaca-kaca senja saga itu. Ia menatapku, mata
bintangnya berdenyar seperti hendak menangis, aku tak kuasa beradu pandang
dengan matanya. Butir linangan pun menggelinding di pipinya, kurasakan beban
berat yang menggelayut yang bagiku begitu gelap. Esoknya ia pulang ke Papua, dan
setelah kalimat terakhirnya itu, aku tak menjumpainya lagi.
Hujan
yang jatuh di pucuk-pucuk ilalang telah berhenti dan menyisakan gerimis yang
gripis. Len, aku berkunjung lagi ke taman kita seperti biasa. Berharap kau di
sini dan ingin kusandarkan kepalaku yang lelah di bahumu. Aku diam dan kau
menceritaiku lagi tentang apapun. Biarkan aku bahagia di tamanmu bersama
sosokmu yang membatu. Di sini sepuluh tahun sudah aku menantimu tiap sore di
Bel Rusak: Len, ko kemana ei? []
NB: [1] Sa pu = Saya punya.
Isma Swastiningrum,
mahasiswi Fisika angkatan 2013, UIN Jogja. Pernah bercita-cita jadi guru di Papua.
Post Script: Cerpen ini pertama diterbitkan di Slilit Arena Edisi April 2016. Saya post ulang untuk kepentingan dokumentasi.
Langganan:
Postingan (Atom)