Jumat, 25 Juli 2025

Catatan Film "Perfect Days" (2023)

Hirayama dan keponakannya bersepeda

Hirayama membersihkan toilet
Hirayama merenung sebelum tidur
Hirayama membaca buku (sangat suka scene ini)
Hirayama mengobrolkan soal bayangan

"Sekarang ya sekarang. Nanti ya nanti." Begitu kira-kira motto singkat terkait hidup yang serba keras dan seperti kata Rony Parulian, "Tak Ada Ujungnya". Aku mendapat rekomendasi menonton film ini dari Arwani. Warlok Blambangan, Jawa Timur itu juga sudah menulis resensi dan komentarnya terkait film dengan baik di blognya: "Film Perfect Day; Tentang Karakter Dalam Menjalani Hidup". Di tulisannya ini, Arwani menulis terkait pentingnya menjalani hidup dengan martabat dan antusiasme yang hadir dari dalam diri sendiri, serta tidak mengharapkan sesuatu yang tak perlu. Martin Suryajawa juga telah mengulas film ini di akun YouTube-nya. Martin menekankan pada pentingnya hidup "mawas", tanpa terlibat dalam "kerumitan yang tidak perlu". Aku belajar tentang "seni tidak terganggu" dalam film imi. Setiap tindakan adalah meditasi.

Alur yang dipilih Wim Wenders sederhana: Tokoh utamanya Hirayama bangun pagi, gosok gigi, merawat tanaman, minum kopi dari mesin minuman, naik mobil kecilnya, bekerja di toilet-toilet umum Tokyo, mandi di air panas umum, makan di kedai langganan, ke laudry, menyetel kaset, baca buku, dan tidur. Seperti halnya Sisifus, pengulangan hidup hari demi hari yang begitu-begitu saja. Semua orang tentu mengalaminya dengan cara masing-masing. Namun, Hirayama ini punya selera yang seperti orang punya "privelege" hidup. Musik-musik dan buku-buku pilihannya top notch, boleh dibilang edgy; meski memungkinkan, tapi aku tak begitu yakin di dunia nyata ada yang seperti itu. Kalau ada, liniaritas antara pekerjaan sebagai penjaga toilet, serta hobi untuk orang-orang yang punya privilege sangatlah jarang.

Keunikan film ini bahkan tidak terletak pada aspek menggelegarnya, tapi di kesederhanaan dan kesahajaannya. Saat dunia sibuk dengan pencapaian dan pencapaian, film ini mau bilang nikmati hidup dengan sungguh-sungguh, sesederhana apa pun peran yang kau emban. Hal berikutnya yang menarik untuk kurefleksikan:

  • Aku suka dengan bagaimana Hirayama menikmati setiap moment hidupnya yang monoton. Seperti lagu Nina Simone yang autentik itu, atau lagu-lagu The Velvet Underground, The Animals, Otis Redding, Rolling Stones, Lou Reed, disetel di mobil saat menyetir dan di kamar saat berbaring dengan chill. Dia juga hidup di masanya, seolah tak berkewajiban untuk mengikuti perkembangan musik terbaru yang anyar tiap harinya.
  • Aku juga suka saat Hirayama datang ke toko buku, memilih buku satu per satu tidak langsung breg dan impulsif seperti yang sering kulakukan. Seolah dia milih dengan pemikiran, jika aku cuma punya waktu hidup sehari, buku apa yang sebaiknya butuh kubaca? Sementara, penjaga toko bukunya juga keren, karena bisa memberi komentar penuis A, B, C sekaligus menyebut kelebihan mereka. Ada penulis yang bisa memakai kata sehari-hari menjadi tampak istimewa. Ada penulis yang underrated dibanding penulis mainstream lainnya tapi punya kualitas yang lebih baik. Kamu juga bisa mengulik bacaaan Hirayama seperti William Faulkner (dengan novel "The Wild Palms"), Aya Koda (dengan buku "Tree(s)"), dan Patricia Highsmith (dengan novel "Eleven").
  • Aku suka pula dengan cara Hirayama membersihkan kamarnya dengan ketelitian yang menarik. Namun, yang lebih penting, bagaimana dia membersihkan toilet-toilet umum yang barangkali sarang penyakit itu. Toh, pekerja anak muda yang menjadi koleganya tak menganggap pekerjaan pembersih toilet sebagai pekerjaan yang berharga hingga pemuda itu asal-asalan saja. Namun, Hirayama berbeda. Dia bahkan punya mobil berisi peralatan kebersihannya sendiri, dari tisu, sapu, alat pel. Dia juga berangkat sejak dari subuh bahkan sebelum matahari menyembut. Dia bahkan juga pakai kaca spion kecil untuk menjangkau sudut-sudut WC yang tak terlihat mata. Bagiku, ini sebuah dedikasi yang sangat berharga.
  • Aku juga suka dengan kebiasaan Hirayama pergi ke taman. Ini mengingatkanku dengan kebiasaanku pergi ke taman-taman di Jakarta, atau pergi ke Embung Langensari di Jogja. Yang kulakukan biasanya hanya menikmati waktu, melihat awan, pohon, dan orang-orang yang memancing. Bagiku itu sudah rekreasi yang purna dan murah meriah. Dulu aku juga punya kodak, tapi sayangnya sudah kujual pas aku butuh uang di Semarang. Melihat film ini, aku jadi ingin punya kodak lagi untuk memotret hal-hal yang menarik di sekitar tempatku hidup. Yang penting pula, Hirayama tak terobsesi memotret segala hal. Objek potretnya spesifik, cahaya matahari di antara pepohonan. Bukan hal humanis terkait manusia yang lebih kompleks. Menurutku ini pilihan yang aman di tengah karakternya yang sangat introvert itu. Oh, satu lagi, dia tak menyimpan semua foto itu. Namun, dia mengkurasinya! Menyimpan yang baik, dan merobek yang tidak baik. Aku merasa, setiap hari aku juga memotret lewat hapeku, tapi tak pernah mengkurasinya hingga menumpuk dan tak tahu akan kuapakan.
  • Aku suka pula dengan kegiatan keseharian seperti menggosok gigi, cukur janggut, memotong kumis yang memanjang, jadi kegiatan yang sangat estetik jika dinikmati. Meskipun ada simbol-simbol yang aku kurang mengerti, seperti adegan pengamen atau seniman teater yang menari-nari di tengah taman, atau di ruang publik ketika Hirayama bekerja. Keanehan lain, bagaimana Hirayama bersedia meladeni teka-teki lewat kertas sebuah permainan SOS dengan stranger yang entah siapa.
  • Aku tertatarik dengan ide yang seolah menjadikan toilet sebagai "tempat suci". Sudah dikenal luas, bagaimana arsitektur toilet umum di Jepang memang sangat baik. Salah satu toilet yang disorot adalah yang ada di Yoyogi Fukamachi Mini Park dan Haru-no-Ogawa Community Park dengan arsitekturnya yang transparan, tapi tetap mengedapankan privasi dan fungsi. Toilet publik ini didesain oleh arsitek Shigeru Ban, yang juga memenangkan penghargaan atas desainnya toilet publiknya itu.
  • Relasi Hirayama denan manusia sebenarnya sangat dingin, tapi menunjukkan penghormatan akan manusia yang lain. Bisa dilihat dari hubungannya dengan keponakan (Niko), ibu Niko atau adiknya, dengan ayahnya yang di panti, dengan Aya dan pacarnya, atau hubungan percintaannya yang samar dengan seorang pemilik kedai makan/minum. Juga bagaimana dia membangun komunikasi dengan mantan suami perempuan yang disukainya melalui permainan bayang-bayang. 
  • Tentang bayangkan, ya, tak diragukan lagi, di scene terakhir film "Perfect Days", kita diajak untuk merenung jika kalau bayangannya bertumpukan, kita tak bisa berpikir atau mengambil keputusan dengan jernih. Pemainan saling menginjak bayangan ini juga menarik karena manusia sebenarnya sering bergulat dengan bayangannya sendiri alih-alih bergulat dengan bayangan orang lain. 
Secara keseluruhan, film ini bagiku merupakan pengamatan yang puitis akan hidup sehari-hari. Di tengah hidup yang bising, tentu film ini bisa jadi oasis. Jika dalam novel "Momo" karya Michael Ende, aku belajar untuk adu pelan; di film "Perfect Days", aku belajar untuk menikmati hal-hal monoton. Tak heran juga jika aktor yang memainkan Hirayama memenangkan Best Actor di Festival Film Cannes 2023, karena ekspresi halusnya yang hening dan menggetarkan. Di Jepang, menikmati ketidaksempurnaan dan kefanaan ini dikenal sebagai budaya wabi-sabi. Hirayama punya karakter yang kuat untuk hidup sederhana, misterius, tak mengeluh di tengah hiruk pikuk Tokyo, dan dia hidup seolah seperti biksu di konteksnya sendiri.

Judul: Perfect Days | Sutradara: Wim Wenders | Tanggal rilis: 25 Mei 2023 | Genre: Drama, Fiksi | Durasi: 2 jam 5 menit | Skenario: Wim Wenders, Takuma Takasaki | Pemain: Koji Yakusho (Hirayama), Arisa Nakano (Niko), Aoi Yamada (Aya), Sayuri Ishikawa (Mama) | Sinematografer: Franz Lustig | Penyunting: Toni Froschhammer | Perusahaan produksi: Master Mind Limited, Spoon Inc., Wenders Images  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar