Tahun 2022 jadi penanda setahun lebih saya hidup di Jakarta.
Setahun ini saya menjalani nuansa hidup “
jet life” karena hampir tiap
bulan ada saja kota, pulau, dan daerah baru di Indonesia yang saya kunjungi.
Tahun ini jika diibaratkan roda, hidup saya seperti ada di puncak. Saya katakan
di puncak karena jika teman-teman membaca LPJ hidup saya di tahun
2019,
2020,
dan
2021, seperti lebih banyak sedihnya. Tapi bukankah orang lebih tertarik
membaca kesedihan dibandingkan kebahagiaan? Sebab kesedihan terasa lebih
realistis dibandingkan kebahagiaan.
Sepanjang tahun 2022 kondisi finansial saya stabil bahkan
bisa dikatakan surplus. Ini prestasi yang patut disyukuri karena saya sudah
sering ada dalam posisi defisit dan dire in money. Tapi yang lebih
penting dibanding ini, saya lebih bisa menikmati pekerjaan, ketemu circle baru
yang membuat saya naik kelas, lebih bisa kontrol psikologi kalau lagi down, dan
saya menyukai Jakarta sebagaimana saya mencintai Jogja.
|
A Jet Life
|
Mungkin ini jawaban atas ketekunan dan kesabaran saya, haha,
karena saya sadar bukan berasal dari orangtua dengan ekonomi berada, lulusan
universitas
top three, atau memiliki
privilege fisik yang mudah
diminati orang. Yang bisa saya perjuangkan adalah karakter dan nilai (
value)
diri saya, dan itu yang akan saya kembangkan sebaik yang saya bisa. Tujuannya,
selain untuk mengapresiasi diri, saya juga ingin keberadaan saya bermanfaat
bagi orang-orang di sekeliling saya.
Sebenarnya tahun 2022 bukanlah tahun yang baik-baik amat
karena banyak berita dan hal sedih yang saya alami. Pertengahan tahun dari Jakarta
saya terpaksa pulang ke kampung di Cepu, Blora, Jawa Tengah untuk nengok Ibu
yang dirawat di rumah sakit. Ibu kena stroke, sebelah tubuhnya sulit digerakkan.
Kurang lebih tiga hari saya jaga ibu dan nengok rumah yang rasanya sudah
seperti gubug derita. Rumah itu sebenarnya bukan rumah keluarga kami, tapi
rumah nenek dan kakek dari pihak ibu. Orangtua saya hanya meneruskan, dan Bapak
dengan kreativitasnya mencoba menghias rumah itu dengan hobi seninya.
|
Lantai kotor, atap mau ambrol
|
Saya pikir, rumah yang keluarga saya tinggali bukanlah rumah
yang bisa dikatakan layak karena bangunannya tua, kayunya sudah banyak yang
lapuk, gentengnya sudah banyak yang bocor, lantainya dialasi keramik yang kotor
dan pecah-pecah, udaranya yang tidak sehat, serta sanitasinya yang masih
memakai WC cubluk dan aliran airnya yang mampet. Saya jadi bisa menganalisis,
kenapa barang-barang di rumah saya cepat rusak, entah itu lemari, meja, kursi,
kulkas, karena memang lingkungannya yang tak mendukung. Atau barang-barang itu
tak betah ada di rumah. Saya berniat untuk membangunnya lagi, entah kapan.
Kesedihan lainnya banyak mendengar kabar beberapa saudara dari
pihak Bapak dan Ibu meninggal. Atau di tahun ini juga ada kawan baik pas kuliah
meninggal. Namun ada juga kabar menggembirakan, seperti tahun ini adik terakhir
saya bisa lanjut kuliah di jurusan Hubungan Internasional UPN Surabaya. Ya,
setidaknya saya menyimpan harapan pada adik saya ini untuk mengangkat harkat
orangtua saya. Jika nanti saya tidak bisa, saya ingin adik saya bisa. Dua adik
saya lainnya juga semoga semakin sejahtera dan terkabul cita-cita yang
diinginkan.
Kadang saya merasa dan mempertanyakan diri sendiri, apakah
saya kakak yang cukup baik untuk adik-adik saya? Tak tahu apa jawabannya, tapi
saya akan terus berdoa untuk jadi manusia baik.
Pulau-Pulau dan Konser-Konser Baru
Keuntungan take for granted yang saya dapat dari
profesi saya sebagai Staf Jurnalistik Hubungan Masyarakat (Humas) Kementerian
Dalam Negeri (Kemendagri) adalah saya bisa kerja sambil jalan-jalan ke berbagai
daerah di seluruh Indonesia sampai daerah-daerah terpencil. Selama setahun ini
saya pernah dinas ke: Merauke (Papua), Padang (Sumatra Barat), Mamuju (Sulawesi
Barat) dan Makassar, Sumedang (Jawa Barat), dan Cirebon (Jawa Barat), kalau
terakhir ini ke nikahan Muja-Novi sama teman-teman kantor, haha. Atau ke saya
juga ke kota-kota lain atas inisiatif sendiri, seperti ke Bandung dan Bogor
lumayan sering buat refreshing. Sama ada tujuan juga sih, terakhir ke
Bandung saat acara mengenang kepergian Pak Mukti-Mukti, saya menulis lumayan
panjang tentang beliau di web Serunai.
|
Humas Puspen Kemendagri
|
Hal menarik selama berkunjung ke tempat di luar Pulau Jawa,
saya suka menikmati moment melamun dan termenung di atas pesawat dekat jendela.
Gak tahu, rasanya tenang dan adem aja. Saya kek merasa itu di atas awan,
melihat awan kayak kapas putih terbang kian kemari membuat jiwa saya bahagia.
Di setiap daerah itu saya punya cerita-ceritanya
masing-masing yang saya buat di tulisan tersendiri. Salah satu doa yang sering
saya sebut saat masih sekolah adalah, “Ya Allah, suatu hari nanti saya ingin ke
Papua.” Saya tak menyangka doa itu akan terkabul. Akhirnya saya ke tanahnya
Denias, Senandung di Atas Awan. Saya pernah kepikiran buat jadi guru di Papua
seperti Pak Maleo di film Denias. Apakah cita-cita itu masih ada? Kalau masih sih
masih, tapi komitmennya itu yang saya tak yakin. Bayangan saya ke depan lebih
akan jadi peneliti dan penulis yang seperti scholar-scholar yang
karyanya saya kumpulkan dari Sci-Hub.
|
Senja di Merauke
|
|
Senja di Mamuju
|
|
Di perbatasan Papua Nugini
|
Selama kerja di Kemendagri juga bisa effortless bertemu
dengan banyak menteri dan orang-orang Eselon I di era Jokowi secara langsung. Yang
menarik menurut pengamatan saya, mereka juga manusia biasa sama kek kita. Yang
membedakan cuma perannya saja beda-beda. Mereka juga bisa dibilang lebih
pintar, disiplin, solutif, agak baper beberapa, talkactive, dan selalu
tampil moderat. Selebihnya sama, makan, minum, tidur, nafas, dan buat
kebijakan-kebijakan. Sebenarnya banyak kritik juga, tapi makin ke sini itu saya
makin punya kesadaran baru terkait kerja-kerja pemerintah yang ternyata gak
gampang. Gila sih ini, dan gak ada negara yang bisa mengakomodir semua
kebutuhan warga negaranya. Sebab itu gerakan subversif ada, jika dijembatani
pun tetap kompleks. Sudahlah ya, biar diurus Pak Tito Karnavian dan yang
berwenang saja. Saya sekarang kalau gak tahu tentang isu tertentu lebih milih
diam.
|
Padang
|
|
Bandung |
|
Bogor |
|
Pantai Manakarra
|
|
Telaga Biru Cicerem, Kuningan
|
Tahun ini juga saya banyak nonton konser. Jakarta memberi
saya kesempatan untuk bertemu dengan musisi ibu kota dan anak kota. Usai pandemi
menurun drastis, konser banyak digelar di mana-mana. Rasanya senang bisa nyanyi
bersama band-band dan penyanyi yang dulu cuma bisa saya lihat dari TV. Setahun
ini saya punya kesempatan buat nonton: The Adams, Pure Saturday, Silampukau, Efek
Rumah Kaca (ERK), D’Masiv, The Changcuters, RAN, Maliq & D'Essentials, Kuntoaji,
Hivi!, Kahitna, Barasuara, Ardhito, apa lagi ya... Ya itulah yang saya ingat. Setahun
ini juga sebenarnya saya lebih banyak dengerin lagu Mandarin. Gak paham artinya,
tapi suka aja.
|
Maliq & D'Essentials
|
|
The Adams
|
Keluarga Besar Remotivi
Tanggal 29 Mei 2022 pukul 10.48 WIB lalu, Mas Geger Riyanto DM
Instagram saya bilang, “Isma, tertarik buat tulis di Remotivi? Bentuk
tulisannya semacam review isu dan konsep”. Ditawari guru dan penulis/peneliti panutan
saya ini, saya gak mikir panjang langsung menyanggupi. Setelah menulis dua tulisan, saya ditawari untuk bergabung menjadi penulisnya Remotivi.
Saat itu ada wawancara Zoom dengan Direktur Remotivi Mas Yovantra Arief atau
Mas Yoyon yang juga vokalisnya Astroneko.
Kalau dihitung-hitung, sudah ada setengah tahun lebih saya bergabung
dengan Remotivi. Ada beberapa tulisan yang berhasil saya selesaikan. Belum
begitu banyak, tapi saya berharap bisa memberikan perspektif baru dan kritis bagi
dunia permediaan di Indonesia.
|
Depan kantor Remotivi
|
Oiya, tanggal 27-29 Desember 2022 lalu Remotivi gelar rapat
kerja (Raker) akhir tahun. Diadakan di Kantor Remotivi yang baru di daerah
Kebayoran Lama. Satu kantor sama Pantau dan Project Multatuli. Setelah puluhan
purnama tak bertemu Mas Geger, seneng banget rasanya bisa ketemu Mas Geger
lagi. Dengan tulus saya ingin bilang selamat buat Mas Geger atas gelar Ph.D atau
doktoralnya di Universitas Heidelberg Jerman.
Duh, rasanya kok pengen nangis ya (duh lemah, iya, maaf),
ingat Mas Geger jadi ingat kawan-kawan Prakerti. Kawah candradimuka saya. Bagaimanapun
saya ingin mencatat, Mas Geger adalah salah satu sosok yang penting dalam hidup
saya yang mengubah hidup dan jalan pikiran saya. Dari Mas Geger saya belajar bagaimana
menjadi penulis, akademisi, dan peneliti.
MAKASIH MAS GEGER!!!!
Dalam raker itu saya juga bertemu dengan kawan-kawan
Remotivi yang lain: Mas Yoyon, Mas Heychael, Mbak Bhena, Mbak Wintang, Mbak
Sae, Mbak Gendhis, Mbak Mia, Surya, Abel, Mas Ilham, Mas Rafi, Mbak Yuni, Mas
Pram, Mas Rangga... (semoga tak ada nama yang terlewat). Senang bisa
berkenalan dengan kawan-kawan semua. Saya pikir, Mas Yoyon itu galak, dingin, kaku,
serius, ternyata pas ketemu orangnya lucu. Bahkan sempat ngobrol bagaimana daerah
Cepu dengan percakapan yang bikin ngakak. Yah, sepertinya saya harus belajar
tidak menilai orang dari casing saja, wkwk. Pokoknya....
MAKASIH
MAS YOYON DAN REMOTIVI!
Persetan Cinta-Cintaan!
Tahun ini bab “cinta” jujur paling buat saya lelah. Di mulai
di awal tahun, kedekatan saya dengan laki-laki asal Banjarnegara sudah berakhir.
Laki-laki yang ngajarin saya artinya duit, artinya investasi, artinya nabung,
artinya ngirit juga (meski saya sadar kepribadian saya bakal susah kalau
diminta sehemat dia). Kedekatan ini berakhir semenjak saya sudah tinggal di Jakarta.
Terus entah bulan apa, dia unggah status di WA dan IG sama pacar
barunya. Ya sudah, moga langgeng sampai kalian nikah. Bahagia dunia-akhirat. Dari
pria ini saya belajar: Punyailah dana darurat. Siapkan aset untuk masa depan. Hidup
Bank Indonesia! (Eh, terakhir gak ikutan).
Laki-laki lainnya, sekitar tiga bulan kali ya dekat sama
laki-laki berinisial R lulusan Manajemen UI (kalau gak salah, saya agak-agak
lupa karena dia pernah sekolah di Malaysia dan tinggal di US juga). Pinter sih anaknya.
Yah, kami banyak cerita tentang diri masing-masing. Tapi dasarnya dia memang
menjadikan saya sebagai opsi, saya pun juga demikian, akhirnya gak lanjut. Juga karena dia terlalu
sibuk dengan kerjaan dan otomotif dan dunia mobil-mobilan yang saya buta, ya
sudah, biarkan saja. Meski saya merasa dekat dengan mamanya, ya sudahlah. Moga
dia juga nemu perempuan lain yang benar-benar dia cari dan sesuai sama kriteria
dia. Dari pria ini saya belajar: Sebagai perempuan, saya harus menempuh pendidikan
setinggi-tingginya. Kalau bisa sampai luar negeri. Perempuan harus pintar biar
anaknya pintar.
Dekat juga tiga hari sama laki-laki berinisial R dari
Cimahi lulusan Sastra Jepang Unpad. Saya ngomong dekat karena selama tiga hari
itu dari malam ketemu pagi kami teleponan ngomong ngalor ngidul banyak banget
terkait ini-itu. Termasuk genius sebenarnya anaknya. Kalau saya analisis
sendiri, lagi-lagi saya gak pede di fisik, melihat foto mantan-mantan dia di medsos
(iya, saya stalking medsosnya, anak INTJ hasrat keponya melebihi intel
BIN) yang kek cewek-cewek Korea, apalah saya yang hanya remahan krupuk ketoprak.
Terus, gak baik juga kalau saya teruskan karena engagement dia ke almarhumah
tunangannya besar banget. Belum bisa lupain. Bisa sih sebenarnya saya tahan,
tapi akhirnya dianya yang pergi sendiri. Ya sudah, no no no, saya gak
akan ngejar atau nahan—meski saya sudah ada rasa, biarlah hilang sendiri. Dari
pria ini saya belajar dari statement dia: Daripada saya ngegalauin kamu, ya kamu lah yang
ngegalauin saya. Atau: Daripada saya lihat atau baca karya orang, ya mending
saya buat karya sendiri.
Terus pernah dekat lagi sama laki-laki sekitaran sebulan,
anak Jakarta, lulusan Universitas Atmaja Jakarta (pamer almamater gak sih ini?
Ya sudah terlanjur. Intinya mau kasih background ke orang aja sih). Agak
rock and roll hidup orang ini mah. Namanya kalau di Indonesiakan artinya
Yesus Kecil, ya, dia orang Katolik (untuk sekian kalinya saya dekat sama cowok
beragama Katolik). Sama anak ini juga kami banyak ngobrol, dan merasa nyambung
karena karakternya sama dengan saya, kek tanpa harapan dan ekspektasi apa-apa aja gitu
sama hidup. Obrolan yang saya ingat, kami pernah bahas kehidupan kelas-kelas
menengah atas Jakarta. Dia cerita mantan-mantan dan teman-teman dia juga yang Chinese-Chinese,
gaya hidupnya kek gimana. Dari dia saya belajar: Guilty pressure itu gak
baik buat jiwa kamu. Untuk hal-hal yang benar-benar kamu nikmati, berpestalah! Lalu,
depresi itu wajar dan bisa dialami oleh siapa aja, yang penting kamu masih
tetap gerak dan usaha, gak usah pakai banyak otak.
|
Suatu hari di Galnas
|
Laki-laki Katolik berikutnya yang saya pernah dekat
berinisial K. Kami pernah sekali main ke Galeri Nasional dan Museum. Masnya ini
Chinese, kami beda usia lima/enam tahun apa ya. Lupa, wkwk. Dia asli Bandung,
pernah kuliah setahun di DKV ITB terus berhenti karena milih nglanjutin
sekolahnya di Tiongkok sampai magister. Dia cerita kehidupan dia saat di China.
Ada hal penting dari pertemuan dengan Mas K ini, dia juga salah satu pria
dewasa yang saya kenal. Dia bilang, dia milih perempuan karena tiga nilai: Bagaimana
perempuan itu memandang keluarga? Bagaimana perempuan itu memandang agama/Tuhan?
Bagaimana perlakukan perempuan itu terhadap uang? Saya kira tiga ini cukup
merangkum nilai-nilai saya juga. Kami masih berteman, dia juga tadi WA saya dan
saya senang dengan doanya:
“Happy New Year Isma! May this year bring health, new happiness,
opportunities, achievements, and a lot of new inspirations for your life.” /(Aammiiiin,
makasi yaaa)/
Sama ada sih cowok yang dekat cuma sekilas-sekilas saja.
Terus hilang. Terus ada lagi satu cowok, kami ketemu pas di Jogja, dia berasal
dari Indonesia bagian Timur sana, di Jakarta kita ketemu lagi dan beberapa kali
jalan bersama. Kalau dia baca ini ya semoga dia ngerti. Saya ingin bilang kalau
bersama dia rasa insecure saya gak nambah, saya merasa aman dan nyaman,
saya bisa cerita banyak (hanya dengan orang-orang tertentu saja saya bisa
ekspresif), dan hobinya tak jauh dengan hobi saya. Pernah suatu hari saya bilang
suka, untuk tes ombak saja sih, ternyata jawabannya diplomatis, gak nolak, gak
juga nerima. Ya sudah, mempertegas? No, No, No. Kita sudah sama-sama
dewasa, sudah sama-sama berumur, kalau memang gak yakin, ya sudah, itu
jawabannya. Haram bagi saya clingy dan needy sama orang, sesuka
apa pun ke dia, itu bukan karakter saya banget.
Begitu rangkuman kisah percintaan saya setahun ini. Gak
terlalu bisa dibanggain sih, tapi saya punya value saya sendiri terkait relationship.
Kalau dihitung-hitung, I am officially stoned, sepanjang saya hidup,
saya tiga kali pernah ngomong suka duluan sama cowok dan ketiganya saya
ditolak. Usai penolakan yang ketiga kali, saya janji ke diri saya sendiri, saya
tak akan bilang suka lagi secara lebih dulu ke siapa pun cowok di kemudian hari.
Saya kira, tiga tahunan ini saya juga sudah belajar banyak terkait karakter
laki-laki, mana yang benar-benar suka, mana yang benar-benar main-main. Mana
yang serius, mana yang brengsek. Saya mengambil kesimpulan: Kalau laki-laki
yang saya incar gak bisa melihat diri saya, berarti memang dia tak cukup baik untuk
saya. Dan jika laki-laki yang saya suka pure mandang saya karena penampilan
fisik dan material, berarti dia bukan orang yang layak buat saya perjuangkan.
Dan, jika usahanya itu gak setara dengan usaha saya, sudah, lupakan saja atau
anggap angin lalu. Cinta butuh keseimbangan antara dua pihak, kalau gak ada,
lebih baik hidup sendiri.
Kursus di English First (EF)
Sekitar akhir bulan Agustus 2022 lalu, karena tertarik
dengan salah satu iklan di Instagram, saya datang ke tempat kursus Bahasa
Inggris bernama English First (EF). Kalau boleh jujur, pertama masuk EF, biaya
kursus di sini mahal. Setidaknya, setiap bulan saya harus menyisihkan sekitar 33
persen dari gaji untuk mengikuti kursus ini. Ya, sepertiga gaji habis untuk kursus
saja. Tapi saya tak menyesal, EF memberi lebih dari dan di luar ekspektasi
saya. Bukan saya promo atau mengajak kalian buat ikut les di EF, ini murni
bicara pengalaman kursus saja.
Di tulisan ini saya ingin berterima kasih pada Bertil Eric
Hult, pendiri EF, bersama tim yang sudah menciptakan sistem pendidikan Bahasa Inggris
sefleksibel, seasyik, dan senyaman ini. Slogan EF “opening the world through education” memang
jadi pegangan banget. (EF harusnya kasih insentif ke saya ini atau
naikkin Vipoint saya biar dapat goody bag atau mug cantik, hahaha).
|
EF Core Values
|
Oke, saya cerita dari awal, waktu itu siang-siang, sekitar
pukul 12 dan cuaca sedang cerah-cerahnya... Saya datang ke salah satu mall
elite (bisa dibilang paling elite dari 170an mall) di Jakarta, letaknya di depan HI pas, tempat
brand-brand macam Dior, Chanel, Gucci, Celine, Coach, Louis Vuitton, Tiffany
and Co., Alexander McQueen, dan
whatever lah itu (saya juga tak begitu
peduli, yang saya pedulikan cuma Periplus, toko buku
basa enggres di
lantai dasar yang lapaknya cuma seuprit itu) nangkring. Saya juga tahu diri,
harga tas yang satu bijinya seharga dengan mobil atau paling murah seharga iPhone
14 Pro Max itu gak akan mampu atau mau saya beli. Kecuali saya diangkat jadi
mantunya Budi Hartono, Anthoni Salim, atau Chairul Tanjung; gak gak gak, ini
gak mungkin, kemungkinannya sekecil frekuensi kura-kura bawah laut nyembur ke
atas buat narik nafas, kemudian kura-kura itu dapatin mahkota emas dari langit.
Tokailah! Amsyong.
Kembali ke laptop, waktu itu saya ke cabang EF yang
ada di Jalan Thamrin, di Plaza Tower. Awal ada placement test nih. Saya
ditempatkan di sebuah ruangan yang batasnya kaca, ya, antar ruangan itu cuma
dikasi kaca tembus padang, elegan, mirip ruangan-ruangan orang kaya. Btw, saya
pernah baca, ciri-ciri rumah orang kaya itu banyak jendelanya atau paling nggak
banyak kacanya, kalau dipikir-pikir make sense juga sih. Di ruangan itu
saya bisa melihat ketimpangan eh pemandangan Jakarta dari lantai 22. Indah sih,
kek lu lihat maket atau diorama bangunan-bangunan pas lagi pergi ke museum.
Pas ngerjain soal-soal sih saya ngrasanya pede-pede aja. Jawabnya
atas dasar “keknya bener ini deh”, mirip soal-soal yang pernah saya
coba secara online dari British Council, mostly reading and
listening. Kamu tahu saya dapat di kelas apa? Wkwk, saya terlalu kepedean
kalau Bahasa Inggris saya sejauh ini cukup bagus, dan taraaaaa... cuma baru di
level Beginner (A1) paling dasar cuk! Ngakak. Ini tuh setara dengan orang yang
awam banget sama Bahasa Inggris. Secupu itu level saya, padal sudah mati-matian
belajar bahasa Inggris lewat baca jurnal dan itu gak cukup. Ya sudah, barangkali
baru segitu level saya.
|
Love |
Habis
placement test, diterangin tuh sistem belajar,
tingkat kebahasaan, jenis-jenis kelas, sampai yang paling deg-degan pas bicara
harga. Setelah tahu harganya segitu, "ya, segitu," ada pertentangan dalam diri:
Isma 1: Kamu beneran Is mau ikut les
ini?
Isma 2: Iya bener, aku pengen
bisa Bahasa Inggris dengan lancar.
Isma 1: Sumpah? Ini mahal, seharga
lu bisa beli motor Nmax.
Isma 2: Napa bawa-bawa motor,
Nyet? Kan udah ada itu motor tua kamu.
Isma 1: Ya kagak, buat
perbandingan.
Isma 2: Tapi ini penting buat
masa depan aku!
Isma 1: Ya udah deh Nyet, serah kamu.
Aku cuma bisa ngingetin.
Akhirnya, Isma yang ada di sisi pro yang menang. Setelah
menjalani kelas demi kelas. Rasanya saya kayak nemuin harta karun yang selama
ini benar-benar saya cari di Jakarta: guru-guru yang buat saya semangat belajar
dan memperbaiki diri, teman-teman yang asyiknya seasyik slogan Revolusi Prancis
(liberte, egalite, fraternite), dan tempat belajar yang cozy abis!
|
Queen of East Journey
|
Jadi jadwal belajar di EF sangat fleksibel, saya belum nemu jenis
kelas dan sekolah yang bisa fleksibel kek di EF. Per level kita diberi 18 kupon
untuk masing-masing program kelas dari Life Club, Face to Face, dan Workshop. Waktu
belajarnya fleksibel, bisa
cancel kelas sejam sebelum kelas dimulai
tanpa kita kehilangan kupon. Ini yang buat EF gak ganggu waktu kerja utama sama
sekali. Cabang EF di Jakarta sebagian besar di mal-mal, dari Plaza Indonesia,
Kuningan City (KC), Mall Taman Anggrek (MTA), FX Sudirman, Mall of Indonesia (MOI),
dan lain-lain. Kalau bosen di satu center, bisa belajar di center lain. Meski saya
seringnya di kandang sendiri sih, haha, di Plaza Tower, “Twenty Second Floor,”
kalau kata
sound Mbak-Mbak dalam lift. Pernah coba di paling jauh di MOI
Jakarta Utara, Kelapa Gading, tapi nyasar dan macet.
|
Such a wonderful class
|
Ada lagi General Club tapi
online,
teacher-nya
dari seluruh negara di dunia dan pesertanya juga dari seluruh dunia yang
tergabung di EF. Jadi kadang pas ikut kelas terjadi perbedaan waktu, misal saya
ambil kelas pagi, tapi waktu di tempat
teacher dan siswa lain bisa jadi malam
atau siang. Terus ada lagi
private class gitu, kita empat mata sama
teacher
buat bahas topik tertentu. Dari sini saya kek dapat banyak guru dan teman,
misal dari Brazil, Jepang, Arab Saudi, Italia, Rusia, Afrika Selatan, UK, US,
sampai ada tuh yang dari Kepulauan Karibia. Dan tiap negara pesertanya punya aksen
Inggris mereka sendiri-sendiri. Yang paling seru dari kelas ini bisa kenal
budaya-budaya negara lain melalui cerita-cerita yang mereka sampaikan.
Di EF juga, prestasi dan capaian belajarnya tergantung diri
sendiri. Mau lu rajin atau lu males, terserah elu. Saya merasa juga, saya cukup
berprestasi di EF, level A1 yang harusnya ditempuh secara wajar selama 4 bulan, bisa saya
tempuh 2 bulan. Waktu itu kenaikkan level diuji sama PVA, semacam assessment
gitu, penguji saya kalau tidak salah saat itu dari Hongkong. Terus saya ketemu
teman-teman baru yang loveable. Kita beda umur, beda kerjaan, beda daerah,
beda status, beda pendapat, beda pendapatan, beda banyak hal, tapi kalau udah ada
di kelas EF semuanya jadi kek menyatu aja gitu.
|
Food Club
|
|
Madhang adalah kunci
|
Di EF gak ada sekat, semua mau saling belajar. Mungkin
sekatnya kalau sekelas sama anak yang levelnya beda, kek ngerasa terintimidasi aja,
“Brengsek, Inggris dia bagus banget sih! Gue juga mau lah kek dia!” Jadi
positif saja gitu kompetisinya. Tapi pernah juga sih saya sekali satu kelompok
sama anak yang sok banget, ya, belagu kek dia paling bisa dan memandang seolah
yang lainnya bodoh gitu juga pernah. Cuma sekali sih ini. Jadi di bahasa tubuh
dia tuh kek mau bilang: I don’t encounter a stupid one.
Sama teman-teman di EF rasanya senang bisa masak bareng,
berwisata bareng, berolahraga bareng, berdiskusi bareng, dan bertukar pikiran
bareng. Di EF lebih banyak praktek daripada teori, dan kita diajarkan untuk
pede makai Bahasa Inggris serta gak takut buat salah. Yang paling dilatih di
sini adalah speaking, tiap kelas selalu ada kerja kelompok, dan saya
pikir kelas di EF tepat untuk melatih orang seperti saya yang tak suka ngomong
untuk ngomong. Selain itu skill kerjasama dan berpikir kreatif juga
diasah. Saya merasa pas saja dengan EF. Kalau di kursus lain tiap elemennya itu
beda, kek speaking kelas sendiri, writing kelas sendiri, listening
kelas sendiri, sampai grammar kelas sendiri, di EF gak ada sistem
kek gitu. Semua nyatu.
Di EF, rasanya senang banget bisa kenal sama Tory, Windha,
Fachrul, Sandi, Abi, Ariq, Valen, Tasya, Bintang, Farhan, Fauzan, Saras, Vira,
Voza, Lugas, Dina, Grace, Kak Desy, Kak Wiwin, Kak Noel, Kak Ardhy, dan semua
teman-teman EF yang tak bisa saya sebut satu per satu. Too many guys.... Seringnya
kenal wajah tapi lupa nama.
Berikutnya adalah guru. EF The Plaza punya tiga guru utama,
Miss Rina, Q-Man, dan Chris. Ketiganya kalau ngajar punya cara dan gaya
sendiri. Ketiganya bawa pencerahan dan pemahaman. Miss Rina yang lembut, manis,
tapi tegas. Q-Man atau nama aslinya Klinsman, ini guru favorit saya di seluruh
EF, nanti saya ceritakan setelah ini. Chris, guru yang berasal dari Inggris,
bule asli. Agak deg-degan diajar Chris, sosoknya agak mengintimidasi, misal di
kelas dia tiba-tiba nunjuk muridnya, terus dia gak nerima jawaban gak bisa;
salah atau bener harus jawab, agar siswa mau mencoba. Guru lainnya di luar The
Plaza yang pengen saya ucapkan terima kasih adalah Angky si musisi kamar (loph
his style!), Christin yang kek princess outfitnya (seriusan), sama teacher
di KC tapi saya lupa namanya.
|
Thanks Teacher!
|
Q-Man kenapa jadi favorit? Pertama, Q-Man ngajarnya asyik
dan tiap diajar dia saya selalu paham. Dua, Q-Man ngenalin saya sama Jay Chou
dengan lagu-lagu Mandarinnya yang badas-badas, saya jadi kek nemu dunia baru.
Ketiga, Q-Man membuat saya bisa tersedot sama dunia-dunianya, kek dia suka
Dinosaurus, saya jadi ikut-ikutan suka Dinosaurus juga (saya pertegas, saya
mudah dipengaruhi oleh orang yang passionnya menyatu sama diri orang itu,
menurut saya, orang yang punya passion-passion unik itu nambah cakepnya). Keempat,
Q-Man suka nulis di blog, dan tulisan Q-Man menginspirasi saya. Kelima, diajar
Q-Man suasana hati saya jadi
happy saja, sesimpel itu sih. Intinya,
Q-Man panutanku lah.
Thanks, Q-Man!
Akhir-akhir ini saya juga mikir, EF mungkin adalah balas
dendam saya karena sejak SD, SMP, SMA, orangtua tak pernah memberi saya les-les
sebagaimana teman-teman kelas yang lain ikut les. Saya sadar memang status
kelas ekonomi memberikan prestasi yang berbeda untuk pencapaian-pencapaian
kawan-kawan saat kuliah. Saya jujur saat itu iri misal ada kawan yang ikut les.
EF mengajari saya, les tak sekadar soal akademik saja, tapi juga soal koneksi, circle,
dan skill-skill lain dalam hidup yang gak bisa kamu dapat hanya dari
sekolah.
Penutup
Saya mau nutup LPJ tahun ini sama lagunya Jay Chou yang
judulnya Sunny Day (晴天).
故事的小黄花
Gùshì de xiǎo huánghuā
The spring flower of the story
Cerita dibalik bunga kuning
从出生那年就飘着
Cóng chūshēng nà nián jiù piāozhe
Floats from that year when it was
born
Sudah mengapung dari tahun saat
lahir
童年的荡秋千
Tóngnián de dàng qiūqiān
The swing in the childhood
Ayunan di masa kanak-kanak
随记忆一直晃到现在
Suí jìyì yīzhí huǎng dào xiànzài
Has been swinging with my
memories until now
Telah berayun dengan kenanganku
sampai sekarang
.....................
Setahun ini juga teman-teman seperbayaan sudah menempuh
milestone-nya sendiri-sendiri. Anis sudah punya anak, Muja sudah nikah, Wulan, Laila, dan Mas Robi juga sudah menikah, keponakan saya Alif sudah tumbuh besar dengan cepat,
kabar apalagi ya yang penting.... Oiya, dapat teman-teman baru juga di Kongsi 8
Jatinegara, bisa jalan-jalan di pasar barang-barang unik di sana bareng Icha
(Hairembulan), belajar bikin zine dan belajar nggambar. Di beberapa kali
kesempatan juga masih bisa bertemu dengan ibu-ibu Paduan Suara Dialita di
Goethe Institute. Masih punya kesempatan ngedit buku Bu Magda dari Pocer dan
Tanda Baca terkait ibu-ibu 65. Seneng bisa merasakan pengalaman-pengalaman
bertumbuh bersama ini. Pencapaian lainnya bisa review jurnal ilmiah di akun
@ideporaksis sebanyak 18 postingan, dikit yak, wkwk. Yah, moga tahun depan bisa
meningkat.
|
Paduan Suara Dialita
|
|
Kongsi 8
|
Ke depan, saya punya rencana akan
belajar bahasa baru lagi. Saya gak peduli mau bahasa apa, Bahasa Jerman kek,
Bahasa Jepang kek, Bahasa Mandarin kek, atau Bahasa Kalbu sekalian gak papa.
Saya sedang ada di titik semangat-semangatnya belajar bahasa. Bahasa jadi
bidang eskapisme buat saya dalam menjalani rutinitas yang
so-so begitu lah.
Niatnya juga murni untuk senang-senang,
healing, dan
set free.
Untuk tahun 2022 ini sangat
bersyukur pada Allah SWT karena doa di tahun lalu dalam rangka menjadi diri
yang stabil, sedikit-sedikit sudah menunjukkan jalannya. Refleksi saya di tahun
ini: Jangan lupain ibadah ke Tuhan apa pun yang terjadi. Sebagaimana janji
surat Al-Fatihah yang dibaca empat kali tiap kali salat, salat membuat saya
berada di jalan yang lurus.
Doa saya di tahun 2023:
- Semoga bisa banyak nabung buat bangun rumah dengan
jasa arsitek, paling enggak kekumpul seperempatnya. Rumahnya pengen banyak jendela/kacanya
biar kek orang-orang kaya, eh enggak, biar semilir gak ngabisin banyak listrik
dan terang walaupun mati lampu pas malam.
- Nglanjutin sekolah Magister, paling enggak sudah ada
gambaran ancang-ancang biar tahun 2024 sudah bisa cus! Oh ya, Ya Allah, beri
Isma beasiswa yang cukup besar biar bisa beli banyak buku, eh enggak, biar bisa
bikin riset macam-macam tanpa mikirin uang. Dikira beli barang doang yang gak
usah lihat banderol harga, riset juga!
- Pengen nulis buku sendiri, yang dijual di toko buku,
dan dibaca orang yang gak saya kenal. Bukan karena nama saya ingin dikenal,
bukan, itu terlalu dangkal buat saya (ealah), tapi biar bisa meneruskan
nilai-nilai kehidupan universal yang lebih baik.
- Lebih cepat (sat-set) dalam bekerja.
- Lebih disiplin, berlapang dada, tulus, ikhlas, dan
produktif berkarya lagi.
Terakhir, saya berdoa ingin
menjadi orang yang lebih laut dan langit. Lebih dekat dengan Tuhan saya, orangtua
saya, keluarga saya, dan kawan-kawan baik saya. Terima kasih untuk tahun 2022
ini. Keep on doing what you love!
Petojo Enclek XI, 31 Desember
2022-1 Januari 2023