Senin, 07 April 2025

Mencintai Seperti Catatan Kaki

Semua boleh goyah dan berubah, tapi hatiku masih stuck di kamu. Kau serupa mata air yang gak habis-habisnya kutimba, lagi, lagi, dan lagi. Kau tak hanya memberiku hidup, tapi juga cinta, inspirasi, poros, semesta. Mungkin aku terlalu memaksakan diri (meski tahu ukuran sepatu kita tak pernah sama), mungkin aku terlalu keras kepala (lebih dari batu), mungkin aku kekanak-kanakkan (yang memaksa mainan kesukaan tertentu meski tak mampu dimiliki). 

Tak ada yang menyentuh hatiku sedalam itu, serupa kamu. Aku telah pada taraf yang ekstrem kadang, menjadikanmu sebagai kompas hidup. Jika kau tak ada, apalah arah hidupku nanti. Aku menyerah, aku gagal, aku gagal melepaskan diriku padamu. Membebaskan pengaruhmu dari diriku. Sering kan kubilang: Jika kau adalah kitab, aku hanya serupa catatan kakimu saja, dan aku tak mau meminta lebih. Catatan kaki bisa dibaca, tapi lebih sering tak dibaca. Begitu pula aku di hidupmu.

Tiba-tiba aku curiga, Isma yang sekarang adalah manusia rakitan yang otak dan kepribadiannya dibentuk, diciptakan, dan sengaja atau tidak dirawat olehmu. Berbagai prestasi dan lejitan inovasi yang kubuat semata-mata seolah bersumber dari semangat yang sama: "wujud cinta yang kurasakan padamu." Itu kenapa, pondasi dirimu sudah mengakar, dan seandainya aku pohon, maka akar yang menguatkanku, membuatku tegak berdiri adalah kamu. Sebab mencermati hidupku sebelum bertemu kamu, aku hanya serupa anak sekolah pada umumnya, pretasi pas-pasan, masuk ke kelas sekadar masuk, ya, tak seberat setelah aku mengenalmu. Aku seperti ketiban tanggung jawab untuk tidak cuma mengurus diriku sendiri. Ah, brengsek kamu! Menjadi rumusanmu "Einstein+(Marx×Pram)=Isma" itu jadi jihad yang kuperjuangkan karena kamu yang mengatakannya dan aku mengamininya.

Di Jakarta aku telah melalui banyak musim, tapi aku merasa di sana terlalu lama dan tak melakukan apa-apa. Di Jakarta rasanya seperti menikmati ice cream, makanan/minuman yang tak kusuka-suka amat, tapi diminati orang banyak; dalam hatiku sendiri, serupa ice cream, tak memberiku gizi. Menurutku, tak ada yang bisa menggantikan masa panjang itu, masa masih hidup di universitas bersamamu. Aku mengenang masa-masa di mana aku bisa membuat tulisan yang sangat sentimentil dan emosional, membuatkan puisi-puisi yang kukirim ke emailmu dan tak pernah kau balas, membuatkanmu novel-novel yang kupersembahkan padamu meski tak tertulis, dan setelah kita sama-sama keluar dari Jogja, aku seperti Michael yang kehilangan Hanna di film The Reader (2008).

Aku menonton film The Reader kemarin, dengan kedalaman yang sangat berbeda njomplangnya. Film ini memang bukan untuk semua orang, hanya penonton yang punya derita batin serupa yang bisa terhubung. Jika pertama kali aku menonton film ini merasa jijik dan menganggap film ini sampah dengan skor 1/10; kemarin aku berani declare, ini film drama terbaik yang pernah kutonton dengan skor 9/10. Film ini bagiku bukan sekadar film, tapi lompatan paradigma personalku membaca yang di luar diriku. Rasionalisasinya, ketika aku pertama kali menontonnya, aku terjebak dalam stereotip adegan affair-nya saja yang waktu itu terasa plastis, permukaan, dan murahan. 

Menontonnya ulang aku mengumpat, anjir, Michael (David Kross) dan Hanna (Kate Winslet) di sini akting mereka perfect! Kate Winslet mendapatkan piala Oscar pertamanya karena film ini, dan di pidatonya yang sebentar, dia bilang mimpi mendapatkan piala Oscar telah dia manifestasikan saat kecil di kamar mandi, dengan wadah sampo sebagai pialanya. Tiap detik, Kate dan David menjiwainya, dan aku bisa paham dengan pilihan dan keputusan yang diambil para tokoh-tokohnya (meski aku tak bisa sepakat dengan semuanya). Muatan dilema moral, filsafat, etika, hukum, sejarah, sastra, guilty pleasure, dll, ini problem yang sangat manusia, dengan pertanyaan besar: Bisakah cinta dilepaskan dari sejarah? Dalam konteks ini Nazi dan Jerman.

Bagaimana perempuan seusia Hanna yang berumur 36 tahun menjalin hubungan intim dengan bocah 15 tahun yang mirip seperti anaknya. Aku paham bagaimana Michael di usia segitu sedang menggebu-gebu dengan darah mudanya, ego usia muda yang besar; sementara Hanna yang illeterate, tak bisa membaca dan menulis, nyaris tak memikirkan hubungan jangka panjang. Sebab dia serupa perempuan kesepian umumnya yang terbiasa menderita dan tak ingin menambah beban ke diri sendiri. Michael yang dipanggilnya "Kid" itu hanya oase sebentarnya saja yang kasual, setelah itu kembali ke kenyataan hidup yang membosankan di Jerman setelah Perang Dunia II.

Keduanya juga berasal dari kelas ekonomi yang berbeda dan relasi kuasa yang berbeda. Michael dari anak orang kaya yang etiketnya dijaga sampai di ranah meja makan, Hanna dari kelas pekeja, petugas karcis di trem, serta tinggal sendirian di apartemen murah dan miskin pinggiran Jerman. Bagian yang paling kusuka di film ini saat Michael mengajak Hanna sepedahan di sebuah daerah yang ada di novel sastra klasik yang dia bacakan kepada Hanna. Michael mengajak Hanna makan, tapi dia bingung saat melihat menu makan, dia tak bisa memilih karena tak bisa membaca. Apalagi di sampingnya ada banyak anak-anak yang tertawa-tawa sambil memilih menu. Bisa kau rasakan bagaimana psikologi Hanna kala itu? Scene itu membuatku terenyuh. 

Bagian yang membuatku menangis: saat Michael bertemu Hanna lagi di persidangan. Di mana persidangan ini barangkali serupa yang digambarkan Hannah Arendt dalam bukunya "Eichman in Jerusalem". Bagaimana Hanna yang illeterate itu dicerca habis-habisan, sampai dia mengakui kesalahan yang sebenarnya tak murni kesalahannya. Juga karena dia malu dianggap tak bisa membaca dan menulis. Kesalahan yang andai dia akui bisa meringankan hukumannya di penjara. Scene ini juga menyimbolkan bagaimana genosida yang terjadi di Auschwitz gagal dibaca oleh aktor-aktor yang terlibat di dalamnya, termasuk negara dan oknum-oknumnya. Aku ikut menangis bersama Michael saat keputusan penjara seumur hidup kepada Hanna diputuskan, itu perasaan perih yang purna, saat kau tak bisa melakukan pembelaan apa pun terhadap orang yang kau cintai karena ada perasaan bersalah dan perasaan yang belum selesai. 

Kau tahu hal lucu lainnya apa? Michael kuliah di Heidelberg Law School, dan tadi pagi Heidelberg menolakku. Sekitar sebulan yang lalu, mengikuti jejak akademikus Geger Riyanto, aku daftar Master di jurusan Sosial Antropologi Universitas Heidelberg. Aku buat surat motivasinya sebaik mungkin, meski akhirnya aku gagal di administrasi, karena mereka menganggap dokumen yang kuunggah tak sesuai ketentuan mereka. Aku mendapat pengumuman lewat bahasa Jerman dan Inggris, dan rasanya begitu, mak jleb, kenapa bisa sekoinsiden ini dengan Heidelberg? Tempat kuliahnya Hannah Arendt itu, juga di film The Reader, Michael masuk kelas eksklusif dari hanya beberapa mahasiswa terpilih oleh profesornya. Bagian itu seperti melecutku dengan halus, aku ingin juga menjadi yang terbaik. 

Metanarasi lainnya, kisah Michael dan Hanna tentang dua orang yang berbeda umur yang jauh (si anak 16 tahun dan si perempuan 31 tahun), kurasakan pula di lagu Und es war Sommer yang dinyanyikan Peter Maffay. Ingat lagu ini, niatku belajar bahasa Jerman jadi naik, haha. Kembali, inti perasaan di film The Reader: aku menangis saat Michael tak berani menemui Hanna ketika dipenjara. Aku menangis saat Michael memutuskan untuk merekam suaranya ke dalam kaset, membacakan novel-novel klasik seperti Odyssie karya Homer, Petualangan Tintin karya Georges Prosper Remi, Petualangan Huckleberry Finn karya Mark Twain, The Lady with the Dog karya Anton Chekov, Intrigue and Love karya Friedrich Schiller, War and Peace karya Leo Tolstoy, juga buku-buku lain dalam versi novel "The Reader" karya Bernhard Schlink, seperti Franz Kafka, Thomas Mann, Goethe. 

Aku menangis saat Hanna belajar membaca dan menulis. Aku menangis saat Michael edisi tua punya satu anak bernama Julia dan pernikahannya yang gagal, lalu bertemu Hanna lagi di bangsal sosial. Keduanya punya harapan yang berbeda, Hanna sangat semangat, dan Michael seperti lempeng mungkin karena kelelahan hidup akan cinta yang dirasakannya ke Hanna. Sampai puncaknya, Hanna memilih untuk bunuh diri (padahal sebelumnya Michael telah mempersiapkan rumah kecil untuk Hanna di masa sepuhnya); aku tak tahu alasan kuatnya, tapi itu scene yang membuatku ingin menangis keras. Aku bisa merasakan betapa hancurnya hati Michael, tapi di saat yang sama, aku bisa memahami keputusan Hanna. Kadang dunia memiliki selera humor yang gelap dan kejam seperti ini.

Aku ingin kembali ke pembahasan kita, film ini sangat sesak di dada. Aku membayangkan, barangkali aku serupa Michael, yang sejauh apa pun aku pergi, bertemu dengan sebanyak apa pun orang, aku kesulitan konek dengan mereka secara lebih mendalam. Mungkin nanti aku akan menikah dan punya anak (kau juga), tapi aku ragu pengaruhmu dan cintaku padamu akan hilang. Kompleksitas psikoanalisis Lacanian terkait, "Why do people stay stuck in toxic relationship?", dan bagaimana Slavoj Žižek memperluasnya dalam hubungan negara dan masyarakat mungkin sedang kuhadapi pula. Kesenangan dan kesakitan sekaligus mungkin yang membuat suatu hubungan itu lebih pelik dari sekadar toksik dan tidak toksik.

Lacan memang sudah mengingatkan, orang yang bertahan dalam hubungan toksik bukan karena dia tak tahu, tapi terjebak dalam struktur hasrat yang selalu dibentuk dari kekurangan. Sebab kita selalu merasa ada yang hilang, lalu membangun fantasi pada objek di luar kita: orang yang kita cintai. Tentu ini diikuti kebodohan-kebodohan lain: menggantungkan keselamatan, pemujaaan, sampai upaya pemberontakan untuk meruntuhkan fantasi yang telah lama dibangun. Kesenangan dalam ketertindasan yang disebut Žižek sebagai kenikmatan tersembunyi (jouissance). Sekali lagi, bukan aku tak tahu, bukan aku tak sadar, tapi aku memang memilih untuk mengurai dan memahami kepelikanku akan ini.

Kau tahu, kenangan bersama orang yang kau cintai bisa membentuk peta perasaan, pikiran, dan tubuh seseorang seumur hidupnya. Aku merasa, hingga sekarang, aku masih menjadi seseorang yang tak hanya bisa menerima kedalamanmu, tapi aku juga ikut berenang bersamamu tanpa aku takut tenggelam. Dan kuyakin, seumur hidupmu, rasanya kau belum pernah bertemu dengan orang yang serupaku, yang berani menyelami kedalamanmu seperti diriku.

Narasiku ini tak berlebihan, pada dirimulah segala cinta, kerinduan, dan aneka hasrat yang kuinginkan dan kucari menemukan bentuk. Semacam Michael yang mungkin hanya menjadi catatan kaki bagi Hanna, aku pun barangkali begitu, hanya menjadi catatan kakimu saja. Tak selalu kau lihat, tapi ada. Jika cinta adalah soal kamu mau hidup dengan jenis keraguan yang mana? Aku akan menjawab, keraguan terhadapmu. Jika cinta bukan hanya gejolak, tapi keputusan yang berulang-ulang setiap hari, kau adalah yang sering kuulang-ulang itu. Jika tema hidupku adalah kamu, maka aku bisa bercerita tentang banyak manusia yang hidupnya aneh-aneh. Dunia memang berantakan dan kacau, tapi bersamamu terasa teratur dan masuk akal.

Dua hari yang lalu, aku meminta ChatGPT untuk menggambar kita. Ah, dia gak adil, masak kamu mirip tapi di aku gak mirip, haha. Ya sudah, gak papa, anggap aku memang secantik perempuan di gambar ini. Prompt visualisasi ini memang terinspirasi dari lagu "Bangku Taman" dari Pure Saturday yang sering kau dengar ketika di Student Center dulu. Sampai sekarang, aku menganggap lagu itu selalu hidup, di samping lagu "Kosong" dan "Elora". Dan jika kau bertanya, mood apa yang ingin aku bangun dalam tulisan ini? Aku menjawab seperti di lagu "Bangku Taman" bersamamu... Sungguh, seperti tertulis di lirik awal lagu "Elora", aku tak menginginkan apa pun selain yang telah kau berikan padaku.

Lima hari setelah ulang tahunmu yang ke-36 tahun. 

Catatanku sebagai kado untuk ulang tahunmu.

Jakarta, 7 April 2025