Keberadaan para kelompok militant (milisi) publik di berbagai negara telah menantang pemikiran Weberian terhadap negara monopoli yang melegitmiasi penggunaan kekerasan. Berbagai milisi hidup berdampingan dengan institusi formal yang bersifat memaksa di berbagai konteks politik, baik demokrasi maupun otoritarian, baik negara dalam keadan lemah maupun kuat, atau yang sifatnya terpusat maupun desentralisasi.
Abdil menayanyakan, mengapa kemunculan milisi ini bebarengan dengan pembangunan negara-negara tertentu? Argumen di dalam paper ini bahwa hal itu terjadi bukan lain karena gejala kegagalan negara seperti yang dipahami di dalam pendekatan institusionalis yang diperkenalkan oleh agensi pembangunan internasional atau hasil dari penyebaran kekuatan sebagaimana yang diungkapkan oleh pendekatan Migdal terkait pendekatan negara-dalam-masyarakat. Milisi merupakan produk dari cara negara mengorganisasikan institusi kekerasan dalam evolusinya bersama dengan pengalaman spesifik dari pemrekembangan kapitalis.
Pada masa pos-otoritarian Indonesia, peran milisi menjadi bisa dilihat karena naiknya politik identitas Islam. Adopsi identitas Islam dikarenakan meningkatnya kemampuan milisi untuk memberlakukan intimidasi, karena berhubungan secara lambat dengan politik Islam, kekerasan, dan militansi. Hal ini berarti, ketika milisi secara meyakinkan mengekspos suatu agenda Islam, mereka sering bertindak secara pragmatis. Penekanan retorisnya didasari pada implementasi nilai Al-Qur’an, “amar makruf nahi mungkar” (melakukan kebaikan dan menghindari kejahatan), juga untuk mewujudkan nilai-nilai Islam dalam konteks demokratisasi dan desentralisasi. Meskipun hal ini sering memanipulasi pencapaian ekonomi dan politik jangka pendek dalam hubungannya dengan peluang dibukanya desentralisasi demokrasi Indonesia.
Misalnya, milisi akan menggunakan hukum agama untuk melegitimasi aksi kekerasan mereka untuk keuntungan organisasi dan afiliasinya di dalam elite politik. Praktek ini dapat diidentifikasi sebagai “gangsterisme” politik, yang pada akhirnya berhubungan dengan proses proletarisasi dan perkembangan kapitalis. Hal ini menciptakan kolam besar dalam merekrut calon-calon militan untuk milisi mereka. Di sisi lain, ketika politik identas Islam masih lazim terjadi bersama dengan banyak orang yang mengalami dislokasi sosial sebagai dampak dari kapitalisme, milisi publik Islam diperkirakan akan terus berlanjut.
Paper ini menganalisasi kasus milisi yang terjadi di Indonesia, di mana perspektifnya diambil dari berbagai kasus. Kasus Indonesia sendiri berkembang dari penelitian lapangan yang dilakukan di Surakarta, kemudian dibandingkan dengan kasus-kasus di Sampang, Jakarta, dan Makassar. Kerja lapangan dilakukan di Surakatra dari tahun 2013-2014 dengan sample sepuluh kelompok milisi. Penelitian ini termasuk melibatkan wawancara dengan 50 anggota milisi.
Studi ini menyumbang perdebatan terhadap hubungan antara kekerasan dan negara, yang perlu dipahami dalam konsep negara modern, untuk menjelaskan penggunaan kekerasan non negara secara sosial. Ada dua pendekatan utama dalam mendefinisikan negara: pendekatan Marxist dan Weberian. Paper ini menjelaskan sistem dominasi politik negara dengan memunculkan analisis dari tradisi Marxist. Di dalam konteks Indonesia, di mana predator kapitalisme berkembang, sistem dominasi politik memungkinkan konsentrasi kekayaan dan otoritas, dan pertahanan kolektifnya melalui aliansi sosial yang dominan. Berdasarkan pandangan ini, kekerasan dilihat sebagai aspek dominasi politis melalui paksaan secara langsung oleh aparatus represif, atau secara tidak langsung oleh kelompok sosial sebagai wakil dari negara.
Kekerasan yang digunakan untuk konsentrasi kapital dan kekuasaan dalam era pos-otoritarian Indonesia berhubungan erat dengan konsep Marx terkait “akumulasi primitif”, atau yang Harvey juga sebut sebagai “akumulasi melalui perampasan”. Akumulasi melalui permpasan dikarakterisasi oleh peleburan otoritas politik dan peaksaan ekonomi, yang didukung dengan paksaan oleh institusi. Perjuangan terhadap akumulasi pribadi dan perusahaan sebagai kontrol terhadap institusi publik dan otoritas negara menjadi proses yang penting.
Dalam konteks ini, keberadaan organisasi yang dapat menegaskan kekerasan secara sah dipahani sebagai bagian dari mekanisme akumulasi primitif. Dampaknya, keberadaan milisi-milisi ini di Indonesia dilakukan bersamaan dengan perekrutan predator kapitalisme, di mana pandangan ini bertolak belakang dengan perspektif Weberian kaitannya hubungan antara kekerasan dan negara. Weber menjelaskan, komunitas manusialah yang mengklaim monopoli atas penggunaan kekuatan secara sah dalam suatu wilayah tertentu. Pandangan ini menganggap negara sebagai sesuatu yang otonom dari aktor sosial, dan karenanya kekuasaan dilakukan secara terpusat untuk mengontrol populasi di wilayah tertentu.
Sederhananya, institusi sah merupakan satu-satumya aktor yang mempunyai hak secara sah atas kekerasan. Aktor lainnya dianggap sebagai penyimpangan karena melanggar hukum. Keberadaan hukum ini juga menyediakan pendisiplinan dan penghukuman terhadap kebiasaan yang di luar hukum. Namun, berbagai literatur menunjukkan bahwa kekerasa politis tidak hanya dikontrol oleh negara, seperti Indonesia, Thailand, Filipina, Myanmar, Rusia, dan Kolombia. Ini berarti, ada aktor non-negara yang melakukan kekerasan, negara tidak menghukum mereka, dan kemungkinan malah mendukung tindakan mereka.
Berdasarkan Migdal (1988), kontrol sosial terbagai-bagai dan heterogen, tetapi masyarakat masih diatur karena “alokasi nilai… yang tidak terpusat” dan “berbagai sistem keadilan yang beroperasi secara berkelanjutan”. Migdal menekankan negara-dalam-masyarakat juga pembatasan dari negara di dalam dunia ketiga. Menurut Huntington, kontrol sosial ini dilakukan secara tradisional daripada rasional.
Sementara itu, Wilson (2015) memandang, konteks desentralisasi yang baru telah memungkinkan para gang dan milisi membentuk legitimasi mereka. Mereka tidak hanya menjadi instrumen bagi elite ekonomi dan politik, tetapi para millisi bisa menjadi partner yang setara dengan mereka. Pengenala otonomi daerah dan iklim pemilu yang kompetitif telah membuka peluang bagi kelompok atau individu yang terlempar dari proses politik.
Di Indonesia, milisi publik khususnya eksis sejak masa otoritarian Orde Baru, ketika saat itu negara dianggap kuat. Negara otoritatian mengorganisasikan kelompok milisi publik menggunakan berbagai basis mobilisasi, baik itu melalui kelompok seperti Pemuda Pancasila atau kelompok yang berafiliasi dengan agama seperti Banser dan Darul Islam. Soeharto secara efektif mengimplementasikan metodenya untuk membantu rezim menghadapi berbagai tantangan politik penting. Berdasarkan laporan Human Rights Warch, paramiliter ini bertanggung jawab terhadap pembantain ribuan masyarakat sipil pada tahun antara 1990an dan 2000an. Kekerasan yang dilakukan oleh paramiliter berkorespondensi dengan penurunan angka kekerasan yang dilakukan oleh kalangan militer berseragam, yang memberi lingkungan yang kondusif bagi investasi kapitalis global.
Kekerasan menggunakan kelompok milisi di Indonesia tidak selalu melibatkan pembunuhan atau penculikan, atau pembantaian politik sebagaimana yang terjadi di Filipina atau beberapa negara di Afrika; melainkan milisi digunakan untuk mengintimidasi, mengjaga, dan mengamankan kepentingan aliansi mereka dalam kedudukan politik tertentu. Apalagi di Indonesia, politik uang dan kekerasan politik menjadi elemen yang menjalankan demokrasi. Di mana pengorganisasian gangster menyediakan otot dan layanan keamanan mereka untuk persaingan elite.
Milisi grup Islam terbesar seperti Laskar Hisbullah dan Laskar Sabilillah umumnya perekruran dilakukan dari pesantren-pesantren di Jawa. Salah satu tokoh milisi, seperti Sekarmadji Kartosoewiryo, tidak setuju dengan konsep politik pemimpin negara dalam menghadapi agresi militer Belanda. Gerakan laskar ini kemudian dikenal sebagai Darul Islam (DI). Di masa Orde Baru, milisi nasionalis-sekuler yang disebut sebagai Pemuda Pancasila mencoba melawan ideologi komunis yang membahayakan negara. Perlawanan mereka didasari pada konsep jihad fisabilillah. Lalu pada Orba pula, ada ganster yang dimobilisasi dengan sebutan gali (gabungan anak-anak liar) untuk memenangkan Golkar dalam pemilu nasional, meskipun hal ini ditandai dengan pembunuhan ribuan gali dengan cara petrus (penembakan misterius). Di daerah, milisi ini di antaranya seperti Forum Komunikasi Aktivis Masjid, Laskar Umat Islam Surakarta (LUIS), dan Dewan Sharia Kota Surakarta (DSKS). Juga naiknya FPI yang menolak pencalonan Ahok sebagai gubernur Jakarta.
ABSTRAK:
Paper ini membahas kemunculan milisi (militan) Islam yang sering terlibat dalam gangsterisme politik di masa pos-autoritarian Indonesia. Abdil berargumen bahwa kelompok-kelompok milisi ini merupakan hasil dari perubahan struktur kompleks yang dibarengi dengan formasi negara di konteks perkembangan kapitalis, alih-alih produk dari lemahnya negara atau karena desentralisasi kekuasaan dan otoritas di konteks demokrasi. Keberadaan mereka secara rumit berhubungan dengan suatu jalur negara mengorganisasikan institusi kekerasan terhadap urgensi tertentu. Sebagai tambahan, milisi ini merupakan elemen dari bangkitnya politik identitas Islam yang diikuti oleh kejatuhan Soeharto. Pendekatan yang dikemukanan di sini kontras dengan dua pendekatan dominan: pendekatan institusionalis yang menekankan kurangnya kapasitas negara dan antropologi pendekatan negara yang menggambarkan pendekatan Migdal terkait negara-dalam-masyarakat, yang menggarisbawahi fragmentasi otoritas sebagai kondisi untuk kemunculan milisi. Hal ini ditunjukkan dengan kelompok-kelompok yang eksis di dalam keadaan lemah dan keadaan kuat, dan dengan aturan desentralisasi maupun sentralisasi.
Mudhoffir, Abdil Mughis. "Islamic militias and capitalist development in post-authoritarian Indonesia." Journal of Contemporary Asia 47.4 (2017): 495-514.
Link: https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/00472336.2017.1336564
#31daysofindonesianscholars #abdilmughismudhoffir #islam #kapitalis #Indonesia #militan
PROFIL SCHOLAR:
Abdil Mughis Mudhoffir merupakan honorary fellow di The Asia Institute Universitas Melbourne Australia dan professor di Departemen Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Dirinya meminati kajian eknonomi politik Indonesia, demokrasi iliberal, kekerasan yang diprivatisasi, pemuda urban, populisme Islam, dan perkembangan kapitalis. Abdil menyelesaikan pendidikan S1 Hukum Universitas Brawijaya Malang, S2 Sosiologi Universitas Indonesia, dan S3 Ilmu Politik Universitas Melbourne Australia. Judul disertasinya “The State of Disorder: Non-State Violence in Post-Authoritarian Indonesia” memenangkan penghargaan sebagai tesis Ph.D unggulan dari Dekan Fakultas Seni, Universitas Melbourne. Disertasi ini juga diterbitkan oleh Plagrave Macmillan tahun 2022. Karya-karyanya banyak tersebar di berbagai jurnal dan media Indoprogress.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar