Rabu, 03 April 2024

Tradisi, Ekonomi-Politik, dan Toleransi Yogyakarta - Diatyka Widya Permata Yasih

Di dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) 2004-2005, pemerintah daerah Yogyakarta menobatkan daerahnya sebagai Kota Toleransi, Jogja City of Tolerance. Ini sebagai refleksi dari masyarakat umum yang memandang Jogja memiliki derajat toleransi yang tinggi, khususnya di dalam relasi intra dan inter-religi. Masyarakat Jogja juga menunjukkan resiliensinya dengan tidak termakan oleh upaya provokasi untuk memperluas konflik antar pemeluk agama. Misal dalam perusakan beberapa gereja dan Masjid Ghede Kauman, masyarakat Jogja tak terprovokasi berikut serta dalam kekerasan komunal. Diatyka menanyakan, bagaimana kita dapat menjelaskan lebih dalam hubungan yang relatif stabil antara kelompok agama di Yogyakarta?

Paper ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa reproduksi budaya selalu berjalan beriringan dengan kepentingan ekonomi dan politik dalam struktur sosial. Upaya untuk memahami makna dari simbol budaya dilakukan dengan seimbang terhadap upaya untuk memahami ekonomi dan politik yang mengiringinya. Apalagi Jogja merupakan wadah bagi berbagai kelompok agama dengan berbagai kepentingannya. Budaya toleransi kemudian membuka ruang tak hanya untuk artikulasi ekspresi keagamaan, tetapi juga artikulasi kepentingan kelompok, yang memberi warna sendiri dalam dinamika toleransi di Jogja.

Berdasarkan data yang diperoleh Diatyka, pada periode tahun 2006/2007, 77% masyarakat Jogja memeluk agama Islam. Lalu disusul 13% beragama Katolik, 8,6% Protestan, 0,57% Hindu, dan 0,42% Buddha. Meski Jogja memberi penghargaan yang tinggi bagi keberagaman agama, tetapi intoleransi pada kelompok non-dominan tetap ada. Bahkan ini tampak pada Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tentang pendirian rumah ibadah. Mereka mengalami kesulitan secara administrasi dalam mengumpulkan jumlah jemaat dalam satu wilayah, sehingga rumah warga pun dengan seizin RT digunakan untuk beribadah. Regulasi negara disengaja/tidak, menjadi kekuatan politik dalam mendukung sub-ordinasi. Dalam konteks ini, akar intoleransi muncul bukan karena perbedaan nilai-nilai agama, tetapi juga hubungan yang tidak setara antara kelompok dominan dan non-dominan.

Pada agama Islam sendiri, meskipun dia dominan, Islam tidak bersifat monolitik. Ini sebagai konsekuensi dari adanya perbedaan kiblat terhadap tafsir teologis tertentu yang tampak dari berbagai simbol, ritual, juga praktik ibadah. Secara umum ada dua kategori besar yang mewarnai toleransi inter-religi Jogja. Pertama, kelompok Islam Jawa sebagai kelompok yang dominan. Kedua, kelompok Islam yang lebih puritan dan tidak dominan. Interaksi dua kelompok ini terjadi di semua tingkat, dari makro ke mikro, dari kalangan elite hingga interaksi warga sehari-hari. Islam Jawa merujuk pada orang Jawa yang melaksanakan ajaran Islam secara sinkretik, sementara Islam puritan melaksanakan ajaran Islam dengan lebih ketat.

Agama dalam falsafah Jawa ditafsirkan bukan suatu identitas yang perlu ditonjolkan, melainkan nilai kejawaan itu sendiri yang penting untuk mendasari spiritual mereka. Ini tercermin dalam situasi pedesaan di Jogja awal tahun 1990-an. Sebagian mereka masuk dalam kategori kejawen dengan organisasinya seperti Sapto Darmo, yang masih mempertahankan klenik, tempat keramat, kuburan, hingga sesajen ke Pantai Selatan. Sebagian berafiliasi pada agama tertentu, di Islam terutama pada NU yang mengakomodasi ritual dan tradisi Jawa.

Berseberangan dengan posisi sebelumnya, kelompok Islam puritan mendapat julukan sendiri dari kelompok Islam Jawa, dari "al kacaw" sampai aliran "kathok congklang" (celana panjang di atas mata kaki). Kelompok ini terdiri mulai dari organisasi kemahasiswaan hingga organisasi sosial dengan berbagai orientasi politiknya. Awal mula kelompok ini berkaitan erat dengan sejarah permurnian Islam di Jogja, diiringi dengan lahirnya berbagai organisasi, seperti: FPI, HTI, Laskar Jihad, hingga di UGM lahir pula Masjid Salahuddin. Penafsiran agama dilakukan secara literal dan ketat. Tak jarang dengan menggunakan cara frontal dan melibatkan kekerasan, yang kadang dicap sebagai "Islam radikal" atau "Islam garis keras". Contoh kasusnya, bagaimana FPI melakukan penertiban pada kelompok Sapto Darmo.

Bagaimanapun, di sisi lain, Jogja mempunyai karakter uniknya sendiri dalam ekspresi paham keagamaan. Kelompok Islam puritan menyadari jika penyebaran Islam secara frontal dengan melawan dominasi budaya lewat kekerasan tidak akan memberi hasil. Kasus keunikan juga tercermin dari adaptasi yang dilakukan Muhammadiyah dalam melawan tindak TBC (takhayul, bid'ah, dan churafat), meski nyatanya masih banyak warga yang beridentitas Muhammadiyah tetapi masih melakukan ritual kejawen yang merupakan praktek dari TBC. Poinnya, memaksa orang Jawa bukan cara bijaksana, dakwah persuasif dengan pendekatan sosio-kultural nyatanya lebih diterima. Muhammadiyah memulai dengan pembangunan pendidikan modern, rumah sakit, dan amal usaha lain.

Toleransi agama tak cuma mempunyai penjelasan kultural, tapi juga muatan ekonomi-politik. Kekuatan budaya di paper ini dilihat setara dengan kekuatan ekonomi-politik, bukan budaya semata-mata sebagai refleksi proses ekonomi-politik. Kekuatan budaya menjadi kendaraan dalam menjaga toleransi beragama di Jogja, namun tak semata-mata budaya, tetapi juga kekuatan ekonomi-politiklah yang sesungguhnya menggerakkan kendaraan ini.

Magnis-Suseno (1996) menguraikan empat lingkaran bermakna dalam menggambarkan karakter sinkretis orang Jawa: (1) sikap terhadap dunia luar yang dipahami sebagai kesatuan ukhrowi antara alam, masyarakat, dan alam adikodrati, (2) lingkaran yang memuat penghayatan kekuasaan politik sebagai ungkapan alam "Yang Illahi" atau "Yang Kodrati", (3) pengalaman tentang keakuan sebagai jalan persatuan dengan Yang Maha Kodrati dengan berpuncak pada semua usaha untuk mencapai pengalaman mistik, (4) penentuan semua lingkaran pengelaman alam oleh yang Illahi.
 
Yang penting bagi falsafah orang Jawa bukan label Islam, Kristen, atau lainnya, tapi cara mengekspresikan hidup dalam pengalaman mistis. Ekspresi ini diungkapkan dengan kalimat, "manunggaling kawula Gusti". Alih-alih fanatik pada agama, tapi lebih utama bagaimana memaknai spiritualitas. Ini alasan orang Jawa tak mengenal batasan beragama apa pun. Ini menjadi fondasi toleransi yang efektif di tengah-tengah batas-batas konvensional yang ada.

Orang Jawa yakin ada kekuatan gaib yang memberi pengaruh buruk pada kehidupan manusia, sehingga ada upacara atau aktivitas untuk mencegah kemarahan alam, seperti bersih desa (saparan), tangkepan, nyepasari, tahlilan, kenduren, selametan. Aktivitas ini juga digunakan oleh Wali Songo sebagai strategi Islamisasi. Tradisi ini juga memberi kekuatan politik dan ekonomi bagi pemimpin agama seperti kyai, modin, kaum, lebe, untuk menikmati hak istimewa dan keuntungan material.

Di sisi lain, kelompok Islam puritan hadir dengan penolakannya untuk memurnikan praktik keberislaman. Sikap ini dianggap menentang dan menjadi ancaman silaturahmi. Selain itu juga rawan mengarah pada konflik berlatar belakang agama. Padahal, kepentingan ekonomi dan politiklah yang justru dominan memengaruhi sikap keagamaan seseorang. Salah satunya terkait kenduri, ada ungkapan tradisi memberatkan, karena ketika kenduri hanya mendapat nasi dan paha satu, tapi harus menyumbang seharga ayam. Juga tentang posisi NU dan Muhammadiyah, keduanya kental kepentingan untuk memperebutkan posisi strategis dalam masyarakat dengan dibungkus simbol-simbol tradisi. Begitu juga dengan pencalonan kepala desa dan ketua RW yang tak lepas dari agama.

Di ranah politik Jogja, Muhammadiyah dan PKS juga berseteru dalam upaya mengartikulasikan kepentingan mereka. Ada ungkapan, "Orang Muhammadiyah sering ngomong kalau maling masuk Masjid, paling kita kehilangan sandal, tapi kalau PKS masuk Masjid, hilang Masjidnya."

Kasus lain, GPK di Jogja juga membawa kepentingan politik PPP melakukan aksi premanisme dengan berperan sebagai debt-collector, mengamankan kafe, hingga membuat kerusuhan.

Pusaka keraton salah satunya keris kyai kopek yang digunakan dalam upacara penobatan Hamengkubuwono X.

Belum lagi, keraton hingga sejauh ini juga masih dilihat sebagai kekuatan kultural untuk mempertahankan toleransi. Bagi orang Jawa, sosok raja dan keraton punya peran penting sebagai pusat kekuatan kosmos. Kuasanya dilegitimasi oleh wahyu/wangsit dalam menyejahterakan rakyat. Pengabdian pada raja juga dimaknai secara religius. Sultan juga dianggap bisa memainkan peran politik yang diakui kapasitasnya dalam kancah nasional. Di mana wibawa keraton ditunjang dengan kekuatan ekonomi dengan mandirinya berbagai usaha yang dikelola keraton. Sultan juga dianggap bisa melindungi berbagai kelompok agama di Yogyakarta, termasuk mereka dengan posisi rentan dan minoritas. Jogja lebih kondusif karena ada sosok yang lebih disegani, tidak seperti di kota lain seperti Jakarta.

ABSTRAK:


Artikel ini bertujuan untuk menggambarkan reproduksi budaya selalu bermain dalam sistem politik dan ekonomi di dalam struktur bermasyarakat. Oleh karena itu, usaha untuk memahami makna simbol budaya seharusnya dibarengi dengan usaha untuk mengeksplorasi kepentingan ekonomi-politik yang membentuk praktek budaya. Orang-orang Jogja secara tidak diragukan memahami praktik agama lebih banyak daripada praktik budaya. Artikel ini akan menggambarkan bahwa perselisihan di dalam agama secara umum tidak pemicu utama konflik antara kelompok agama. Melainkan, tegangan ini dipicu oleh benturan antara kepentingan ekonomi dan politik antara kelompok yang dominan dan tidak dominan. Sehingga, mengenali kepentingan ekonomi-politik akan membantu kita untuk memahami jalan lebih lanjut dalam mempromosikan toleransi agama, ketika masih dipertahankannya kemungkinan untuk memproduksi hasil yang kontra-produktif.

Widya, Diatyka. "Tradisi, Ekonomi-Politik, dan Toleransi Yogyakarta." MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi 15.2 (2010): 44-68.

Link: https://scholarhub.ui.ac.id/mjs/vol15/iss2/3/

#31daysofindonesianscholars #diatykawidya #sosiologi #yogyakarta #toleransi #tradisi #ekopol #budaya

PROFIL SCHOLAR:

Diatyka Widya Permata Yasih merupakan Dosen Sosiologi di FISIP Universitas Indonesia (UI) kelahiran Jakarta, 27 Desember 1984. Diatyka menyelesaikan S1 Sosiologi di UI (2006), S2 di The Institute of Social Studies/ISS Belanda (2010), dan S3 di The Asia Institute, University of Melbourne, Australia (2021). Meminati kajian transformasi budaya, media baru, prekaritas, dan sosial-politik Asia Tenggara. Karyanya terbit di berbagai media massa, seperti the Jakarta Post, the Conversation, Melbourne Asia Review, serta Indonesia at Melbourne. Publikasi karya illmiah di antaranya, “Jakarta’s Precarious Workers: Are they a ‘New Dangerous Class’?” dan “Normalizing and Resisting the New Precarity: A Case Study of the Indonesian Gig Economy".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar