Selasa, 16 April 2024

Collaboration in Mass Violence: The Case of the Indonesian Anti-Leftist Mass Killings in 1965-66 in East Java - Grace Tjandra Leksana

Genosida dan pembunuhan massal yang melibatkan gerakan anti-komunis tahun 1965-66 menjadi peristiwa kontroversial dalam sejarah Indonesia. Pertanyaan utamanya, "Siapakah yang melakukan pembunuhan?" Ketika beberapa orang berpendapat bahwa pembunuhan merupakan dampak dari konflik horizontal antara kelompok kiri dan kanan, lainnya percaya bahwa militer Indonesialah yang secara sistematis melakukan kekerasan dan pembunuhan. Selain itu, di beberapa wilayah di Indonesia pada periode 1965-66, pembunuhan tidak secara khusus dilakukan oleh masing-masing sisi, baik itu militer atau masyarakat sipil itu sendiri. Melainkan, kedua kelompok ini bergabung untuk mencapai tujuan yang sama: membasmi komunis dan gerakan kiri. Mengembangkan konsep kolaborasi ini, serta akses terbaru dari arsip militer di Jawa Timur, paper ini berargumen, pembunuhan yang sebelumnya dilakukan secara tidak terstruktur, menjadi masif dan terkoordinir setelah militer meluncurkan perintah menggunakan kekuatan sipil dalam menghapuskan kelompok kiri.

Paper ini juga menunjukkan, meskipun gerakan lokal ada, hal ini tidak bisa meningkatkan pertumpahan darah yang besar tanpa ada interferensi dari militer. Sebab instruksi partisipasi masyarakat sipil, militer membangun "solusi imajiner" terhadap konflik panjang antara dua kelompok, pembasmian komunis dan orang-orang kiri untuk mengamankan negara. Instruksi ini menciptakan legitimasi kekerasan dan menjadi basis kuat bagi masyarakat sipil untuk melakukan serangan melawan kelompok kiri. Sekitar 500 ribu hingga 1 juta orang dibunuh oleh militer bersama kolaborasi dengan kelompok sipil. Keterlibatan kelompok sipil itu seperti pemuda Islam Nahdlatul Ulama (NU), juga beberapa akademisi dari kelompok kanan dan kiri, yang mencapai puncak dari sejarah panjang di antara mereka sejak pra-kemerdekaan Indonesia.

Narasi resmi yang beredar, pembunuhan massal 1965-66 digambarkan sebagai respons spontan terhadap aksi Gerakan 30 September, di mana enam jenderal militer dibunuh, diculik, dan disiksa oleh sekelompok kecil kelompok militer. Meskipun debat saat ini masih berlangsung terkait alasan tentara Indonesia mengeksekusi PKI sebagai pelaku di samping gerakan ini. Sayangnya, aksi ini menjadi jelas bahwa G30S sebagai dalil bagi militer untuk mendirikan rezim baru. Rezim Orde Baru yang mengikuti, yang dipimpin oleh Soeharto mengambil alih pemerintahan tahun 1966 dan mengembangkan proyek memori nasional untuk memperingati tujuh jenderal tentara, G30S, dan "setan" komunis, dengan menempatkan pembunuhan anti-komunis dan kekerasan dalam pinggiran dari sejarah Indonesia.

Konsep kolaborasi dalam kekerasan massa telah memunculkan pandangan biner yang berfokus pada tegangan antara pelaku dan korban itu sendiri. Konsep ini secara luas di luar konteks sebagaimana kasus Holocaust dan Perang Dunia II. Peneliti Weiss-Wendt and Üngör memperluas konsep kolaborasi dengan mamasukkan kasus-kasus genosida Armenia, negara-negara Baltik yang diduduki Nazi, dan genosida Rwanda. Dari kasus-kasus ini, mereka memperluas konsep kolaborasi dalam genosida sebagai "suatu aksi nalar kolektif yang mengarahkan kelompok minoritas atau subordinat yang menjadi sasaran ketidaksetaraan struktural untuk membantu kekuatan hegemonik dalam menghancurkan secara fisik kelompok lain yang serupa--kelompok yang menjadi sasaran--dengan tujuan meningkatkan status mereka sendiri".

Istilah "kekuatan hegemonik" digunakan untuk mengganti okupasi rezim atau musuh, dengan mempertimbangkan relasi kekuasaan yang lebih dinamis, karakter masing-masing kasus yang beragam, dan sejarah relasi etno-agama antar kelompok yang terlibat. Kolaborasi ini juga menjadi hasil dari sejarah panjang diskriminasi oleh kelompok hegemoni. Dalam kasus-kasus yang disebutkan, tidak ada otoritas pusat yang dapat mengeluarkan perintah terikat untuk membantu pembunuhan tersebut, tetapi konsensus tak terucapkan yang mengarah pada kekerasan massal pasti ada.

Ketika Weiss-Wendt & Üngör menekankan pada relasi kuasa antara kelompok hegemonik dan minoritas, kasus Indonesia berbeda secara pendekatan. Kelompok religius dan nasional yang terlibat dalam pembunuhan 1965-66 bukanlah kelompok minoritas atau tersubordinasi. NU semenjak didirikan telah berperan penting dalam perpolitikan Indonesia. Semenjak 1950an dan setelah pembunuhan 1965, mereka masih dekat dengan faksi dengan pemerintah dan militer. Pada Pemilu 1955, NU, PNI, dan PKI menjadi partai top, yang didukung dengan ulama dan kyai. Selain itu, semenjak diterbitkannya UU Agraria tahun 1960, konflik antara golongan nasionalis dan religius dengan partai kiri dan komunis menjadi semakin buruk di antara kebijakan reformasi agraria.

Berbeda kasusnya dengan yang terjadi di Turki, kawasan Baltik, dan Rwanda, kasus Indonesia menunjukkan perintah struktural dari militer dengan dibantu organisasi massa untuk membasmi kelompok kiri. Instruksi ini menciptakan legitimasi kekerasan, yang membuat pembunuhan untuk menghancurkan kelompok komunis dan kiri diterima negara. Untuk mengelaborasi argumen tersebut, Grace menjelaskan terkait kasus pembunuhan 1965-66 di Jawa Timur menggunakan arsip dari Kodam V Brawijaya.

Koleksi ini ada di museum militer Brawijaya di Malang, koleksi juga menyediakan informasi terkait perang revolusioner hingga operasi militer di Timor Timur. Naskah ini terbuka bagi publik dengan surat izin dari Bina Mental Kodam di Malang. Bersama dengan arsip militer yang ditemukan di Aceh dan Banyuwangi, arsip militer Brawijaya menambahkan arsip temuan baru yang berhubungan dengan operasi 1965-66 (sesuatu yang tidak mungkin didapat beberapa dekade yang lalu).

Temuan khusus dari G30S terdiri dari laporan operasi, rekaman harian, radiogram, dan peraturan selama 1965-68 yang dikoleksi dari empat Korem yang berbeda di Jawa Timur (Korem di Surabaya, Malang, Mojokerto, dan Madiun). Arsip paling lengkap ada di Malang. Sebagaimana yang dijelaskan, militer memerankan peran besar dalam kekerasan, dengan mengkoordinasi masyarakat sipil untuk berpartisipasi. Kekerasan di Jawa Timur menjadi besar bukan karena masyarakat sipil bertindak sendiri, tetapi tentara memberikan instruksi kolaborasi bersama mereka sehingga memungkinkan tragedi ini terjadi.

Douglas Kammen dan Katharine McGregor mengidentifikasi kekerasan 65 ke dalam empat fase sejak G30S: (1) fase kekerasan fisik melawan PKI beserta dengan pendukung dan aliansinya, gerakan pembunuhan pertama terjadi di Aceh hingga akhir minggu pertama Oktober, kemudian di Jawa Timur dan Jawa Tengah pada pertengahan Oktober 1965, kemudian terjadi di Sumatra Utara dan Bali; (2) kekerasan yang terjadi dari Januari-Mei 1966, yang ditandai oleh berkurangnya kekuasaan Soekarno dan pergantian otoritas ke Soeharto, pembunuhan terjadi di tingkat daerah seperti Sumatra Barat, Lampung, dan NTT; (3) fase ini terjadi pada bulan Juni hingga Oktober 1966 dengan adanya usaha insentif untuk mengkonsolidasikan kekuatan terhadap organ sentral, dengan kebijakan baru anti-komunisme; (4) fase keempat terjadi pada tahun 1967-68 mengindikasikan proses hukum dan pemenjaraan jangka panjang ribuan orang dan operasi pembersihan melawan kelompok kiri yang masih tersisa, operasi ini melibatkan operasi RPKAD pada November 1967 di Kalimantan Timur dan operasi militer di Jawa Timur, khususnya di Blitar Selatan pada 1968. Perbedaan waktu terjadinya pembunuhan mempengaruhi analisis yang berbeda terkait siapa aktor di belakangnya.

Akademisi resmi menjelaskan jika kekerasan itu terjadi karena perpecahan horizontal di masyarakat, yang berakar dari kebencian antara komunis dan kelompok agama. Salah satu produk resmi itu seperti ditulis oleh Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh. Dalam kerangka ini, militer direpresentasikan jika operasi mereka merupakan usaha untuk mengamankan situasi dari konflik yang lebih besar, serta menciptakan keteraturan dan kedamaian. Partisipasi masyarakat sipil dalam kekerasan juga menggiring berbagai akademisi percaya bahwa militer hanya memiliki peran kecil dalam kekerasan. Kontras dengan teori konflik horizontal, sebagaimana yang diargumenkan oleh Geoffrey Robinson, genosida dan pembunuhan massal merupakan tindakan politik, yang tidak mungkin terjadi secara alami, tetapi ada karena faktor politik oleh otoritas.

Tak soal pembunuhan terjadi di awal atau kemudian, ini tergantung pada seberapa besar aliansi otoritas dan masyarakat sipil di daerah disatukan dan besarnya jumlah mereka. Ini bisa dilihat dari, ada daerah yang terjadi di awal, tetapi telat di wilayah yang lain. Di Jatim misalnya, masyarakat sipil dari NU bergerak secara agresif melawan PKI. Temuan di Aceh dan Bali menunjukkan pula bagaimana militer memobilisasi masyarakat sipil, mengorganisasikan kamp penahanan, dan menyediakan truk untuk transportasi untuk eksekusi. Fakta-fakta tersebut juga menunjukkan, sangat mustahil jika militer dan masyarakat sipil melakukannya secara mandiri. Ini pula yang dijelaskan oleh John Roosa yang menjelaskan bahwa perintah dari pusat (Soeharto dan aliansi jenderalnya) harus ada dan mengirimkan pasukan mereka ke provinsi-provinsi.

Kekerasan yang terjadi di Jawa Timur selalu digunakan sebagai contoh untuk mendukung konflik horizontal dan tesis dualistik. Penting pula menjadi catatan, penelitian di Jawa Timur diproduksi selama masa otoritarian Orde Baru, di mana Soeharto masih berkuasa (1966-98). Untuk memahami kerja kolaboratif antara tentara dan masyarakat sipil, tidak hanya dilihat karena pengamanan negara, tetapi juga politik tubuh. Tindakan politik ini dapat ditelusuri kembali pada periode perjuangan kemerdekaan (1945-50), di mana para pejuang gerilya secara politik terafiliasi dengan unit militer. Periode krusial bagi ekspansi kekuasaan ini terjadi tahun 1957, sebagai respons terhadap peningkatan pemberontakan Darul Islam di Aceh (1953-62), Jawa Timur (1948-62), Sulawesi Selatan (1953-65), dan PRRI/Permesta di Sumatra dan Sulawesi (1958-61). Militer menjadi lebih beradaptasi dengan politik dan ekonomi dengan menempatkan anggota mereka pada kabinet, eselon atas dalam pelayanan sipil, dan administrasi daerah. Mereka juga berusaha mendominasi front nasional dan mengorganisasikan hubungan dekat antara pemerintah dan rakyat.

Pada bulan Maret 1964, anggota Front Nasional dimasukkan ke dalam Catur Tunggal, sebuah sistem administrasi di mana empat elemen pemerintah, yang terdiri dari gubernur atau bupati, komandan tentara setempat, kepala polisi dan penindas masyarakat, membuat keputusan kolaboratif mengenai isu-isu regional mereka. Bersamaan dengan ekspansi kekuatan politik, militer juga menambah kekuatan teritorial mereka. Strategi ini juga menciptakan organisasional Tentara dan Territorium (T&T) di tingkat provinsi, yang berganti nama menjadi Komando Daerah Militer (Kodam), Komando Resort Militer (Korem), Komando Distik Militer (Kodim), juga Komando Rayon Militer (Koramil). Di Jawa Timur, T&T V menjadi Kodam VIII Brawijaya berdasarkan pada dekrit militer tertanggal 24 Oktober 1959. Dengan struktur teritorial baru, tentara mulai program mereka seperti indoktrinasi publik atau kegiatan budaya, yang menghubungkan administrasi sipil, organisasi agama dan budaya, kelompok muda, veteran, serikat pengusaha, organisasi petani, partai politik, dan kelompok-kelompok tingkat lokal lainnya. Bahkan juga mengirimkan dokter, teknisi, dan kelompok hiburan untuk memenangkan hati rakyat.

Kajian-kajian yang ada mengenai pembunuhan tahun 1965-1966 di Jawa Timur menyoroti dua ciri utama kekerasan di wilayah ini: lambatnya respons komandan militer provinsi untuk memusnahkan kelompok komunis dan tingginya keterlibatan warga sipil dalam kekerasan tersebut. Oleh karena itu, keragu-raguan atau kelambanan Panglima Brawijaya juga harus dilihat sebagai momen pergeseran aliansi politik: dari aliansi yang berada di bawah Sukarno, menjadi faksi militer yang berorientasi kudeta dan didominasi oleh Suharto. Kelompok-kelompok sipil yang dulunya merupakan sekutu independen tentara, kini menjadi klien pendukung militer mereka, karena percaya bahwa negara tersebut sedang memasuki perang melawan komunis.

Titik balik pembersihan Jawa Timur terhadap sayap kiri terjadi setelah terbentuknya Pupelrada (Pembantu Pepelrada/Penguasa Pelaksana Dwikora Daerah). Pembentukannya merupakan perpanjangan tangan Pepelrada hingga ke tingkat kota/kabupaten. Sehari setelah terbentuknya Pupelrada di Malang, kelompok pemuda keagamaan mengadakan rapat umum Komando Aksi (Komando Aksi) di alun-alun kota Malang pada tanggal 14 Oktober. Dalam pertemuan tersebut, para pemuda menyatakan secara terbuka bahwa mereka akan membantu tentara dalam menumpas Gerakan 30 September dan diterima oleh Kolonel Soemadi, Komandan Kopur III/83 (Komando Tempur/Komando Pertempuran di bawah Korem 083). Pertemuan tersebut juga menyerahkan 250.000 pemuda dari 30 ormas yang tergabung dalam Front Pemuda (Front Pemuda) Kota Malang.

Pada tanggal yang sama, militer mulai mengeluarkan perintah untuk menangkap dan menyelidiki anggota Gerwani dan Pemuda Rakyat guna mencari “informasi lengkap terkait Gerakan 30 September”. Radiogram ini menginstruksikan setiap Kodim (Komando Distrik Militer) untuk bekerja sama dengan komando kepolisian setempat dan Panca Tunggal untuk menyelidiki anggota Gerwani dan Pemuda Rakyat yang terlibat dalam pelatihan relawan di Jakarta. Investigasi harus menekankan pada pengetahuan mereka tentang Gerakan 30 September dan implementasinya di daerah. Masih belum jelas apakah radiogram ini mempengaruhi pembunuhan massal, namun menunjukkan bahwa demonstrasi massal sebelumnya mulai berubah menjadi serangan terhadap sayap kiri. Dari akhir Oktober hingga Desember 1965, laporan tersebut sering menyebutkan pembunuhan anggota organisasi sayap kiri yang dilakukan oleh pembunuh tak dikenal.

Terbentuknya Pupelrada menjadi titik balik dimana gerakan organik dari kelompok sayap kanan dan kiri pada minggu-minggu pertama bulan Oktober 1965 bertransformasi menjadi serangan terhadap sayap kiri pada pertengahan Oktober 1965 di Malang, Jawa Timur. Dalam hal ini, keterlibatan massa sipil dalam pembersihan anti-komunis harus dianggap sebagai upaya untuk menciptakan keyakinan bahwa kekerasan terhadap PKI adalah hasil dari kemarahan komunal yang spontan – sebuah ciri perang saudara. Instruksi untuk mengorganisir kekuatan sipil di bawah komando Angkatan Darat berlanjut hingga akhir bulan November 1965. Misalnya, sebuah radiogram pada tanggal 25 November 1965 memerintahkan seorang perwira menengah (Pama/petugas menengah) untuk langsung memimpin aksi massa. Setidaknya ditemukan dua petunjuk penting terkait eskalasi kekerasan. Yang pertama adalah pembentukan Pupelrada pada pertengahan Oktober 1965, yang menjadi titik balik bagi Komando Resor Militer (Korem) di Jawa Timur untuk mempunyai kekuasaan ekstra-yudisial dalam melaksanakan pembersihan anti-komunis di daerah mereka. Yang kedua adalah dikeluarkannya Operasi Pancasila pada tanggal 21 Oktober 1965 oleh Panglima TNI Jawa Timur yang secara jelas menyebutkan penggunaan warga sipil dalam operasi tentara melawan komunis.

ABSTRAK:

Paper ini membahas secara lebih lanjut konsep gabungan genosida dan pembunuhan massal melalui studi kasus anti-komunis di Indonesia periode 1965-66. Tingginya pelibatan masyarakat sipil pada pembunuhan ini telah mengaburkan kesimpulan bahwa negara (dalam kasus ini tentara Indonesia) tidak punya peran signifikan dalam pembunuhan. Negara Indonesia dan berbagai akademisi menginterpretasikan kekerasan ini sebagai hasil dari konflik horizontal antara komunis dan kelompok nasionalis religius; atau kekerasan yang tidak dihasilkan dari pola umum; karena beberapa area tentara mengambil kepemimpinan, ketika di area yang lain oleh masyarakat. Paper ini membahas pembunuhan di Jawa Timur, dengan tingkat kematian yang tinggi. Studi sebelumnya di provinsi ini menyimpulkan bahwa masyarakat secara dominan mengambil aksi melawan komunis dan para orang kiri. Meskipun hal ini tidak berarti bahwa tentara tidak mempunya peran signifikan dalam kekerasan. Melalui analisis akses terbaru dari arsip Kodam V Brawijaya, paper ini akan menunjukkan bahwa meskipun pembunuhan massal dieksekusi oleh orang-orang sipil di awal Oktober 1965 di Jawa Timur, mereka terkoordinasi secara sistematis di bawah instruksi militer sejak pertengahan Oktober 1965. Membaca arsip ini secara kuat menunjukkan bahwa militer secara struktural memfasilitasi kekerasan, ketika di sisi lain, masyarakat sipil berkolaborasi dengan militer untuk menyingkirkan orang-orang kiri Indonesia. Kolaborasi di Jawa Timur menunjukkan koordinasi secara struktural untuk persekusi komunis.

Link: https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/14623528.2020.1778612

Leksana, Grace. "Collaboration in mass violence: The case of the Indonesian anti-Leftist Mass killings in 1965–66 in East Java." Journal of Genocide Research 23.1 (2021): 58-80.

#31daysofindonesianscholar #graceleksana #masskilling #antileftist #eastjava #indonesia #army

PROFILE SCHOLAR:

Grace Tjandra Leksana merupakan peneliti sejarah dan dosen sejarah Universitas Negeri Malang (UM). Dia menyelesaikan pendidikan S1 di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, S2 di Institute of Social Studies (ISS) Belanda, dan S3 di Universitas Leiden Belanda. Minat penelitian Grace terkait memori kolektif, kekerasan negara, sejarah oral, studi agraria, dan dekolonisasi. Dia juga menjadi anggota Institut Sejarah Sosial Indonesia. Grace menulis buku "Memory Culture of the Anti-Leftist Violence in Indonesia" (Amsterdam University Press, 2023).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar