Rabu, 17 April 2024

Kerja Tak Terbayar di Media Sosial: Alienasi dan Eksploitasi Pekerja yang Tersamarkan dalam Kapitalisme Digital - Arif Novianto dan Anindya Dessi Wulansari

Fenomena prosumer, orang yang memproduksi sekaligus mengkonsumsi secara bersama-sama dalam dunia digital telah menjamur di Indonesia seiring dengan meningkatnya pengguna internet di Indonesia. Waktu luang rata-rata digunakan untuk bermedia sosial, seperti Facebook, Twitter, Instagram, juga Linkedin. Aktivitas ini tampak seperti bermain-main, meskipun ada data yang diam-diam digunakan oleh korporasi media sosial. Proses ini disebut sebagai komersialisasi informasi. Para prosumer ini menjadi pekerja dari korporasi media sosial yang menghasilkan nilai lebih yang tidak dibayar, serta tak menikmati hasil kerja yang dijual dari iklan oleh korporasi media sosial tersebut.

Esai ini menanyakan, bagaimana kerja yang dilakukan oleh pengguna media sosial tak terbayar tersebut? Apa yang disebut kerja dan nilai kerja dalam aktivitas media sosial? Fokus penelitian ini pada pengguna Facebook. Bagaimana Facebook melakukan akumulasi kapital? Apa implikasi model bisnis Facebook pada pengguna?

Bagi Marx dan Engels, kerja didefinisikan sebagai kegiatan produktif yang dilakukan secara sadar untuk mentransformasi dan mengorganisasi alam, sehingga manusia bisa memproduksi prasyarat untuk melangsungkan hidup. Kerja pada dasarnya menyenangkan, selain menjadi hakikat hidup, memenuhi kebutuhan, juga mengembangkan kapasitas diri. Namun, kerja berubah menjadi keterasingan (alienasi) saat tidak ada sistem sosial yang mendukung dan adanya eksploitasi. Eksploitasi dilakukan oleh kelas kapitalis yang memiliki sarana produksi kepada kelas pekerja yang tidak mempunyai sarana produksi.

Lalu, bagaimana dengan "kerja-bermain (playlabour)" di era digital? Perkembangan teknologi tak dipungkiri memicu kenaikan produktivitas, sehingga menciptakan waktu luang bagi pekerja. Terlebih ketika internet muncul, relasi baru terbentuk, disusul dengan media sosial yang menghubungkan jutaan orang di seluruh dunia. Media sosial sendiri umumnya digunakan saat senggang, setelah bekerja. Media sosial ini juga menjadi "arena bermain" untuk berbagi informasi, memberikan like dan komentar, dan menjalin relasi sosial. Sayangnya, relasi sosial ini memang seperti kegiatan bermain, tetapi pada dasarnya juga melakukan "kerja".

Para pengguna medsos berbagi pengalaman dan ditampung oleh platform menjadi big data. Korporasi kemudian menjual data untuk akumulasi kapital. Ini pula yang dilakukan oleh Facebook yang pada tahun 2018 telah mempunyai pengguna sebanyak 2,17 miliar tersebut dan Indonesia masuk lima besar pengguna terbanyak. Platform sendiri menciptakan sistem agar pengguna bisa bermain lebih lama, tanpa sadar model bisnis yang dijalankan platform. Preferensi dari tombol like, share, dan comment diambil untuk menentukan iklan yang diminati oleh pengguna dengan teknik algoritma.

Facebook sendiri menambang preferensi lewat tiga cara: (1) informasi share dan like, (2) profil pengguna saat sign up, (3) aktivitas pengguna pada situs web lain selain Facebook. Dari data preferensi dan algoritma, Facebook menggunakannya untuk mengambil surplus nilai dari iklan. Apalagi tahun 2017, sebanyak 98 persen pendapatan Facebook berasal dari iklan. Facebook mendapatkan miliaran uang dari waktu berjam-jam yang dilakukan oleh user ketika melakukan kerja tak berbayar.

Hardt dan Negri (2004)telah merumuskan kerja nir-material dari produk nir-material seperti komunikasi, informasi, pengetahuan, juga hubungan sosial. Sifatnya yang tak tampak menimbulkan perdebatan terkait eksploitasi dan keterasingan yang dialami user. PJ Rey (2012) menjelaskan, berbeda dengan pabrik yang memiliki SOP, media sosial merupakan pilihan dan bukan kewajiban. Sementara itu, Fuchs dan Sevignani (2018) menyatakan jika media sosial telah mengasingkan manusia dari berbagai sisi: diri sendiri, objek kerja produktif, dan produk yang diciptakan. Di sisi lain, user tidak menikmati data hasil kerja mereka, hanya mendapat nilai guna berupa informasi, relasi sosial, dan profil tertentu.

Apalagi, iklan di Facebook punya berbagai kelebihan yang berbeda dengan iklan tradisional di TV, koran, radio, seperti personalisasi pengguna Facebook sehingga dapat menyasar individu tertentu. Isi iklan berfokus pada barang-barang tertentu. Hukum nilai di Facebook yaitu, semakin banyak waktu dihasilkan pada platform, semakin berharga komoditas data yang sesuai. Sayangnya, eksploitasi yang dilakukan platform sifatnya tersamarkan dan membuat pengguna merasa seolah "tidak dirugikan", karena mereka bisa bersenang-senang, membangun relasi, berbagi info personal, dan mengisi waktu luang.

Kerja tersamarkan yang berlangsung di era kapitalisme ini menjadi tidak hanya mencuri nilai lebih saat kerja formal berlangsung, tetapi juga nilai lebih dari waktu senggang. Kondisi ini juga mendistorsi konsep antara waktu kerja dan waktu senggang. Aktivitas media sosial menjadi terkomersialisasi karena kepentingan ekonomi dari pemilik sarana produksi platform media sosial, yang mengontrol dan mengendalikan data dari konten serta aktivitas pengguna. "Kerja para pengguna menjadi kekayaan bagi pemilik kapital media sosial dan menjadi kemiskinan bagi pengguna akibat kerja mereka tidak terbayarkan."

Eksploitasi media sosial, khususnya di Facebook dalam esai ini mempunyai watak ganda: (1) eksploitasi karena nilai kerja pengguna hanya dinikmati oleh pihak korporasi digital Facebook, (2) eksploitasi terjadi karena pengguna merupakan prosumer (pemroduksi konten sekaligus penggunanya secara bersamaan). Para pengguna media sosial kemudian sejatinya merupakan subjek yang membangun platform media sosial itu sendiri lewat aktivitas konten yang dilakukan, dan korporasi media sosial "berutang" dan "berkewajiban" memenuhi nilai kerja yang dilakukan oleh pengguna untuk keuntungan mereka. Jika pengguna ini berhenti bermain media sosial, otomatis usaha mereka akan mogok dan bangkrut.

Novianto, Arif, and Anindya Dessi Wulansari. "Kerja Tak Terbayar di Media Sosial: Alienasi dan Eksploitasi Pekerja yang Tersamarkan dalam Kapitalisme Digital." Jurnal Studi Pemuda 6.2 (2019): 651-658.

Link: https://journal.ugm.ac.id/jurnalpemuda/article/download/39744/23819

#31daysofindonesianscholars #arifnovianto #anindyadessiwulandari #jurnalstudipemuda #ugm #kapitalisme #digital

PROFIL SCHOLAR:

Arif Novianto merupakan peneliti di Institute of Governance and Public Affairs Universitas Gadjah Mada (UGM) dan editor di Penerbit Independen. Pegiat MAP Corner Fisipol UGM kelahiran Pati, 29 Januari 1992 tersebut menyelesaikan pendidikan S1 dan S2-nya di jurusan Manajemen dan Kebijakan Publik (Administrasi Negara) UGM. Arif bergiat pada kajian seputar ekonomi politik, perburuhan, gerakan sosial, dan pekerja gig.

Anindya Dessi Wulansari merupakan pengajar di Universitas Tidar Magelang dan research fellow di Institute Governance and Public Affairs UGM. Anin menyelesaikan pendidikan S1 Manajemen dan Kebijakan Publik UGM dan S2  Ilmu Administrasi Publik UGM. Dia meminati kajian terkait ekonomi gig, hubungan perburuhan/industrial, kebijakan upah, dan gerakan sosial. Salah satu penelitiannya yang terbit di Fudan Journal of the Humanities and Social Sciences berjudul "Indonesia's Cheap Wages Regime: The Political Economy of Minimum Wages Policy under Jokowi Presidency".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar