Senin, 08 April 2024

Creative and Lucrative Da’wa - Eva F. Nisa

Dakwah kontemporer Indonesia telah diwarnai oleh berbagai platform dari pemuda Muslim Indonesia dengan berbagai aktivitas yang digunakan untuk menyebarkan pesan-pesan Islam yang disebut dengan dakwah. Paper ini berfokus pada apa yang disebut sebagai dakwah lembut dan ringan yang khususnya dilakukan oleh aktivis perempuan. Soft dakwah di sini merujuk pada bahasa dan visual yang mengandung nada positif dan kutipan (quotes) motivasional. Riset ini menanyakan, apakah produksi unggahan dakwah di Instagram dan pengonsumsian produk dakwah di Instagram memiliki arti bagi produsen dan audience-nya? Apakah produksi dan konsumsi dakwah Instagram mengubah cara mereka dalam mempraktikan nilai agama?

Menggali lebih jauh, studi terkait hubungan antara agama dan internet semakin banyak karena masifnya penggunaan internet yang dipercayai oleh berbagai para pemeluk keyakinan di berbagai tradisi agama. Pengguna internet dan komunitas agama membentuk teknologi media berdasarkan pada nilai keagamaan mereka. Studi terbaru, penggunaan sosial media dalam Islam masih berfokus pada konflik yang berhubungan dengan Muslim dan menjadi alat bagi Muslim radikal aktif yang menggunakan berbagai platform media mereka seperti Twitter, Instagram, dan Facebook. Peneliti Bunt semisal, menyebut fenomena jihad elektronik dengan “e-jihad”, yang secara alternatif merujuk pada “inter-fada” kaitannya dengan konflik yang terjadi di ruang cyber antara kepentingan Palestina dan Israel. Farwell (2014) juga mendiskusikan bagaimana ISIS mempergunakan media sosial untuk mengiklankan kepentingan mereka.

 

Paper ini mengkonkretkan interseksi antara dakwah dan Instagram, sebagai salah satu media sosial yang dikenal secara global dan diluncurkan pada bulan Oktober 2010, dan menjadi salah satu platform untuk berbagai foto, video, dan jaringan sosial. Lebih lanjut, fenomena ini menurut Campbell (2013) menyebut agama digital sebagai ruang teknologi dan budaya yang timbul ketika kita berbicara tentang agama online dan offline yang telah bercampur dan terintegrasi. Ruang digital juga menyediakan berbagai kesempatan baru bagi antropologi untuk membantu kita memahami bagaimana menjadi manusia. 

 

Riset etnografi offline ini dilakukan di Jakarta antara tahun 2015 dan 2017. Riset ini berfokus pada dua akun Instagram dakwah, yang menjadi akun populer dan diikuti oleh pemuda perempuan Muslim: Ukhtisally dan Duniajilbab. Mereka menyebarkan pesan dakwah yang pengikutnya mayoritas perempuan. Selain itu, dalam pembuatan paper ini, Eva juga mewawancari 33 akun pengguna Instagram dan 29 ‘pengintai’ (lurkers) Instagram. Para subjerk ini dipilih setelah riset online dan offline untuk menemukan akun dakwah populer. Setelah itu, studi melancak informan kunci yang mempunyai pengetahuan tangan pertama terkait isu yang dibahas. Segi penting lainnya dari studi ini adalah keberagaman dari informan kunci. Interview dilakukan tidak hanya dengan konten kreator, pengikut, dan pengintai Uktisally dan Duniajilbab, tetapi juga penggunakan internet secara umum. 

 

Umumnya, penggunaan istilah dakwah berhubungan dengan aktivitas pergerakan Islam di Indonesia dalam arti yang luas, khususnya bagi pemuda Muslim. Aktivitas ini salah satunya penggunaan Instagram sebagai media dakwah. Pemuda Muslim dalam studi ini percaya bahwa memotivasi seseorang melalui unggahan Instagram bisa membawa seseorang untuk menaati perintah Tuhan, serta memperluas prinsip amar makruf nahi mungkar, sebagaimana yang disebut dalam Al-Qur’an/9: 71. 

 

Apalagi, sebagian besar organisasi massa Muslim dan partai politik berbasis Islam memiliki asosiasi pemuda mereka. Pemimpin pemuda Muslim dan perkumpulan mahasiswa juga memiliki asosiasi muda Msulim mereka, seperti HMI yang berdiri tahun 1960an. Salah satu perkembangan penting dalam dakwah Muslim ini, munculnya Lembaga Dakwah Kampus (LDK) tahun 1980an. Organisasi ini sebagai payung gerakan dakwah di berbagai universitas Indonesia. Selain itu, gerakan Tarbiyah juga berkembang pada tahun 1980an, yang terinspirasi dari persaudaraan Muslim di Mesir. Di masa digital ini, spektrum dakwah menjadi semakin luas dilakukan oleh dai dan daiya. Seperti melalui penggunaan Instagram, para aktivis percaya mereka bisa melakukan dakwah secara kreatif, dengan cita rasa muda dan ekspresi yang berhubungan dengan budaya populer pemuda.

 

Asumsi ini muncul khususnya karena adanya fenomena di berbagai negara Muslim, internet telah mengakselerasi demokratisasi pengetahuan Islam dan memungkinkan pertumbuhan interpretasi baru terhadap Islam. Martin van Bruinessen menyebut, peran internet dalam demokratisasi pengetahuan Islam ini dengan cara meruntuhkan monopoli ulama sebagai interpreter utama sumber-sumber agama (Al-Qur’an, hadis, dan fikih). Konten yang diusung mengamplifikasi gerakan agama yang umumnya merupakan anggota dari gerakan Tarbiyah, Salafisme, dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Instagram sendiri membantu dalam pembentukan identitas. Bentuk-bentuk fotogradi menjadi bentuk komunikasi utama dalam menarik minat pemuda, khususnya perempuan muda.

 

Para pengguna Instagram sebagaimana di dua akun tersebut tidak perlu menuliskan kata-kata dalam membuat unggahan, pun mereka hanya membutuhkan foto untuk membagikannya pada cerita mereka. Gagasan hijrah kemudian dikenal untuk mengenalkan tujuan mereka dalam menggiring seseorang menjadi Muslimah yang lebih baik. Salah satu pengikut IG dakwah yang diwawancari Eva menyatakan, dia tidak tertarik pada akun itu sendiri, hanya tertarik pada gambar dan warnanya yang pink. 

 

Akun Ukhtisally dan Duniahijab sendiri tak hanya sebagai dakwah, tetapi juga akun bisnis yang menguntungkan. Bisnis dakwah dalam konteks ini merujuk pada bisnis aktivitas Instagram dari aktivis dakwah, yang bertujuan untuk mengenalkan para follower dan pengintainya kepada langkah-langkah untuk menjadi perempuan Muslim yang salehah. Ukhtisally dan Duniahijab bekerja sama untuk mewujudkan dan menormalisasi transformasi keislaman mereka yang taat. Salah satu kampanyenya yaitu penggunaan hijab syar’i. Isu-isu lain seperti satu hari satu jus, pejuang subuh, dan sedekah harian. Selain itu, akun juga dihubungkan dengan produk jualan para adminnya, yang bekerja sama dengan partner usaha tertentu. 

 

Akun Ukhtisally sendiri dibuat oleh Ayu Momalula pada tahun 2013, seorang ibu umur 28 tahun dengan satu anak. Ayu dan suaminya Viki menciptakan karakter imajiner yang bernama Ukhti Sally karena mereka mengetahui penggunaan figur nyata rentan terhadap ketidaksempurnaan. Dampaknya, mereka bisa kehilangan pengikut jika figurnya mengalami masalah. Perjalanan hijrah Ayu dimulai ketika dirinya SMA, kakaknya yang aktif di halaqah Tarbiyah meminta Ayu mengikuti jejaknya. Ayu pun dekat dengan gerakan Salafisme. Beberapa ustadz yang juga terogolong dalam gerakan salafisme ini seperti Ustadz Firanda, Ustadz Khalid Basamalah, dan Ustadz Syafiq Reza Basalamah. Ayu sendiri sukses menunjukkan kreativitas dan bakatnya dalam merebut pasar pemuda Muslim perempuan Indonesia.

 

Sementara itu, Duniajilbab diciptakan oleh Fatiya, perempuan single 20 tahun yang baru lulus dari Kwik Kian Gie School of Business, atau yang sebelumnya dikenal sebagai Institut Bisnis Indonesia. Dia sendiri menceritakan perjalanan hijrahnya sebagai seorang DJ di Jakarta, menggunakan pakaian seksi, kemudian dia bertemu dengan pria yang juga mempunyai masa lalu yang kelam. Pria ini ingin kembali ke Islam, dan akhirnya Fatiya memutuskan pula untuk kembali kepada Islam. Perjalanan hijrah Fatiya ini dimulai ketika dia mengikuti secara singkat Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), gerakan sektarian Islam yang berdiri tahun 1950an. Namun, Fatiya keluar dari LDII ketika ditetapkan oleh MUI sebagai kelompok sektarian sesat. Kemudian dia terinspirasi oleh ulama seperti Ustadz Felix Siauw dan Ustadz Salim A. Fillah. Dia juga mendatangi berbagai kelompok dalam lingkaran salafi.

 

Menariknya, fokus kebahagiaan sebagai pemahaman yang digunakan oleh dua kelompok ini tidak sepenuhnya kebahagiaan spiritual, mereka hanya merujuk pada perkataan kebahagiaan. Usaha pengikut dari Ukhtisally maupun Duniajilbab ini merupakan upaya kebangkitan gerakan perempuan Muslim. Saba Mahmood (2005) menganalisis, peran perempuan dalam dakwah Islam memungkinkan karena akses terhadap pendidikan modern dan teknologi terbaru. 

 

ABSTRAK:

 

Media sosial telah menjadi bagian dari bagian hidup privat dan publik para generasi muda secara global. Menggambarkan baik penelitian secara online maupun offline, paper ini berfokus pada penggunaan Instagram oleh pemuda Muslim Indonesia. Paper ini menganalisis bagaimana pesan yang diunggah ke Instagram melalui pos dan caption, mempunyai dampak penting terhadap pemuda Muslim Indonesia dalam memahami agama dan menonjolkan identitas kesalehan dan tujuan hidup mereka. Paper ini berargumen bahwa Instagram telah menjadi platform utama bagi pemuda Muslim perempuan untuk mendidik sesamanya menjadi Muslim yang taat. Kreativitas dan semagat dalam penciptaan konten dakwah, dan keyakinan mereka dalam memanfaatkan gambar sebagai cara yang untuk menyampaikan pesan seribu kata, telah memposisikan mereka sebagai infulencer media sosial, yang menggiring dan memungkinkan mereka untuk melakukan dakwah secara halus (soft da’wa) dan dakwah yang menguntungkan melalui bisnis.

 

Nisa, Eva F. "Creative and lucrative Daʿwa: the visual culture of Instagram amongst female Muslim youth in Indonesia." Asiascape: Digital Asia 5.1-2 (2018): 68-99.

 

Link: https://brill.com/view/journals/dias/5/1-2/article-p68_68.xml

 

#31daysofindonesianscholars #evafnisa #Instagram #IG #muslim #youth #female #dakwah #sosmed

 

PROFIL SCHOLAR:

 

Eva F. Nisa merupakan antropolog budaya dengan kepakaran studi Islam. Saat ini dia bekerja sebagai senior lecturer Antropologi di Australian National University (ANU) dan fellow di ARC DECRA. Dia juga pernah mengajar pada bidang Religious Studies di Victoria University of Wellington Australia dan menjadi Adjunct Research Fellow di The Social and Cultural Studies pada universitas yang sama. Eva menyelesaikan Pendidikan S1 di Universitas Al-Azhar Mesir, S2 di Universitas Leiden Belanda, dan S3 di ANU. Publikasi dan risetnya berfokus pada interseksi antara agama, budaya, politik, ekonomi, sosial, dan aspek filsafat. Penelitiannya di ARC DECRA membahas terkait, “Standardising Halal: Interpreting the Tension between Global dan Local”, riset lapangan yang berbasis di Indonesia dan Malaysia (2021-2024).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar