Selasa, 02 April 2024

The Politics of Conversion: Religious Change, Materiality and Social Hierarchy in Central Upland Borneo - Imam Ardhianto

Konversi agama tidak dapat terjadi tanpa bergantung pada struktur sosial-politik lokal suatu masyarakat. Namun, proses konversi agama pada masyarakat adat lokal lebih banyak dianalisis dari sudut pandang kuatnya peran kekuatan eksternal, di antaranya seperti kolonialisme dan pembentukan negara. Dalam paper ini, Imam mengkritik pandangan fungsionalis terkait konversi yang menjelaskan secara pragmatis dalam mengatasi krisis sosial. Hal ini baik dilakukan secara sadar maupun paksaan melalui pemasukan ide, simbol, gagasan asing tentang kepribadian, dalam rangka beradaptasi dengan kekuatan-kekuatan eksternal.

Tulisan ini mengkritisi penekanan berlebihan pada peran kolonialisme dan pembangunan negara di dalam menyelesaikan pergolakan dan krisis sosial di komunitas lokal untuk menjelaskan konversi (perpindahan) agama. Dalam prosesnya, Imam mengembangkan argumen yang menyoroti dimensi ekonomi-politik lokal, yang melibatkan cara penghidupan dan kondisi material yang memfasilitasi konversi agama oleh masyarakat lokal. Dia juga tidak mengabaikan terkait persinggungan tema ini dengan proses nasional dan global. Selain itu, paper ini menguraikan bagaimana masyarakat mengadopsi, menolak, atau mempertahankan praktik keagamaan tertentu dengan mengacu pada kondisi material dan memungkinkan hingga menghalangi ritual keagamaan tertentu dan perubahan interpretasi dan pemahaman agama.

Imam melakukan tugas ini dengan menangani kasus konversi agama dan narasi reformasi agama masyarakat adat dari sejarah lisan di kalangan masyarakat Kayan dan Kenyah, dan beberapa studi tentang perubahan agama di dataran tinggi Kalimantan Tengah. Pada wilayah ini, kelompok etnis tidak pernah mengalami periode dakwah agama yang panjang dan terus menerus di era kolonial. Ini dikarenakan keterasingan mereka dari dunia luar, di mana Sungai Kayan yang arusnya deras merupakan satu-satunya jalur yang menghubungkan dataran tinggi Kalimantan Tengah dengan wilayah pesisir. Selain itu, sulit untuk berargumen mengenai hubungan yang kuat antara dakwah dan kolonialisme, ketika di Kalimantan bagian Belanda dan di Sarawak, Malaysia, para penguasa kolonial tidak menyukai misi keagamaan sebagai bagian dari orientasi mereka terhadap dataran tinggi Kalteng.

Baru pada tahun 1920-an, agama Kristen diperkenalkan secara intensif oleh para misionaris asal Amerika. Organisasi-organisasi yang berkaitan seperti Christian Mission Alliance (CMA) dan Borneo Evangelical Mission (BME) di kota-kota pesisir Kalimantan utara dan timur, seperti Miri, Kuching, Tanjung Selor, dan Tarakan. Namun, aktivitas mereka berhenti pada masa Revolusi Indonesia (1945-49).

Pengalaman religiusitas sendiri merupakan hal biasa di dalam kehidupan individu, bahkan pada periode di mana tidak ada atau sedikitnya perpindahan agama. Sejarah lisan yang disampaikan tetua Kayan-Kenyah menunjukkan bagaimana agama Kristen dipraktikkan pada periode awal pembentukan negara Indonesia dan Sarawak, antara tahun 1945 dan 1963. Imam berpendapat, kontestasi antar kelas dan kondisi material dari kehidupan beragama di kalangan masyarakat Kayan-Kenyah sangat mempengaruhi keputusan untuk mempertahankan, menolak, atau mereformasi afiliasi keagamaan tertentu, yang dalam hal ini paling dominan adalah agama Kristen.

Selama tahun 1940-an hingga 1970-an, perubahan struktur politik-ekonomi yang mengatur kehidupan sosial Kayan-Kenyah mempengaruhi transformasi agama tradisional dan adopsi agama Kristen. Kemunculan Bungan Malan menjadi pertanda munculnya gerakan reformasi kepercayaan tradisional lama yang menyaingi agama Kristen, menunjukkan adanya faksi sosial dalam kelompok etnis tersebut. Imam menanyakan, ketegangan sosial lokal apa saja yang terekspresikan dalam perubahan agama tersebut? Bagaimana dinamika struktural lokal memberi pintu masuk baru ke dalam perdebatan mengenai transformasi agama dan konversi masyarakat adat?

Menengok wacana konversi agama di Indonesia, penekanannya lebih dikarenakan adanya kekuatan kolonial Belanda/Inggris/Portugis yang masuk. Intervensi terhadap identitas agama yang dilakukan negara-negara modern, proyek militer, dan kontrol, menggambarkan konversi sebagai bagian dari proyek pembangunan politik dan kewarganegaraan negara. Sebabnya, konversi agama terjadi seiring dengan perluasan institusi kekuasaan global-modern dan transformasi lanskap sosio-ekonomi. Perpindahan agama di Kalimantan pada sejumlah literatur juga dianalisis dengan hal yang sama. Meski kemudian, analisis ini direkonseptualisasikan ulang. Adat/budaya menjadi ruang sosial untuk mewadahi tradisi dan ritual lama, namun juga memasukkan agama Kristen dalam kehidupan sehari-hari untuk memenuhi kriteria formal keagamaan. Dengan demikian, agama Kristen membantu masyarakat untuk menghadapi praktik negara.

Paper ini bertujuan untuk mengekstrak narasi mengenai ketegangan antar kelas di tengah perubahan lanskap sosial di dataran tinggi Kalimantan Tengah dari beberapa penelitian (Whittier 1973; Conley 1975; Rousseau 1998; Lumenta 2005) dan memfokuskannya pada isu-isu lokal dinamika kelas, perubahan materialitas, dan hubungan dengan perubahan ritual dan kosmologi. Fokusnya berada pada adopsi agama Kristen di Kalimantan Tengah di antara masyarakat Kayan dan Kenyah. Dengan mempertimbangkan hal ini, Imam menunjukkan, dinamika konversi agama dapat diatasi dengan memahami logika yang mendasari struktur sosial dan kondisi material yang memainkan peran sama pentingnya dalam dinamika transformasi keagamaan.

Area yang diteliti oleh Imam secara geografis berada di Kalimantan Tengah, dengan persimpangan hulu sungai-sungai besar, seperti Mahakam, Barito, Kapuas, Kayan, Baram, Baluy, dan Rejang. Sungai-sungai ini menjadi jalur utama suku Kayan dan Kenyah dalam proses pemukiman dan migrasi mereka sepanjang sejarah. Pada masa prakolonial, suku Kenyah hidup di wilayah hulu sistem Sungai Kayan dan Sungai Bahau di Kecamatan Bulungan. Kawasan ini menjadi sumber penting SDA seperti rotan, karet, sarang burung, kapur barus, damar, lilin lembah.

Permukiman Kayan dan Kenyah terletak di Kecamatan Bulungan, Kayan Utara, dan Kutai Barat di Kalimantan Timur dan Utara. Suku Kenyah terdiri dari 40 subkelompok yang dibedakan berdasarkan dialek dan asal-usul sejarahnya. Populasinya sekitar 44 ribu jiwa di Kalimantan Utara dan 25 ribu jiwa di Sarawak. Sebagian besar komunitas Kayan dan Kenyah beragama Kristen dan minoritas beragama Katolik Roma dan Islam.

Daripada melakukan dakwah, kepentingan kolonial di dataran tinggi Kalimantan lebih berfokus pada pengamanan aliran produk hutan dari pedalaman Kalimantan ke pasar-pasar di wilayah pesisir yang ditandai dengan Perjanjian Kapit. Perjanjian ini mengakhiri konflik permusuhan antara dua etnis terbesar di Kalimantan. Perlu dicatat, misi keagamaan bukanlah prioritas baik bagi pemerintah kolonial Belanda maupun bagi Charles Brooke, meskipun, terbukanya perdagangan serta marahnya kota pasar membuka jalan bagi agama Kristen untuk menyebar ke Kalteng seiring dengan meningkatnya mobilitas masyarakat Kayan-Kenyah. Meningkatnya akses kelompok etnis Kalteng terhadap kota-kota pesisir dan kota pasar dataran rendah, berdampak pada perluasan agama Kristen di Kalteng.

Faktanya, tradisi peselai (ekspedisi dagang) Kenyah berperan penting tidak hanya sebagai kegiatan ekonomi, tetapi juga dalam perjumpaan dengan agama-agama dunia. Agama Kristen masuk ke Kayan-Kenyah juga sebagai akibat dari proyek negara, antara tahun 1963-69, memaksa masyarakat adat setempat untuk menganut agama dunia.

Di antara Suku Kayan dan Kenyah, hubungan timbal balik antara struktur kekuasaan lokal dan ritual keagamaan terlihat jelas. Ritual merupakan moment penting bagi kelas bangsawan untuk menjalankan kekuasaannya. Itu terlihat misalnya dalam ritual pembukaan sawah baru, yang diselenggarakan untuk mengistimewakan kedudukan sosial mereka. Ritual kelas aristokrat ini dipimpin oleh paren, psosisi yang berseberangan dengan panyin yaitu rakyat jelata yang bekerja di sawah yang dikuasai paren. Hubungan ini mencerminkan pangkat dan status di desa. Para pemimpin bertanggungjawab atas penyelenggaraan perladangan berpindah, penyelesaian konflik agama, hingga ekspedisi perdagangan ke wilayah pesisir untuk menghormati kembalinya anggota peselai yang membawa pulang komoditas dan garam. Jelas, agama secara inheren terintegrasi dengan ekonomi dan politik dalam struktur kekuasaan lokal.

Sebagian besar ritual, kembali ke tahap awal konversi, yang terjadi saat-saat penting, seperti pernikahan, pemakaman, ritual pengobatan, awal dan akhir panen, serta kepulangan laki-laki dari ekspedisi perdagangan. Sedangkan generasi tua memilih tetap bertahan dengan kepercayaan lama yang disebut Bungan, yang berbeda dari agama lama dan Kristen.

Reformasi adat lama (Pu'un adat) memberikan gambaran bagaimana rakyat jelata mengatasi buruknya musim panen dengan cara menimbulkan ketegangan dengan kelas bangsawan. Jauh sebelum perpecahan akibat masuknya agama Kristen, seorang panyin dari Desa Kenyah Jalan Uma, Long Ampung bernama Djuk Apuy memiliki mimpi yang mengubah hidup dan berujung pada perubahan agama. Perubahan itu juga membawa jalan bagi rakyat jelata untuk melakukan peran baru untuk menghadapi kemalangan seperti gagal paenen di tengah rentetan musibah musim panen tahun 1948. Dalam mimpi, Apuy bertemu Bungan Malang yang menginstruksikannya untuk mereformasi keyakinan dan praktik keagamaan Kayan-Kenyah dengan meninggalkan sistem tabu dan ritual yang rumit, roh-roh menyuruhnya untuk mengatasi situasi tersebut dengan cara eksklusif memuja Bungan Malan melalui ritual yang tidak tergantung pada paren dan menolak semua dewa dan roh tradisional lainnya.

Dia melakukan instruksi tersebut dan mendapat keuntungan di tahun-tahun berikutnya dengan hasil panen yang melimpah. Tetangganya meniru praktik keagamaannya kemudian menyebar dengan cepat ke Kayan-Kenyah di sistem sungai lain di Sarawak. Afiliasi keagamaan ini menjadi sesuatu yang tidak teridentifikasi dengan agama Kristen maupun adat lama. Lewat mimpi dan wahyunya, didirikanlah ritual-ritual baru berdasarkan solidaritas sosial yang berbeda dan tidak didominasi oleh paren atau golongan bangsawan. Praktik ini mengambil bagian tertentu dari kosmologi, yang membuka kemungkinan pola keagamaan yang egaliter bagi rakyat jelata.

Perubahan menjadi Bungan memberikan ruang baru bagi masyarakat awam untuk menjalankan ritual egaliter di hampir seluruh aspek kehidupan sehari-hari. Pada awal penyebaran Bungan, siapa pun bisa menjadi pemimpin doa (guru Bungan). Aspek lain yang menunjukkan kesetaraan yang dibawa oleh reformasi Bungan adalah penghapusan ciri-ciri keagamaan yang telah membantu menekankan posisi kelas penguasa, seperti piala dan jimat. Ketika reformasi Bungan memungkinkan masyarakat untuk mengabaikan tabu yang memberatkan, terjadi perubahan pada struktur sosial desa. Misalnya, dalam konteks ritual pengobatan, yang merupakan salah satu momen terpenting dalam intervensi keagamaan selain panen dan pembukaan sawah, Bungan juga mulai meniadakan ritual seperti Dayong Hudo' Kaluy, tanpa menghiraukan pendeta yang berlatar belakang bangsawan setempat.

Kasus Kayan-Kenyah dengan kuat menunjukkan bahwa perubahan agama bukan sekadar cara fungsional untuk beradaptasi terhadap tekanan eksternal seperti intervensi negara kolonial, namun juga terjadi dalam lingkungan dinamika internal struktur lokal. Sejarah panjang isolasi dan otonomi dari daerah-daerah dan negara-negara pesisir, terutama dalam hal dakwah, telah membuat perubahan agama menjadi Kristen, sampai batas tertentu, menjadi masalah yang lebih lokal, seperti yang diilustrasikan dalam masalah-masalah lokal seperti gagal panen, kemalangan dan ketidakmampuan  dari sistem tabu dan ritual mahal untuk memecahkan masalah tersebut. Sejalan dengan itu, reformasi agama Bungan menghasilkan bentuk religiusitas non-hierarki dan egaliter yang ditandai dengan akses yang sama terhadap dunia roh, penghapusan banyak hal yang tabu, dan meningkatnya perlawanan terhadap struktur kekuasaan lama.

i Kalimantan Tengah bagian Indonesia, jumlah pengikut Bungan telah menurun sejak gerakan reformasi Bungan Malan pertama kali muncul pada awal tahun 1950-an sebagai konsekuensi dari upaya bersama untuk mengubah anggota masyarakat menjadi Kristen atau mempertahankan ketaatan mereka. Orang tua menganggapnya sebagai aliran sesat belaka yang lebih rendah dibandingkan agama Kristen dan agama lama Kayan-Kenyah.

Di Sarawak, penegasan kembali posisi bangsawan pada awalnya dimulai oleh para kepala suku dan pendeta yang pindah ke Bungan untuk melindungi kekuasaan mereka. Penggabungan kembali struktur tradisi keagamaan lama di Belaga memanfaatkan mimpi salah satu kepala desa Kayan di Sarawak (Uma Bawang), yang memintanya untuk mengambil kembali perisai paren tua yang telah dibuangnya bersama jimat lainnya. Pada akhir tahun 1970-an, adat Bungan perlahan-lahan menurun sementara agama Kristen berkembang ke beberapa pemukiman Kayan-Kenyah di Kalimantan Tengah. Perubahan ini juga mencerminkan pentingnya elit lokal yang berkepentingan dengan bangsawan/pemimpin desa masuk Kristen dilatarbelakangi oleh berdirinya SIB (Borneo Evangelical Mission).

Imam menyatakan dengan jelas bahwa keterlibatan suku Kenyah dengan agama-agama dunia, sampai batas tertentu, dipengaruhi oleh kolonialisme, pembentukan negara, dan perubahan dalam migrasi regional. Namun, makalah ini bertujuan untuk menyajikan pentingnya dinamika dan materialitas struktur sosial lokal untuk menjelaskan bagaimana masyarakat menolak atau mempertahankan keyakinan dan praktik keagamaan tertentu, dan bagaimana logika yang mendasari hubungan sosial (hierarki versus egaliter) dapat menjadi landasan bagi agama.

ABSTRAK:


Bertentangan dengan asumsi bahwa perpindahan agama sangat dipengaruhi oleh hegemoni kekuatan global (kolonialisme dan pembentukan negara modern) terhadap komunitas lokal, tulisan ini berargumen bahwa antagonisme internal kelas dan kondisi material juga berperan penting dalam dinamika adopsi atau perlawanan bagi agama Kristen. Dengan mengambil narasi kontestasi antar kelas antara bangsawan (paren) dan rakyat jelata (panyin), serta perubahan ritual di kalangan masyarakat Kayan-Kenyah di dataran tinggi Kalimantan Tengah pada masa perpindahan agama, tulisan ini menunjukkan pentingnya hierarki sosial terhadap keputusan masyarakat untuk berubah mengubah atau mempertahankan praktik keagamaan mereka.

Ardhianto, Imam. "The politics of conversion: Religious change, materiality and social hierarchy in central upland Borneo." The Asia Pacific Journal of Anthropology 18.2 (2017): 119-134.

Link: https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/14442213.2017.1280842

#31daysofindonesianscholars #imamardhianto #politics #conversion #christianity #uplandborneo #materiality #politicaleconomy #globalisation

PROFIL SCHOLAR:

Imam Ardhianto merupakan dosen di Departemen Antropologi FISIP Universitas Indonesia (UI) dan Ketua Unit Kajian Antropologi Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sosial Politik (LPPSP) FISIP UI. Dia menyelesaikan S1 Antropologi UI, S2 Geografi dan Antropologi EHESS Prancis, serta S3 Antropologi di Universitas Freiburg Jerman. Minat kajiannya terkait perubahan sosial, kekerabatan, keagamaan, serta media dan teknologi. Menulis buku “Hierarchies of Power: Evangelical Christianity and Adat Transformation in Indonesian Borneo” (Palgrave Macmillan, 2022).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar