Selasa, 09 April 2024

The Middle Class and Morality Politics in the Envisioning of the Nation in Post-Suharto Indonesia - Manneke Budiman

Tahun 2003 menjadi salah satu tahun bersejarah pada masa pos-Suharto di Indonesia. Lima tahun setelah Reformasi, Indonesia mengalami berbagai perubahan, salah satunya dikenal sebagai “fenomena Inul” atau “fenomenul”. Inul, penyanyi dangdut yang awalnya tak terdengar, tiba-tiba menjadi headline karena goyang ngebornya menjadi perbincangan, dan popularitas Inul meroket dalam semalam. Di sisi lain, Raja Dangdut Rhoma Irama menganggap goyang Inul vulgar dan berlawanan dengan ajaran Islam. Gelombang dukungan pun diberikan kepada Inul secara cepat, ada anggapan Rhoma hipokrit dan mencoba membunuh karier Inul melalui kompetisi yang tidak adil, karena Rhoma menggunakan otoritasnya sebagai raja dangdut sekaligus dai Islam.

 

Lahir dari keluarga kelas bawah di sebuah kota pesisir kecil di Jawa Timur, Inul Daratista memberikan energi baru yang berkaitan dengan polarisasi kekuasaan di antara kelompok-kelompok elite. Inul mengenalkan elemen-elemen rock, pencak silat, jaipong, holahop, hingga gerak aerobik ke dalam dangdut. Menghasilkan seri tarian berenergi dengan kecepatan yang cepat dari tubuh bagian bawah melalui goyang ngebornya. Tanggal 25 April 2003 merupakan hari yang bersejarah bagi Inul, karena pertemuan Inul dan Rhoma Irama yang menghasilkan kutukan artis senior pada juniornya di depan jurnalis karena tariannya itu. Goyangannya dianggap tidak sopan terhadap dangdut, yang diikuti dengan pelarangan MUI dan pemerintah daerah terhadap Inul untuk tampil. Beberapa artis juga menyuarakan protesnya terhadap tarian yang terlalu vulgar tersebut.

 

Tanpa membuang waktu, para fans Inul (Inul-mania) pun melakukan pembelaan. Aksi ini juga membuat mantan presiden Gus Dur, yang juga tetua NU dengan 35 juta pengikutnya, dengan dibantu pekerja seni dan aktivis perempuan berbicara untuk Inul. Para fans Inul juga membuat website yang didedikasikan untuk Inul. Organisasi baru FPI (Forum Pembela Inul) dan Jammah Inuliyah dibentuk. Mereka menggunakan istilah Republik Inulsia dengan Inul sebagai presidennya. Inul kemudian menjadi pembicaraan dari masyarakat dan pedagang kaki lima, hingga profesor-profesor di universitas. Termasuk juga para politisi yang memanfaatkan momen untuk menaikkan elektabilitas pada perhelatan pemilu 2004. 

 

Fenomenul ini menjadi trending karena berbagai alasan. Utamanya karena fenomena budaya yang cepat telah mentransformasi kontroversi antara elite dan orang biasa ke dalam debat yang diterima secara moral. Selain itu juga bangkitanya kekuatan Islam setelah Orde Baru atau pasca-Suharto. Penyair Taufik Ismail bahkan memberikan orasi budaya terkait ancama moral ini dengan gagasannya “Gerakan Syahwat Merdeka”. Selain itu, kasus Inul ini juga menunjukkan subjektivitas perempuan melawan angkatan konservatif yang mengekspos tubuh dan seksualitas perempuan. Elemen ini dianggap menjadi ancaman bagi “kepribadian bangsa”, sehingga dirumuskanlah undang-undang anti-pornografi. Paper ini membahas, tumbuhnya politik moral setelah kejatuhan Suharto di Indonesia memperlihatkan bagaimana karakter kelas menengah dengan semua kontradiksinya, memunculkan moralitas baru.

 

Di satu sisi, terdapat golongan kelas menengah intelektual konservatif seperti Rhoma Irama dan Taufik Ismail, yang meyakini moral suatu bangsa terancam oleh vulgaritas dan pornografi. Golongan ini pun telah memperkenalkan karya dan tren baru baik di bidang seni dan sastra yang diproduksi setelah kejatuhan Orde Baru. Di sisi lain, ada pula intelektual liberal dan akademisi seperti Goenawan Mohamad, B. Heryy Priyono, YB Mangunwijaya, dll, yang lebih berkonsentrasi pada perlindungan kebebasan berekspresi sebagai prasyarat untuk kemajuan bangsa. Dalam paper ini Manneke manyakan, bagaimana elemen yang berbeda-beda dari kelas menengah ini terjadi? Bagaimana usaha demokratisasi setelah reformasi 1998 terjadi

 

Goenawan Mohamad dalam kata pengantarnya kepada Ong Hokham dalam buku “Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang” (2003) mendefinisikan abad kedua puluh sebagai usaha untuk mencapai tujuan dua sisi yang tak terpisahkan: untuk mengejar kemajuan dan secara berkesinambungan untuk menemukan berbagai koheransi pada aliran kemajuan tersebut. GM mencoba menanyakan ulang masa lalu melalui komtemplasi romantis terhadapnya, sebagai manifestasi dari ekspresi puitis yang tinggi. Masa lalu dipotret sebagai suatu kehilangan yang hanya bisa didapatkan kembali melalui representasi romantis. Juga memahami masa lalu dalam genealogi bangsa, juga digambarkan sebagai sesuatu yang traumatis, dan ada dorongan untuk melupakan masa lalu, yang dalam prosesnya tidak menyenangkan untuk menuju kemajuan. Ini juga dimotivasi oleh ketidaksadaran yang menggiring pada usaha merepresi trauma.

 

Di sisi lain, Herry Priyono menggambarkan trayektori gagasan perjalanan kepada sebuah pembagian, masa depan yang mungkin frustratif. Gagasan ini dapat dilihat pada fenomena keseharian, ada serangkaian kekerasan politik yang terjadi secara masif dan dikomitmenkan oleh negara untuk mengurangi aspirasi rakyat. Kekerasan ini tidak mengizinkan gagasan untuk memutar kembali atau melihat kedepan. Pertanyaannya kemudian, sebenarnya apa genesis dari kekerasan yang menutup semua pintu nostalgia yang terjadi pada masa lalu dan mimpi di masa depan? Di dalam kondisi yang seperti itu, masa depan tampak menjadi tembok besar yang menutup jalur bagi pewujudan aspirasi bangsa untuk suatu “komuitas yang terbayangkan” (imagined community).

 

Bagi Priyono, merupakan hak dalam menggambarkan nasionalisme Indonesia sebagai bentuk politik yang unik dan baru, serta menjadi tindakan politik. Pandangan ini diadopsi dari akademikus Barat seperti Benedict Anderson. Kemudian kita mulai memahami mengapa penulis seperti Afrizal Malna menyebut suatu usaha skeptis yang dirumuskan sebagai “strategi kebudayaan”. Gagasan ini untuk menciptakan nilai baru yang cocok dengan konsep budaya baru bagi bangsa pasca-penjajahan seperti Indoneisa. Malna membagikan pandangan Priyono bahwa nasionalisme Indonesia secara dasar merupakan fenomena politik, meskipun trayektorinya kemudian bersifat kultural. Contohnya terjadi pada bahasa Indonesia, yang menjadi bahasa nasional, menurut Malna, bahasa ini memiliki akar politik yang kuat. Bahasa Indonesia lebih merupakan instrumen politik untuk melawan penjajahan Belanda, alih-alih sebagai refleksi dari realitas kebahasaan. 

 

Kata Malna, ada nasionalisme di dalam puisi, dan puisi merupakan jenis dari nasionalisme literer atau nasionalisme budaya, yang mengungkapkan dirinya melalui budaya yang digunakan oleh golongan eliter, yang memantulkan suaranya jauh di balik tembok kota besar. Ini dikonsumsi oleh mereka yang berpendidikan dan menguasai bahasa. Berkebalikan dengan kehidupan area pedesaan yang masih menggunakan bahasa ibu mereka sebagai sarana komunikasi. Ini mengapa, Malna menyebut sastra Indonesia sebagai literatur urban, yang bercerai dari realitas massa. Pandangan ini kurang lebih sama dengan apa yang diungkap oleh Hilmar Farid yang menyatakan, bahasa membawa batasan terhadap realitas, jarang digunakan dalam masyarakat kecuali untuk kekuasaan politik tertentu yang kuat.

 

Sebagian besar studi terkait kelas menengah di Indonesia cenderung memotret kelompok ini sebagai suatu yang problematis, dan urbanis, yang mengindikasikan kesepian dan heteogenitas. Selain itu, kelas menengah memiliki hubungan dengan politik dan proses demokrasi. Kelas menengah Indonesia yang muncul sejak dua dekade lalu setelah kemerdekaan, umumnya tidaklah kapitlistik. Sebagaian anggotanya memperoleh status melalui pendidikan formal dan pelatihan, yang memberi mereka akses terhadap pemerintahan, militer, dan politik. Ariel Heryanto mengkritik jalan di mana kelas menengah Indonesia umumnya salah dipahami. Kelas menengah umumnya dipahami sebagai realitas objektif yang secara empiris dan objektif terdefinisikan. Umumnya kelas ini berada di antara kelas atas dan kelas bawah, juga umumnya dianggap sebagai kelompok yang monolitik, dengan karakter, sikap, perilaku, dan identitas yang khas.

 

Segmen kelas menengah yang mendukung Orde Baru dapat dirujuk pada para borjuis Indonesia, yang dasarnya “anti-liberal”, dan tidak berharap pada keberadaan “kepemimpian liberal dan progresif terhadap politik dan reformasi pasar”. Sementara itu, periode Reformasi telah membuka lebih ruang bagi publik untuk menyuarakan kritik terhadap berbagai proyek pembangunan. Menyambung pada fenomenul, konflik ini mengungkap budaya kelas menengah pasca kejatuhan Orba. Standar moral terkait dangdut menjadi ambigu dan identik dengan orang kampung. Selain itu, kekerasan yang dilakukan berbasis kampung menciptakan polarisasi di antara publik Jakarta dan Idnoesnia dalam mendukung Inul berhadapan dengan konservasi ulama Islam, artis dangdut senior, politik sayap kanan, dan organisasi fundamentalis. 

 

ABSTRAK:

 

Esai ini membahas moralitas pertumbuhan politik pada masa pos-Suharto Indonesia dengan menghubungkannya kepada genealogi dan karakteristik kelas menegah Indonesia, khususnya selama periode Orde Baru, tanpa mengurangi isu profesionalisme atau kebangkitan Islam. Di samping itu, paper ini mencoba mengenali isu dengan melihat kontradiksi internal dari kelas menengah Indonesia, identitas siapakah ini, dan definisinya yang menyisakan sesuatu yang keruh dan kacau. Sebuah survei dari berbagai pemikiran kunci mengusulkan beberapa scholar utama yang membahas terkait budaya nasional, nasionalisme, dan kelas menengah, yang ditawarkan untuk memberikan pemahaman yang lebih baik hubungan antara kelas menengah dan visi budaya nasional, dan bagaimana moralitas politik muncul sebagai sesuatu yang baru, faktor dominan di dalam pembentukan suatu visi. Papaer ini fokus pada pembangunan yang terjadi selama era pos-Suharto, yang dimulai dari masa Reformasi tahun 1998 yang membuktikan hancurnya dimansi Orde Baru, dan bagaimana berbagai elemen kelas menengah bereaksi dengan berbagai caranya untuk mensosialisasikan isu budaya yang muncul setelah kejatuhan Sujarto, memperlihatkan kompleksitas dan heterogenitas di dalam pandangan moral dan politik dari kelompok.

 

Budiman, Manneke. "The middle class and morality politics in the envisioning of the nation in post-Suharto Indonesia." Inter-Asia Cultural Studies 12.4 (2011): 482-499.

 

Link: https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/14649373.2011.603912

 

#31daysofindonesiascholars #mannekebudiman #middleclass #morality #politics #postsuharto #Indonesia #kelasmenengah

 

PROFIL SCHOLAR:

 

Manneke Budiman merupakan Dosen di Jurusan Sastra Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (UI). Dia menyelesaikan pendidikan S1 Sastra Inggris di UI (1989), S2 Perbandingan Sastra di Universitas Winconsin-Madison USA (1994), dan S3 Studi Asia di Universitas British Columbia Kanada (2011). Minat penelitiannya berkaitan dengan media, studi subkultur, gender, kritik eko-literasi, hingga stusi Asia spesialis isu sosial dan kultural ASEAN. Beberapa proyek penelitian beliau di antaranya, “From Islamist Political Project to Post-Islamist Cultural Project: A Shift of Paradigm or a Strategic Convergence?” dan “Globalisasi dalam Formasi Identitas dan Nasionalitas Serta Responsi Lokal di Bidang Bahasa, Seni, dan Budaya Popular”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar