Berbagai inisiatif baru muncul yang lebih spesifik dan terumuskan. Di dalam kongres itu menyatakan, negara dan sektor swasta tidak hendak mendiktat kebijakan terkait bagaimana perumahan didirikan, tetapi lebih mengharapkan peran pemerintah daerah dalam pembangunan perumahan, terutama yang berpihak pada perumahan orang-orang yang tidak mampu. Institusi yang berhubungan dengan perumahan diharapkan bisa lebih akuntabel, transparan, dan responsif terhadap kebutuhan publik.
Misi kongres itu sebagaimana dikatakan Hatta pada Kongres Perumahan Rakyat tahun 1950, yang rasa-rasanya cita-cita semakin jauh saja: “Tujuan kami [menyediakan perumahan bagi semua orang] tidak akan terwujud dalam dua tahun. Ini tidak akan selesai sepenuhnya dalam sepuluh atau dua puluh tahun. Namun, dalam empat puluh tahun atau setengah abad, kita akan mampu mewujudkan keinginan kita, jika kita berkomitmen dan berusaha dengan percaya diri.” Perumahan yang semakin membaik itu tentunya cita-cita banyak orang, termasuk jurnalis senior yang menulis "Jakarta: 500 Tahun".
Pada tahun 50-an, perumahan rakyat menjadi bahasan yang cukup eksis, pasalnya perumahan rakyat kolonial sangat mahal dan tidak praktis bagi mereka yang berpenghasilan rendah. Bahkan dibentuk Djawatan Perumahan Rakyat yang didirikan pada 1951 untuk membantu pembiayaan perumhan bagi rakyat jelata.
Juga Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), KPR perumahan yang memberikan dukungan pembiayaan perumahan kepada Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) agar memiliki rumah, yang sebagian besar dana berasal dari pemerintah dan bank meski berkaitan erat dengan program pensertifikatan tanah. Tahun 2010, sebanyak 2,68 triliun dari APBN diinvestasikan. Meski akhirnya menyisakan masalah akut di pemerintahan yang baru.
Kondisi ini tentu berseberangan dengan semakin luasnya residen yang dihuni oleh kelas menengah di kota-kota yang dikembangkan oleh sektor swasta. Hari ini, alih-alih mengembalikannya pada etika yang lebih sosialis, semenjak Orde Baru, manipulasi pasar terhadap kebijakan pro-rakyat dimanipulasi. Negara diajak mengikuti paradigma bank dunia bahwa negara diharapkan tidak mensubsidi perumahan berbiaya rendah menggunakan anggaran negara.
Era baru dimulai, subsidi terhadap perumahan dikurangi dan diganti menjadi subsidi dengan skema investasi atau parsel perumahan dengan iklan-iklan bombastis dekat jalan tol dan mal. Kota diharapkan bisa menciptakan iklim investasi yang baik.
Dalam perkembangannya, Sri Mulyani dan Boediono yang dikenal sebagai ekonom profesional yang percaya terhadap mekanisme pasar untuk menghasilkan produktivitas urban meneken beberapa kebijakan yang mengikuti paradigma bank dunia.
Saat kota-kota dan tempat-tempat perlahan menyeleksimu dan keberuntungan diwariskan bagi orang-orang terpilih, kasarannya kalau boleh ngegas, "Tak ada yang memberimu rumah, jangan meminta-minta!"
Abidin dalam tulisannya mengingatkan pada dualisme pertanahan di urban Indonesia, yaitu terkait dualisme formal dan informal, atau merujuk pada tanah yang terdaftar dan tidak terdaftar.
Dalam peraturan, semua tanah harus terdaftar di dalam Badan Pertanahan Nasional (BPN). Sayangnya, di Jakarta semisal, data pada pertengahan tahun 1990-an menunjukkan 70 persennya belum terdaftar.
Banyak kepemilikan tanah yang pemiliknya bukan resmi, atau tanah yang hanya diakui berdasarkan klaim. Sehingga muncul paradigma untuk memformalkan yang informal dengan undang-undang.
Di sisi lain, okupasi informal terhadap tanah terjadi secara institusional dengan peran dari pembuat regulasi, juga aksi kolektif seperti broker dan mafia tanah.
Sertifikasi tanah kemudian menjadi jawaban perlindungan legal dan menambah nilai tanah. Bahkan bisa menjadi jaminan untuk pengajuan pinjaman. Lalu lahir program Layanan Rakyat untuk Sertifikasi Tanah (Larasita).
Reformasi sertifikasi inilah yang kemudian menjadi program pokok "reformasi agraria" a la Indonesia, yang menurut Gunawan Wiradi berhubungan dengan bagaimana pemerintah mengkuantifikasi tanah yang dimiliki, karena tak seorang pun yang tahu secara tepat berapa banyak tanah yang dimiliki oleh pemerintah dan bagaimana itu digunakan. Sertifikasi juga memainkan peran penting dalam mengontrol pertumbuhan populasi urban.
Sertifikasi tanah juga digunakan untuk mengakomodasi tanah terlantar yang tak digunakan, seperti tanah sepanjang sungai atau jalur kereta api. Tanah yang juga digunakan oleh kaum marginal untuk menjadi perumahan sementara.
Hal lain sebagai upaya pemberian perumahan layak ini ada program yang bernama rusunami (rumah susun sederhana milik)/rusunawa (rumah susun sederhana sewa) atau istilahnya rumah seribu menara. Yang diharapkan bisa mengurangi lingkungan kumuh yang ada di dekat-dekat sungai atau slum area Jakarta.
Apalagi orang sudah banyak paham, Jakarta tidak ada ruang untuk perumahan murah. Sayangnya program ini jauh dari target pihak-pihak yang diproyeksikan, yang secara mudah bisa dikonversikan menjadi apartemen bagi kalangan kelas menengah atas.
Quote:
- Institute of Asian Research, University of British Columbia
-it would be unrealistic today to expect a return to the socialist ethic that advocates providing affordable housing for all after years of Suharto’s New Order market revolution.
- Jakarta: 500 Years, by Zaenuddin HM
-without the informal sector, workers would simply be unable to survive on the level of salary they are receiving
-“Indeed, our goal [to provide housing for everyone] won’t be realized in two years. It won’t be fully completed in ten or twenty years. However, in forty years or in half a century, we will be able to fulfill our wish, if we are committed and make the effort with confidence.”
Kesan: ini tulisan Abidin Kusno panjang tapi poinnya jelas dan gak ngebosenin.
Link: https://ecommons.cornell.edu/items/f77f20e1-f305-4c86-a312-07cb9c7274a1
#abidinkusno #perumahan #rakyat #urban #rusunawa #rusunami #land
Rabu, 18 Oktober 2023
Housing The Margin: Perumahan Rakyat and The Future Urban Form of Jakarta - Abidin Kusno
Esai ini dibuka oleh cerita dari Abidin Kusno terkait Kongres Perumahan Rakyat II di Jakarta pada tanggal 19 Mei 2009. Kongres ini mendeklarasikan: Perumahan merupakan tanggung jawab negara sebagaimana amanat UUD 1945 dan HAM, setiap orang memiliki hak atas kehidupan dan perumahan yang layak, baik secara material maupun spiritual.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar