Kamis, 19 Oktober 2023

Power and Time Turning: The Capital, The State and The Kampung in Jakarta - Abidin Kusno

Poin-poin:

Abidin Kusno dalam artikelnya ini memulai dengan pertanyaan menarik, bagaimana kota-kota menunjukkan kekuasaan? Pertanyaan ini tentu tepat bagi pihak-pihak yang telah melatih atau mendapatkan kekuasaan, seperti negara, gubernur, militer, pembuat kebijakan, arsitek, hingga golongan masyarakat tertentu.

Dia menegaskan, "Yang menambah pluralitas kekuasaan adalah jaringan geo-ekonomi dan politik yang lebih luas di mana kota berada."

Lebih khusus, kota yang dianalisis adalah Jakarta. Jokowi pernah mengatakan juka progres negara dapat dilihat di Jakarta. Dari teknologi, gaya hidup baru, hedonisme, bisnis, hingga reproduksi kemiskinan ada semua. Sejarah kekuasaan di Jakarta terhitung panjang, dari masa kependudukan Belanda.

Bahkan Pram juga pernah menulis, "angin bertiup melintasi provinsi-provinsi membisikkan bahwa seseorang tidak dapat menjadi orang Indonesia sepenuhnya sebelum ia melihat Jakarta" (Toer, 1955).

Pram menganggap kekuasaan dan pengaruh Jakarta dalam konteks dekolonisasi ketika kota menjulangkan imajinasi Jakarta sebagai tempat yang berhubungan dengna kekuasaan, kemajuan, hingga peluang melakukan hal-hal besar.

Abidin Kusno dalam paper ini menerangkan, kota seperti Jakarta terbentuk oleh tiga kekuatan yang saling tumpang tindih dan memiliki rentang irama waktu yang berbeda:

1. Destruksi kreatif kapitalisme: Yang dipahami sebagai penyisihan tradisi lama untuk menciptakan tatanan yang baru. Modernisasi kapitalis dalam perkembangan sejarah Jakarta melalui destruksi kreatif ini menggerakkan Jakarta memasuki masa poskolonial. Transformasi urban Jakarta dan kluster di tepinya, menjadikan pembangunan menjadi-jadi. Selanjutnya, modernisasi kapitalis menggiring pada kembalinya informalitas, yang pro terhadap rezim buruh murah.

2. Kategori wilayah dan kekerasan negara dalam mengelola populasi: Ini terjadi khususnya pada masa Orde Baru, di mana isu sentralisasi menjadi lebih kuat. Kenaikan Soeharto diiringi dengan adanya program "stabilitasi dan rehabilitasi", tetapi di sisi lain terjadi "depolitisasi" dalam aspek kehidupan sehari-hari, dan kemudian menciptakan massa mengambang. Massa yang bisa dimobilisasi untuk tujuan politis dan menjadi salah satu kelas yang berbahaya. Kategori horisontal lain selain massa mengambang ini seperti gali (kriminal), Cina, kampung, dll, yang tak jarang menciptakan oposisi biner dan segregasi.

3. Tekanan dari lingkungan vernakular atau kampung yang membentuk kekuasaan kota: Dalam bahasan ini, Abidin menjelaskan jika kampung merupakan ruang modal karena menampung sebagian besar pekerja, baik itu di sektor informal maupun formal. Kampung menjadi ruang aktif yang mengubah dinamika kapitalisme dan formasi negara. Kampung beroperasi sebagai modal ruang yang temporal. Kampung memproduksi berbagai bentuk praktis residu sehari-hari yang kompleks.

Kusno, A. (2015). Power and time turning: The capital, the state and the kampung in Jakarta. International Journal of Urban Sciences, 19(1), 53-63.

Link: https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/12265934.2014.992938

#abidinkusno #power #jakarta #capitalism #nationstate #kampung #urban #desakota #UBC #canada

Tidak ada komentar:

Posting Komentar