Sabtu, 21 Oktober 2023

The Transformation Problem - Riccardo Bellofiore and Andrea Coveri

Poin-poin:

Setelah lama vakum, komunitas Simulakra mengadakan diskusi kembali terkait bahasan berjudul "The Transformation Problem". Di bab 10 bagian satu The SAGE Handbook of Marxism kali ini, kami membahas tulisan Riccardo Bellofiore dan Andrea Coveri. Riccardo Bellofirore merupakan profesor ekonomi politik. Andrea Coveri adalah muridnya yang ambil Posdoc di Universitas Urbino. Minat riset keduanya terkait ekonomi dan teori nilai Marxian.

Bahasan-bahasan awal isinya sangat rumus dan itung-itungan. Ada beberapa problem terkait transformasi nilai dan eksploitasi. Eksploitasi lebih dipahami sebagai kontrol secara langsung atau tidak langsung yang berdampak pada buruh. Ternyata kontrol itu gak bisa dihilangkan. "Exploitation should be understood as the direct and indirect imposition and control that affects all labour, in its quantity and nature."

Menurut pembacaan Sulkhan, dua penulis esai ini terkait kontrol terhadap kekuasaan terhadap kapitalis, bagaimana kapitalisme mengabstraksi nilai tenaga kerja yang diekstrak dari para buruh. Komoditas dipandang seolah dia punya nilai sendiri. Kemudian ada konsep fetisisme pertukaran barang ke barang. Misal pas bahas keris, kerja dan manusianya tak terpisah. Ketika Ofek jadi empu keris, Ofek tak terpisah dari keris itu. Kapitalisme enggak, komoditas dipisahkan dengan orang, kita jadi mesin, ketika rusak, diganti dengan pekerja lain. Dulu empu keris tak tergantikan karena sakralitasnya misal (atau tirakatnya).

Lina menambahkan, eksploitasi didasari oleh abstraksi nilai, kalau ditaruh lebih lanjut eksploitasi dari unsur-unsur lain seperti gender, apa itu masih bisa dikatakan seperti itu? Ketika menambah indikator lain. Jadi terkesan reduksionis. Terlepas dari masalah gender, ras, dll, Sulkhan melihat dua penulis ini memperluas lagi ngomong eksploitasi. Kontrol jadi layer yang penting untuk ngomongin eksploitasi, dia juga membaca adanya kecenderungan di buku ini yang ingin memperluas konsep Marx.

Diskusi bersepakat perhitungan yang matematis dalam teori Marx cenderung muter-muter. Ketika Marx nyoba matematis, bolak-ballik lagi ternyata ada variabel yang mubazir. Meski matematis, tapi kesimpulannya bukan matematis. Gagasan Marx tentang eksploitasi harus menjauhkan diri dari sekadar medan wacana matematis dan hubungan palsu terkait transformasi, karena menurut profesor dan muridnya, semua diskusi telah dinodai oleh gagasan bahwa eksploitasi berkaitan dengan kemungkinan menyelesaikan nilai lebih dengan tenaga kerja berlebih.

Surplus ini sifatnya sekunder, ciri khas gagasan Marxian: di bawah kapitalisme, seluruh tenaga kerja yang hidup, yang diambil dari pekerja berupah yang awalnya 'bebas dan setara' menjadi aktivitas yang 'dipaksakan' dan 'diasingkan'. Paksaan langsung untuk melakukan kerja. Dia hidup memompa keringat, atau hidup seperti vampir. Eksploitasi seharusnya dipahami sebagai pemaksaan dan kontrol langsung dan tidak langsung yang mempengaruhi semua tenaga kerja, baik kuantitas maupun sifatnya.

Soal tulisan Profesor Bellofiore dan mas2 murid jametnya ini (:D), yang selalu menarik dari diskusi adalah cerita dan refleksi dari teman-teman. Misal bagaimana Pambudi merefleksikan terkait pekerjaannya sebagai buruh akademik atau para buruh pabrik yang kerjanya overtime. Lalu bagaimana teori itu dikontekstualisasi dengan kerja-kerja yang ada sekarang.

"Kita terasa seperti zaman Marx, buruh tereksploitasi, waktu yang dihabiskan. Marx tidak melihat yang kita alami sekarang. Kapitalisme bergerak sangat cepat, nilai lebihnya juga cepat bertambah. Nilai lebih itu semua yang tidak dibayarkan ke pekerja, seperti memberikan review di MarketPlace, memberi Google review, mereka buruh tapi tak merasa buruh. Ada nilai-nilai tenaga kerja tak terbayarkan," ungkapnya.

Trus Dipa nerangin panjang lebar pengalamannya dan analisisnya terkait bagaimana "misteriusnya gaji", bahkan dengan indikator macam waktu, skill, tenaga, dll. Apalagi dia baru aja ngalami kejadian, kolega dia salah ngirim email gaji anak-anak. Emailnya ke Dipa, harusnya sendiri-sendiri. Yang koleganya kirim satu list semua, di kantor jadi ribut, ada yang malesan tapi gajinya lebih, gaji itu abstrak.

Misal kerja public relation (PR) itu 24 jam dan itu berita yang tak bisa ditebak jam waktunya, core-nya menyiapkan statement media terkait brand. Isunya bisa jadi berita nasional naiknya dengan deadline jam sekian. Kadangkala, yang sering terjadi, anak-anak PR suka dibilangnya cuma modal bacot, padal enggak. Mikirin banget sampai di conference, hingga fashion harus diatur. Itu yang bikin kerja itu sangat misterius.

Distingsi orang kerja abstrak dan fisik itu bisa jadi hal yang saling berkaitan. Misal ada white dan blue collar workers, meski kategori bermasalah, itu masih ada jelasnya. Misal jadi dosen gajinya bisa di bawah pekerja buruh Astra, itu meruncing ke hal-hal yang tak penting, misal diminta ngebayangin, "kamu aja yang jadi buruh Astra." Kalau nglihat kayak gitu akan terus bermasalah.

Yang coba dibongkar Marx, itu. Kita bisa ngitung jam kerja, tapi bisa gak ngitung variabel lain misal skills? Variabel apa yang menyebabkan orang A dan B bisa beda/sama? Motivator kan bilang, antara miliarder dan gak  miliarder itu punya jam yang sama. Nyatanya kagak nyet. Misal tukang gudeg yang kerja jam 5 subuh kurang kerja keras apa? Buruh yang sampai shift malam kurang kerja keras apa? Kerja serius, gaji bercanda.

Kalau di perusahaan PR, itu bisa di-reimburse duit kalau lembur, tapi kalau dosen, harus ngecek kerjaan mahasiswa bisa satu minggu. Bisa dibilang, blue collar punya kesempatan lebih baik daripada white collar workers. Ekspresi matematis tak berubah, tapi variabel-variabel akan berubah. "Gaji adalah variabel yang sangat misterius."

Sulkhan terus nambahi fenomena yang dijelasin Dipa, andai waktu menjadi tolak ukur dalam menentukan nilai, karena itu lebih kompleks dari waktu. Misal seorang penuli itu bisa nulis buku itu bertahun-tahun, harusnya dapat duit lebih banyak, tapi realitasnya hanya dapat 10-20 persen. Sekarang itu abstrak lagi soal upah, nilai surplus, dll.

Aziz mengompori, Jangan-jangan Indonesia sudah di utopia, di mana orang-orang yang kerja di blue collars ternyat lebih tinggi dihargai daripada kerja-kerja abstrak kayak dosen di white collars. Dan emang bener sih, baca teori kiri itu cuma ada dua mimpi, mimpi indah atau mimpi buruk. Ofek menutup, teori-teori ini kasi kacamata yang gelap banget, selalu suram, wkwk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar