Jumat, 06 Oktober 2023

Berbincang Jawa Bersama George Quinn


Tulisan ini merupakan catatan dari diskusi "Temu Penulis-Penerjemah: George Quinn" yang diadakan di Teater Utan Kayu, Jalan Utan Kayu Raya 68-H, Matraman, Jakarta Timur, Jumat (6/10/2023). Diskusi ini menghadirkan pembicara George Quinn (Penerjemah "She Wanted To Be A Beauty Queen") dan dimoderatori oleh Nirwan Dewanto.

Direktur Program Ayu Utami mengatakan, dirinya berbahagia bertemu dengan George Quinn. Tempat diskusi juga merupakan tempat bertemunya aktivis dan berbagai Seniman. Ketua Yayasan Lontar, John McGlynn menyampaikan, diskusi ini merupakan peristiwa bersejarah. Kemudian dilanjutkan pembacaan cerpen BMW18I, yang dibacakan oleh Widhi Kusumawardhani. Dilanjutkan pembacaan cerpen bahasa Inggris.

Nirwan bercerita terkait ortunya orang Jawa, Banyuwangi dan Ponorogo. Dia Jawanya lebih ngoko khas Malang atau Madura. Dia mengetahui berbagai sastrawan Jawa. Peran George Quinn sangat luar biasa karena menerjemahkan berbagai karya Jawa. Jadi Jawa itu mengasyikkan tapi repot. Orang Jawa sangat bangga dengan dirinya (inward looking). Kiprahnya lebih dari setengah abad mendalami Jawa.

George Quinn memulai ceritanya dengan sejarah ketertarikannya pada Jawa. Pada tahun sekitar 1967, dia diutus sebagai sukarelawan mengajar bahasa Inggris dari negara New Zealand. Indonesia saat itu tak mengenal bahasa Inggris. Lalu dirinya mempelajari bahasa Indonesia, dan kemudian dia mendengar bahasa lain, bahasa Jawa di Salatiga. 500 tahun sebelumnya, bahasa Jawa sudah menghasilkan sastra tulis. Hikayat Pasai juga berbahasa Jawa. Dengan sifatnya yang istimewa, dirinya langsung ingin menguasai. Ternyata bahasa Jawa susah dikuasai.

Selesai bekerja di UKSW, dia mengambil kuliah di UGM tingkat 1, di Sastra Indonesia. Saat itu belum ada SKS, ada 10-15 pelajaran semua wajib (sistem Belanda). Saat itu ada mata kuliah bahasa Jawa dan bahasa Inggris. Waktu itu dia dipanggil dekan dan bilang tak boleh ambil bahasa Inggris. Ketika masuk kelas, 15 orang berbahasa Jawa, mengalami bottom of the class. Kemudian dia mencari kelas tambahan. Dia kenal putri Jawa, yang bersedia mengajar bahasa Jawa ke saya. Lalu dia jatuh cinta padanya. Tak ada motivasi yang kuat daripada cinta. Dengan demikian dia belajar bahasa Jawa. Namun cintanya pada gurunya, Mbak Umi dari Kudus tidak berbalas. Dan pembelajaran itu bercampur kesedihan.

George belajar bahasa Jawa sudah lebih 50 tahun, dan merasa dirinya masih mentah. Proses kisah cinta itu hanya langkah pertama. Di rumahnya di Australia, dirinya belajar bahasa Jawa.

Nirwan bertanya, bagaimana unggah-ungguh diterjemahkan dalam bahasa Inggris? George menjawab hal itu sangat sulit, karena bahasa Inggris tak ada itu. Juga masalah kekerabatan, belum lagi lambang-lambang metafora. Yang diambil dari dunia wayang sulit juga. Penerjemah ada tantangan, dengan dibuat catatan kaki atau memberi glosarium atau menjelaskan ke teks langsung. Itu sulit sekali. Dirinya menggunakan berbagai strategi untuk menguasai itu.

Nirwan bertanya lagi, sebagai orang Jawa di buku George sebenarnya tak dia butuhkan, tapi apakah pengantar itu menunjukkan pengalaman atau bagaimana? George menjawab iya, membantu memberi konteks. Dia ambil satu konteks yang menarik dan membangkitkan cita rasa untuk membaca. Misal ada tokoh namanya Pal Gunadi, yang merupakan tokoh wayang. Ada konotasi yang tak bisa dijelaskan secara panjang.

George suka blusukan, buku "Wali Berandal Tanah Jawa". Dirinya tertarik ketika belajar di UGM, ada pelajaran bahasa Arab oleh Prof. Sumardi. Setelah satu semester dia sakit. Teman-teman sekelas takut pada Profesor, dia memberi tugas rumah, lalu akan bertanya perihal tugas. Jika tak bisa jawab, dia ditatap terus-terusan. Tentu saja mahasiswa gemetar. Lalu, ada strategi, memberi tahu jawaban. Ketika beliau dirawat di kelas, bentuk rencan penjagaan. Supaya kamar beliau tak pernah kosong, ada anak didik yang menjaga. George dapat giliran, dua kali menjaga sekian jam pada tengah malam, jam 1-4 dini hari. Akhirnya, professor meninggal. Dikubur di pemakaman UGM. Menjelang ujian terakhir, sekelas memutuskan berkunjung ke makam Pak Sumardi untuk berdoa. Jam 2 siang, kurang lebih 15 orang berangkat ke Makam Gadjah Mada. Adat orang Jawa saat itu belum dikijing. Berdoa pada beliau supaya lulus ujian. Ternyata yang lulus 2 orang. Lalu dia tertarik pada tradisi berdoa di kuburan.

Dia meneliti beberapa Makam keramat, mengalami secara langsung cerita-cerita melalui juru kunci. Dia mengalami ketertarikan pada masyarakat Jawa, dia berkunjung ke berbagai makam keramat di Jawa, Madura, Bali. Dia menghitung ada 132 makam. Dia pertama ke Makam Bayyat, Sunan Pandanaran, tahun 74. Lalu dia meneliti secara profesional pada 1997, mengalami kurang lebih 20 tahun.

Sesi kedua dilanjutkan dengan membaca cerpen Jawa kedua.

SESI II:

George mengungkapkan ada tiga faktor kebangkitan sastra Jawa. Pertama, terjadi proses desentralisasi. Sehingga pengarang Jawa yang harus tunduk pada pusat tak begitu simpatik dengan sastra bahasa daerah. Mereka bisa mengungkapkan kejawaannya. Kedua, Indonesia mengalami pertumbuhan yang luar biasa. Kelas menengah lebih kaya, para pengarang Jawa bisa untuk beli buku. Pengarang bisa melanjutkan usaha itu. Sekarang terbit terlalu banyak. Ketiga, timbulnya era digital, lebih mudah mengedit dan memasarkan. Pengarang dan sastra Jawa kemudian meledak 20 tahun yang lalu. Perlu dilalukan penelitian yang jelas siapa pembaca sastra Jawa. Meski sebagian besar pegawai negeri.

George melanjutkan, ketika bertanya pada sastrawan Jawa, mengapa menulis bahasa Jawa? Ada yang merasa kebudayaan daerah tersingkir, khususnya sastrawan Jawa menjadi pewaris khazanah Jawa 100 tahun yang lalu. Hal itu sangat mereka rasakan. Warisan yang mereka terima ingin dipelihara dan dikembangkan. Kebudayaan tidak baik ketika mematikan bahasa daerah. Mereka ingin supaya kekayaan yang ada dibangkitkan dan dipelihara. Bagi orang Jawa hal itu penting sekali.

Kemudian, orang Jawa itu menulis untuk kalangan sendiri. Tidak menulis untuk yang bukan Jawa. Pernah ada yang mengatakan, penulis Indonesia yang pengen dikenal internasional, hal itu sebenarnya gak baru. Kalau cari daya cipta, cari di lingkungan lokal. Menulis secara internasional itu gak unik. Kekayaan lokal sumber terbaik kalau ingin berdaya cipta secara baik.

Ada beberapa pengarang Jawa yang menempatkan dirinya ke kota besar atau terjadi di luar negeri. Pengarang Jawa memandang keluar, meski masih terjadi di pinggiran kota besar. Pengarang Jawa jika melihat cerkak diterima baik, mengumpulkan yang terbaik kemudian dijadikan antologi.

Nirwan kemudian bertanya, apakah Islam sekarang dari heterodoks menjadi ortodoks? George kembali menjawab itu butuh penelitian. Menurut tradisi NU, berjuta orang berziarah, sementara MU berbeda. Ada pembauran antara heterodoks dan ortodoks. Makan keramat jadi tempat berlindung dua sayap yang dianggap berjauhan satu sama lain.

Ketika menulis di perguruan tinggi, ada kaidah orang harus menulis serius, tidak emosional, dan aku terhapus. Sementara dalam kenyataan kita semua manusia dan berinteraksi sebagaimana manusia. Ketika menulis dengan gaya menghapus diri, itu munafik dan menyesatkan, itu tidak ilmiah. Ada kalanya manusia berkelakar atau sedih. Apalagi masuk makam keramat, sering menemukan hal-hal yang emosional. Tak jarang orang menangis, ada suasana emosional. Ketika nulis ziarah tanpa emosi, seolah saya tak mencerminkan kenyataan. Ada keistimewaan pribadi-pribadi tertentu.

Kalau jadi akademikus yang baik, tak hnya menulis untuk kalangan sendiri apalagi ketenaran. Tapi bagaimana mendukung atau membuat orang lain jadi meneruskan penelitian diri sendiri. 



SESI DISKUSI:

1. Sastra lisan Jawa dalam dakwah, ke Malang, ada Batu TV dan Malang TV ada dakwah itu populer dan ramai. Ada musik di dalam cara mereka bertutur. Di lokal Jawa ada banyak DAI Jawa yang populer. Apa Pak George pernah menyaksikan itu.

Jawab: Ini menarik sekali, bahasa daerah bisa tumbuh di lingkungan yang bersifat agamis. Misal Katolik punya aliran Kristen Jawa. Ini perlu diteliti lebih lanjut. Seringkali percampuran Jawa-Indonesia. Latar belakang bahasa yang bagaimana yang digunakan DAI. Bahasa Jawa dalam lingkungan agama perlu dapat penelitian.


2. Ayu Utami: Bangkitnya sastra Jawa ada desentralisasi, tapi dia ragu, masa Soeharto Jawa itu sentral. Representasi Jawa itu bahasa kekuasaan. Apa betul alasan itu? Kedua, sebagai orang Jawa, dia menolak bahasa Jawa karena unggah-ungguh yang tak egaliter. Setelah dewasa senang bahasa daerah hidup, fungsi unggah-ungguh itu apa?

Jawab: Jawa sebagai ciri Orba, di dalam ulasan buku ada tindakan Orba pada pengarang Jawa yang bersikap menindas. Pak Harto ketika ikut Kongres bahasa Jawa di Semarang tahun 1991, dia bawa pidato, kertas pidato itu kemudian dibuang. Lalu menjelaskan arti spiritual aksara Jawa secara spontan. Benar, Orba kuasa itu besar, tapi pengarang tak memperoleh manfaat. Mereka ditindas. Jawanologi termasuk proyek Orba, tindakan sewenang-wenang pada kejawaan. Menteri baru kemudian menghapus Jawanologi menjadi Indonesialogi.

Mengenai unggah-ungguh itu juga diperdebatkan. Itu bertentangan dengan semangat kesetaraan. Ada gerakan Jawa dwipa yang menghapus unggah-ungguh. Kromo sudah melemah 150 tahun yang lalu, menuju keadaan yang lebih lemah daripada dulu. "Unggah-ungguh bukan musuh kesetaraan."

3. Armet (Maluku): Dirinya tak paham bahasa Jawa. Ada problem linguistik kuat, ada kesadaran bagaimana penutur non bahasa Jawa perlu menuturkan Jawa. Di daerah-daerah, berbahasa lokal di kota itu norak. Apakah Mr. Quinn tertarik karya sastra luar Jawa?

Jawab: Sebenarnya berminat, tapi sekarang sudah sepuh, sudah tua sekali. Dia pernah ke Maluku dan tertarik pada kebahasaan di Ternate. Ada yang muda dan punya semangat, silahkan. Karena bahasa di Indonesia Timur cukup merana dan mengkhawatirkan. Bahasa Keton dapat perlindungan di Timur Timor. Bahasa Indonesia seolah-olah menguasai segala. Perlindungan negara sangat penting dalam melindungi bahasa. Misal di India ada bahasa daerah yang menjadi bahasa resmi. Jadi, pemerintah sangat penting dalam menjaga dan mengembangkan bahasa daerah. Di New Zealand pun demikian. Banyak bahasa yang hampir punah, ini jadi tantangan bagaimana menghadapi bahaya terhapusnya bahasa daerah. Padahal, bahasa Indonesia itu bahasa merusak, ini perlu ditanggulangi.

Terima kasih Pak George Quinn

Tidak ada komentar:

Posting Komentar