Selasa, 24 Oktober 2023

Runaway City: Jakarta Bay, The Pioneer and The Last Frontier - Abidin Kusno

Judulnya puitis ya, bagaimana teluk Jakarta menjadi "pelarian" juga benteng terakhir seseorang untuk hidup.

Kata "pantai" sendiri di Indonesia berhubungan dengan berbagai konsep dan kenyataan mistik, penggabungan, dan perluasan. Atau orang menyebutnya sebagai "oceanic feeling" yang kerap ditemui di negara-negara Asia Tenggara.

Seno Gumira Ajidarma pun pernah menulis di ceritanya terkait Sukab dan Alina, jika rumah yang menghadap ke pantai itu sesuatu yang misterius, bisa jadi aneh. Kisah Seno itu mengungkap metafora bagaimana dirinya mendefisikan era baru pantai di Jakarta.

Semenjak mereka yang punya kuasa memindahkan pemerintahannya ke daerah yang lebih tinggi agar tak kena banjir, maka di pantai hanya tertinggal para nelayan, kuli miskin, hingga komunitas ras yang melanjutkan hidup dan kerja di Utara Jakarta. Pesisir Utara menjadi layanan halaman belakang.

Narasi gentrifikasi pun meluas. Dikuatkan dengan kebijakan, baik dari presiden, gubernur, dan bawahannya. Disambut oleh tepuk tangan dan rangkulan para pengembang, kontraktor, dan bank.

Sementara, para binatang laut dan pesisir dipaksa menjalani eksodus mereka yang menyakitkan.

Sejarah pantai utara Jakarta ini menujukkan betapa berlapisnya sejarah Jakarta dari sisi pinggiran.

Teluk Jakarta merupakan proyek tepi laut yang besar di pantai utara Jakarta. Posisi geografinya menawarkan kekuasaan kota hingga kritik gerakan lingkungan. Kota-kota yang terletak di pesisir juga berhubungan dengan diaspora, para komunitas migran dan pedagang yang menghubungkan kota-kota pelabuan.

Dalam sejarah, pantai, pelabuhan, laut juga mengingatkan seseorang pada ingatan lain, nostalgia penjajah. Atau petualangan-petualangan terkait perubatan wilayah dan kekuasaan. Mereka pergi dan barangkali tak kembali. Meskipun mereka dikalahkan oleh "arus balik" orang-orang yang secara politis lebih mementingkan tanah.

Daerah sekelilingnya kemudian mengundang legenda dan keangkeran baru, seperti Ancol yang dipotret sebagai tempat yang dihuni oleh hantu perempuan. Mayorits orang Jakarta berpikir, gagasan kota-kota pesisir sebagai suatu hal yang ironis (tertinggal), meskipun Jakarta sendiri merupakan kota pesisir.

Abidin dalam esai ini berpendapat, kepentingan untuk kembali ke pesisir bukan hanya keharusan bagi kompetisi kapital di tepi laut, tetapi juga krisis pencitraan diri yang dihadapi negara, menyusul pembangunan yang berlebihan di ibu kota.

Dampak dari reklamasi yang terjadi di Utara Jakarta semisal, memperburuk kondisi ekologis kota. Reklamasi itu menciptakan 2700 hektare tanah sepanjang 32 kilometer di garis pantai Utara. Reklamasi ini digunakan sebagai lokasi hotel, pusat bisnis, mal, perkantoran, kompleks hiburan, industri, dan residen.

Proyek Teluk Jakarta dianggap sebagai salah satu dari megaproyek yang tak hanya untuk kota, tapi juga negara. Proyek ini diharapkan bisa sukses seperti yang terjadi di Singapura dan Tokyo. Para pembuat kebijakan sadar, tak mungkin mempercantik pantai tanpa melakukan make up pada area di sekitarnya; atau tanpa mengubah arsitektur dan tempat di sana.

Kemudian timbullah ide revitalisasi Jakarta. Sektor publik dan swasta saling bekerja sama, digembungkan dengan sejarah maritim dan pengaruhnya. Koridor Sejarah Jakarta dirancang untuk mendidik masyarakat terkait sejarah dan perjuangan bangsa akan peran kota pesisir Jakarta.

Lalu melihat ke depan, pesisir Jakarta semakin diperindah. Naga dipercaya oleh orang-orang Cina tinggal di sana, karena menjadi basis tempat beekrja mereka. Gambaran pun dibuat, pantai utara Jakarta menjadi pusat kompetisi.

Perkembangan arsitekturnya dibuat melampui sekadar simbol atau status, tapi juga kuasa dan perluasan kapital--sekaligus 'pelarian' bagi 'orang-orang kalah'.

Quote:

-I show how the coast can be seen as both the pioneer of and the last frontier for capitalist urban development in Jakarta. 

-I argue that the urgency of returning to the coast as a catalyst for globalization is not only the imperative of waterfront competition in the region, but rather a particular crisis of self-imaging faced by the nation following the overdevelopment in the capital city.  

-‘I don’t have to say how much economic and financial loss has been inflicted by traffic jams’ (Kompas 1995a).

-In Sepotong Senja untuk Pacarku (A Piece of Twilight for my Lover), he satirizes Jakarta and its relation with the coast. In one of the stories, Sukab, the protagonist from the inland, is so impressed by the twilight he saw on the coast of Jakarta that he decided to steal it for Alina, his lover. He cut out what he saw in the horizon and put it in his pocket, leaving a hole as big as a postcard in the sky. Seno’s story offers reflection on how it is possible to steal and own the twilight and the cost of owning it.

Kusno, A. (2011). Runaway city: Jakarta Bay, the pioneer and the last frontier. Inter-Asia Cultural Studies, 12(4), 513-531.

Link: https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/14649373.2011.603916

#abidinkusno #pantaiutara #jakarta #pesisir #pantai #coast #waterfront #runawaycity

Tidak ada komentar:

Posting Komentar