Pernyataan politis terkait kesetaraan gender di film ini kerasa banget sih, dari Mayang (Oma Sayang) dan Opa; pembantu si Ami yang bisa ngambil sikap gak mau disuruh-suruh pekerjaan yang bukan pekerjaannya, hingga perkumpulan Bapack-Bapack penjaga anak (Pembajak) yang baik, terdeliver dengan baik. Meski komedi, tapi bukan komedi kasar (slapstick).
Being a Daddy |
Isu film ini memang domestik dan kelas menengah atas, dengan pekerjaan maju, berpendidikan, dengan segala problem seputaran itu. Arka yang diperankan oleh Vino adalah seorang arsitek kebanggaan kantor tengah menggarap proyek sebesar 10 Triliun. Dia diberi deadline selama dua minggu dan selama 2 pekan itu dia ditinggal istrinya Wina (Karina Nadila) yang harus pergi ke Hong Kong untuk bantu rumah tangga sahabat kecilnya si Mei.
Arka sebagai Didi yang baik mengurus dua putrinya Anjani (Anjanique Reney) dan Velia (Aviela Reyna) (jujur wajah duo anak ini punya karakter wajah yang menurut saya unik) dengan semua tetek bengeknya. Dari kepangin rambut kek Elsa, makan, mandi, bacain dongeng, masak pancake, manicure-padicure, perawatan, les balet, drama Timun Mas, ke mall, nganterin sekolah, pergi ke arisan, dlsb. Juga menemani anaknya ketika nangis, alergi, ke rumah sakit, dlsb.
Kisah komedi lain tentu hubungan antara Fuad (Mike Lucock) dan Icha (Zilly Larasati) yang malu-malu kucing. Desain kantor dan jam kerja si Arka ini juga oke sih, gak terbatas cuma di kantor tapi juga bisa dikerjain di rumah. Hybrid gitu ceritanya. Tentu yang termembagongkan bosnya sih, saat Velia masuk rumah sakit karena jatuh dia ngasi bingkisan sambil mengatakan: "Jangan lihat penampilannya, lihat harganya." Hahaha.
Opa dan Mayang yang gemes |
Setelah baca sutradanya yang perempuan Hadrah Daeng Ratu dan Adis Kayl; pun penulis naskahnya juga Budhita Arini. Film ini kompak bilang ngurus anak dan rumah tangga bukan pekerjaan domestik perempuan, profesi ini tidak memandang gender. Versi rumah tangga Arka dan Wina ini bener-bener jadi panutan saya deh, haha. Rumah tangga yang didasarkan pada komunikasi, komtimen, pengertian, dan tanggung jawab yang baik. Yang hearwarming juga di akhir film ada kumpulan foto-foto kru dengan ayah masing-masing.
Film ini juga gak terlalu formulastik jika tokoh utama harus menyelesaikan konflik-konflik rumit dan besar; tapi lebih diarahkan bagaimana manajemen konflik kecil sehari-hari yang bisa kau temui di keseharian. Sampai epiknya tuh si Arka nangis gara-fara nonton film Frozen, wkwk.
Btw, film ini awalnya saya tonton di pesawat saat penerbangan dari Denpasar ke Jakarta pakai Garuda. Kebetulan ada hiburan yang bisa ditonton meski gak semua habis sekali duduk di pesawat. Tapi film ini secara personal sangat berkesan untukku. Mimpi suatu saat bisa nonton film ini lagi bareng suami, terus nyiptain nama-nama aneh seperti Muti, Didi, Mayang, dan Opa. Jadi Muti dan Didi seru kali ya, hahahahaha. Out of the box, sih. Two thumbs for this film.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar