Yang membuat film seri ini menarik sejak awal adalah soal kontradiksi: siswa pintar vs siswa bodoh, murid serius vs murid nyante, orang logis vs orang imajinatif, orang kuantitatif vs orang kualitatif, orang analitis vs orang seni. Semua diwakili oleh dua tokoh: Kook Yeon-su (Kim Da-mi) vs Choi Ung (Choi Woo-shik).
Kalau soal kepribadian, barangkali saya akan menerka Yeon-su MBTI-nya INTJ sedangkan Choi Ung INFP. Keduanya bertemu dan saling melengkapi. Yeon-su sosok perempuan mandiri dan independen yang gemar mengenakan baju berkerah kaku, sedangkan Choi Ung sosok laki-laki imajinatif dan impulsif yang gemar menggambar.Cerita bermula ketika keduanya masih SMA, mereka ditawari syuting dokumenter bersama dan masuk ke media sosial. Selama syuting mereka diceritakan tak pernah akur, saling konflik, meski di awal film Choi Ung menunjukkan ketertarikannya pada Yeon-su yang memakai sepatu sekolah old school dan berjalan seperti robot itu.
Background Yeon-su: Dia adalah anak yatim piatu yang hanya hidup dengan neneknya yang cerewet. Pribadi sang nenek dalam mendidik Yeon-su sangat berpengaruh pada cucunya itu. Neneknya yang grusa-grusu, cepat marah, dan hobi bekerja diturunkan pada Yeon-su. Di balik sifat angkuh Yeon-su, dia sadar akan masa lalunya ketika kecil yang menyedihkan sambil mengatakan, "Aku tetapkah anak yang berdiri di Taman Kanak itu."
Yeon-su menganggap dirinya memiliki selera yang tidak sembarangan. Rasa percaya dirinya tidak buruk karena sering merasa dia akan terlihat cantik memakai pakaian apa pun. Yeon-su juga membenci kemiskinan karena tak bisa membalas budi orang lain. Sebab itu, Yeon-su sangat ambisius menjalani hidup. Hidupnya jadi lelah, "Aku sudah cukup kelelahan menghadapi kenyataanku."
Background Choi-ung: Wajah Ung tidak pernah bahagia maupun sedih. Ung tak suka hidup yang melelahkan, impian suksesnya sederhana, Ung ingin hidup tenang dan tak bersusah payah. Ung akan rela menyerahkan apa pun yang dimilikinya untuk diberikan pada orang yang lebih mengharapkan.Hidup dengan orang tua lengkap, tapi di akhir-akhir episode di Season I mulai terlihat konflik Ung dengan siapa sebenarnya orang tuanya. Ung mahasiswa DO seni yang menganggap kehidupan adalah pendidikan terbaiknya. "Mungkin aku tak sehebat orang lain tapi aku unggul dalam keuletan," ujarnya.
Lelaki yang bisa dikatakan sangat sensitif jika bicara soal perasaan, perhatian, pembaca untuk dirinya sendiri, dan sering terlihat bodoh di depan kamera. Ung pernah mengalahkan Yeon-su dalam hal paling banyak membaca di perpustakaan.
Karakter Ung lain, dia suka melarikan diri dari masalah untuk mengambil jarak dan jeda. Sikap plintat-plintutnya ini memang menyebalkan, tapi dengan menyadari karakternya itu setidaknya Ung memahami dirinya sendiri. Itu aja udah sulit. Sesuatu tak akan terjadi kalau kita tak bertindak.
Hal menarik lain yang kusuka dalam film ini adalah rumah Ung dengan studio lukis bawah tanahnya yang memikat. Ruangan yang saya rasa sangat ideal untuk berkarya, dengan cahaya, udara, dan vibe positif yang bisa diupayakan.
Tentu rumah Ung yang hangat ini berbeda dengan teman kecilnya Kim Ji-Woong (Kim Sung Chul) dengan apartemennya yang tak memiliki aura manusia--ya, Ji-Woong sering ditinggal oleh ibunya sejak kecil dan dia sering merasa sendiri. Atau apartemen mewah artis NJ (No Jeong EE) yang selalu kesepian, perempuan ber-MBTI ISFP ini suka dengan Choi-ung meski bertepuk sebelah tangan.
Juga soal dunia persyutingan dokumenter, saya pikir kata sutradaranya memang benar, kamera berpura-pura mengamati padahal sejujurnya aslinya adalah sudut pandang paling peribadi. Seseorang mungkin mampu menangkap yang kasarnya, tapi kau tak menangkap isi pesannya. Kadang mulut kita bertindak lebih cepat dari otak kita.
Dari film ini saya belajar, atau beberapa detik saya sempat ingin mengganti hidup saya untuk tak terlalu ambisius dan hidup seperti Ung, hidup tenang, berbaring di anjungan sambil melihat daun-daun dan selintas sinar matahari. Hidup begitu lebih membuat mudah.
Jalan Merdeka Utara
Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar