Selasa, 25 Januari 2022

Pramoedya Ananta Toer dan Sang Ayah

Kenapa saya memilih artikel jurnal ini? Karena ini ada cerita terkait Blora; cerita terkait Pram; serta cerita tentang hubungan ayah dan anak yang aneh.

Pramoedya Ananta Toer lahir di Blora, 1925, ayahnya Mastoer adalah seorang guru dan nasionalis dari generasi Sumpah Pemuda yang bergabung dengan PNI-nya Soekarno. Ibu Pram adalah murid dari ayahnya yang berusia 14 tahun lebih muda.

Hubungan ayah dan anak di awal-awal tulisan Pramoedya Ananta Toer yang diterbitkan hingga tahun 1952 menjadi pembahasan yang dipenasarani dan ingin dijawab oleh artikel jurnal berjudul 'Anehja Hubungan Ajah dan Anak Ini'.

Problem Pram dengan sang ayah bisa dikatakan rumit. Dari benci, kecewa, bangga, hormat, dan berontak bergabung menjadi satu. Potret dari negatif hingga positif tercermin dalam beberapa karya Pram. Hubungan keduanya jadi tambah sulit

Seperti terlihat dalam buku "Bukan Pasar Malam" (It's not an all night fair, 1951) ketika Pram berkunjung ke kematian ayahnya, ketika simpati dan penghargaan pada sang ayah sebagai seorang nasionalis mendominasi perasaan Pram. Juga buku "Cerita dari Blora" (Tales from Blora, 1952) yang menceritakan memori Prak ketika kecil meski tegangan antara ayah dan anak masih tergambarkan dalam kumpulan cerpen ini. Juga tampak di Bumi Manusia. Meski samar dalam buku  "Bekasi", "Keluarga Gerilja", dan "Perburuan".

Awal-awal kehidupan Pram tak mudah. Gaji sang ayah tak cukup sehingga ibunya membantu bekerja di perkebunan. Ditambah insiden blokade sekolah tempat ayahnya bekerja oleh penjajah. Ketegangan Pram dengan ayahnya terjadi ketika dia tak naik kelas, hingga mengecewakan ayahnya. Ayahnya bahkan pernah mengatakan Pram idiot.

'When I had finished elementary school and asked to go on to a higher level school, he said “You idiot! Stay where you are!” What he meant was that I should carry on studying at elementary school’

Pramoedya pergi ke Jakarta untuk mencari kerja dan dia bekerja di agendi pers Jepang Domei. Pram juga mengikuti kursus, berkenalan dengan para pemimpin politik, dan tertarik pada sastra. Kembali ke Jateng pada Juni 1945 dan kembali lagi ke Jakarta setelah kemerdekaan. Lama di perantauan, ketika dia kembali lagi ke Blora dan sampai di Stasiun Cepu, ikatannya dengan Blora mulai kendor dan lepas.

Ayahnya pernah dilambangkan sebagai lambang maskulinitas, dijunjung oleh teman dan ditakuti musuh. Kepercayaan Pram dengan sang ayah yang idealis mulai terguncang ketika sang ayah menerima posisi di pemerintahan. Ia menganggap ayahnya tak jauh berbeda dengan yang lain.

Bostock, D. (2017). “Anehnja hubungan ajah dan anak ini.” Indonesia and the Malay World, 45(131), 108–126.

#pramoedyaanantatoer #blora #ayah #anak #ceritadariblora #bukanpasarmalam #perburuan

Quote:

"My father disgusted me and nothing he could say at the time could make me change my mind. I was … struggling with inner turmoil and a sense of enmity that I could not reveal to anyone. I vowed to break free of my father’s influence. I vowed to become my own person." (Ayahku membuatku jijik dan tidak ada yang bisa dia katakan saat itu yang bisa membuatku berubah pikiran. Aku … berjuang dengan gejolak batin dan rasa permusuhan yang tidak bisa aku ungkapkan kepada siapa pun. Aku bersumpah untuk membebaskan diri dari pengaruh ayahku. Aku bersumpah untuk menjadi diriku sendiri.)

‘I don’t care any more if all my possessions are destroyed’ 'Saya tidak peduli lagi jika semua harta saya hancur'

"I’m not trying to achieve anything. What’s the point? I have no wife. I have no child. I no longer have the friends I used to have. All that’s left for me now is being constantly pursued by fear and a wish to spend ages gambling." (Saya tidak berusaha untuk mencapai apa pun. Apa gunanya? Saya tidak punya istri. Saya tidak punya anak. saya tidak lagi memiliki teman-teman yang dulu saya miliki. Yang tersisa untukku sekarang adalah terus-menerus dikejar oleh rasa takut dan keinginan untuk menghabiskan usia berjudi (Perburuan, 1950))

‘[b]ut we have to escape from our bonds one by one and strive for higher things, even though we shall be tied down again. Freedom means rising above our limitations, not just abandoning all
responsibility’ ('tapi kita punya untuk melepaskan diri dari ikatan kita satu per satu dan berjuang untuk hal-hal yang lebih tinggi, meskipun kita akan diikat lagi. Kebebasan berarti bangkit di atas keterbatasan kita, bukan hanya meninggalkan segalanya tanggung jawab')

‘Sometimes in this life a person is swept along by a fast-flowing current which decides his fate. And without realising it parts of his own life are lost’. ('Terkadang dalam hidup ini seseorang tersapu oleh arus yang mengalir deras yang menentukan nasibnya. Dan tanpa disadari itu adalah bagian dari dirinya nyawa sendiri hilang')

Frasa:

Hardo and his father are not carbon copies of Pramoedya and his father.

Delusi keagungan

Minke yang antipati dengan etiket Jawa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar