Minggu, 23 Januari 2022

Review Marlina si Pembunuh dalam 4 Babak (2017): Perempuan dan Natalitas

Film "Marlina si Pembunuh dalam 4 Babak" saya jamin akan menjadi salah satu the most masterpiece dari sekian film yang dibintangi oleh Marsha Timothy. Di film ini saya seperti diajak masuk dan berjalan-jalan di sebuah daerah terpencil di Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT). Bukan untuk berwisata la ala pasangan pengantin di sabana Sumba dengan latar vintage-nya, tapi untuk mengikuti perjalanan Marlina dalam mencari keadilan.

Marlina dan rumahnya
Di dunia ini saya katakan, sangat banyak perempuan hebat, kuat, dan tangguh bagai Marlina. Kurang kuat apalagi Marlina ini, dia ditinggal mati suaminya, ditinggal mati anaknya Topan yang masih kecil, dirampas ternak-ternaknya oleh para berengsek, dan dia mau diperkosa oleh tujuh orang lelaki bau tanah. Membayangkan jadi Marlina, kupikir saya harus punya usus 21 jari. Kurang teguh dan kuat apalagi Marlina?

Perjuangan Marlina dalam mempertahankan hidupnya di film ini terbagi dalam empat babak. Ketika dia membunuh para pemerkosa itu, dan salah satu dipenggal kepalanya menggunakan golok dan lainnya diracun, Marlina memilih untuk pergi ke kota mencari polisi.

Masyarakat Sumba
Di kita dia hanya mendapati polisi yang naudzubillah kerjanya sekolot dan seselow itu menghadapi kasus yang serius. Meski main ping pong dulu, mesti nunggu berjam-jam dulu, mesti didampingi kuasa/pengacara dulu, dan segala domestik dokument lainnya. Mana Marlina punya dalam hidupnya yang sebatang kara dan tak punya apa-apa itu?!

Meski saya lumayan kebingungan dengan narasi-narasi awal di film ini yang seperti lepas dari bingkai keseluruhan karena Marlina tak digambarkan sebagai sosok yang jelas, dia ini siapa?

Film ini bagiku menyisakan after taste yang bahkan untuk menangis dan mengumpat pun tak mampu. Karakter-karakter yang menemani Marlina pun tak sekadar tempelan, mereka hidup untuk mengungkap pesan. Dari Novi (Dea Panendra) yang hamil 10 bulan tapi belum melahirkan, mama Sumba yang mengantar anaknya lamaran dengan mahar dua kuda, hingga sopir bus dan masyarakat Sumba nan jauh dari akses apa yang disebut orang kota sebagai "modern".

A long journey, Marlina
Namun lagi-lagi yang berarti dari seorang perempuan adalah kekuatan natalitasnya, kelahirannya akan hidup, keberanian, semangat, energi, dan anaknya. Natalitas pernah dibahas oleh Hannah Arendt sebagai salah satu kekuatan besar perempuan untuk bisa bebas, autentik, dan hidup dalam suatu tatanan sosial bersama yang lain. Entah itu dalam bentuk solidaritas atau support system dengan yang lain.

Di film ini, dengna mata sinematografi saya yang belum banyak melalang melihat Sumba dan masyarakatnya dinarasikan dengan apa adanya. Sumba tak digambarkan secara alay sebagai 7 destinasi wisata ala pemerintah, tapi Sumba yang menyimpan misteri-misteri padang rumput dan kuda-kuda poni nan cokelat. 

Petojo Enclek XI

Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar