Rabu, 02 Februari 2022

Diary 02022022: Motif Mempengaruhi Tindakan

Beberapa hari ini aku kepikiran masa-masa dan waktu-waktu gelapku ketika masih kecil dan remaja. Ketika masih SD, SMP, dan SMA. Ada moment-moment tertentu yang tak akan pernah kulupakan seumur hidup.

Saat SD, aku pernah membuat salah tak sengaja menjatuhkan tutup termos es. Lalu termos es itu jatuh ke sambel dan membuat banyak jajan jadi kecipratan sambel. Lalu penjual jajan yang sekaligus memonopoli penjualan di SD-ku itu memarahiku di depan para anak-anak lainnya. Suara marahnya keras, membentak, dan membuatku sangat down

Usai kejadian itu, dari kelas III sampai kelas VI (lulus SD) aku tak pernah membeli jajan di tempat orang itu lagi. Sampai Ibuku bertanya kenapa aku tak membeli jajan di tempat Mbak itu, aku tak pernah ingin memberi tahu apa alasannya. Setelah kupikir-pikir begitu kuatnya aku, jika itu diumpamakan komitmen, meski sampai kelas berapa pun, aku tak ingin membeli di tempat itu lagi sekali pun itu tempat jajan satu-satunya di sekolah. Ya, segitunya aku saat kecil, segitunya. Motif itu barangkali rasa sakit dan malu, tindakanku adalah tidak membeli jajan.

Apa aku marah juga? Barangkali. Saat itu aku merasa tersakiti. Dan tidak membeli jajan di tempatnya adalah caraku bersikap defensif akan begitu rapuhnya aku. Begitu takutnya aku ketemu Mbak penjual itu kala SD.

Saat SMP, jika ada tugas yang membentuk kelompok aku selalu sedih. SMP aku merasa tak punya teman satu pun yang ikhlas berteman denganku. Kala itu ada pelajaran yang mengharuskan kerja kelompok. Aku tak mendapat grup untuk kerja kelompok itu. Cuma aku sendirian, sendirian, dan selalu sendirian. Lalu guruku menasehati seluruh isi kelas gara-gara aku sendirian, guruku saat itu bilang, "jangan membeda-bedakan teman." Waktu itu aku menahan tangis sebisanya, berat, sangat berat menahan tangis saat itu.

Hingga jam istirahat berbunyi dan guru itu pergi, aku lari ke depan kelas. Di depan kelas tangisku pecah. Aku menangis di sana sendirian sesengguhkan, banyak anak-anak kelas lain lewat tapi tak kuhiraukan. Jika tangisku saat itu serupa air terjun, saat itu tengah meluap-luapnya. Tangisku sepanjang istirahat, hingga saat itu ada teman yang mendekatiku. Dia memberiku uang sebesar Rp5.000 (saat itu uang sakuku Rp1.000). Temanku ini anak orang mampu, pintar, dan terkenal. Namun aku membenci uang itu dan tak suka dengan perlakuan temanku itu. Aku menganggap uang itu malah seeperti hinaan. Setelah dia menaruh uang itu padaku, dia pun pergi. 

Suatu hari juga di jalan saat SMP, saat aku pulang sekolah, tetangga jauh mem-bully-ku, aku dengar dia mengatakan, "Cah raine koyok taek.(Anak yang wajahnya mirip tai.)" Hingga hari ini kata-kata itu masih kuingat. Kata-kata itu membuatku jadi sering merasa tak percaya diri dengan wajahku. Kata-kata itu membuat makna diriku jatuh. Kata-kata itu membuat ku sungguh sangat sedih. Bahkan ketika tetanggaku yang dianggap rupawan itu meminta maaf, aku tak akan melupakan kata-katanya.

Saat SMA, aku tak pernah punya teman duduk yang tetap. Dulu pernah ada satu teman yang mau temanan denganku, tapi setelahnya menjauh saat dia tahu karakter asliku yang menurutnya tidak dia banget. Dia juga mengkritikku karena badanku bau, kalau makan bersuara, dan hal-hal yang ketika ini kamu alami kala SMA, kamu akan sedih. SMA kemana-mana aku sendiri. Ke perpus sendiri, ke kantin sendiri, ke musholla sendiri, kemana pun sendiri. Teman-temanku juga jarang mengajakku ngobrol. Aku menarik sendiri. Dan kebiasaan sendiriku terbawa kemana-mana, di mana pun aku pergi. Di Jogja, di Semarang, di Jakarta, tak ada bedanya. 

Kenapa aku sendiri? Karena sendiri tak membahayakanku. Karena sendiri tak ada yang melukai dan menyakitiku. Karena sendiri aku tak harus berpura-pura bisa bicara dan basa-basi. Aku tak takut sendirian, aku tak takut. Bahkan jika nanti aku selalu sendiri aku tak masalah. Aku sudah terbiasa. Pun ketika aku dijauhi, dihina, dirasani, digibah, dikatakan ini dan itu, aku tak masalah. Dari pengalaman sendiri itu, aku punya standar dan prinsipku sendiri. Suatu bentuk kemewahan paling purna yang kumiliki, tanpa intervensi dan tendensi.

Seberhasil apa pun aku nanti, aku tetaplah anak kecil yang ketika SD tak pernah jajan karena takut dimarahi penjual yang monopolistik; aku tetap anak remaja SMP yang terisak-isak di depan kelas karena tak punya teman kelompok; aku tetap anak SMA yang bau dan dijauhi; aku tetaplah orang yang dianggap aneh, anti-sosial, pendiam, dan suka menjauhi manusia lain.

Seseorang mungkin bisa bersimpati, memahami, atau bahkan mengkasihani tapi dia tak akan merasakan apa yang kurasakan; dan bagaimana itu membentukku sekarang. Haha, gelap banget diary ini. Enjoy aja lah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar