Senin, 29 November 2021

Ziarah (2016): Serasa Pulang ke Batin

Bagi saya, film "Ziarah" adalah film terbaik Indonesia yang saya tonton tahun 2021 ini. Film ini membawa saya menziarahi batin dan seolah menampar saya dengan berbagai pertanyaan. Film ini menghadirkan fakta-fakta menarik akan sesuatu yang transenden, kesetiaan, pernikahan, perjuangan, mistisisme Jawa, local wisdom Gunung Kidul, serta membawa saya kembali pada Jogjakarta.

Kejujuran Akting Ponco Sutiyem di Film Ziarah | kumparan.com

Saya tak tahu harus memulainya darimana. Atau izinkan saya bercerita dulu terkait tokoh Mbah Sri (Ponco Sutiyem), nenek berusia 95 tahun yang dengan gigihnya mencari makam suaminya Pawiro, yang menjadi korban Agresi Militer II, clash saat itu. Saya benar-benar kagum dengan semangatnya, dengan usianya yang tak muda, dengan fisiknya yang sudah lemah, dia berjalan kaki hingga jauh untuk menemukan makan suaminya. Itu dilakukan dengan satu niat: dia mau dikuburkan di samping makam suaminya.

Mbah Sri berjalan dengan memecahkan satu teka-teki satu ke satu teka-teki yang lain. Dari satu orang ke orang lain. Perjalanan itu membawa saya ke Gunungkidul, makam-makam khas di sana yang sering ditutup dengan kain putih, suasana mistis rumah tradisional di sana, juga budaya tutur masyarakat di sana. Mbah Sri juga membawa keris, keris yang bisa bergerak sendiri menunjukkan arah. Sebab ternyata ada sebuah kepercayaan, keris akan menemukan pasangannya.

Tak kalah berharga juga pelajaran yang disampaikan oleh cucu Mbah Sri, Prapto (Rukman Rosadi). Di usia sekarang, obrolan terkait pernikahan menggelitik saya. Dan saat itu ada sebuah dialog yang cukup mengena di ulu hati, kira-kira begini: "yo ra gojek, umurki ki wis ra gojek." Untuk menunjukkan keseriusan Prapto pada calon istrinya Vera Prifatamasari. Saya juga belajar terkait rumah tangga, hal pertama yang perlu dibangun adalah pondasi rumah, bukan printilan macam mesin cuci, TV, dan tetek bengeknya hanya karena barang-barang itu sedang diskon besar.

Film ini membawa saya pulang ke batin juga karena mengingatkan saya akan tanah air saya sendiri. Saya membayangkan betapa susahnya kemerdekaan itu tercapai, melalui perang dlsb, dengan begitu banyak korban. 

Karya sutradara BW Purba Negara ini memang unik, selain mengambil tokoh utama seorang nenek yang sudah sangat tua, tapi juga dengan alur seperti orang mengerjakan teka-teki silang ketika menontonnya. Premis tujuan sederhana: Mencari makam Pawiro. Meski di akhir film berakhir dengan menyedihkan, di samping makam itu sudah ada makam lain seorang perempuan yang berarti istrinya. Dan apalah arti kesetiaan Mbah Sri ini?

Scene-scene yang ciamik dan emosionil juga menyentuh kalbu. Semisal ketika Mbah Sri nyekar di tengah daratan yang telah berubah jadi danau; kala Mbah Sri menyapu makam suaminya; kala Mbah Sri tertidur di pendopo makam; dlsb. Saya membayangkan diri jadi Mbah Sri, betapa mulianya....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar