Senin, 29 November 2021

The Devil Wears Prada (2006): Kerja Tak Sebercanda Itu

Judul film ini pertama kali pernah saya baca di sebuah buku fashion. Ceritanya total selain seputar fashion juga kumpulan orang, para perempuan yang workaholic. Terkisah Andrea Sachs (Anna Hathaway) atau yang kerap disapa Andy bekerja di sebuah penerbitan majalah Runaway. Bosnya Miranda Priestly (Meryl Streep) adalah seorang perfectionist yang menuntut kerja keras, kerja cerdas, kerja cepat, dan kerja elegan. Andy yang baru saja lulus dari Universitas Northwestern dengan latar belakang pernah jadi aktivis pers di kampusnya dan berbagai prestasi kepenulisan lain pun bekerja bersama Miranda.

Andy pun melakukan adaptasi dan penyesuaian yang sangat banyak. Dari cara dia berpakaian, cara dia beraksesoris, cara dia dandan, cara dia memilih merk, cara dia ini dan itu berubah sangat cepat. Perubahan di sini saya kira sangat-sangat tidak masuk akal, karena saya meragukan ada manusia yang bisa belajar secepat itu tanpa memperlihatkan proses jatuh bangun dan pergulatan. Andy menyebut itu sebagai "batu loncatan", but how? Karier gak sesederhana itu. Dan tiba-tiba saja Andy menjadi tokoh sempurna yang sesuai dengan karakter Miranda. Untuk pakaian dan tas yang kampungan dikatakan: "Jangan mencemarinya di sana." 

Tapi yah, ini bisnis Bung dan Nona. Kapitalisme tak kenal belas kasihan meski kau pernah menulis terkait pemogokan buruh sekali pun. Pergolakan terjadi, Andy yang berubah membuat teman-temannya tak kenal dengan dirinya. Pacar dan sahabat dekatnya pun protes karena Andy tak menjadi dirinya lagi. Dunia fashion memang dunia serba cepat, bahkan saya tak bisa membedakan gasper dengan warna sama, model sama, tapi dibilang berbeda. 

Andy pun meski kelabakan awalnya bekerja dengan Miranda, toh dia bisa survive. Sedangkan Emily temannya mesti menucapkan mantra "I love my job, I love my job, I love my job" sekian banyak kali kala dia stress untuk bertahan. Aneka tekanan dan deadline yang tak masuk akal dibuat, sedangkan Andy bersikap sebagaimana seloka orang Jawa: "weruh sak durunge winarah." Andy tahu apa yang dibutuhkan Miranda bahkan sebelum bosnya itu mengatakan.

Oh Tuhan, kalau kau benar-benar jadi Andy saya pikir memang hanya akan sedikit yang bertahan, even posisi itu diimpikan jutaan perempuan lainnya. Bayangkan kerja dan aktivitas yang tak masuk akal yang diberikan Miranda, bayangkan bisnis yang selalu menatap simbol, tampilan fisik, dan material duniawi itu. Sehatkah kerja seperti itu? Bagaimana pula dengan pribadi Miranda yang memiliki keluarga tak harmonis meski dikaruniai dua anak kembar? Bagaimana hubungannya dengan suaminya?

Yah, apa pun kritik untuk Miranda ada hal menarik, dia punya wilayah suci terkait mode yang tak bisa diganggu gugat merupakan dunianya. Miranda memiliki karakter ganda antara feminim dan maskulin sekaligus, terlebih dari ketegasannya, sikap tidak basa-basinya, kejujurannya, ambisinya, dll. Hal yang sangat susah dilakukan oleh perempuan yang berkarakter B aja. 

Dari banyak bandrol dominan di ranah fashion, lalu mengapa harus Prada yang dijadikan judul? Mengapa tak Chanel, Calvin Klein, Gucci, LV, atau sebangasanya? Dan lagi-lagi saya serasa diajak kembali ke Italia lagi dari beberapa film terkahir yang saya tonton, meski rumah desain para perancang busana adalah Paris, Prancis. Di kota itulah Miranda melepas jabatannya dengan hormat dan penuh sombong. Ia tak bisa menyangkal untuk digantikan dengan Pemred majalah yang lebih muda.

Dan di akhir film Andy menemukan kemerdekaannya untuk memilih pekerjaan.... David Frankel sebagai sutradara memang jago di hal-hal yang bertema seperti ini. Saya jadi penasaran dengan makna kecantikan menurutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar