Jumat, 26 November 2021

Eat Pray Love (2010): Narasi Sebuah Pencarian Spiritual

Sudah lama tak nonton film, dan makin ke sini makin paham film-film apa yang saya suka; film apa yang cenderung saya bisa menikmatinya. Sebab dari semua film yang saya tonton sebagaimana makanan, cocok-cocokan. Kesan saya setelah menonton film Julia Roberts (Liz) ini, saya lumayan cocok, score 7/10. Apa yang menarik dari film ini bukan hanya seputar Bali dengan semua keindahan budayanya, tapi juga karakter dari si tokoh Liz, dan sepertinya saya mirip dia. 

Eat Pray Love' Film Hollywood yang Syuting di 3 Negara, Termasuk Indonesia!  Archive Tabloidbintang.com

Liz adalah seorang perempuan dewasa umur 30-an yang overthinking. Dia gagal dalam pernikahan dan cenderung mempermasalahkan hal-hal sepele seperti lagu dansa pernikahan yang tak sesuai dengan kesepakatan. Dia memutuskan untuk bercerai karena tidak bahagia akan pernikahannya, meski suaminya masih sangat mencintainya. Liz adalah prototype dari orang USA kebanyakan: tahu hiburan tapi tak tahu caranya bersenang-senang. Ya, saking workaholic-nya mereka. Dan saya juga sungguh merasakan ini.

Tentu kultur US ini beda sama Italia, negara yang dikunjungi Liz setelah perceraiannya, juga kegagalannya menjalin cinta dengan seorang aktor teater yang lebih muda. Setelah tragedi tidur di bawah tempat tidur itu, Liz merasa dirinya dipenjara. Kata-kata sahabat dekatnya soal kotak yang berisi pakaian bayi (mimpi mempunyai bayi) kalah dengan kotak Liz yang berisi peta dan segala bentuk barang seputar berpetualang.

Di Italia, sebagai seorang penulis script pula, Liz belajar bahasa Italia. Negara pizza dan spageti ini memang menarik dari sisi cara masyarakatnya berekspresi. Tangan mereka selalu bergerak seolah akan melakukan dirijen yang mereka sukai, atau suka-suka mereka. Orang Italia tahu cara bersenang-senang, mereka punya kultur "nikmatnya tidak melakukan apa-apa", yang tentu ini bukanlah Liz yang pikirannya selalu sibuk. Orang Italia juga paham makna cinta, kekeluargaan, dan tentu makanan enak. 

Usai dari Italia, Liz merantau ke India. Negeri yang lebih berantakan daripada Indonesia, di mana kemiskinan dan gelandangan di mana-mana. Meski di negara inilah Liz sebenarnya belajar terkait spiritual. Dia masuk kelas salah seorang tokoh namaste di sana, mengikuti kelas yoga, ikut melakukan aktivitas pelayanan umat, dan mengikuti budaya silence (tidak berbicara apa-apa). Dia bertemu dengan sesama "orang gagal" dari US yang juga bercerai, pria ini yang mengajari Liz untuk memaafkan dirinya sendiri. Dan kalimat yang masih saya ingat: "Urus dirimu sendiri Liz, yang lain, mereka bisa mengurus diri mereka sendiri."

Lalu petualangan Liz sampai juga di Bali. Sebagaimana ramalan Ketut Liyer (Hadi Subiyanto), Liz akan kembali ke Bali dan menemukan cintanya di sini, Liz bertemu dengan pria gagal yang lain bernama Felipe (Javier Bardem). Di Bali, Liz belajar terkait keseimbangan hidup, yoga, dan ilmu-ilmu obat-obatan dari Wayan (Christine Hakim). Wayan memiliki anak bernama Tutti (Anakia Lapae), yang membantu ibunya bekerja.

Secara keseluruhan, film ini cukup menarik. Mungkin karena Liz mewakili saya, saya jadi ingin melakukan perjalanan sebagaimana Liz, yang entah itu kemana... Mungkin saya akan merencanakannya, entah di dalam negeri atau mungkin nanti keluar negeri, tujuannya: kala hidup sudah tak bermakna lagi, jalan paling indah memang pergi, jalan-jalan. Menemukan nilai-nilai baru hidup kembali. Mungkin nilai itu sesimpel: Makan Berdoa Cinta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar