Jumat, 25 Juni 2021

Masalah Orang Idealis Selanjutnya: Lama!

/1/

Harusnya udah lama sadar kalau yang material itu lebih nyata, sebagaimana pepatah "time doesn't exist, clocks exist." Sama kek perasaan sedih, senang, cinta; tapi ya bagaimana lagi, yang tidak terlihat ini lebih merepotkan dibanding apa yang nyata dan terlihat. Jadi adakah orang yang hanya percaya dunia material dan tak mempercayai sama sekali yang tidak material. Tunjukan saya orangnya.

Hari ini entah mengapa, saya tengah mengamati perilaku-perilaku dan perasaan-perasaan saya sendiri. Kemarin saya nonton film berjudul "Teman Tapi Menikah", ya, saya sadar, beberapa hari ini saya nonton film-film Indonesia yang judulnya menyek-menyek dengan tema seputar pernikahan. Well, saya tak malu menontonnya dan tak malu juga misal nanti ada yang menganggap saya picisan, ngepop, cringe, dan sekawanannya. Ada beberapa hal yang sebenarnya bisa saya petik:

Pertama, saya ternyata lebih menyukai film-film Indonesia daripada luar negeri. Saya pernah ada pengalaman nonton film luar negeri di bioskop di sebuah festival film begitu, pertama ceritanya sungguh jelek, kedua saya tak mengerti bahasanya meski disediakan terjemahan, ketiga sepanjang film berjalan saya benar-benar tak bisa menikmatinya, keempat, keluar bioskop lebih baik untuk psikologi saya dibanding saya memaksakan menonton. Pengalaman ini saya alami beberapa kali juga ketika saya copas film luar dari teman dan berujung tak ada kesan berarti bagi saya.

Kedua, bagi saya film-film Indonesia (yah se-cringe apa pun lah, ha-ha), masih bisa saya nikmati karena secara kebudayaan saya dekat; secara bahasa saya paham; dan yang paling penting saya terhibur. Tolong bedakan film Indonesia dan sinetron Indonesia. Ini beda tebalnya kelihatan. 

Lalu, kenapa saat ini saya nonton film Indonesia yang temanya pernikahan? Jawabannya fase hidup, saya tak mau di fase dan umur hidup saya sekarang, ketika menjalani pernikahan dan memilih calon (tak ingin) sebagaimana memilih kaktus dalam karung. Sebab itu, saya serius menimba ilmu dari film-film Indonesia terkait pernikahan. Dan setelah beberapa saya tonton, honestly, saya gak kecewa. Banyak pelajaran hidup yang bisa saya dapat. Mungkin pula dalam fase hidup saya yang lain, saya akan menonton film bertema anak dan keluarga--atau menjadi tua kemudian mati. Ya, saya kira.

/2/

Di film "Teman Tapi Menikah" saya seperti langsung tersadarkan atas pernyataan dari Ayu atau yang kerap disapa Ucha (Vanesha Prescilla) ini pada Ditto (Adipati Dolken)--yang jauh-jauh datang dari Bandung ke Jakarta cuma untuk menyatakan perasaan.

"Sorry telat, tadi shooting sama sutradara baru yang idealis, lama banget shooting-nya."

Jleb, saya semacam dapat gledek di kepala, benar juga ya, kebanyakan orang idealis memang lama. Nunggu segalanya sempurna dulu baru jalan. Hadaaah. Udah egois sama diri sendiri, lama lagi. Kalimat itu seperti menyadarkan saya, dan seolah saya menemukan jawaban akan kelamaan-kelamaan saya selama ini. 

Ayu dan Ditto dalam "Teman Tapi Menikah"
Ditto sudah lama melihat Ayu di TV sedari kecil, tapi sedekat-dekatnya Ditto sama Ayu, mereka dipisahkan layar kaca. Hingga akhirnya mereka sekolah dan Ditto merasa bahwa Ayu bukanlah malaikat tapi dia nyata. Ditto pun memanggil Ayu bukan dengan nama pasaran Ayu, tapi Ucha. "Gw gamau kayak orang kebanyakan, gw manggil dia Ucha."

Bekerja untuk Mendapat Apa yang Diinginkan

Yang saya suka dari sifat Ditto adalah dia pekerja keras. Pada suatu dinner bersama keluarga, Ditto menyampaikan keinginannya pada orangtua untuk dibelikan mobil. Tapi orangtuanya bilang, kalau mau mobil kerja! Dia pun curhat sama Ucha:

"Cha, gw pengen beli mobil, tapi sama orangtua gw disuruh beli sendiri."

"Ya kerja sesuai passion lo, passion lo apa?"

"Musik, perkusi." (Kalau di depan perkusi, Ditto lupa semuanya, keren Ditto terpancar berkat perkusi)

"Ya udah, mulai dari sana. Lo tabung, selesai."

Inget, uangnya ditabung!

Dan kata-kata dari Ucha begitu Ditto dalami. Menurunya: "Entah dapat pelet apa, setiap kata Ucha selalu buat diri gw termotivasi." Dan atas usahanya manggung dari satu cafe ke cafe lain, Ditto akhirnya bisa membeli vespa, lalu beberapa waktu kemudian setelah nabung tiga tahun bisa beli mobil sendiri: hasil tiga tahun nabung!

Ditto bertekad menjadi cowok yang bisa dibanggakan Ucha. Ditto akhirnya menjadi ketua OSIS hingga masuk TV dengan gayanya yang tengil, ha-ha.

"Gw akan jadi Ditto yang lebih baik buat Ucha."

Dan pengorbanan Ditto ini disadari oleh mantan Ditto bernama Dilla, yang pacaran hingga sekitar 4 tahun hingga di akhir-akhir mereka pacaran yang diomongin Dilla hanya soal married melulu.

"Semua kerja keras, semua prestasi, semua, semuanya kamu tujukan buat Ayu kan?" tanya Dilla.

Ha-ha, belum juga diperiksa, sudah divonis.

Jangan Bego, Sayang Juga Harus Milih-Milih

Bagi Ditto, saat Ucha sedih dikhianati oleh pacarnya bernama Dharma, kemudian Ditto mendalami kesedihan Ucha, terjadi percakapan menarik:

"Tapi Dit, gw kan sayang sama Dharma."

"Ya sih, harusnya gak bego juga. Sayang juga harus milih-milih."

Damn, right!

Menurut Ditto, rasa cinta itu datang seperti orang menunggu bus di sebuah halte: lo harus tahu nomor bis lu, yang itu sesuai sama tujuan lo, dan pastikan ada duit buat naik, wkwk.

Soal duit juga nih menurut Ayu, "Semua orang bisa jadi humble kalau dia gak punya duit, kalau punya duit beda lagi." Hm, kalau dilihat kenyataan ada benarnya juga sih, ha-ha.

Film ini sebenarnya merupakan film yang diadaptasi langsung dari cerita nyata Ayudia Bing Slamet dan Muhammad Pradana Budiarto. Dalam kehidupan sehari-hari ini sebenarnya cerita sejuta umat juga sih, kebanyakan jodoh kan hasil dari pertemanan juga. Ya kan???

Tidak ada komentar:

Posting Komentar