Senin, 06 Desember 2021

Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (2021): The Best Revenge Is Not Massive Success

Suatu hari di suatu masa, saya tengah jadi panitia di sebuah In House Training jurnalistik persma kampus. Teman saya salah satunya membawa buku karya Eka Kurniawan yang boleh dibilang kategori tipis dibanding novel Eka lain yang pernah saya temui. Judulnya "Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas" (2014)--dengan cover warna hijau rumput muda dan burung yang keok. Dari judulnya, saya mengira ini novel cinta-cintaan tapi dibuat lebih menarik dari sudut pandang Eka, pas saya baca, di luar perkiraan ini novel terkait pria yang tak bisa ngaceng dan dia gelisah sepanjang waktu karena itu. 

Kata-kata Eka sungguh banyak mengundang birahi--padahal saya bacanya di pondok pesantren, tempat In House Training--dari segi tema, alur, karakter, novel ini memang berani. Tak banyak penulis Indonesia yang akan kepikiran se-out of the box itu. Yah, karena waktu itu acara hampir selesai, saya hanya sampai sekitar 50-an persen halaman, dan buku itu kembali ke pemiliknya yang saya lupa siapa, yang jelas saya tidak enak kalau meminjam dan membawanya pulang.

Beberapa tahun kemudian, tepatnya kemarin, Minggu (5/12/2021), saya dan dua orang teman (panggil saja Nisa dan Ola) memutuskan untuk menonton film ini karena gagal berangkat ke Bogor untuk menghabiskan weekend. Jakarta dirundung hujan beberapa hari ini mengakibatkan kemageran yang begitu parah untuk sekadar keluar. Setelah cap-cip-cup ala kelas menengah dengan nongkrong di coffee shop, kami pun nonton dengan tempat duduk berdekatan. Sayang, film yang juga tayang di Cinepolis Penvil itu diputar beberapa menit sebelum jadwal aslinya dimulai. Kami pun ketinggalan, tapi masih memenangi adegan Ajo Kawir (Marthino Lio) dengan motor edisi tuanya yang meraung-raung di jalanan meski sekilas suaranya saja.

Oiya, sorry, ini too much spoiler alert yak!

Pas nonton film ini, kalau ada tiga kata yang ingin saya gambarkan untuk mewakili adalah dendam, balas dendam, balas dendam lagi. Dendam adalah motivasi utama film ini. Ajo Kawir merupakan korban pelecehan seksual ketika masih kecil, di film tidak ditampilkan dengan detail, tapi di buku saya masih ingat Ajo melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana pembunuhan, pemorkosaan, dan kekerasan terhadap Rona Merah (Djenar Maesa Ayu) dilakukan hingga membuat burungnya itu tak bisa berdiri. Kekerasan itu dalam film dilakukan oleh dua orang, Codet (Lukman Sardi) dan seorang militer begitu.

Adegan awal-awal film ini dimulai dengan sebuah perkelahian antara Ajo Kawir dan Iteung yang penuh adrenalin. Saya pribadi suka dengan tokoh Iteung yang dimainkan Ladya Cheryl, entahlah, sekilas mengingatkanku dengan Anita Roddick pas rambutnya keriting. Tokoh Iteung di film itu segar, tegar, pemberani, mandiri, dan menarik. Iteung sendiri juga adalah korban pelecehan seksual yang dilakukan oleh gurunya ketika sekolah. Kala itu Iteung berani berbalas dendam dengan menjepit anu gurunya di lemari.

Alur pun bergulir dengan cepat. Nuansa film 80-an dengan nuansa dan atmosfer seusai hujan membuat memory saya kembali ke kampung halaman. Sekaligus saya mengingat rumah-rumah tetangga saya dan ndadah (semak-semak) yang bisa jadi angker itu. Apalagi saya membaca berita beberapa, lokasi syuting itu banyak diambil di Rembang, kabupaten yang beberapa kali saya kunjungi dan lewati karena dekat dengan Blora (tempat kelahiran saya). Semua latar yang ada di film SDRHDT tak ada yang asing, dari toko kelontong, bengkel, dermaga, alas, jalan raya kala malam, truck, pohon jati, dan saya suka dengan pernak-pernik rumah yang ditinggali Ajo Kawir dengan temannya Tokek (Sal Priadi). Terlihat begitu autentik dan zamannya.

Kisah jatuh cinta antara Ajo Kawir dan Iteung digambarkan begitu cepat terjadi usai kelahi berkeringat. Diikuti dengan adegan pacaran, kencan di pasar malam, having sex di bawah bianglala, dan sampai akhirnya dua sejoli Ajo dan Iteung ini menikah. Iteung menerima kekurangan Ajo Kawir karena penyakit yang paling ditakuti laki-laki itu. Apa alasannya? Ini butuh keikhlasan yang luar biasa sekali lho (baik dari pihak laki-laki maupun perempuan), apalagi di rumah tangga; sangkut pautnya tak cuma seks, tapi juga keturunan. Apakah semua karena cinta? Hanya Iteung yang tahu. Melihat di dunia nyata, akan sangat susah bertemu dengan perempuan yang mau menerima pria impoten seperti Iteung. Kecuali dia punya kualitas seperti Ajo Kawir mungkin.

Meski sungguh masalah yang berat, Iteung rindu having sex sesungguhnya, having sex yang sama-sama bisa memuaskan. Bajingan bernama Budi Baik (Reza Rahardian) yang juga punya usaha minyak bulus itu melakukannya. Dan, oh, Iteung hamil! Ajo Kawir marah luar biasa, kalau dia sudah marah, kau akan tahu dia bisa memakan apa saja. Tak cuma bisa menghabisi Macan, tapi juga musuh lainnya, dia hanya butuh satu kata untuk berkelahi: motivasi. Namun saya tetap tak tega dan sakit hati kala tokoh perempuan kala Iteung dikatai "lonte" oleh suaminya sendiri di film ini. Meski saya paham, ego dan harga diri Ajo Kawir tengah terinjak-injak, saya juga ikut kehilangan respect pada Iteung yang melakukan itu. Menurutmu, apa tepat disebut pengkhinatan?

Cinta tetaplah cinta, karena cinta pula (mungkin), Iteung membalaskan semua dendam Ajo Kawir pada orang-orang yang telah merebut masa depan suaminya. Balas dendam itu tak akan kau sangka dilakukan oleh perempuan semanis itu. Balas dendamnya pun tergolong sadis, bagi kau yang tak kuat darah, akan ngilu nonton film ini. Bayangkan seorang manusia dikerek laksana burung hingga dia meninggal. Iteung memang kriminal, tapi dia punya motivasi dan tujuan, balas dendam. Hingga balas dendam itu lunas satu per satu. Hingga Iteung bisa bisa membuatkan kue bolu yang di kertas luarnya bertulis dia mencintai Ajo Kawir.

Setelah hampir dua jam, film berakhir dengan happy ending. 

Meski begitu, ada beberapa plot hole yang sulit saya pahami sebagai penonon. Terutama kemunculan Jelita (Ratu Felisha), saya tak bisa membedakan apakah dia makhluk jadi-jadian, ilusi, atau kenyataan. Dia siapa? Apa urusannya dengan Iteung? Atau saya yang kurang menangkap jalan ceritanya.

Secara wacana dan teori, banyak yang bisa dibedah dari film ini--ini tugas kritikus. Tapi saya hanya ingin menutupnya dengan kalimat dari Frank Sinatra, "The best revenge is massive success" tak selamanya benar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar