Jumat, 03 Desember 2021

Natalan/December (2015): Cepak-Cepak Ibu yang Tak Bersambut

Tiap  kali pulang, ibu saya gembira meski saya rasanya biasa-biasa saja. Mungkin ikatan emosi saya ke ibu lebih mudah diputus daripada ikatan emosi ibu ke saya. Tiap moment kepulangan saya, ibu selalu ingin masak hal-hal lezat seperti menyembelih ayam peliharaannya atau memakai uang belanja untuk memasak masakan kesukaan saya. Sedang ketika saya pulang, barangkali saya tak pernah memikirkan dengan benar oleh-oleh apa yang pas buat ibu-bapak. Dan Natalan menunjukkan kontradiksi itu, film yang sanggup memainkan emosi penonton dari sosok yang paling dekat, ibu. 

Kalau dipikir-pikir lagi, saya serupa Resnu (Ramon Y. Tungka) yang boleh dibilang cukup durhaka karena tak pulang selama kurun waktu yang lama, menyepelekan kerinduan orangtua, dan tak memberi kabar saat dibutuhkan. Kalau dipikir-pikir dalam film ini, hal-hal kayak gitu tega banget sih, tapi kenapa kalau di dunia nyata jadi hal yang wajar ya? 

Adegan paling menarik menurut saya saat ibu Resnu (Mien Brodjo) ketika ditinggal oleh pembantunya pergi ke pasar membeli bahan-bahan terbaik untuk dimasak, untuk menyambut kedatangan anak tercintanya bersama istri dan anaknya. Sang ibu yang sudah sepuh itu cepak-cepak, dia beli sayur, cari daging hingga berkilo jumlanya, lalu memasak dan menatanya di meja makan. Sedangkan di sisi lain, anaknya lebih memilih untuk ada di tempat lain.

Hal menyebalkan lain tentu sikap istri Resnu bernama Dinda (Clara Sutedja). Sepanjang film ini berlangsung, keduanya seperti sumbu X dan Y yang susah bersatu dan punya jalan sendiri-sendiri. Resnu suka makan warteg, Dinda suka McD; Resnu kusut, Dinda happy sama teman-temannya di telepon; Resnu masa bodoh dengan penampilan, Dinda menjaga penampilan dan kebersihan; dlsb. Sampai yang paling epik saat Resnu terpaksa harus ke Solo untuk ke rumah keluarga Dinda dulu dan meninggalkan ibunya yang kesepian.

Film ini terasa dekat dengan saya karena latarnya diambil di Jogja, saya merasa kembali pulang. Saya juga suka dengan pesan-pesan hangat yang disampaikan oleh film ini. Film ini memang tidak mirip Tiga Hari untuk Selamanya dengan cerita yang banyak dihabiskan di jalan dari Jakarta; kesamaannya lebih ke menuju Jogja dan menghadiri acara keluarga. Adegan yang banyak di jalan (Resnu-Dinda) dan di rumah (sang ibu) menjadi simbol pula bagaimana rumah selalu punya kebesaran hati, yang hangat, yang tatag; dibandingkan dengan jalan yang selalu gelisah, sering berganti-ganti, dan tak pasti.

Film garapan Sidharta Tata ini bagi manusia berhati halus akan dibuat mbrebes mili. Pesan yang disampaikan universal untuk semua agama. Setiap orangtua mungkin harus siap dengan kehilangan-kehilangan anaknya, entah kehilangan dalam situasi apa. Lebih berat lagi kalau orangtua hanya memiliki anak tunggal. Sehat-sehat ibu....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar