Hai, tulisan ini kupersembahkan padamu, setelah aku menulis tulisan cinta yang dalam di hari ulang tahunmu yang ke-36 tahun, dan tak kau tanggapi. Aku tahu semesta telah memberiku pertanda berkali-kali untuk pergi.
Setelah aku mendapatkan pencerahan terkait perasaanku padamu. Ini yang ingin kuungkap padamu, dan ternyata kupendam, dan aku memaafkan diriku.
Aku masih ingat, rasa cinta itu bermula saat kita sama anak-anak UIN (tahun 2014), yang dulu datang ke diskusinya Pidi Baiq di sekretariat Kedaulatan Rakyat dekat Tugu. Saat itu kita berangkat dan pulang jalan kaki bareng anak-anak eska, dan aku perempuan satu-satunya. Saat mau menyeberang, kau dengan baik memegang pundakku, dan seperti film picisan lainnya, ada listrik yang merembet di diriku, dan menghasilkan cinta. Apalagi di arena kita juga hampir setiap hari bertemu, lengkaplah. Setelah itu, aku buta melihatmu, semua yang kau lakukan seolah baik semua di mataku. Tanpa melihat sisi-sisi negatif, jahat, dan tai-nya kamu.
Jujur, selama hampir 12 tahun ini aku merasa capek, sangat-sangat capek. Aku bebal, bodoh, dan keras kepala, tapi gak papa, ini bukti jika aku masih manusia yang punya rasa. Kamu tentu masih ingat, pertama kali aku menembakmu dulu lewat SMS, sepertinya di tahun 2015. Berani ya aku? Aku barangkali terlalu aware dengan keberanian feminis yang di atas rata-ratanya anak UIN. Aku ketik, hapus, ketik, hapus, ketik, hapus, SMS itu sebelum kukirim padamu. Sampai aku memberanikan diri dan bilang, jika aku mencintaimu.
Saat paginya kita bertemu, badanku sudah seperti batu. Seingatku, kau hanya menjawab dengan pernyataan seperti ini dari SMS-ku yang kubuat dengan mati-matian itu: "Aku konyol. Nembak kok lewat SMS." Setelah itu, hidupku terasa panjang sekali menggantung selama kuliah. Beberapa kali aku dan kamu berdua di sekretariat, dan ada di suatu malam, kita duduk berdua, tapi tidak berbicara soal perasaan, tapi soal kritik pada organisasi, haha. Sial. Aku pun dengan senang hati mendengarmu, setiap kata-katamu bahkan kudengarkan detail, tentang si A yang begini, tentang program B yang begini, soal pemberitaan C yang seperti itu.
Hampir setiap hari rasa cintaku padamu kupupuk seperti petani pada padinya, seperti nelayan pada perahunya, seperti buruh pada pabriknya. Aku mampu bertahan sangat lama bukan? Bahkan ketika aku mendapat kabar, kau jadian sama teman kita si anak teater. Kau tahu betapa sakitnya perasaanku waktu itu? Aku menangisimu semalaman di kos. Bahkan lagu Audy yang "Menangis Semalam" tak cukup tragis menggambarkan ini. Aku mengasihani diriku sendiri. Aku membandiing-bandingkan diriku sama perempuan anak teater itu, sambil memperhatikannya memberikan bekal tiap hari ke arena padamu. Aku juga memikirkan ini jauh sampai ke mitos Jawa-Sunda yang tak bisa bersatu; atau anak pertama dan anak ketiga yang tak cocok; atau weton kita yang tak baik. Aku terisak-isak dengan sangat sering, seolah duniaku gagal. Aku merasa tak cukup baik.
Aku masih bisa bertahan hingga tahun 2018. Setia bukan aku? Bahkan hampir sewindu kemudian, rasaku padamu masih sama. Tentu, pecinta mana yang tak lebai? Jika dia benar-benar mencintai, dia akan lebai. Itu yang kulakukan, saat kamu online Facebook, aku tak segan untuk mengirimu stiker cringe love-love yang gak perlu. Tak hanya itu, sudah kubilang kan, aku copy paste dirimu terlalu banyak dari selera musik, film, cara berpikir, berideologi, berpakaian, bertingkah laku, hingga cara bicara, semua katamu kadang kutelan mentah-mentah tanpa aku sadar dengan konteks autentikku sendiri.
Kau pernah mencela (aku anggap itu celaan alih-alih kritik) soal majalah yang generasiku hasilkan karena di dalamnya ada foto anggota pas bareng-bareng. Kau bilang inti yang kutangkap, "Kayaknya arena gak pernah deh nampilin foto-foto narsis gini di majalah." Anjinglah kataku sekarang. Kau bilang narsis? Itu teman kita lagi nulis/refleksi soal keorganisasian, dan visual apa yang paling dekat selain menonjolkan anggota yang ada? Yang berproses bareng? Bukankah itu yang paling dekat? Kau tahu, komentarmu itu seolah menjadi standar tinggi, dan kami hanya mengangguk-angguk saja. Pantas kau selalu tampak soliter, toh, nyatanya kamu emang gak sesolider itu. Tentu aku akan membela apa yang tim kami hasilkan dengan semua alasannya. Kata-katamu yang seolah bilang kami narsis (judgmental yang sangat tak adil gara-gara satu foto) juga diamini oleh begawan-begawan arena lain seangkatanmu atau tak jauh dari angkatan atasmu. Hanya karena kesalahan kecil itu, sebagai pemimpin redaksi, aku merasa kegagalan datang padaku lagi.
Setelahnya, aku tetap mencoba berteman baik dengan pacarmu itu. Kami masih sempat haha-hihi bareng, atau ngobrol bareng, atau ketepatan di acara yang sama. Sampai ada kabar lain, sepertinya kalian putus, yang aku gak mau tahu alasannya apa sekarang. Aku juga pernah dengar curhat dari sirkelku, kalau pacarmu itu kau dorong untuk menulis, tapi dia malah merasa tertekan. Sementara, karena mencintaimu itu, karena cinta yang udah di tahap platonik itu, aku berkarya untukmu terlalu banyak, saking luber-lubernya tak sempat kau baca. Ah, tak perlu juga, gak ada tekanan kau harus membacanya.
Flashback ulang pada tahun 2018 menjelang kelulusan, aku DM ke Facebookmu, aku ingin menyelesaikan hal-hal yang berserakan di kepala dan hatiku padamu. Aku inisiatif mengajakmu jalan bareng. Keputusanku untuk mengajakmu jalan itupun maju-mundur, karena aku tipe orang yang takut dengan penolakan. Kamu pun mengiyakan. Sebelum kita jalan habis Ashar, paginya aku telah gladi bersih. Aku telah meniti jalan itu sebelumnya dengan ditemani sepedahku Nuun Junior. Pas gladi bersih itu aku membayangkan yang indah-indah. Di kala senja, kita bisa ngobrol akrab tentang hubungan kita ke depan, sambil mendengarkan lagu-lagu yang kamu sukai (nyaris semua lagu yang kusukai saat itu terinspirasi darimu, jadi aku sampai tak tahu lagu apa yang pernah kusukai saat itu).
Imajinasi indahku kala gladi resik itu gagal total. Sore itu aku menunggumu di depan Gedung Multi Purpose. Aku mengamati daun-daun beringin yang jatuh sangat banyak seperti nuansa musim gugur. Aku merasa sore itu puitis, meskipun setelah aku bertemu kamu, dengan kaos, celana jins, dan sandal jepitmu itu, aku kembali gagal mengikuti ritme kakimu. Aku kerenggosan, kamu begitu sangat egois di kecepatan kakimu sendiri. Aku tahu kamu pejalan yang cepat, tapi bisa gak sedikit dipelankan jika aku boleh meminta? Aku ngerasa mentalku bahkan sudah kalah di langkah pertama, dan aku sudah membayangkan di langkah-langkah selanjutnya. Kau tahu, saat itu betapa berantakannya aku mengikuti langkah kakimu? Aku mau bilang saat ini: aku udah kalah di langkah pertama. Imajinasiku pecah berkeping-keping di kaki awal itu. Aku menyerah. Aku kalah. Aku pecah.
Setelahnya, aku hanya berusaha mengikuti ritme kakimu yang kecepatannya berbeda. Sampai kita sampai di Bentara Budaya Yogyakarta dan lihat pameran pun, aku yang lebih menikmatinya daripada kamu. Sampai kita sampai di Embung Langensari... Embung ini dulunya adalah kawasan SD. Kos pertamaku di Jogja tak jauh dari situ, tinggal jalan kaki. Kau tahu, ini tempat terfavoritku di Jogja. Aku mengajakmu kesini untuk bilang perasaan. Namun, apa yang terjadi? Kau seperti tak minat. Kau hanya sibuk melihat jam tanganmu yang besar dan kau pakai di sebelah tangan kanan itu (karena rata-rata orang memakai jam sebelah kiri, aku pun sebelah kiri). Aku pun sadar, dibanding kamu, kualitas ku untuk hal-hal seperti ini, aku hanya orang pada umumnya. Kau hanya sibuk dengan lagu-lagu playlist hapemu si Pink Floyd dan Radiohead yang brengsek dan zionis itu. Kau mengabaikanku, kau tak peduli dengan perasaanku, bahkan mungkin kau tak benar-benar menganggapku ada. Bajingan kamu.Itu bisa kurasakan, rasa itu bisa dirasakan, bahasa tubuhmu sudah sangat kelihatan. Aku terlalu gagap membacanya, sampai sekarang. Kita hampir satu jam diam-diaman. Ya, literally kita cuma diam-diam saja. Kau juga tak berinisitif mengajakku bicara. Kau tak bisa menangkap begitu bergejolaknya perasaanku, sampai hal yang bisa kulakan hanyalah menatap langit yang kala itu cerah dan bersih. Aku bisa melihat bulan sabit dan dua bintang yang saling berdekatan. Lidahku kelu, bibirku hanya bisa membisu. Sampai akhirnya ada bapak-bapak yang datang dan bilang embungnya akan tutup. Lalu, kita pindah tempat.
Kita duduk hadap-hadapan di sebuah bangku depan Balai Yasa, di bawah pohon-pohon besar yang katanya angker itu, padahal tidak, aku menganggap justru pohon-pohon itu serupa budhe dan pakdheku yang baik. Yang memberi kesejukan kala siang, dan perlindungan kala malam. Di sana, aku mencatat obrolan kita lengkap di diary. Usai pertemuan kita itu, aku lembur nulis, aku catat kata-katamu dari A sampai Z, aku pencatat dan pengingat kata yang baik. Aku bisa mencatat ulang apa yang kamu sampaikan tanpa alat perekam.
Saat itu, aku bertanya padamu soal perasaanmu padaku? Kau bilang, hubungan kita biasa saja, sama seperti hubunganmu dengan si A, I, N (kau tahu sendirilah mereka siapa). Gak ada hubungan rasa selain kerja. Aku intens saat itu menatap matamu. Aku seperti menghabiskan rasa ingin tahuku. Aku bertanya padamu sangat banyak, dari tendensimu, kisah keluargamu, ayahmu yang baru-baru saja meninggal, tentang saudara-saudaramu yang banyak dan hidup masing-masing dengan cara mereka sendiri. Sampai kau bilang salah satunya yang kuingat, kau pro dengan seks bebas. Aku lupa apa argumenmu, tapi itu secara prinsipil bertentangan denganku, dan aku baru sadar, kau memang liberal sejak dulu. Aku yang sok memahamimu menganggap kau naturalis atau paling jauh nihilis, ternyata kau lebih di luar daya tangkapku. Aku juga tak akan sanggup mengikuti jalan hidup bohemianmu. Membayangkannya saja aku sudah merasa gelap.
Kau juga mengaku, yang suka padamu sangat banyak, kau jujur, di UIN gak cuma aku, tapi juga ada beberapa lainnya, bahkan anaknya sampai marah-marah. Gak cuma di Jogja, di Bandung pun kau jadi rebutan perempuan. Argh goblok, ngapain juga aku ikut memperpanjang daftar ini, sampai sekarang? Bodoh! Bodoh! Bodoh! Sampai kita pulang bareng. Saat itu, jujur ada kelegaan kau telah membuka semuanya. Tapi memang dasarnya aku yang keras kepala. Aku terjebak dalam Rangga Syndrome (AADC), penyakit perempuan yang tertarik sama pria yang misterius, dingin, pendiam, dan gak ekspresif. Kita sama-sama introvert, toh kalau introvert kita berdua diadu, aku yakin, aku yang menang. Aku juga merasa introvertku lebih berguna karena kuolah untuk jadi karya buat orang lain, sementara sisi introvertmu lebih pemuasan terhadap desire kamu sendiri.
Di surat ini, aku ingin bilang, aku cukup. Aku tak akan memperpanjang menggadaikan hatiku padamu. Sudah cukup kutaruh hatiku di atas meja. Malam ini aku benar-benar akan menebusnya tuntas, dan tak kusisakan walau hanya sedikit untukmu. Aku tahu pikiranmu berbeda, sangat berbeda dari yang lain, tapi kamu gak sadar yang kamu lakukan itu juga kadang menyakiti yang lain.
Aku tiba-tiba juga mengingat, saat aku main ke rumahmu bersama teman-teman kita yang banyak. Di sana aku bertemu ibumu, dan yang ibumu lebih ingat adalah mantan pacarmu yang anak teater itu. Dia bahkan bertanya padaku dengan logat Sundanya yang khas, si teteh x itu kemana? Kok gak ikut? Dalam hati aku bilang: "Ya, mana kutahu, Bu. Kami sudah lama tak bertemu." Aku juga sadar, perempuan teater itu lebih dekat dengan saudara-saudaramu yang lain, terlebih saudara-saudara perempuanmu yang lain. Aku pernah merasa iri dengan kedekatan itu, sekarang aku mikir, ngapain diirikan juga? Sampai rasanya ngemis-ngemis validasi dan perhatian atau gak tahu batas pun kulakukan. Toh, saudara-saudaramu karakternya juga sama saja, tak jauh-jauh sepertimu. Kalian memang setipe.Dulu tuh ya, aku selalu ingin berusaha mendekatkan diriku kepada keluargamu. Kamu sadar gak, pas almarhum abahmu masih hidup, aku nge-add orangtuamu dan beberapa saudaramu di Facebook. Aku jujur punya kedekatan tersendiri dengan abahmu, karena dulu aku sering nge-like dan kadang abah juga pernah komen di statusku. Aku lebih merasa dianggap sama abahmu daripada dianggap sama kamu. Abahmu gak ada, aku ikut sedih (husnul khotimah untuk beliau). Abahmu sosok yang cerdas, religius, dan suka nulis. Anehnya, yang bahkan, kamu sendiri saja gak berteman sama ibumu di Facebook! Aku lho berteman.
Dulu aku ngerasa seolah kepo banget gitu ya, sampai semua pengen aku add, agar bisa temenan dan dekat sama keluargamu. Kurang kaffah apa aku dekatin kamu? Gak cuma dekatin kamu, tapi juga keluargamu. Tapi kayaknya emang niatku salah, jadinya gini, haha. Tapi gak papa, aku senang bisa kenal abah kamu, ibu kamu, dan saudaramu. Paradoks lainnya, kenapa aku capek-capek ingin dekat sama keluargamu, toh, kamu juga tak pernah ada niat untuk dekat dengan keluargamu sendiri? Kehangatan macam apa yang kuharapkan dari hubungan dinginmu dengan ayah, ibu, kakak-kakak, dan adik-adikmu? Lebih baik, aku belajar dekat dan menjadi hangat dengan ibu, bapak, dan adik-adikku sendiri.
Gak, di surat ini aku gak mau bilang kamu salah, enggak, aku yang salah karena udah mencintai dan berharap ke kamu. Aku hanya menyampaikan uneg-unegku yang kupendam padamu saja. Mau tak mau, kau juga terlibat di dalamnya. Salah satu sahabatku pernah bilang, kau serupa sirkus yang kukagumi, tapi tak bisa kumiliki. Ya, sirkus bagus sebagai tontonan tapi tidak untuk hidup bersama. Damn!
Pencerahan yang kudapat bilang padaku, aku susah melupakanmu karena durasi itu, selama 12 tahun mencintai itu bukan hal yang mudah, dan egoku tak akan terima jika aku tak berujung padamu. Aku lebih mencintai imajinasiku alih-alih damai dengan realita yang ada. Untuk itulah, malam ini kuputus ketololan egoku ini. Toh, setelah kupikir-pikir, aku gak sayang-sayang banget juga sama kamu. Aku anggap kamu teman yang supportif padaku. Seperti halnya saat kau membantuku ketika kehabisan uang pas di Jakarta tahun 2019 lalu. Tak lebih.
Malam ini, aku mau bilang ke higher self kamu: This is our closure. I give up on you. I will go without regret for what I have done. I won't go back again, no matter what life will be. I will cut you off completely, totally. Sayonara.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar