Rabu, 28 Mei 2025

Catatan Buku "Ruth First: Serpihan Tulisan" Karya Ruth First

Ruth First, bukanlah nama yang kukenal di jagat kepenulisan. Baru setelah membaca buku ini, aku mengenalnya. Dia seorang perempuan, aktivis, intelektual Marxis, orangtua komunis, dan tulisan-tulisannya kata genzi "bjir, bjir, bjir" keren banget. Keren yang kumaksud bukan hanya di susunan dan pemilihan kata, tapi konten, ideologi, pemahaman, dan pembebasan yang dia bawa lewat tulisan-tulisannya. Membaca buku ini seolah aku bisa paham jika: jiwa raga Ruth adalah untuk Afrika. Ya, semua tulisannya di buku ini membahas tentang Afrika dan masyarakatnya.

Serpihan tulisan Ruth di buku ini terdiri dari lima tulisan: (1) Pretoria Takluk oleh Perempuan!, (2) Afrika Selatan Hari Ini, (3) Dari Piagam Kebebasan ke Perjuangan Bersenjata, (4) Batas-Batas Nasionalisme, (5) Para Penambang Mozambik: Sebuah Studi Seputar Ekspor Tenaga Kerja. Buku ini juga diberikan pengantar yang cantik oleh Direktur Frieds of the Workers yang juga seorang scholar, Vashna Jagarnath. Lewat buku ini, aku menebalkan ulang tentang definisi: Aku janji akan lebih disiplin pada definisi dan konsep. Ini menjadi dasarku sebagai seorang intelektual. Sebab awal dari ilmu adalam nama, dan nama itu dalam bahasa Arab adalah Isma. Disiplin definisi akan jadi jalan ninjaku ke depan. Apa pun kata yang tak kumengerti, atau samar kumenteri, akan terus kucari pemaknaannya sampai jelas.

Baiklah, berikutnya, aku akan menjawab hal-hal apa yang kutangkap dari buku tipis tapi berat ini.

Di artikel pertama, "Pretoria Takluk oleh Perempuan", aku menangkap bagaimana sebuah kota dan ruang publik bisa menjadi tempat mobilisasi bahkan ruang yang relatif "aman" bagi perempuan untuk menyuarakan aspirainya. Meskipun dalam perjalanan ke Union Building di Pretoria, lokasi resmi pemerintahan Afrika Selatan, banyak kesulitan yang terjadi ketika para buruh kelas pekerja ini akan berkumpul; seperti bagaimana petugas kereta tak memberi tiket bagi perempuan, hingga akhirnya dibolehkan, Ruth menangkapnya dengan baik dalam tulisan ini. Di Union Building berkumpul ribuan perempuan dengan disertai tuntutan tentang penghapusan kebijakan pekerja yang merugikan tak hanya buruh, tapi juga para masyarakat kulit hitam di bawah dominasi kulit putih.

Di artikel kedua,  "Afrika Selatan Hari Ini", di sinilah letak kedalaman Ruth. Meskipun dari fisiknya sepertinya dia tergolong kaum kulit putih, tapi darahnya adalah Afrika. Aku bisa menangkap bagaimana isu rasialisme dikuliti habis-habisan oleh Ruth, baik oleh wacana kritis yang dimilinya hingga memakai pisau bedah Marxis. Di tulisan ini ada satu perempumaan yang menurutku keren. Ada seorang pejabat yang menganggap kesuksesan kaum kulit putih di Afsel diibiratkan dengan pohon yang tumbuh subur dan berbuah karena usaha mereka "sendiri", sementara orang pribumi iri dengan pohon tersebut dan tak menumbuhkan pohonnya sendiri. Ruth mengkritik keras, pohon itu sibur karena dirawat oleh para budak kulit hitam, yang bahkan mereka tak punya waktu untuk merawat miliknya sendiri. Sungguh jahat orang kulit putih di sini (tak bermaksud menggeneralisir, meski ada kaum kulit putih yang progresif, tapi tatanan sistem perbudakan dan eksploitsi mereka yang sarat rasialisme itu emang gak berperikemanusiaan).

Di artikel ketiga, "Dari Piagam Kebebasan ke Perjuangan Bersenjata", masih tentang perjuangan Afrika Selatan melawan imperialisme. Di sini aku menangkap bagaimana cara-cara pasif seperti Gandhisme, bahkan hingga konfrontasi senyap pun sulit bekerja. Ruth di sini juga mengutip Nelson Mandela yang menurutku sangat kritis, perjuangan pasif di depan negara dengan sifat patriarkal ini justru dianggap kelemahan. Mandela membuka ulang konsep perlawanan langsung hingga kekerasan dan perang bila memang ini dibutuhkan. Sementara, Afrika Selatan, lewat gerakan seperti African National Congress (ANC) dan uMkhonto we Sizwe (The Sprear of the National) juga telah melakukan aksi dan kampanye yang berdarah-darah, dengan pemenjaraan para kadernya untuk perjuangan keadilan.

Di artikel keempat, "Batas-Batas Nasionalisme", mengungkap bagaimana batas-batas negara dengan ideologi yang dihadapinya ini tidak jelas. Sebenarnya, aku tak begitu paham tentang politik Timur Tengah, terutama yang berhubungan dengan negara-negara di sekitar Afrika Utara dan Tenggara, seperti Mesir, Libya (yang monarki), Tunisia, dan negara tetangganya. Tulisan ini secara tajam menganalisi keputusan para pemimpin dunia seperti Gadaffi dan Sadat beserta keputusan mereka yang salah dan sembrono, terutama dalam menjalin "kolaborasi" dan "rekonsiliasi" dengan negara-negara kapitalis unggul seperti Amerika Serikat dan perang melawan zionis, Israel. Di akhir tulisan, Ruth juga menyebut bagaimana peran sosialisme Islam cukup berpengaruh dan menjadi gerakan kesetaraan di antara sistem oligarki, gerakan anti-imperialisme, rezim paternalisme, demagogi pada kaum proletar, peran nanggung borjuis kecil hingga borjuis metropolitan, juga gerakan-gerakan kudeta. Cerdas sekali Ruth menulisnya.

Di artikel kelima, "Para Penambang Mozambik: Sebuah Studi Seputar Ekspor Tenaga Kerja", kurasa ini tulisan paling panjang di buku ini yang mengkuliti bagaimana ekspor dan perbudakan manusia untuk membangun tambang emas terjadi. Jadi, penduduk pribumi Mozambik ini dikirim besar-besaran ke Afrika Selatan untuk membangun Witwatersrand, tambang besar emas serupa Jaya Wijaya di Papua. Bahkan ini menguat dari akhir abad ke-19 hingga pertengahan abad 20, puncaknya sekitar tahun 1954, di mana tiga per empat pekerja asal Mozambik, baik remski maupun tidak ini diperkerjakan di antara pribumi dan pekerja asing dari negara lainnya.

Ruth di artikel ini membagi bahasannya secara runtut, tentang eksodur pekerja Mozambik, dan alasan mengapa yang laris di sini buruh migran? Ternyata tak lepas dari pengaruh Portugal yang menjajah Mozambik, dan bagaimana buruh ini digunakan sebagai akumulasi modal. Mengapa juga tenaga kerja asing? Karena lebih murah, banyak yang ilegal, dan ini tentu menambah nilai lebih. Ruth juga menjelaskan tentang pengorganisasian arus tenaga kerja Mozambik, perubahan bidang pertambangan pada 1970an, hingga mekanisasi yang mengubah total lanskap kapitalisme industri di Afrika Selatan. Analisis Marxis Ruth di tulisan ini benar-benar tak diragukan, dan aku cukup kelelahan mengikutinya, karena problemku yang belum selesai dengan definisi dan konsep.

Aku sangat belajar dari buku Ruth ini. Dia penulis perempuan Afrika Selatan yang sangat-sangat berbakat dan progresif. Tak hanya punya kemampuan analisis, dia punya teknik jurnalisme yang baik pula. Dia juga bisa mengungkap dan menulis data agar lebih hidup. Aktivis kiri anti-apartheid ini sayangnya dibunuh oleh pihak kepolisian Afrika Selatan!

Judul: Ruth First: Serpihan Tulisan | Penulis: Ruth First | Penerjemah: Fransiskus Pascaries | Penerbit: Majrin Kiri | Jumlah Halaman: vi + 98 | Cetakan: Pertama, Mei 2023

Tidak ada komentar:

Posting Komentar