Kuliah umum dalam rangka perayaan 20 tahun Marjin Kiri diisi dengan pembahasan terkait "Buku, Politik, dan Gejala Antiintelektualisme" oleh Robertus Robet (Dosen, Sosiolog, & Aktivis HAM dan Demokrasi). Kuliah umum dilaksanakan di Gudkul Ekosistem, Jakarta Selatan, Sabtu, 24 Mei 2025.
Robet membukanya dengan sebuah joke: Malam Minggu ada kuliah umum dan banyak yang datang ini hebat. Ini tanda-tanda bagus. Ronny Agustinus sebenarnya meminta Rocky Gerung, tapi dia gak bisa, lalu dirinya yang bicara. Tema ini datang dari Ronny. Dan banyak yang Robet kenal datang.
Soal antiintelektualisme di Indonesia punya sejarah yang panjang. Isu yang besar ada di dalam, dia ada by default. Di mana pangkalnya? Bisa didiskusikan. Dalam sejarah politik nasionalisme, antiintelektualisme itu by default. Di sini ada pergulatan politik dan ideologi yang kompleks. Di Indonesia ini sekarang, discourse intelektual dibebani stigma ideologi. Dia juga elitis dan dikaitkan dengan liberalisme. Dia bukan sekedar antiintelektualisme itu malas baca, nulis, ke perpustakaan, bukan, tapi sikap politik.
Robet menyampaikan gagasan dari pemikir AS, Richard Hofstadter dalam buku "Anti-intellectualism in American Life", juga buku tentang pidato perubahan di AS, bertanya pada gosth writer. Gagasan mereka juga relevan dengan problem di Indonesia. Antiintelektualisme punya sejarah panjang, dia tumbuh dari puritanisme. Itu dapat ditelusuri di New England, dan menunjukkan kecurigaan yang bisa menyesatkan iman. Antiintelektualisme selalu berkaitan dengan agama, bahkan yang tumbuh di kampus. Seorang akademisi yang pangkat tinggi, gak serta merta dia intelek. Ada perubahan akademisi terutama di AS, yang menyematkan nilai tinggi daripada pengalaman langsung.
Ada pandangan berpikir kompleks itu sia-sia, yang penting kerja-kerja. Di balik antiintelektualisme selalu ada anti-elitisme. Robert mencontohkan sosok Mantan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Hoegeng Iman Santoso, orang yang sederhana dan bersih, tapi sekaligus memelihara elitisme. Ada elitisme dalam kebudayaan. Dia punya selera sendiri, dansa-dansi, tapi sebagai warga biasa dia sederhana.
Faktor ketiga, fundamentalisme agama. Juga contoh menggila, buruh diadili karena mengajarkan Darwinisme. Yang mengatakan kita punya hak menentang ilmu yang menentang Tuhan.
Faktor keempat, perang dingin dan kecenderungan pada aktivis kiri. Antiintelektualisme itu anti-kiri, yang paling dihancurkan intelektual kiri. Secara konkrit dihantam intelektual kiri dan liberalisme. Kaum liberal dan kaum kiri selalu ada di forum terdepan. Dalam filsafat Jerman, Carl Schmitt (teologis politis), dia mengambil metafora dari kisah bible. Jadilah terang. Dia membelah virtue dan fortuna. Schmitt itu bilang, liberal paling payah dan gak selesai-selesai dalam pengambilan keputusan, gak bisa seseorang berpolitik dengan cara liberal. Dia menolak pertukaran diskursif. Namun dalam kenyataannya, mereka lebih benci pada kaum kiri.
Post-truth ini tenar di negara yang demokrasinya belum mapan. Ini ditulis filosof Italia, dalam konteks populer, dia mencemooh sains, dan dialah akal sehat dan rakyat. Karakter antiintelektualisme itu man of the people, dia terus menempelkan simplifikasi. Ciri khas, ditandai populisme, meremehkan intelektual, bersandar pada agama, nasionalisme, dll. Kalau dilihat struktur antiintelektualisme di AS, ini tak jauh beda dengan Indonesia.
Berikutnya, Robet membahas terkait gagasan Russell Jacoby, kematian intelektual di era kontemporer dalam buku "The Last Intellectuals: American Culture In The Age Of Academe". Jacoby nulis tahun 87. Struktur antiintelektualisme, dia nulis the last intellectual, dia membagi dua. Di awal bukunya, dia mengilustrasikan perbincangan publik di Barat. Dia melihat Prancis, mengungkap hal vulgar di TV. Akademik berubah aneh. Muncul pakar-pakar, tapi campur gak karuan. Selebriti slides show juga marak. Ada gejala lain, kaum intelektual terserap dalam birokrasi kampus: staf, borang, absen, sibuk balas WA mahasiswa. Kehidupan kampus yang terbirokrasi, dari intelektual publik jadi dosen. Berikutnya dosen-dosen sibuk nulis jurnal. Namun kata Robet dosen sekarang gak mau nulis di Prisma karena dia bukan Scopus, gak bisa dijadikan KUM. Sayang waktunya nulis bagus diterbitkan di Prisma.
Dosen sibuk, setiap tahun menghasilkan tulisan di jurnal. Bukan berarti nulis jurnal jelek, tapi dia menggeser dari intelektual publik jadi birokrasi kampus. Dia nulis jurnal bukan dari penelitian yang serius. Ini yang mengubah karakter intelektual di AS, perubahan di dalam ruang. Robet menceritakan, dulu kaum intelektual banyak hidup bersama kelompok progresif di kota. Lalu kampus dipindah di luar kota. Berubah lanskapnya. Ini gerakan progresif lebih susah. Misal UI diletakkan di Depok, susah demonya. Perubahan ruang juga mempengaruhi karakter dari intelektual publik jadi akademisi biasa. Tinggal di Depok adem, lalu apalagi? Beruntung kampus sekarang mengkota. Ini peluang tumbuh cukup besar.
Ini yang dikatakan Jacoby, ada keterputusan antara ilmu dan publik. Kurang pemikir independen yang menjembatani teori dan kenyataan. Juga bagaimana kapitalisme berjalan. Buku berat diganti bestseller. Di budaya yang dikendalikan pasar.
Antiintelektualisme juga ada di Indonesia di tengah Scopus dan Garuda. Krisis intelektual bukan masalah individu tapi ekopol yang tak ramah. Ada perubahan dalam struktur kapitalisme kontemporer. Di Indonesia ada paradoks, Soekarno, Hatta, Syahrir, itu intelektual. Sampai era Soekarno, pemimpin politik ya intelektual, dia satu kesatuan. Intelektual pasti berpolitik. Walaupun di masa Orde Lama, Soekarno sendiri yang membunuh intelektual, anti pemikiran barat, anti ini itu, dekrit presiden seumur hidup.
Lalu tahun 65 antiintelektualisme tumbuh dengan keras. Di sini negara menjadikan intelektual jadi tantangan ideologis. Ketika Orde Baru membangun dirinya, yang dilakukan adalah budaya publik. Dosen di Orla, ada mono loyalitas kepada Golkar. Dilawan pandangan tentang negara yang lebih liberal. Misal ASN tidak berpolitik itu sebenarnya perintah politik. Padahal tidak mungkin apolitis, misal sterilisasi kampus dari politik ini tidak mungkin. Kita dengan sudut pandang ideologi politik tertentu, ada agensi politik yang lain. Empirik dengan kampus, dia selalu mengambil tempat di politik. Di zaman Soeharto, yang anti Soeharto juga sedikit. Sedikit orang yang percaya Soeharto jatuh. Sekalipun pemikiran alternatif, tidak tumbuh dari kampus. Antipati enggak, tapi ngambil jarak. Dulu itu begitu nyari udah kiri, sekarang musuh siapa?
Yang membuat berubah adalah digital. Buku berakhirnya kepakaran, membuat Profesor Fisika top bisa balas-balasan dengan fans Dedi Mulyadi. Meskipun di kasus viralnya sekarang, Dedi awalnya prihatin, tapi lihat dulu daerah dia keluarga miskinnya berapa? Bandingkan dengan populasi, lalu dicek, mengaitkan kemiskinan dengan kesenangan orang. Masak negara mau ngurusin indung telur dan sperma orang.
Robet menekankan ulang, antiintelektualisme bukan tentang jumlah doktor,
professor, tapi tak serta merta intelektual muncul. Akademisi steril
menunjukkan gejala antiintelektualisme. Dia bukan perkara personal. Kalau melihat struktur antiintelektualisme, bisa dilihat dari politisasi agama, antifeminisme, kebudayaan media sosial, algoritma platform, dengan judul depan yang click bait. Udah diramalkan Sigmund Bowman, "orang kekurangan keterampilan reflektif". Tak dimainkan oleh logika matang.
Bagaimana jalan keluarnya?
- Menghidupkan tradisi intelektual publik. Menjembatani ilmu dan persoalan kehidupan.
- Intelektualisme tumbuh di ruang yang sehat. Tahun 90 banyak kelompok diskusi di kampus. Didiskusikan di pinggir gang, tapi itu ciri intelektualisme tumbuh di kampus. Di UI di sekitar Margondaraya; di Rawamangun, pengajian penting juga, tapi diskusi juga penting. Diskusikan apa yang jadi basis aksi. Dulu ada Didaktika, ada diskusi, jangan remehkan diskusi kecil di kampus. Tahun 98, yang mimpin aksi itu kelompok diskusi dan studi. Ditambah organ-organ kampus. Organ kecil yang sifatnya informal jangan diremehkan. Ini penting untuk dipelihara, meski norak dengan definisi kacau balau. Atau bukunya fotokopian, tapi baca Kapitalisme Pinggiran udah bangga. Atau paling gak, baca Dawam Rahardjo. Dulu diktat membuat orang dipenjara. Jangan remehkan diktat, dan studi intelektual. Ini punya peran besar "Kelompok Studi".
- Membentuk ekosistem pemikiran kritis.
***
Usai kuliah umum Robertus Robet, dilanjutkan dengan pemotongan tumpeng oleh Ronny Agustinus. Perjuangan melawan antiintelektualisme emang gak mudah. Marjin Kiri salah satu pahlawannya, bukunya emang spesifik, tapi kritis; tadi salah satu editornya dengan pede mengatakan, "Pembaca Marjin Kiri adalah orang-orang yang cerdas." Yah, congratulations buat Marjin Kiri. Oh ya satu lagi, tadi salah satu editornya bilang, mereka lagi hunting penulis perempuan Indonesia..jpeg)
.jpeg)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar