Perayaan 20 Tahun Marjin Kiri mengadakan lokakarya bertajuk "Ilmiah tapi Asyik! Transformasi Naskah Akademik ke Populer". Lokakarya ini mendatangkan narasumber Pradewi Tri Chatami (Editor dan Penerjemah) dan Muhammad Iqbal (Editor dan Penulis). Lokakarya dilaksanakan di Gudskul Ekosistem, Sabtu, 24 Mei 2025.
Moderator Mia Fiona mengatakan, lokakarya ini bukan hal yang sangat serius. Ketika bertanya, nama, asal, menulis apa. Kita ingin tahu bagaimana cara mentransmisi buku yang ilmiah dan sangat scholar. Tantangan bagaimana ini bisa mudah dibaca. Diskusi ini ingin membongkar bagaimana dia bisa mengolah yang ilmiah jadi mudah dipahami.
Muhammad Iqbal membuka dengan pengalamannya. Buku nonfiksi yang dia edit bukan berarti yang terjemahan lebih baik dari disertasi atau tesis. Seperti kata Ibu, menanam itu butuh waktu. Mengedit itu kesenangan yang bisa dinikmati. Pengalaman dia pernah ngedit, skripsi sejarah, temuan baru, isinya juga bagus, tapi skripsi sangat baku formatnya. Misal skripsi terkait rambut gondrong, ini diterbitkan oleh Marjin Kiri.
Pertama dia scanning cara nulisnya itu seperti apa. Secara umum penulis Indonesia, dia punya basic pernah membaca fiksi. Dia punya kemampuan mengungkap lebih dari sekedar skripsi. Juga dia punya keterkaitan dengan isu penerbitan. Ketika Nyoto diedit (karya Patrick), untungnya Marjin Kiri nyetok arsip tentang Nyoto. Ketika dicek baik yang pro dan kontra, lalu referensi internet, kemudian editor mengecek bagaimana tafsir penulis buku? Untuk naskah terjemahan, Iqbal mengundurkan diri kalau ada ikatan emosional dengannya. Misal tentang buku Tania Li, karena Iqbal orang Kalimantan.
Menurutnya, baik fiksi maupun nonfiksi perlu pengecekan yang teliti, sekalipun itu catatan kaki. Misal ada penulis, dia nulis tentang Ormas di Makassar, kalau data gak detail, yang tersorot editornya. Dia salah menyebut nama Ormas. Ada juga kasus, menulis tesis diterjemahkan ke Indonesia, dia mengecek edisi bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. "Keakuratan itu penting banget," katanya.
Ketika proses membaca juga memosisikan sebagai editor dan penerjemah. Sedetail-detailnya orang juga bisa keliru. Kesenangan menyunting buku itu ketika menulis buku perempuan. Ini berusaha maksimal untuk menemukan penulis perempuan Indonesia. Baik skripsi, tesis, disertasi, kadarnya bukan ilmiah, tapi bisa juga bentuk lain.
Juga buku terkait Sunda itu diedit bertahun-tahun. Sumber primer yang dipakai bahasa Sunda. Walau bagaimana pun harus dicek. Apalagi Iqbal orang Kalimantan. Ini akan membahagiakan kalau keluar penerbit, juga sangat senang kalau ketemu pembaca yang menyenangkan.
Mia (moderator) menambah, di Marjin Kiri, sebelum masuk ke editor, sama Ronny Agustinus juga akan diseleksi. Marjin Kiri juga banyak menolak naskah, sehingga editor lebih bebas bergerak.
Pradewi Tri Chatami (TC) melanjutkan, ngedit di Marjin Kiri lebih banyak di fiksi. Ngedit naskah akademik itu tujuannya untuk melaporkan. Ketika jadi buku, peneliti mau bercerita ini risetnya tentang "apa". Bagaimana laporan ini menjadi cerita. Bagaimana laporan yang sudah memahami isinya diturunkan ke khalayak yang lebih luas. Kalau ngedit fiksi, ditanya kamu baca apa? Di non-fiksi lebih enak, karena bisa dicek di daftar isi, meski editor belum membaca semua. Ketika merasa riset mereka kurang, ada dialog juga sama mereka.
Bisa jadi, skripsi bagus, tapi mereka mengubah dan memperbaharui. Kadang orang di akademia sangat fleksibel dengan penemuan dan pembacaan yang baru. TC beruntung bekerja di Marjin Kiri karena tidak ada naskah yang jelek. Pekerjaan dia diibaratkannya seperti stylish, ini sudah ada model, tinggal dipoles. Beberapa bahasa diubah, kalau terjemahan masih diterjemahkan dengan bahasa asing. Peneliti Indonesia karena banyak baca bahasa Inggris, logikanya banyak yang kebawa juga. Lalu dilempar ke proofreading dan copy editing.
TC juga mengalami dialognya Vincent (buku "Metode Jakarta"), dialog pakai bahasa Indonesia, karena transkripnya tidak ada. Ada pula buku yang banyak pakai terjemahan Alkitab. Ini lebih banyak ke penyesuaian, bahasa pelaporan dan penceritaan beda. Tantangan lebih ke "shifting".
Mia menambah, ilmiah itu informing ke academic people. Ketika diterjemahkan ke publik, shifting-nya yang susah. Bisa jadi tertarik, gak tahu, hingga tidak tertarik. Misal orang gak tahu kalau sawit itu tidak baik-baik saja. Mia bertanya tentang pentingnya story telling. Penulis Marjin Kiri itu kelebihan juga pembaca fiksi. Bagaimana applying fiksi ini? Dalam pengeditan dan penerbitan.
Iqbal menjawab, dia merasa beruntung. Ketika ngedit naskah, dia punya insting. Keberuntungan sebagai editor, penulis biasanya sudah punya keterampilan yang baik, editor hanya mengecek. Sejauh ini hampir 10 tahun di Marjin Kiri menarik. Kalau udah masuk Marjin Kiri, dia adalah pemamah fiksi. "Yang masuk kurasi kita seperti itu," ujarnya. Penulis Indonesia bukan berarti tak bagus. Story telling ini menjadi kekuatan.
Sesi Tanya - Jawab:
Daniel bertanya, ingin mengirimkan naskah terjemahan. Suka baca buku Antropologi dan Etnografi yang perlu dibaca. Dia nerima langsung dari penulisnya atau terjemahan dari Indonesia?
TC menjawab, problem pertama ada di rights-nya. Jika rights tidak beres meski buku bagus, kita gak bisa mencuri. Kalau rights murah, Marjin Kiri bisa menerbitkan. Kadang perlu kontak ke penulis langsung, untuk bantu nego. Apalagi fiksi, agensi memikirkan harga rights, mereka tak tahu literasi Indonesia masih jelek.
Iqbal menambahkan, selama penulis bisa dikontak, penerjemah yang mengkontak penulisnya dulu. Tania Li juga orang yang detail, apalagi mereka bisa bahasa Indonesia dan bahasa daerah.
Marjin Kiri punya base line topik yang perlu. Karena di Marjin Kiri, ada visi progression, ada hal-hal yang perlu masyarakat Indonesia tahu. Misal tentang 65, mana POV yang belum pernah ada dan diterbitkan. Dari sisi manajemen, Marjin Kiri bukan penerbit besar yang menghambur-hamburkan untuk beli rights. Termasuk dalam hal pembuatan daftar isi.
Salsa menanyakan, dia content writer dan junior editor, dia pengen nulis tentang perempuan dan anak. Dalam nyusun script merujuk ke data, dari Marjin Kiri sendiri ada maksimal referensi, misal terbaru lima tahun terbaru. Tapi juga ada data dengan tahun lama yang penting dan kredibel, apakah oke menggunakan data yang lama untuk menekankan ironi?
TC menjawab, dia sangat fokus ke "cerita". Misal dalam 20 tahun, gak ada perubahan tentang kekerasan perempuan anak. Yang penting ceritanya apa, datanya apa. Iqbal juga sebal dibatasi lima tahun terakhir. Yang klasik belum tentu tidak relate. "Jangan pakai paradigma Scopus," tuturnya. Misal gak mungkin sejarah cuma lima tahun. Pertanyaan apa yang ingin dijawab, menentukan data yang dicari.
Dita bertanya, terkait notulen, ada ngedit buku zaman dulu, dan juga zaman dulu. Bagaimana itu berpengaruh ke tulisan?
TC menjawab, ini diedit sesuai buku, sesuai teks misal buku terjemahan. Editor jadi jembatan, jangankan sekarang, dulu juga. "Ini lho ada penulis yang punya teori ini, isinya begini," ungkapnya. Juga dipilih buku klasiknya seperti apa dulu. Ada prinsip-prinsip tertentu yang bisa diterima. Misal buku-buku Geertz, meskipun debatable, dia penulis yang baik dan jadi craftsmanship-nya.
Mia menambah, pertanyaan berikutnya, apakah pernah dapat kritikan dari komunitas?
Iqbal pernah di suatu acara, ada yang bilang terjemahan jelek, tapi setelah itu beli buku itu. Dia punya asumsi dan gak yakin. Di sisi lain ada kebanggaan Marjin Kiri itu komunitas pembacanya sangat spesifik. Bukan meluas melintas. Baik itu buku klasik atau bukan, pilihan ini akan diterbitkan juga ada kekuatannya sampai sekarang. "Pembaca Marjin Kiri Insyallah cerdaslah," jelasnya.
TC juga menjawab ada saja ketidaksukaan orang. Sebagai editor, ini tetap karya orang, editor hanya bisa kasi suggestion. Editor ini stylist, bukan desainernya. Betul ada kesalahan-kesalahan atau tanggung jawab editor, tapi juga itu sepenuhnya milik penulis. Editor bisa memberikan masukan, tapi hasil lewat penulis.
Bayu menayakan, craftsmanship antara penulis Indonesia dan luar negeri berdasarkan riset seperti apa?
TC menjawab, riset yang berkembang di Indonesia, gak banyak orang seperti Iqbal yang mendorong mahasiswa jadi avant garde untuk nulis. Lalu, untuk urusan funding juga. Peneliti Indonesia yang punya desikasi masih mikir besok makan apa. Kalau secara menulis, banyak penulis bagus Indonesia. Misal banyak sejarawan periferal. Misal untuk bilang, kenapa panci ini penting? Harus ditulis dengan bagus. "Bagaimana caranya agar ini dianggap penting," tandasnya.
Iqbal menambahkan, skripsi di Indonesia sudah jadi, entah itu lebih berat dll. Problemnya masalah waktu dan biaya, kalau waktunya terbatas akan terbatas. Misal skripsi nuklir era Soekarno, tapi ada penulis lain yang udah nulis. Mungkin konteksnya belum menjamah naskah itu. Problem bolong-bolong itu, banyak yang menulis bagus, tapi teknis-teknis akademik tadi. "Senang bisa menemukan penulis yang sudah bisa bercerita," ungkapnya.
Mia, yang bekerja di training, kemampuan masih dibatasi ke "pemilihan kata". Sekarang akses lebih luas, ketika ngobrol dengan teman-teman di luar negeri. Mereka juga diminta untuk mensintesis. "Penulis yang baik adalah yang membaca semua buku. Fiksi itu belajar pemilihan kata. Nonfiksi itu belajar logika," tuturnya.
Iqbal, misal di buku "Wali Berandal Tanah Jawa" (George Quinn) dia ikut kelas penulisan nonfiksi. Padahal sudah selevel dia. Tapi karena dia ateis dan pengalamannya peziarah, mereka juga tetap harus belajar. Kalau data gak bisa jadi data, paling gak bisa menulis yang baik.
Juga misal "Tempat Terbaik di Dunia", dia hasil riset tapi tak ada beban data. Dia bisa solid karena punya data bagus dan bisa bercerita. Jadi ada dua hal dasar: data dan cerita.
Iqbal menambahkan, dosennya meminta untuk mahasiswanya buku "Kisah Lima Keluarga" karya Oscar Lewis. Ketika ada struktur tulisan yang bagus, pakai aja.Yang gak ngerti dunia kalian perlu tahu dunia kalian emang penting. Marjin Kiri punya dasar menulis tentang manusia, dan jika boleh penulisnya perempuan. Selalu bayangkan ada pembaca kalian.
Soal menghadapi kejauhan, di fandom gak boleh mengkritik penulisnya. Kamu suka ya dimakan, gak suka ya sudah gak usah dimakan. Itu semacam guilty pleasure.
.jpeg)
.jpeg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar