Sabtu, 24 Mei 2025

Catatan Klenik Studies Edisi 23 Mei 2025: "Tempat-Tempat Pamali"

Klenik Studies hari ini, 23 Mei 2025, mengadakan pertemuan perdana. Pada malam Jum'at Kliwon ini kami membahas obrolan yang menyenangkan tentang "Tempat-Tempat Pamali" yang kita temui di sekitar kita. Perbincangan merentang dari mitos Cepu dan Gunung Lawu, Kampung Pitu Jogja, mitos Jalan Karanggetas di Cirebon, jenazah yang bisa jalan sendiri di Toraja, pohon beringin, jembatan, sampai obrolan terkait mengapa tempat "Tusuk Sate" itu angker? Tak kalah menariknya, bagaimana fenomena ini dianalisis dari sudut pandang arketipe Jungian, bagaimana melindungi alam, trauma dan memori, hingga teori ambang batas tempat dan waktu. Di pertemuan berikutnya, kami akan membahas tentang "Hantu, Ruang, dan Teknologi".

Kami membicarakan tempat-tempat terlarang. Kita bahas perspektif satu-satu. Menurut Khumaid Akhyat Sulkhan, banyak masyarakat dunia yang tradisional punya mitos-mitos tertentu. Yang itu bisa dikatakan juga sebagai kearifan lokal, seperti Alas Roban, lalu Kampung Pitu (7 KK) di Jogja, banyak cerita tentang tempat terlarang lainnya. Di sini banyak diskusi, dari psikologi klinis, wartawan, akademisi, dan jurnalis. Sulkhan bertanya: Dimulai dari apa sih tempat terlarang? Ini fenomena apa sih?

Mi'rajul Akbar bercerita, tempat-tempat  pamali di semua tempat ada. Di Jawa sendiri, terutama Jogja, menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, sementara tempat-tempat pamali di Kalimantan tak banyak yang mempercayai dan tak mengetahui. Di sini juga mitosnya sifatnya lebih membahagiakan, misal minum air Sungai Mahakam akan bahagia. Kalau yang seram biasanya terkait hutan. Mitos di tempat Akbar, bagaimana mensugesti orang untuk melindungi alam. Dia bertanya: Kenapa mitos-mitos di Jawa lebih riil? Seperti tempat pamali yang didatangi pemimpin, presiden datang kesana lengser. Unik karena, pemimpin negara dianggap berpikir rasional, tapi malah mengikuti panduan klenik. Ini membuat yang rasional saja gini, apalagi kita. Untuk mitos di Jawa, auranya juga lebih tangible, nyata, apalagi kalau ada tempat-tempat yang harus dihindari. ”Nasib negara ditentukan oleh tempat-tempat seperti ini.” Di balik ini semua apakah ada Jawasentris? Bahkan secara spiritual pun daerah di Jawa. Bahkan secara spiritual, Jawa menentukan negara.

Dari bacaan Akbar terhadap buku Carl Gustav Jung, intinya, alam bawah sadarlah yang menjadi dasarnya. Yang membuat Jung terkenal, dia percaya mistis. Karena di memoirnya, dia punya dan mengalami astral. Ada konsep Namanya arketipe, kalau membaca mitos-mitos, di mitos-mitos ada raja, ada orang bijaksana. Raja disebut sebagai arketipe. Pola yang muncul terus di cerita. Di buku Jung, arketipe yang harusnya muncul di cerita, ada di dunia nyata. Dia mendekati tempat-tempat kesadaran manusia bertemu. Misalnya banyak yang mempercayai, adanya Nyi Roro Kidul di Pantai Selatan. Ini perwujudan alam bawah sadar banyak orang, yang memberikan energi, sehingga legenda ini, arketipe ini muncul sebagai kenyataan dan mempengaruhi orang. Ini menyebabkan keadaan mistis yang dialami orang. Ini kenyataan yang cukup panjang. Inti pemikiran yang tadi. Arketipe ini jadi pola imajinasi. Dia hal yang selalu ada, misal, orang yang sakti, Nyi Roro Kidul. Kalau ditarik lebih jauh, pola-pola ini sudah ada.

Selanjutnya, Nurul Diva Kausar bercerita, tiap tempat punya sisi mistik khasnya. Di tempat Isma, ada mitos Gunung Lawu, mitos banyak orang, dilambangkan sering identik dengan ilmu hitam. Ilmu yang gak kita sadari ini jadi stigma di kalangan pejabat. Di tempat Nurul, ada mitos terkait Jalan Karanggetas di Cirebon dan dekat keraton. Dekat sama tempat peribadatan wihara, zaman dulu, sampai sekarang dipercaya banyak orang punya nuansa mistis. Ketika punya keilmuan, punya kesaktian tak bisa ditebas tebang, punya jabatan penting, kenegaraan, presiden, saat lewat situ ilmunya luntur. Ini ada kaitannya dengan dakwah Islam, Cirebon kuat soal Islam. Ada Syeh Magelung, ada kekuatan tak bisa ditembus pedang, dan dia bisa mempengaruhi orang. Suatu Ketika Syeh Magelung lewat situ dan kesaktiannya hilang. Tempat itu jadi salah satu mitos, dia akan luntur ilmunya. Bisa dibilang, ada kaitannya dengan pola penyebaran Islam. Salah satunya lewat situ. Banyak hal unik di Cirebon, di keraton, orang-orang bisa mendengarkan suara gamelan tapi tak ada wujudnya. Kalau mau lihat wujudnya, orang harus baca syahadat. Sisi mitos selalu berkaitan dengan agama Islam. Untuk mengajak orang dekat dengan agama Islam.

Arketipe dan Scandinavia

Sulkhan juga membaca book chapter yang oke, bahasannya khusus menjawab tentang mitologisasi tempat. Tulisan Steven tentang orang Scandinavia, di era tradisional atau primitif. Yang menarik, tentang tempat-tempat terlarang atau tempat sakral. Sudut pandang tulisan itu, pertama, kekuatan alam sebagai sesuatu yang sakral atau pra-agama. Di Scandinavia, orang-orang pagannya menganggap alam sebagai sesuatu yang sakral. Dari awal, memang dianggap sebagai sesuatu sakral. Kesakralan suatu tempat tak lepas dari daerahnya dan menjadi identitas mereka. Lokasi dengan alam di sana. Ketika Kristen datang, terjadi pergeseran, kesakralan dari alam ke kreasi manusia. Dimanifestasikan lewat altar, gereja, Yesus, muncul dikotomi antara sakral dan profan. Cenderung mengganggu kesucian, setelah modernisasi ada, situasi lebih parah, karena alam tak lagi punya suara. Alam tak bisa mengikat dalam sakralitas, sehingga alam bisa pindah kemana-mana. Ini yang membuat orang di Scandinavia tak mengenali alam di sekitar kita.

Kalau di Jawa sendiri kurang lebih sama sebelum kedatangan Islam, mitos ini masih bertahan, ada orang puritan yang menganggap kasi sesajen disebut sirik. Di Scandinavia juga ada itu, tapi di Jawa masih bertahan. Misi misionaris lebih banyak menang Islam daripada Kristen, ini tak menggeser animisme.

Akbar menanggapi, bahasan Sulkhan ini menarik, pertanyaan kita, walaupun ada Kristianiti? Intinya agama samawi, menghapus pagan dan animisme, kalaupun terhapuskan, tapi kenapa kepercayaan itu masih bertahan dan akhirnya menjadi mitos? Mitos ini adalah mayat-mayat kepercayaan yang sudah lampau, tapi saking kuatnya berakar, tak bisa dipisahkan semudah dan segampang itu. Dia muncul sebagai mitos di berbagai tempat. Kalau dilacak, ada keterhubungan manusia dengan alam. Bahasan arketipe, di dalam pikiran kita ada dunia sendiri, alam bawah sadar. Ada tokoh-tokoh, ada makhluk-makhluknya, ada sosok ayah, ibu, raja, dunia seperti itu orang strukturnya sama. Kita mendambakan sosok ayah, sosok penyihir, di pihak manusia strukturnya sama. Yang jahat selalu penyihir, karena “cetakan” di otak kita, dia menakutkan, sementara Bapak melindungi. Di mana arketipe, default ini berinteraksi. Hubungan manusia dan alam ini masuk arketipe, meskipun dibunuh dengan modernisasi. Dia tak bisa dibunuh dan berakhir menjadi mitos.

Sulkhan menambahkan, arketipe mirip idea, sebelum buat kursi ada kursi di kepala kita. Dari idea-nya Plato, di pemikiran Jung, arketipe lebih powerful dari itu. Tak hanya ide, tapi juga bisa berinteraksi dengan dunia kita. Sumber penampakan makhluk gaib.

Apakah arketipe dari pemikiran kita, hanya kita yang bisa merasakan? Bisa dibilang begitu, tapi bukan halusinasi, tapi cetakan utama di manusia. Ini diisi oleh mitologi, warnanya jadi berbeda-beda. Belakangan, Akbar menambahkan, kalau teman-teman semua mengikuti Instagram @gen_alfarizi, ada kakak beradik ke tempat-tempat angker, dan mereka bilang, di lokasi itu gak ada apa-apa. Ada patung menari sendiri, dan mereka membuktikan itu tak ada. Gen Alfarizi menyimpulkan, hal-hal yang dianggap mistis, yang dianggap sebagai mistis, itu berasal dari alam pikiran sendiri. Mereka menafsirkan apa yang dipikirkan, tandanya begini dan begini. Dan itu dibicarakan secara logis. Sebenarnya hantu-hantu ini tak ada.

Dari segi saintis itu ngaruh banget, sensitivitas lebih tinggi. Timbul rekaan-rekaan tadi, itu tervisualisasi jadi hantu, yang itu bisa muncul sendiri. Misal di Embung UII ada hantu, misal Nurul kesana tak ada apa-apa. Mitos-mitos itu semuanya arketipe.

Akbar menjelaskan, arketipe ini semacam Gambaran ide yang sifatnya universal. Apa benar itu arketipe? Itu Gambaran yang bersifat universal. Lebih enak disebut cetakan pikiran. Kalau Gen Alfarizi pendekatannya lebih liberal dan bebas nilai, mereka menjauhkan semua penjelasan lain. Ketika ide universal ini dipercayai banyak orang, dia bisa mempengaruhi kita balik. Ini lebih rumit dari itu, ini bagian dari kenyataan. Dia bagian dari kenyataan, yang bisa diakses oleh kita. Berbeda dengan penafsiran ini hanya produk pikiran, arketipe ini yang membentuk pikiran kita. Ada teori yang menjelaskan, secara genetik, otak kita diturunkan, arketipe ini diwariskan turun temurun sejak manusia pertama. Membentuk cara kita berinteraksi. Bisa gak kita lepas dari arketipe?

Arketipe bisa bersumber dari generasi sebelum kita. Misal bentuk kuntilanak begini, genderuwo begini, ini dipercaya dan disepakati oleh banyak orang. Orang-orang menganggap itu sama. “Benar bisa diwariskan berarti ya?” Sumber universal bisa datang dari nenek moyang. Walaupun tidak dituturkan, kenapa kita takut sama hantu pakai baju putih, kenapa itu menakutkan. Kenapa ada sosok kebapakan kita cenderung mendekat? Meskipun tak dituturkan secara tradisi, kita akan cenderung mendekat ke yang begini. Arketipe ini mempengaruhi cara kita berinteraksi. Ketakutan kita sudah kita miliki sudah sejak dulu.

Ketahanan Sosial

Sulkhan menambahkan, konsep idea Plato, sifatnya spiritual, dia ada di alam idea. Kita bahkan sebelum ada gambaran kuda, di pikiran kita sudah ada kuda dulu. Orang-orang konstruktif mungkin kurang setuju, karena apa yang ada di kepala kita hasil dari konstruksi sosial.

Ngomong struktur, karena dia bertahan, di satu sisi itu membantu kita untuk mempertahankan ketahanan sosial. Misal di tempat keramat ada juru kunci, tatanan sosial tetap terpelihara. Kalau di Jawa, ada satu prestasi tertentu ketika bisa menaklukkan tempat-tempat terlarang. Misal di Alas Roban, folklore-nya, ini tempat terlarang, kalau kesini nanti diculik demit. Lalu ada bahurekso yang menaklukan tempat itu, dia mendirikan perkampungan, jadi semacam kyai atau ketua, raja, pemimpin, penguasa, tempat-tempat terlarang ini. Kalau kita bisa menggeser, ini ada prestasi tertentu. Ini yang menurut Sulkhan menarik di pulau Jawa, yang selalu tentang ekspansi. Di tempat Sulkhan, orang tidak ekspansif tapi kulonuwun, intinya, menanamkan yang ada di situ. Seakan-akan yang tak bisa kita capai.

Ketika baca karya Joseph Campbell, yang mengembangkan Jung, mengkhususkan mitos-mitos di dunia. Seperti sastra, cerita itu ada siklusnya dan strukturnya. Semua mengikuti struktur yang sama. Kata Joseph, itu tak hanya di dongeng dan sastra, perjalanan manusia juga gitu. Ketika mempelajari tentang mitos, aku memiripkan harus terbang ke langit. Semacam diri manusia, juga ada pertanyaan kita di tahap yang mana dalam hidup ini. Dengan memahami ini, kita dalam arus perjalanan dunia. Dalam sudut pandang yang tinggi, kita berperan sebagai apa di dunia. Kalau mempelajari mitos, bukan mempelajari hal primitif, tapi juga cara mempelajari dirinya sendiri. Tujuan akhir, untuk memahami sesuatu yang lebih tinggi dari dirinya sendiri atau lebih luas dari dirinya sendiri.

Tafsiran Romantis Keambrukan

Sulkhan menambahkan, orang cultural studies lebih ke Jung daripada Freud. Ini membantu kita mengidentifikasi diri. Kemudian, kita dapat banyak hal, tapi mengapa di Kudus ada tugu tak bisa dilewati, tapi kenapa tetap ziarah kesana? Bahkan ketika itu mengancam, kenapa mereka tetap mendatangi tempat itu? Karena itu legend, dari kekuasaannya.

Akbar menanggapi, tafsiran lebih romantis, Gus Dur sudah tahu akan turun, dia menggunakan itu untuk menimbulkan efek yang lebih simbolis. Ini jadi legend, jadi lengser, kalau dipikir secara rasional, masalah lengser itu sistemik. Kelengseran itu jadi simbol, itu yang jadi pemimpin. Walaupun tahu akan lengser, dia tahu akan dilengserkan, dan dia karena tahu lengser, di akan lengser dengan gaya. Terbukti nama Gus Dur masih dikenal, gak cuma di ajaran Islam, sampai sekarang terbukti, Namanya Gus Dur ini ada di kalangan penghayat. Gus Dur jadi true hero. Ketika bisa menaklukkan tempat itu dia jadi tawaran. Ada dua sisi meromantisasi keambrukan.

Di satu sisi pendekatan mereka lebih legend dan citra agung, dibanding tak melakukan spiritual. Tempat mistis jadi peringatan manusia, untuk membuat fungsi dan makna, di semua tempat hampir sama dan serupa. Di Banten punya hutan larangan. Hutan itu tak boleh dilarang, hutannya meninggal. Itu Kembali lagi, ketika penuturan logika tak bisa difasilitasi, itu bisa untuk melindungi alam. Mitos kebanyakan untuk mencegah kerusakan.

Di Kalimantan, ada artikel di Pontianak tempat asal-usul kuntilanak, ada cerita orang membangun kota tapi pamalinya jangan menyentuh hutan itu. Ada sosok perempuan berbaju putih. Pontianak juga dari Ponti+anak itu. Untuk mencegah agar tak mencegah alam. Kenapa Jawa selalu berhubungan dengan ekspansi dan negosiasi? Darimana sebenarnya narasi menaklukkan alam dan spiritual?

Ambang Batas

Akbar merasa, mitos-mitos itu untuk menjaga alam. Menarik ke yang lain, berbicara ruang, kenapa kemudian banyak tempat-tempat mistis yang secara struktur dia adalah tempat ambang batas. Yang sering angker2 seperti Pantai, ambang batas daratan dan lautan, lalu kuburan antara yang mati dan hidup. Juga di jembatan yang menghubungkan antara tempat satu dan lain?

Sulkhan menambahkan, ketika baca ke sepertiga Bermuda, bertemunya dingin dan panas, tempatnya iblis. Mungkin karena, di referensi pribadinya, batas itu antara tempat kita dan yang lain yang belum kita ketahui. Potensi kekuatan yang seperti apa? Ketika di pantai, mungkin akan gentar, karena kita gak tahu potensi dalamnya seperti apa? Meskipun jaraknya cukup jauh. Di batas dengan hutan, angker karena tak mengenali struktur itu, kita tak mengenali itu untuk survive. Ketakutan-ketakutan itu karena kita tak punya kontrol. Ketika dia familiar, dia sudah mengenal, jadi bisa memastikan itu tak bisa mengenalinya. Kita tak bisa mengenal tempat itu, setidaknya ekspektasi kita. Sama juga Ketika, recall pengalaman sekolah, yang banyak mitos keangkeran. Ketika malam juga angker. Ketika kemah di situ, sekolah malam hari jadi gak angker lagi. Jadi mengenal itu di malam hari. Hal-hal yang tadinya hanya diketahui di siang hari, di malam hari mendapatkan itu. Tempat-tempat yang angker lebih ke reaksi kita pada yang unknown. Pantai yang lebih angker itu Selatan, tapi Labuan Bajo tidak. Ini menarik juga.

Nurul menambahkan, kalau melewati ambang batas, merasakan hal biasa karena tak mengenali medan. Karena tak mengenali, jadi takut. Kita gak tahu apa yang terjadi. Jadi jatuh, ambang batas ada cara kita menghormati tempat lain, karena tak tahu kondisi yang tak kita kenali, kita minimal was-was dan jaga diri.

Sulkhan, pas kecil, ada Sungai yang angker banget. Ada hantu sungai, yang dideskripsikan kepala doang dan rambut saja, tapi bukan jenglot, dia suka narik anak-anak tenggelam. Tempat itu sangat mengerikan. Kita termakan hal-hal yang horor. Ketika kemarau sungai itu surut, ternyata tak sedalam itu. Karena ternyata tempat ini tak sedalam itu. Ini lebih karena berenang di saat yang tak tepat. Selebihnya aman-aman.

Bahasan berikutnya terkait ambang batas waktu, semisal saatu surup atau magrib. Sandikala, ada mitos, kalau kamu keluar Magrib, bukan ke rumah tapi ke hutan, dan bertemu orang dia tinggi besar. Orangtua melarang, boleh ke masjid tapi jangan main. Setelah dewasa ini, biasa aktivitas sampai Magrib. Kenapa melarang kita untuk keluar Magrib? Logis dan dampaknya seperti apa? Sekarang buktinya gak papa kita keluar magrib. Kenapa? Apakah sudah capek. 

Kalau terkait waktu, lebih ke orang sejak dulu itu takut gelap. Serigala keluar malam. Dalam gelap lebih banyak hal yang susah kita kenali. Kalau kita ini kan suka lupa waktu, kamu batasnya sampai sini, waktu ini, dan waktu ini. Orang-orang gak menciptakan sistem itu karena mau istirahat, bisa mengontrol anak kecil agar tidak aktif. Relatif gak ada ambang waktu malam ke pagi. Nurul pernah dengar di medsos, setelah jam 12 tidak tidur. Di tempat KKN, di atas jam 12 gak boleh lewat pohon beringin di antara dua Sungai. Lalu juga jangan lihat spion. Di atas jam 12 itu.

Rumah Tusuk Sate dan Hantu di Jepang

Pertanyaan berikutnya: Kenapa rumah tusuk sate sering dianggap angker?

Nurul dapat cerita dari tetangganya, jualan emas, karena rumahnya di persinggahan pedagangnya jadi bangkrut. Ada faktor apa? Tusuk sate lebih ke primbon. Ini jenis larangannya. Tusuk sate itu dia tempat bertemunya unsur dari banyak arah, melting pot. Ketika subjek itu gak bisa memompa banyak unsur, akhirnya kalah. Ini yang jadi faktor penentu. Dia juga tempat ramai, juga bukan.

Sulkhan lalu bercerita terkait video documenter di Netflix, hantu pasca-tsunami di Jepang, UFO, pembunuhan, penampakan hantu setelah tsunami. Jepang itu dibahas dari kajian trauma atau post-trauma. Dikaitkan dengan tata ruang, banyak orang yang berpindah rumah. Hantu itu nyasar, dan hantu itu tak mengenali ruang geografisnya. Sama kayak Merapi, banyak kampung harus pindah. Dari narasumber, psikologi, sebagai semacam trauma dan merespons perubahan ruang.

Mitos itu lama dan berkembang juga, cerita begini juga lama. Zaman dulu misal di kasus Bokir, naik delman, film-film Suzana, pas ada adegan Bokir bawa delman, dicegat Perempuan, tahu-tahu hilang. Jalan Di Atas Pangeran, Sumedang, jalannya membelah. Sopir-sopir didatangi Perempuan. Hantu itu belum tahu, rumahnya hilang.

Ada medium teknologi-teknologi terbaru. Dia bisa membonceng orang, kalau hantu seperti itu. Bagaimana hantu beradaptasi dengan teknologi. Tsunami menghancurkan ruang, trauma kolektif di Indonesia lalu yang seperti apa terkait perpindahan tata ruang ini? Akan dijawab di malam Jumat Kliwon berikutnya tanggal 26 Juni 2025, dengan tema: “Hantu, Ruang, dan Teknologi”.

***

Catatan dari Nurul Diva Kausar:

Rangkuman hari ini:

Isma: fenomena tempat terlarang telah lama menjadi bagian dari kepercayaan masyarakat di berbagai daerah. Tempat-tempat ini biasanya dianggap sakral, dikeramatkan, dan dikaitkan dengan tokoh-tokoh besar seperti raja, orang suci, atau leluhur yang memiliki kekuatan spiritual tinggi.

Di Cepu, misalnya, masyarakat meyakini adanya larangan untuk naik ke Gunung Lawu. Mitos di sana menyebutkan bahwa siapa pun orang Cepu yang naik ke sana akan tersesat atau meninggal. Kepercayaan ini diyakini berasal dari sumpah Prabu Brawijaya V yang konon mengasingkan diri ke Lawu dan pernah berperang dengan Adipati Cepu. Dalam mitos itu, sumpah sang raja menyatakan bahwa keturunan atau warga Cepu yang naik ke Lawu akan binasa.

Kemudian, di Cepu juga ada legenda Gagak Rimang, kuda hitam milik Arya Penangsang. Patung kuda ini ada di dekat Taman 1000 Lampu, dengan salah satu kakinya diangkat seolah siap berlari. Konon, kuda ini memiliki kekuatan magis (bisa berjalan sendiri). Senjata Arya Penangsang yang disebut-sebut menancap di pahanya juga menjadi bagian dari mitos lokal (Cepu: nancep ning pupu). Kisah ini membentuk sugesti kolektif masyarakat. Ketika dipercaya secara turun-temurun, mitos bisa membentuk kesadaran hingga dijadikan sebagai daya tarik spiritual.

Pendekatan Psikologi

Akbar: dari sudut pandang psikologi, hampir semua daerah memiliki mitos serupa. Namun, penerimaannya berbeda. Di Yogyakarta atau Jawa misalnya, mitos menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, sementara di Kalimantan, kepercayaan seperti itu tidak terlalu mengakar. Misalnya, ada kepercayaan bahwa siapa yang meminum air Sungai Mahakam akan kembali ke sana (lepas begitu saja). Ini, jadi sebuah bentuk mitos yang berfungsi menyatukan manusia dengan alam.

Menurut, Carl Gustav Jung. Hal ini bisa dijelaskan lewat konsep “arketipe” yang merupakan gambaran simbolik di alam bawah sadar manusia dan terus muncul dalam bentuk tokoh-tokoh mitos seperti raja, orang sakti, atau Nyi Roro Kidul. Kehadiran mitos seperti Nyi Roro Kidul dianggap sebagai perwujudan kesadaran universal di kalangan masyarakat. Akibatnya, legenda ini seolah menjadi nyata dan mempengaruhi perilaku sosial, termasuk pengalaman mistis hingga berwujud (penampakan).

Pergeseran Makna Alam dan Spiritual

Sulkhan: Fenomena pergeseran makna antara yang sakral dan yang profan juga tercermin di berbagai wilayah dunia. Di Skandinavia, kekuatan alam dulunya dianggap suci. Namun saat agama Kristen masuk, kesakralan berpindah ke simbol-simbol keagamaan (gereja, kitab, altar). Alam pun dianggap tidak lagi memiliki kekuatan. Kondisi ini menyebabkan keterasingan masyarakat dari alam, yang kini hanya dianggap entitas profan.

Hal serupa juga terjadi di Jawa. Meskipun Islam (misi puritan) masuk, tradisi seperti sesajen dan penghormatan terhadap alam tetap bertahan. Hal ini menunjukkan bahwa misi religius tidak sepenuhnya menghapus sistem kepercayaan (animisme) yang telah mengakar.

Mitos, Kematian, dan Kelas Sosial

Isma: ada juga cerita dari Toraja, di mana terdapat tradisi memakamkan jenazah di pohon tarra yang menggambarkan kelas sosial dalam kematian. Jika seseorang meninggal di tempat jauh dan tidak bisa dibawa ke pemakaman, keluarga memanggil dukun untuk memanggil arwah, agar jenazah berjalan sendiri ke pohon tempat dikuburkan. Namun, nama almarhum tak boleh disebut karena bisa menyebabkan rohnya hilang hingga mayat tersebut jatuh dan tidak bisa kembali berjalan. Tradisi ini juga menunjukkan bahwa alam (pohon tarra) dijadikan medium spiritual.

Ambang Batas dan Kekuasaan

Sulkhan: tempat terlarang biasanya diasosiasikan dengan ambang batas atau wilayah yang tidak bisa diprediksi dan berpotensi membahayakan. Ambang batas adalah, kondisi transisi saat manusia tidak bisa mengendalikan situasi secara rasional, lalu menyerah pada kekuatan spiritual. Bagaimana pemimpin zaman dahulu seperti Gus Dur pernah mendatangi tempat yang dipercaya membawa kutukan, seperti Menara Kudus. Meskipun konon orang yang melewati tempat itu akan luntur, Gus Dur tetap melintasinya. Tindakan ini bisa dibaca sebagai strategi untuk menantang mitos dan menunjukkan bahwa dirinya memiliki “ilmu lebih”, yang secara politis dapat meningkatkan kharisma dan daya jual sebagai tokoh publik.

Isma: mitos sering dikemas dalam sastra dan digunakan sebagai medium untuk menarik wisatawan atau peneliti budaya. Di Malang, terdapat kisah Eyang Sapu Jagad yang diyakini mampu menyembuhkan penyakit. Tempat ini dikunjungi oleh dua jenis pengunjung.

a. Pilgrimis - mereka yang memiliki tujuan spiritual atau harapan tertentu.

b. Generalis - tidak punya ketertarikan tempat atau mitos dan hanya datang untuk sekedar berkunjung.

Pengalaman spiritual di tempat ini menggambarkan hasrat manusia untuk mencari sesuatu yang lebih dari bayangannya.

Perjalanan Mitos dan Diri

Akbar: konsep perjalanan pahlawan seperti dalam teori hero’s journey, Joseph Campbell menunjukkan bahwa mitos adalah cermin dari perjalanan manusia. Dengan memahami mitos, manusia juga memahami posisi dan makna hidupnya dalam dunia yang lebih luas. Mitos adalah cara manusia merefleksikan diri dalam dunia.

Sulkhan: mitos bukan hanya cerita turun-temurun, tetapi juga instrumen untuk membentuk identitas, memperkuat kekuasaan, dan menyatukan masyarakat. Di tangan pemimpin atau tokoh spiritual, mitos bisa menjadi alat politik maupun simbol kekuatan spiritual. Ketika mitos berhasil ditaklukkan, orang yang melakukannya akan dianggap memiliki keistimewaan, baik sebagai kiai, tetua, maupun tokoh sakral sehingga keduanya bertaut dalam kesadaran kolektif manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar